One site of Kerinci

Rabu, 11 Agustus 2010

Datuk Paduko Berhalo

SIAPA DATUK PADUKO BERHALO?


A. Penggalan Sejarah Kerajaan Melayu

Kerajaan Melayu mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Adityawarman. Adityawarman adalah anak Dara Jingga dan Adwayamarman yang dilahirkan di Siguntur. Kisah Adityawarman sampai memegang tampuk pimpinan di Pagarruyung memang berlaku-liku. Setelah meningkat dewasa dia dikirim oleh ayahnya ke Majapabit untuk mengabdi pada kerajaan. Tujuan ayahnya adalah agar putranya itu dapat menggantikan Raden Wijaya jadi Raja Majapahit. Namun, harpannya tidak terkabul, karena ada putra Raden Wijaya yang harus naik tahta.
Oleh karena kepintarannya, Adityawarman dapat kedudukan tinggi juga, sebagai Menteri Utama dalam kerajaan, yang disebut weddhamantri atau mantri praudhataro. Gelar tinggi di Istana Majapahit. Nama itu terkmaktub dalam prasasti di belakang sebuah patung Manjusri. Teks itu berbunyi ebagai berikut:
Rajya Srwirarajapathniwijite [h] tadhangsajah sudhadhih cakra Jahamahitale waregunai Adityawarmmapy= asau/mantri praudhataro jinalayapura prasdam atyadbhutam matatatasuhrjjanam samasukham netum bhawat tatparah// ...//i saka 1265//.
Oleh Bosch dikemukan juga bahwa tulisan dan ejaan prasasti itu, yang ditulis sisi belakang arna Manjusri yang diartikan:
Dalam kerajaan yang dikuasai oleh Ibu Yang Mulia Rajapatni maka Adityawarman itu, yang berasal dari keluarganya yang berakal murni dan bertindak selaku menteri wreddharaja, telab berbuat di pulau Jawa, di dalam Jinalayapura, sebuah candi yang ajaib.--- dengan harapan agar dapat membimbing ibunya, ayahnya dan sahabatnya ke kenikmatan Nirwana.
Dengan candi, yang dinamakan Jilanaya(pura) di sini, tentu dimaksudkan Candi Jago atau Tumpang yang sekarang, tempat asalnya patung Manjusri yang bertulisan itu. Candi tersebut mula-mula didirikan atas perintah raja Kertanagara guna menghormati ayahnya Wisnuwardana, yang mangkat tahun 1286 Maserhi. Candi yang sedemikian rupa pada umumnya didiirkan sesudah upacara sraddha yang dilangsungkan duabelas tahun sesudah kemangkatan, maka candi Jago didirikan pada tahun 1268+12 atau 1280 Masehi, menurut kiab Pararaton.
Sesuai dengan penafsiran Bosch diterangkan bahwa tulisan ini oleh Adityawarman didirikan candi tambahan di lapangan Candi Jago. Atau mungkin juga bahwa candidiari kira-kira tahun 1280 Masehi sudah runtuh dan digantikan denan candi baru. Menimbang bahwa tidak ada sisa-sisa bangunan besar di samping Candi Jago yang sekarang, maka penerangan yang kedua masuk akal. Itu pula sesudai dengan gambar-gambar timbul dan ukiran di candi tersebut.
Berdasarkan gaya tulisan dan ejaan prasasti Adityawarman apda patung Manjusri Bosch telah menarik kesimpulan bahwa keduanya dipengaruhi oleh gaya Sumatera. Maka itu membuktikan bahwa tulisan itu adalah dari tangan seorang Sumatra dan barangkali Adityawarman sendiri. Kebetulan di belakang batu bertulisan Ombilin dibaca kata-kara svahastena maya Adityawarmana, (ini ditulis) oleh saya, Adityawarman, dengantangan dirinya.
Jadi raja itu ternyata pandai menulis dalam bahasa Sangskerta. Meskipun hal itu tidak disebutkan pada prasasti Manjusri, namun kemungkinan ada pasasti itu ditulis Adityawarman sendiri, pada waktu itu belum raja, melainkan wreddhamantri. Kalau demikian halnya maka dapat disimpulkankan bahwa Adityawarman singgah di istana Majapahit sebagai seorang putera Sumatera. Sesuai dengan politik Gajah Mada terhadap ”Nusantara” para pembesar di berbagai dari di Indonesia diundang atau dipanggil ke istana guna memberi hormat keapa sang Ratu di Majapahit.
Maka tentang asal Adityawarman perlu disimpulkan bahwa:
(1) ia adalah seorang pembesar dari Sumatra, yang singgah beberapa lama di Jawa Timur di Istana Majapahit,
(2) ia dilahirkan di dalam keluarga Rajapatni; Puteri Kertanagara dan permaisuri Kertarajasa yang ke-empat.
Kalau dipandang dari sisi ini maka kemungkinan bahwa seorang puteri Melayu adalah anggota rajakula Singasari/Majahit, sehingga keturunannya pun dapat dianggap sebagai seorang putra Malayu yang sebangsa sengan ratu Tribhuwana. Maka dengan jalan demikian Kertanegara seakan-akan menciptkaan kekerabatan atar pulau di Indonesia, yang kemudian menjadi dasar nagara Majapahit.
Sebagai anak pembesar kerajaan Majapahit, Adityawarman sering pula ditugaskan menjadi utusan raja dan duta di kerajaan lain. Misalnya Ia juga pernah diutus sebagai duta kerajaan ke Tiongkok pada tahun 1325 dan 1329 M.
Sebagaimana sering terjadi dalam hubungan antarnegara maka persekutuan diperkuat dengan adanya perkawinan antara anggota-anggota kedua pemerintahan atau dinasti yang bersangkutan. Sehingga Adityawarman, yang dilahirkan dari hubungan yang sedemikian, oleh karena itu menjadi tokoh yang dipilih Majapahit, terutama Gajahmada, untuk melanjutkan dan mengembangkan hubungan persahabatan antara kekuasaan yang terpenting di Nusantara pada waktu itu.
Setelah sekian lama menjadi petinggi kerajaan Majapahit, kedudukan Adityawarman tidak memperoleh kesempatan untuk menjadi Raja Majapahit, maka karena tidak ada harapan lagi di Majapahit, Adityawarman kembali ke kerajaan Melayu, dan dia kawin dengan Puti Jamilan, anak dari Puti Dayang Bulan, yang merupakan juga adik dari Datuk Parpatih Nan Sabatang dan kemenakan Datuk Ketamanggungan.
Moens (1974) menyebutkan bahwa Matangini di dalam prasasti Amoghapasa itu adalah sebuah nama dewi yang dianggap menjelma sebagai permasisuri Adityawarman. Matangi dapat diartikan pula sebagai seorang gadis dari kasta rendah yang bertugas sebagai yogini dalam cakrapuja, dimana Adityawarman adalah suatu bhairawa dan istrinya dapat pula disebut sebagai bhairawi, tidak mempengaruhi pula pilihan nama bagi permaisuri Raja. Matingi dapat pula diartikan sebgai puteri dari Matanga yang Arief, mungkin ikut disokong oleh kenyataan bahwa permasiuri Aditya itu adalah puteri kepala suku Melayu, pendukung azas-azas adat-istiadat, jagi puteri dari seorang cedkiawan Melayu.
Lebih lanjut Moens (1974) menyebutkan bahwa perhatian tertarik pula oleh persamaan antara kelompok-tiga: Adityawarman (Matanginisa), permaisuri (Matangini) dan Dewa-Tuhan, Prapatih dari prasasti Amogahpasa, dan kelompok-tiga: Siwa (Wirabhadra, Sati (Bhadrakali) dan Daksa. Daksa Prajapait, dewa tua, dalam jalannya masa telah harus menyerahkan tahtanya kepada Siwa (dalam hal ini kepala suku Melayu yang harus menyerahkan kerajaannya kepada Adityawarman); sesudah Daksa dikalahkan oleh Siwa, maka setelah disadarkan kembali ia dijadikan kepada gana-gananya (dalam hali ini: sesudah Dewa Tuhan ditaklukkan, ia dijadikan prapatih atas suku-suku dalam nagari yang takluk oleh Adityawarman). Daksa termauk pariwara-dewata dari Subrammanya, suatu bentuk dri Agni, yang adalah menantunya (dalam hal ini: Dewa Tuhan adalah abdi yang dipercaya – patraya? – dari Aditya). Karena kutukan Siwa maka Daksa dilahrikan kembali sebgai ksatrya, sedangkan kepada Dewa Tuhan pun dalam prasasti itu diberikan kedudukan kasta ksatray, dan seterunya.
Maka dari itu sangat mungkinlah, bahwa di antara Dewa Tuhan – Daksa dan Adityawarman-Siwa terjadi suatu ikatan kekeluargaan tertentu, disebabkan oleh perkawinannya dengan Matangini: sangat mungkin ia tidak lain dari pada ayah atau mamak (paman dair pihak ibu Matangini, yang menurut adat Melayu berkuasa dalam segala-galanya terhadap anak-anak saudara perempuannya). Mungkinkah ia adalah ”Prapatih nan Sebatang” (”satu-satunya” patih) yang besar dari sejarah Minangkabau.
Moens (1974) lebih lanjut menerangkan bahwa sangatlah mungkin Dewa Tuhan itu, seperti dilakukan oleh Daksa, menyatakan penyesalannya terhadap puterinya (kemenakan permpuan), karena suaminya yang masuk golongan pemuja bharawa itu. Khas adalah pulah bahwa ia, yang disebut Matanginisa, Tuan dari seorang matangi, seorang wanita Melayu, demikian sangat menghormati ayah dan paman isterinya (bacalah: ia, yang sebagai Mahakala membiarkan ditaklukkan oleh Sati dalam Mahabhagawata), yang merupakan kepala suku Melayu yang palin kuasa dan mungkin paling kaya dalam wilayah kerajaan Aditya, dalam prasasti Amoghapasa hampir memberikan kehormatan yang sama seperti kepada dirinya. Kalau tidak demikian hanya tak dapatlah diterangkan, mengapa kepada seorang patih dalam prasasti yang sama, dieberikan hampir sama banyaknya perhatian seperti kepada Tuannya. Bukankah patih itu yang ”telah mengumpulkan kekayaaan dan emas” menurut prasasti ”dengan kebajikan-kebajikan yang sama (seperti Tuannya), amat mahir dalam penggunaan senjata-senjata, dalam ilmu-ilmu, suatu samudra kebajikan-kebajikan”.
Dari prasasti yang sama, di dlam mana ternyata pula diperingati perkawinannya, selanjutnya dapat disimpulkan bahwa Adityawarman mengadakan ”pertunjukan tarian” (secara India-Selatan), tetapi tidak menari dengan alam-semesta, melainkan dengan ”kedua permata’, yaitu matahari dan bulan, lambang-lambang dari ajaran keselamatan buddhis dan siwais.
Adityawarman diangkat jadi raja Kerajaan Melayu pada tahun 1347 M dengan gelar Adityawarmadaya Pratara Parakra Marajendra Mauliwarmadewa. Meskipun Adityawarman memperluas wilayah kerajaannya ke barat, namun ia tetap menyatakan dirinya sebagai raja Kerajaan Melayu, Werdahmantri di Keraton Majapahit. Perluasan daerah Kerajaan Melayu ke barat selanjutnya dijadikan inti Kerajaan Melayu.
Setelah jadi Raja Melayu, Adityawarman ingin menjauhkan diri dari kerajaan Majapahit. Untuk itu dia menindahkan pusat kerajaan ke daerah pedalaman di Sungai Tarab – Batu Sangkar. Oleh Aditywarman, kakak iparnya (Datuk Parpatih Nan Sabatang) dan paman istrinya (Datuk Katamanggungan) ini diangkat menjadi Menteri kerajaan Pagarruyung. Trio tokoh kerajaan inilah yang mengendalikan pemerintahan sampai mereka dapat menguasai Sumatera dan Malaka.
Pada prasasti Pagarruyung tahun 1357 tertulis bahwa Adityawarman disebut Maharaja Diraja, yang melanjutkan pemerintahan Sriwijawa Jambi dan Sriwijaya Palembang. Dari prasasti ini jelas bahwa Aditywarman dapat menguasai daerah bekas kerajaan dan jajahan Sriwijaya.
Semenjak Adityawarman berkuasa di Pulau Sumatera, pada masa agama Islam sudah mulai tersebar di bagian Barat Nusantara serta mendapat dukungan dari beberapa raja-raja di daerah itu. Menurut Casparis (1992) menyatakan tidak disangsikan bahwa sikap Adityawarman terhadap agama Budha yang dianutnya. Agama Budha, yang pada umumnya dianut oleh penduduk kerajaan, sehingga Adityawarman menjadi agresif, seakan-akan ingin membunuh lawannya.
Patung Bhairawa adalah patung terbesar yang pernah ada di Indonesia. Sifatnya demonis, Bhairawa itu setinggi 4,41 meter berdiri di atas mayat, sedangkan dasar patung itu dihiasi dengan tengkorak-tengkorak. Di tangan kanan dipegangnya pisau besar dengan sikap ingin memakainya. Dapat diduga bawah fungsi patung itu diak terbatas kepada agama dalam arti sempit, melainkan merupakan pengancaman terhadap bahaya yang mungkin datang dari sebelah timur (de Casparis 1937).
Adapun latar belakang pengancaman itu ada berapa kemungkinan: Perama dapat dipertimbangkan apa Adityawarman, meskipun bersahabat dengan Majapahit, berangkali mencurigai rencana-rencana Gajah Mada yang dalam sumpah ‘palapa’nya sebelum sekalian pulau Nusanara adlah dibawah kewibawaan Majapahit. Memang benar bahwa Adityawarman, sesudah berkuasa di Sumatera, tidak pernah menyebut nama Majapahit atau pulau Jawa, apalagi menunjukkan bahwa patuh kepada Majapahit. Akan tetapi itu belum berati bahwa ia merasa dirinya aman terhadap bahaya adanya serangan Majapahit terhadap negaranya. Dari pihak Majapahit pun tidak ada pentunjuk bahwa negara itu bermaksud untuk menyerang Melayu.
Kemungkinan kedua mengenai negara Cina. Barang tentu Kubilai Khan pernah mengirim pasokan Cina ke Indonesia, yang tidah mau tunduk kepadanya. Tetapi pada zaman Adityawarman hubungan dengan Cina ternyata membaik.
Kemungkinan ketiga bahwa Adityawarman menginsyafi bahwa telah datang agama baru yang sedang berkembang tidak jauh dari Melayu. Tentu tantangan rohani tidak dapat dihadapi dengan kekuasan bala-tentara, melainkan dengan senjata keagamaan juga. Maka arca Bhairawa, yang memusnahkan segala musuhnya, dianggap pada tempatnya. Sikap Adityawarman itu dipahami jika diingat bahwa agama baru itu tidak hanya mengancam agama Budha yang dipeluknya, melainkan juga membahayakan kedudukan raja sendiri. Andaikata banyak penduduk di kerajaan yang memeluk agama Islam maka kedudukan sang prabu akan menjadi lemah, semakin sedikit orang yang mendewa-dewakan dan menyembah berhala Adityawarman. Kalau demikian halnya, maka arca Bhairawa itu dapat dipandang sebagai lambang yang harus melindungi negara Adityawarman terhadap penyebaran agama Islam.
Oleh sebab itu dengan pemindahan pusat kerajaan ke arah barat yang selanjutnya dijadikan inti Kerajaan Melayu, dengan mendirikan Kerajaan Pagarruyung pada tahun 1349 Masehi dan langsung menjadi Raja Kerajaan itu yang pertama.
Dalam naskah tulisan encong Kerinci, tidak ditulis siapa Paduka Berhala, namun yang jelas beliau berasal dari Minangkabau. Sedangkan raja melayu dalam kerajaan Pagarruyung pada waktu itu adalah Adityawarman (A. Jafar 1989). Dalam kajiannya menyatakan pakah Adityawaman yang diberi gelar Paduka Berhala? Mungkin saja, karena dia selaku pemeluk agama Budha tentu disembah dan dihormati oleh penduduknya. Selaku raja Adityawarman dibuatkan patungnya oleh mereka yang panatik, dan disembah-sembah. Sekarang patung tersebut disimpan sebagai benda purbakala dan bersejarah di Museum Jakarta. A. Jafar (1989), dalam kajiannya yakin bahwa yang meberi gelar Paduka Berhala itu bukan yang menganut agama Budha, tetapi adalah penganut agama Islam yang masuk ke sana. Patung-patung umumnya disebut berhala, karena patung-parung yang disembah oleh orang zaman dulu disebut berhala. Sehingga patung Adityawarman disebut berhala Adityawarman, Patung Datuk Paduka Berhala Adityawaraman, dan akhirnya menjadi kebiasaan dipanggil dengan disebut Datuk Paduka Berhala?

1 komentar: