One site of Kerinci

Selasa, 10 Agustus 2010

Kerajaan Sigindo

Bab 7
KERAJAAN MELAYU DAN
NEGERI SIGINDO
(Suntingan dari Buku "Menelusuri Sejarah Kerajaan Melayu Jambi"
Karangan: Prof. Aulia Tasman, SE, MSc, Ph.D

1. Asal-usul Sigindo
Diperkirakan bahwa sekitar abad ke 6 M di wilayah Alam Kerinci, telah terbentuk negeri-negeri yang secara terpisah mempunyai pemerintahan sendiri. Sebuah komunitas masyarakat sudah barang tentu mencari pemimpin dari orang-orang yang mempunyai pengaruh dan disegani dalam kelompoknya. Biasanya mereka juga merupakan orang yang diyakini memiliki kesaktian sehingga diharapkan dapat melindungi negeri dari berbagai mara bahaya yang ditimbulan manusia, alam, binatang, maupun roh-roh jahat. Munculnya pemimpin-pemimbin negeri baru ini diperkiranan seiring dengan pertumbuhan negeri-negeri di Alam Kerinci yaitu sekitar abad ke 6 M. Para pemimpin negeri itu, dikenal dengan sebutan Sigindo atau kepala kaum/kelompok darisuatu komunitas keturunan dari kelompok masyarakat yang mendiami suatu daerah tertentu, dimana sekaligus merangkap sebagai kepala pemerintahan dari suatu wilayah negeri.
Sebuah negeri Sigindo teridiri atas beberapa buah dusun, dimana di dalam sebuah dusun terdapat kelompok kekarabatan masyarakat seketurunan. Pada kelompok kekarabatan ini masih terdapat lagi kelompok yang lebih kecil kaitu kumpulan dari kelompok-kelompok kekeluargaan, sedangkan strata masyarakat yang paling kecil adalah keluarga. Masing-masing strata kekarabatan mulai dari unit yang terkecil dipimpin oleh seorang kelompk yang ditunjuk dan dipilih menurut ketentuan adat yang berlaku.
Dalam perkembangan selanjutnya, untuk unit keluarga terkecil disebut denan Tumbi oleh kepala Tumbi atau kepala keluarga. Kempulan dari beberapa unit keluarga kecil (tumbi) dalamlingkup kekarabatan seketurunan disebut dengan istilah Perut, dan dipimpin oleh Tengganai. Lapisan berikutnya merupakan dari beberapa Perut disbeut dengan istilah Kelebu dan dipimpin oleh kepala Kelebu yang lazim disebut sekarang dengan istilah Ninik Mamak. Sedangkan kumpulan dari kekerabatan Kelebu disebut dengan ‘luhak; atau lurah yang dipimpin oleh seorang kepala lurah yang lazim disebut dengan Depati. Masing-masing strata di atas mempunyai tugas dan tanggung jawab sendiri-sendiri yang pada intinya menuntun dan membimbing masyarakat untuk dapat mentaati norma dan kententuan adat negeri.
Melalui strata kemasyarakatan di atas, segala bentuk kebijakan pemerintah negeri disampaikan secara beranting ke bawah. Melalui alir system ini dilakukan pengendalian terhadap komponen masyarakat atau warga yang terhimpun dalam sebuah negeri Sigindo. Masing-masing pemimpin pada strata masyarakat yang terbentuk memikul tugas dan tanggung jawab membina dan mengurus anak negeri atau kaum kerabatnya.
Bila sebuah negeri Sigindo hanya merupakan sebuah dusun, maka berarti Sigindo yang memerintah hanya memeritnah strata kelompok masyarakat yagn berada alam lingkup dusun itu saja. Namun apabila sebuah negeri Sigindo terdiri atas banyak dusun dibawahnya, maka Sigindo yang berkuasa berarti memerintah dan mengatur seluruh strata kemasyarakatan yang terdapat pada beberapa dusun. Makin banyak dusun-dusun yang berada di bawah sebuah pemerintahan Sigindo menunjukkan besarnya kekuasaan seorang Sigindo.
Pada pemerintahan para Sigindo dikisahkan bahwa kehidupan masyarakat di Alam Kerinci berjalan dengan baik. Masyarakat dapat hidup aman, tentram dan makmur. Pemerintahan Sigindo semakin meluas sehingga di Alam Kerinci terdapat banyak negeri yang dibawah kepemimpinan Sigindo. Banyak diantara negeri Sigindo tersebut berasal dari induk Sigindo yang sama atau negeri tersebut berasal dari induk negeri yang serumpun, namun secara otonom masing-masing menjalankan pemerintahan secara terpisah.
Masing-masing mengurus dan mengatur kepentingan penduduk negerinya tanpa ikut sampur Sigindo asalnya. Tidak ada Sigindo yan gberada dibawah kekuasaan Sigindo yang lain, atau satu Sigindo takluk pada kekuasaan sebuah pemerintahan Sigindo lainnya. Walaupun tidak terdapat hubungan secara hirarki dengan pemerintahan Sigindo negeri asal, namun pemerintahan Sigindo yang berumur lebih tua (Sigindo asal) selalu dihormati oleh Sigindo yang lebih baru. Negeri Sigindo yang keberadaanya lebih muda sunggupun tidak berada dibawah kekuasaan atau pengaruh Sigindo asal, akan tetapi mereka selalu mengikuti langkah kebijakan pendahulunya dalam meminpin negeri. Perselisihan antara negeri Sigindo jarang diceritakan, karenanya boleh dikatakan jarang terjadi. Kalaupun ada, itupun hanya terjadi antara Sigindo pada tingkatan lapisan di bawah atau antara negeri Sigindo yang berbeda asal. Perselisihan biasanya akan dapat diselesaikan melalui peran Sigindo-Sigindo asalnya. Indilah diantara kekhasan dari pemerintahan Sigindo di Alam Kerinci.

2. Wilayah Sigindo-Sigindo
Dalam pertumbuhannya, sebagaimana kebanyakan pemerintahan negeri-negeri pada masa lalu, ada negeri yang kuat dan berkembang, sebaliknya adapula yang tidak mampu bertahan dan akhirnya tenggelam atau lenyap. Hal tersebut juga berlaku terhadap negeri-negeri Sigindo di Alam Kerinci, dimana tidak semua negeri Sigindo dapat tumbuh menjadi negeri yang makmur dan kuat. Bagi negeri yang tidak mampu berkembang, maka secara alamiah lenyap dengan sendirinya. Bilamana suatu negeri Sigindo tidak dapat bertahan lagi, maka biasanya rakyat negeri tersebut akan memilih bergabung dengan negeri Sigindo lain, yaitu dengan negeri Sigindo yang lebih kuat dan makmur. Kondisi ini merupakan seleksi alamiah yang terjadi terhadap kemapanan dari suatu pemerintahan Sigindo yang tersebar di Alam Kerinci. Sehingga pada akhirnya pemerintahan Sigindo yang bertahan, memang benar-benar pemerintahan Sigindo yang telah terusji kemapanannya.
Dari sekian banyak negeri Sigindo di Alam Kerinci, diantaranya yang sering disebut orang untuk Kerinci Tinggi adalah:
1. Sigindo Batinting (Segerinting atau Keninting) terletak di wilayah Selatan Danau Kerinci. Wilayah ini diduga merupakan lokasi bekas dusun purba Jerangkang Tinggi. Di wilayah ini terdapat beberapa dusun yang dulunya berkembang pesat dan maju.
2. Sigindo Sakti yang lokasinya diperkirakan terletak dibagian timur dusun Lempur. Negeri dalam wilayah tanah Sigindo ini adalah dusun-dusun yang berasal dari dusun purba Tanjung Muara Sekiau.
3. Sigindo Balak wilayahnya memayungi negeri-negeri yang berasa dari bekas dusun pubra Renah Punti. Daerah tanah Sigindo ini diperkirakan disekitar dusun Serampas sekarang.
4. Sigindo Elok Misai yang diperkirakan berada disekitar dusun Jangkat (Muara Maderas). Negeri tanah Sigindo ini berasal dari dusun purba Koto Mutun.
5. Sigindo Bauk diperkirakan berada dekat dusun Tamiai sekarang. Negeri dari tanah Sigindo ini berasa dari dusun purba Muara Sekiau berlokasi di tepi Batang Merangin.
6. Sigindo Teras diperkirakan berlokasi disekitar dusun Pengasi, yang berasal dari dusun purba Jerangkang Tinggi.
7. Sigindo Kumbang diperkirakan berlokasi di daerah Jujun di pinggir Danau Kerinci. Wilayah Sigindo ini berasal dari dusun purba Jerangkang Tinggi.
8. Sigindo Kerau diperkirakan berlokasi di dusun Selemean sekarang. Negeri dibawah tanah Sigindo ini berasal dari dusun purba Koto Jelatang.
9. Sigindo Keramat diperkirakan berlokasi di luar dusun Hiang sekarang. Negeri yang tercakup disini berasal dari dusun purba Koto Jelatang.
10. Sigindo Kecik diperkirakan berlokasi di luar dusun Tanah Kampung sekarang. Negeri yang terlingkup dalam wilayah kekuasaan Sigindo Kecik berasal dari dusun purba Koto Beringin.
11. Sigindo Siung diperkirakan berlokasi di daerah perbukitan di sekitar dusun Kumun sekarang. Negeri yang berada di bawah tanah Sigindo ini beradal dari dusnu purba Talang Betung.
12. Sigindo Panjang Rambut diperkirakan berlokasi di atgas bukit dekat dusun Sungai Liuk sekarang. Negeri yang berada dibawah tanah Sigindo ini berasal dari dusun purba Koto Beringin.
13. Sigindo Merak diperkirakan berlokasi di atas perbukitandekat dusun Tebat Ijuk sekarang. Negeri yang masuk wilayah ini berasal daeri dusun purba Koto Limau Sering.
14. Sigindo Junjung diperkirakan berlokasi di Tanjung Kerbau Jatuh (Sanggaran Agung) sekarang. Negeri yang berada dibawah tanah Sigindo ini berasal dari pemekaran dusun purba Jerangkang Tinggi.
15. Sigindo Siah tanah Sigindo Rawo, tanah Sigindo Batinting dan tanah Sigindo Bujang diperkirakan berlokasi di sekitar dusun Pulau Sangkar sekarang. Negeri yang ini berasal dari dusun purba Jerangkang Tinggi.
16. Sigindo Kuning berlokasi di daerah Pratin Tuo (dusun Tuo). Negeri yang berada di bawah Sigindo ini berasal dari dusun purba Lapai Tuo. Daerah ini disebelah Timur Serampas.
Sedangkan untuk daerah Kerinci Rendah tanah Sigindo yang sering dituturkan adalam perbincangan tetua masyarakat adalah:
1. Sigindo Segilintang berada disekitar daerah Pamenang sekarang. Negeri yang berada dalam lingkup tanah Sigindo ini berasal dari dusun purba Sungai Lintang.
2. Sigindo Timben berada pada daerah sekitar dusun Sungai Manau sekarang. Negeri yang berada dalam lingkup wilayah ini berasal dari dusun purba Timben.
3. Sigindo Pengantung wilayahnya berada pada daerah sekitar Pangkalan Jambu sekarang. Sigindo ini menerintah negeri yang berasal dari dusun purba Pengantung.
4. Sigindo Malgan wilayahnya juga berada pada daerah sekitar Pangkalan Jambu. Negeri yang berada dalam lingkup tanah Sigindo ini berasa dari dusun purba Malgan.
5. Sigindo Simukun wilayahnya berada disekitar Nalo dan Tantan sekarang. Negeri yang berada dalam lingkup wilayah ini beradal dari dusun purba Muaro Simukun.
6. Sigindo Demahu wilayahnya juga berada pada daerah sekitar Nalo dan Tantan sekarang. Seang negeri yang berada dalam lingkup tana seginda oni beradal dari dusun purba Demahu.
7. Sigindo Buluh wilayah berada pada daerah sekitar Nalo dan Tantan. Negeri yang berada dalam lingkup tanah Sigindo ini berasal dari dusun purbah Lubuk Buluh.
Pada masa kejayaannya, keberadaan negeri Sigindo di Alam Kerinci telah menjadi pembicaraan dari banyak kerajaan atau pemerintahan pada waktu itu. Perkembangan ini berpengaruh cukup besar terhadap eksistensi pemerintahan negeri-negeri Sigindo. Kekawatiran akan terjadi perselisihan di antara negeri Sigindo yang disebabkan perebutan pengaruh dari kerajan luar mungkin saja terjadi. Para Sigindo menyadari akan potensi komplik ini, maka untuk itu para Sigindo yang berpengaruh di Alam Kerinci lalu memprakarsai langkah-langkah konsolidasi ke arah persatuan dan kesatuan negeri-negeri Sigindo.
Prakarsa ke arah terbentuknya persatuan ini telah melahirkan Negara Sigindo Alam Kerinci yang bernaung dalam satu payung pemerintahan yang terkoordinasi pdaa tahun 644 M. Pusat pemerintahan kolektif ini berkedudukan di Jerangkang Tinggi sengan Sigindo rumpun kerabat tertua yaitu Sigindo Batinting dari Jerangkang Tinggi dituungai Musi. Kepindahan pusat kerajaan diduga karena posisi Muara Takus sebagai pusat pengendalian kekuasaan kurang strategis bagi perkembangan masa depan kerajaan. Dalam Prasasti Kedukan Bukit tahun 683 M disebutkan mereka pindah denan membawa tentara sebanyak 20.000 orang menggunakan perahun dan 1.312 orang berjalan kaki. Mengendalikan kekuatan besar itu, mereka lalu membangun Kedukan Bukitdiantaranya, negara Sigindo menjalin persahabatan dengan kerajaan tetangga yaitu kerajaan Malayu. Hubungan baik ini telah dibina cukup lama dan kedua belah pihak mendapat manfaat yang saling menguntungkan terutama dalam perniagaan diantara penduduk negeri. Namun h Samwau magalap sidhayatra di saptami cuklapakan
4. Wulan Jyestha dapunta hyang marlepas dari minanga
5. Tamwa (r) mamawa yang wala dua laksa ko
6. Dua ratus saradisamwau dengan jalan gariwu
7. Tlu ratus sapulu dua wanyaknya datang dari matada (nau)
8. Sukhacitta di pancami suklapaksa wula(n) (asada)
9. Laghu mudita datang marwuat wanua
10. Criwijaya jaya siddhayatra subhiksa…

Terjemahan (Mulyana, 1981)
1. Bahagia ! pada tahun saka 605 hari kesebelasan
2. Dari bulan terang bulan waisaka dapunda hyang naik di
3. Perahu melalukan perjalanan. Pada hari ketujuh dari bulan terang
4. Bulan Jyestha dapunta hyang berangkat dari minanga
5. Tamwa (r) membawa tern perdagangan yang dipasok dari negeri-negeri pedalaman Sumatera, termasuk dari negeri-negeri Sigindo. Posisiang di matada (nn Melayu menjadi penting artinya bagi kerajaan Sriwijaya. Oleh sebab itu kerajaan Melayu perlu segera dikuasai agar tidak menjadi batu sandungan di kemudian hari.
Untuk menaklukkan kerajaan Melayu, maka kerajaan Sriwijaya mempersiapkan strategi penyerangan seca menjadi ibukota kerajaan. Lokasi Kedukan Bukit diperkirakan terletak di sungai Musi atau sekitar kota Palembang sekarang.

PRASASTI KEDUKAN BUKIT
1. Swasti Cri Cakawareatita 605 Ekadaci cu
2. Klapaksa wulan waickha dapunta hyang nayik di
3. Samwau magalap sidhayatra di saptami cuklapakan
4. Wulan Jyestha dapunta hyang marlepas dari minanga
5. Tamwa (r) mamawa yang wala dua laksa ko
6. Dua ratus saradisamwau dengan jalan gariwu
7. Tlu ratus sapulu dua wanyaknya datang dari matada (nau)
8. Sukhacitta di pancami suklapaksa wula(n) (asada)
9. Laghu mudita datang marwuat wanua
10. Criwijaya jaya siddhayatra subhiksa…

Terjemahan (Mulyana, 1981)
1. Bahagia ! pada tahun saka 605 hari kesebelasan
2. Dari bulan terang bulan waisaka dapunda hyang naik di
3. Perahu melalukan perjalanan. Pada hari ketujuh dari bulan terang
4. Bulan Jyestha dapunta hyang berangkat dari minanga
5. Tamwa (r) membawa terntara dua laksa orang
6. Dua ratus orang diperahu, yang berjalan seribu
7. Tiga ratus dua belas datang di matada (nau)
8. Dengan senang hati, pada hari kelima bulan terang bulan (Asada)
9. Dengan lega gembira datang membuat wanua….
10. Sriwijaya melakukan perjalanan jaya denga lengkap’
Versi lain dari H. Boedenani (1970: 19-22) mengatakan kerajaan Sriwijaya berasa dari kaki Gunung Dempo di pergunungan Bukit Barisan di tengah pulau Sumatera bagian selatan. Dari sini mereka turun mengikuti aliran sungai Musi dan pada tahun 682 M mereka membuat ibukota di Kedukan Bukit. Kepindahan ini diperkuat oleh prasasti Talang Tuo tahun 684 M yang ditemukan tidak berapa jauh dari Kedukan Bukit. Sebagaimana disebutkan dalam prasasti Kedukan Bukit, dengan kekuatan bala tentara yang besar mereka membangun kerajaan dan kemudian menaklukkan daerah sekitarnya.
Kerajaan Sriwijaya yang berambisi untuk mengukuhkan pengaruh da kekuasaannya atas bumi nusantara terus melakukan ekspansi ke daerah-daerah disekitarnya dengan mengirim pasokan dan armada perang yang tangguh. Salah satu daerah terdekat yang menjadi sasrajaan Melayu, pengaruh kerajaan Sriwijaya juga sampai ke daratan Asia Tenggara, seperti Malaysia (Tanjung Kra), Birma, Kamboja, Annam dan kepulauan Filipina. Daerah-daerah itu sebelumnya berada dibawah pengaruh kekuasaan kerjaan Melayu.
Masih dalam abad ke 7 M ekspansi kerajaan Sriwijaya juga dilakukan ke daerah Selatan dengan menaklukkan kerajaan Tulang Bawang di daerah Lampung. Setelah itu, kerajaan Sriwijaya mengukuhkan pula kekuasaannya ata pulau Bangka (Prasasti Kota Kapur tahun 686 M). Ekspansi tidak terhenti di sini karena diteruskan ke pulau Jawa. Berbarengan dengan ekspansi ke pulau Jawa, kerajaan Sriwijaya ra matang. Persiapan dilakukan mengingat posisi kerajaan Melayu merupakan satu kerajaan terkuat di Sumatera. Setelah segala sesuatu dipersiapkan dengan baik, maka penyerangan lalu dilaksanakan baik melalui darat maupun laut terhadapdaerah-daerah pusat kekuatan kerajaan Melayu. Gempuran yang dilakukan berkali-kali dari berbagai penjur wilayah menyebabkan kerajaan menjadi amat kewalahan. Upaya yang melelahkan dan memakan banyak korban jiwa mapun materi itu, akhirnya membuahkan hasil dengan takluknya kerajaan Melayu. Diperkirakan pada sekitar pertengahan abad ke 6 M kerajaan Sriwijaya dapat menguasai hampir sebagian besar wilayah kerajaan Melayu. Kekalahan kerahaan Melayu telah menempatkan kerajaan Sriwijaya tumbuh dan berkembang dengan cepat. Sama halnya dengan kerajaan Melayu, pengaruh kerajaan Sriwijaya juga sampai ke daratan Asia Tenggara, seperti Malaysia (Tanjung Kra), Birma, Kamboja, Annam dan kepulauan Filipina. Daerah-daerah itu sebelumnya berada dibawah pengaruh kekuasaan kerjaan Melayu.
Masih dalam abad ke 7 M ekspansi kerajaan Sriwijaya juga dilakukan ke daerah Selatan dengan menaklukkan kerajaan Tulang Bawang di daerah Lampung. Setelah itu, kerajaan Sriwijaya mengukuhkan pula kekuasaannya ata pulau Bangka (Prasasti Kota Kapur tahun 686 M). Ekspansi tidak terhenti di sini karena diteruskan ke pulau Jawa. Berbarengan dengan ekspansi ke pulau Jawa, kerajaan Sriwijaya melakukan pula penyerangan ke daerah-daerah pedalaman pulau Sumatera. Salah satu daerah yang menjadi sasaran adalah negara Sigindo Alam Kerinci. Kerajaan Sriwijaya kelihatan sangat berkepentingan terhadap negeri-negeri Sigindo, karena wilayah Alam Kerinci di bawah pemerintahan para Sigindo selama ini diketahui sebagai daerah pemasok berbagai komoditi dagang untuk pasar manca negara.

4. Kerinci Rendah Dikuasai Sriwijaya
(Idris Ja’far, 2003)
Selama terjadi komplit antara kerajaan Sriwijaya dengan kerajaan Melayu pasokan komoditi perdagangan dari daerah Alam Kerinci terasa sangat menurun. Demikian juga setelah kerajaan Sriwijaya menaklukkan kerajaan Melayu arus barang-barang melalui daerah Jambi dan Alam Kerinci volumenya terus berkurang. Menurunnya pasokan komoditi dagang yang berasal dari daerah Alam Kerinci ke jalur perdagangan pantai timur Jambi dikaeranakan negeri-negeri Sigindo telah mulai mengalihkan jalur perdagangan ekspornya ke pelabuhan-pelabuhan pantai Barat Sumatera yang kebetulan lagi berkembang. Perubahan jalur perniagaan ini dilakukan para pedagang negeri Sigindo atas pertimbangan keamanan yang sulit untuk diatasi. Selain itu, kebetulanpula pelabuhan samudra di pantai Barat mulai banyak digunakan armada dagang manca negara dari daratan India dan Asia Tenggara. Perubahan situasi ini memberikan prospek yang cukup baik bagi negeri-negeri disekitar pantai Barat dalam perniagaan, mengingat perairan Selat Malaka semakin tidak kondusif untuk dilayani.
Akan tetapi kerajaan Sriwijaya beranggapan bahwa negeri-negeri Sigindo Alam Kerinci sengaja melakukan pembangkangan. Sebenarnya apa yang dikemukakan kerajaan Sriwijaya hanya merupakan alasan semata. Pada hal sebenarnya kerajaan Sriwijaya berambisi menaklukkan seluruh pemerintahan atau kerajaan-kerajaan yang terdapat disekitarnya. Kecongkakan yang tidak bias dibendung lagi, lalu mereka wujudkan dengan mengerang negeri-negeri Segindo pada wilayah Kerinci Rendah. Daerah ini merupakan wilayah yang dulunya berbatasan langsung dengan kerajaan Melayu.
Untuk menyerang Kerinci, Rendah, kerajaan Sriwijaya mengerahkan kekuatan darat dan armada lautnya. Pasukan darat didatangkan melalui Jambi dan Rawas, sedangkan armada laut didatangkan dengan melewati jalur sungai Batanghari, terus menelusuri sungai Batang Tembesi dan kemudianmasuk ke daerah Kerinci Rendah melalui sungai Batang Merangin. Mengingat perahu-perahu pengangkut pasokan sulit untuk berlayar jauh lebih ke hulu lagi menelusuri Batang Merangin dan Matang Masumai yang dangkal dan berbatu, maka pasokan didaeratkan diujung Muara Mesumai (Bangko). Tempat ini lalu dijadikan sebagai basis penyerangan ke daerah-daerah Kerinci Rendah.
Dari Muara Mesumai seranan pertama dilakukan terhadap tanah Sigindo Sungai Lintang yaitu daerah di sekitar anak Sungai Batang Lintang yang bermuara ke Batang Merangin. Wilayah ini sekarang berapa pada sekitar daerah Kecamtan daerah Sigindo Sungai Lintang dengan mudah dapat dikuasai. Dari sini pasokan melanjutkan penyeranganke daerah tanah Sigindo Timben, Pengantungan, Malgan, Semukun, Lubuk Buluh dan tanah Sigindo Damahu. Penyerangan tahap ke dua mendapat perlawanan yang keras dari rakyat Kerinci Rendah. Namun karena pasukan Sriwijaya dengan kekuatan yang besar dan peralatan perang yang lengkap. Perlawanan rakyat Kerinci Rendah dapat dipatahkan.

5. Prasasti Karang Birahi
Setelah menaklukkan Daerah Kerinci Rendah, pemerintahan Sriwijaya membuat sebuah prasasti yang berupa peringatan kepada daerah pendudukan Sriwijaya untuk selalu tunduk kepada Kerajaan Sriwijaya. Bagi penduduk yang berniat untuk melawan pemerintahan kerajaan Sriwijaya atau penduduk yang melakukan kejahatan akan dikutuk oleh dewa penguasa alam. Prasasti ini dikenal dengan nama Prasasti Karang Birahi. Prasasti Karang Birahi ditemukan di pinggir Sungai Batang Merangin di Dusun Karang Birahi di wilayah Kerinci Rendah tepatnya di Kecamatan Pemenang Kabupaten Merangin sekarang. Tempat prasasti ini berada berjarak lebih kurang 25 km dari Bangko ibukota Kabupaten Merangin. Prasasti ini bertan (7) di dalanan bhumi ajnana kadatuan
10. ini parawis o dhrohaka wanun o samawuddhi la (8) wan
11. drohaka o manBahasa Melayu Kuno yang dipakai tersebut besar dugaaan adalah bahasa Kerinci Kuno, mengingat bahasa Kerinci merupakan bagian dari bahasa Melayu.
Menurut J.G. de Casparis seorang ahli sejarah dan purbakala Belanda yang telah membaca tulisan ini berpendapat bahwa isi dari Prasasti Karang Birahi bermakna permohonan kepada para dewa untuk melindungi kekuasaan Kerajaan Sriwijaya dan menghukum setiap orang yang bermaksud jahat dan durhaka kepada kerajaan, serta melindungi keselamatan orang yang taat dan setia keamwal o saramwat o kasi (13) han o wasika rana
20. iyewamad o janan muah ya siddha o pulan ke yah muah yan dosa (14) na wuatna jaha inan o
21. –
22. –
23. –
24. –
25. –
26. ini gran kadaci iya bhakti tatwarjjawa di
27. yaku o dnan di yan ni (15) galarkuasanyasa datua o
28. santi muah kawuatana o dnan gotra santanaa o
29. samddha (16) swastha o nirogo o nirupadrawa subhiksa
30. muah yan wanuana parawis //

Terjemahan (Sumber Museum Negeri Jambi, 1992) :
1. Tercapailah sudah maksud kita sampai tanda ini, tandrun kayet
2. Yang melakukan pemberontakan, bertemu tanding melawan tandrua-dosa
14. orang yang tabianya jahat, namun apabila mereka berbhakti dan setia kepada mereka yang
15. sudah kuangkat menjabat daujari drohaka o niujari drohaka tahu din
12. drohaka o tida (9) ya marpphadah tidy a bhakti o
13. tatwarjjawa diyaku o dnan di iyan nigalarku ganyasa
14. datua o niwunuh (10) ya sumpah
15. nisuruh tapik ya mulan o parwwandan datu sriwijaya o
16. talu muah ya dnan (11) gora santanana o tathapi
17. sawanakna yan wuatna jaha o maka lanit uran o
18. maka sa (120 kit o maka gila o matragada o wisaprayoga o upah
19. tuwa o tamwal o saramwat o kasi (13) han o wasika rana
20. iyewamad o janan muah ya siddha o pulan ke yah muah yan dosa (14) na wuatna jaha inan o
21. –
22. –
23. –
24. –
25. –
26. ini gran kadaci iya bhakti tatwarjjawa di
27. yaku o dnan di yan ni (15) galarkuasanyasa datua o
28. santi muah kawuatana o dnan gotra santanaa o
29. samddha (16) swastha o nirogo o nirupadrawa subhiksa
30. muah yan wanuana parawis //

Terjemahan (Sumber Museum Negeri Jambi, 1992) :
1. Tercapailah sudah maksud kita sampai tanda ini, tandrun kayet
2. Yang melakukan pemberontakan, bertemu tanding melawan tandrun lua (raja sungai), matilah dia oleh
3. tandrun luah, dibunuhla si pemberontak itu. Jangan terjadi lagi pemberontakan si kayet.
4. itu sudah tenang (padam). Haturkan bhaktimu kepada ku. Itu sudah (menjadikan) tenang. (hai) kamu semua
5. para dewa yang berkuasa dan hadir (disini), yang menjaga kedatuan Sriwijaya. Demikian pula kamu tandrun luah.
6. dan semua dewa yang menjadi asal mula mantra kutukan ini jika orang
7. di dalam seluruh kekuasaanku ada yang memberontak atau yang bersekongkol de-
8. ngan pemberontakkan, berbicara dengan pemberontak. Mendengarkan (rencana) pemberontakan. Mengetahu pemberontakan tidak
9. menghormati dan tidak berbhakti dan setia kepadaku, dan mereka yang sudah kuangkat menjabat datrah dan perkembangan dari satu kaum yang akhirnya membentuk suatu daerah kekuasaan atas kaum tertentu dan untuk wilayah kekuasaan tertentu. Wilayah kekuasaan Sigindo Sigarinting terletak di wilayah Kerinci Tinggi yang berpusat di Jerangkang Tinggi (sekitar daerah Desa Muak sekarang, di pinggir Danau Kerinci).
Sungguhpun telah berhasil menaklukkan negeri Sigindo di daerah Kerinci Rendah dengan susah payah kemudian menguasainya dalam waktu yang cukup lama (lebih dari 3 abad alamnya). Kemudian timbul keinginan untuk menaklukkan seluruh negeri Sigindo Alam Kerinci tidaklah surut. Selama ini wilayah Kerinci Tinggi belum pernah mereka taklukkan karena untuk menyerang daerah tersebut tidak sulit dan harus membelah hutan belantara yang sangat ganas.
Pasukatu, mereka akan mendapat berkah beserta suku dan keluarganya. (Semoga) berhasil
16. (mendapat) kesehatan jauh dari penyakit, jauh dari malapetaka dan (menjadi) makmur seluruh negeri.


6. Sigindo Sigarinting dan Sriwijaya
(Idris Ja’far, 2003)
Wilayah Kerinci Tinggi dikomandoi oleh Sigindo Sigarinting. Pemerintahan Sigindo Sigarinting berlangsung dalam kurun waktu yang cukup lama mulai dari abad ke 6 Masehi sampai dengan terbentuknya Pemerintahaan Depati Empat Alam Kerinci. Pemerintahan Sigindo Sigarinting seperti juga dengan sigindo-sigindo lainnya terlahir dari pertalian darah dan perkembangan dari satu kaum yang akhirnya membentuk suatu daerah kekuasaan atas kaum tertentu dan untuk wilayah kekuasaan tertentu. Wilayah kekuasaan Sigindo Sigarinting terletak di wilayah Kerinci Tinggi yang berpusat di Jerangkang Tinggi (sekitar daerah Desa Muak sekarang, di pinggir Danau Kerinci).
Sungguhpun telah berhasil menaklukkan negeri Sigindo di daerah Kerinci Rendah dengan susah payah kemudian menguasainya dalam waktu yang cukup lama (lebih dari 3 abad alamnya). Kemudian timbul keinginan untuk menaklukkan seluruh negeri Sigindo Alam Kerinci tidaklah surut. Selama ini wilayah Kerinci Tinggi belum pernah mereka taklukkan karena untuk menyerang daerah tersebut tidak sulit dan harus membelah hutan belantara yang sangat ganas.
Pasukan Sriwijaya ingin masuk ke daerah Kerinci Tinggi yang kaya dengan produk perdagangan yang sangat diminati oleh negara luar, disamping itu daerah ini juga merupakan basis kekuasaan pemerintahan negeri-negeri Sigindo. Akan tetapi menyerang Kerinci Tinggi bukanlah hal yang mudah. Pasukan Sriwijaya menyadari bahwa mereka akan dihadapkan dengan tentangan yang lebih berat. Perlawanan dari pasokan dan rakyat negeri-negri Sigindo di Kerinci Tinggi tentu akan lebih sengit. Negeri-negeri Sigindo di Kerinci Tinggi telah siaga menyongsong kedatangan mereka. Selain itu, pasukan Sriwijaya menyadari pula bahwa mereka akan berhadapaan dengan kondisi alamangat membara dari pasukan negeri Sigindo beserta rakyat disekitarnya dalam menghadapi pasukan Sriwijaya menyebabkan pasukan Sriwijaya dapat dipumpas. Tak seorangpun dibiarkan meloloskan diri, semuanya mati dalam pertempuran. Sebagai peringatan atas kejadian tersebut, maka tempat dimana berlangsungnya pertempuran sengit itu, lalu diberi nama dengan Telaga Darah. Walaupun peristiwa peperangan terjadi ratusan tahun yang silam, namun sampai kini lokasi Telaga Darah di Bukit Melegan selalu dikenang rakyat Kerinci sebagai tempat kemenangan pasukan Sigindo atas pasukan Kerajaan Sriwijaya.
Berita kekalahan pasukan Sriwijaya di Kerinci Tinggi, kemudian diterima induk pasukan yang bermarkas di Kerinci Rendah. Sudah barang tentu hal ini amat menyakitkan, karena tnan tertinggi Negara Sigindo Alam Kerinci. Koordinasi dilakukan para pemimpin negeri Sigindo di seluruh Kerinci Tinggi untuk menghadapi kedatangan pasukan Sriwijaya yang akan menduduki daerah Kerinci Tinggi.
Setelah segala sesuatu dipersiapkan mulai dari perbekalan, taktik dan strategi perang, maka pasukan negeri-negeri Sigindo lalu diberangkatkan untuk menghadang musuh. Pada suatu tempat di Bukit Malegan dekat dusun Pulau Sangkar sekarang, kedua pasukan bertemu dan terjadilah pertempuran sengit. Pasukan Sriwijaya karena tidak menguasai medan perang dan telah lelah melawan keganasan alam dengan mudah dapat diporak-porandakan. Semangat membara dari pasukan negeri Sigindo beserta rakyat disekitarnya dalam menghadapi pasukan Sriwijaya menyebabkan pasukan Sriwijaya dapat dipumpas. Tak seorangpun dibiarkan meloloskan diri, semuanya mati dalam pertempuran. Sebagai peringatan atas kejadian tersebut, maka tempat dimana berlangsungnya pertempuran sengit itu, lalu diberi nama dengan Telaga Darah. Walaupun peristiwa peperangan terjadi ratusan tahun yang silam, namun sampai kini lokasi Telaga Darah di Bukit Melegan selalu dikenang rakyat Kerinci sebagai tempat kemenangan pasukan Sigindo atas pasukan Kerajaan Sriwijaya.
Berita kekalahan pasukan Sriwijaya di Kerinci Tinggi, kemudian diterima induk pasukan yang bermarkas di Kerinci Rendah. Sudah barang tentu hal ini amat menyakitkan, karena tidak seorangpun di antara mereka yang dapat kembali. Kekalahan di Telaga Darah merupakan tamparan yang amat berat bagi kelanjutan ekspedisi pasukan Sriwijaya. Akhirnya, mereka lau mengurungkan niatnya untuk menyerang kembali Kerinci Tinggi. Keputusan diambil atas pertimbangan medan yang sangat berat di wilayah Kerinci Tinggi dan kekuatan pasukan Sigindo Sigarinting dan sigindo-sigindo lain yang telah bersatu berjuang mempertahankan wilayah Kerinci Tinggi tida bisa diremehkan.
Sungguhpun keinginan menyerang daerah Kerinci Tinggi tidak dilanjutkan, akan tetapi pendudukan atas wilayah Kerinci Rendah tetap dipertahankan. Kerajaan Sriwijaya sangat berkepentingan terhadap Kerinci Rendah, karena daerah ini sangat potensial dalam pertambangan emas. Dalam mengukuhkaajaan Sriwijaya, daerah Kerinci Tinggi tidak pernah dapat ditundukkan, sehingga daerah Kerinci Tinggi adalah satu-satunya wilayah di Sumatera yang tidak pernah takluk oleh kerajaan Sriwijaya (sampai abad ke 9 Masehi, Kerajaan Sriwijaya berakhir). Semenjak itu Kerinci Tinggi secara turun temurun diperintah oleh siapa saja yang diangkat oleh masyarakat adat untuk silih berganti menyandang gelar Sigindo Sigarinting sampai pada abad ke 13 Masehi.
7. Sigindo Sigarinting & Tuanku Siah Rao
(Abad ke 13 Masehi)
Tuanku Siah Rao adalah salah seorang keluarga Kerajaan Malayu di Pagarruyung yang pergi mengasingkan diri dan. Prasasti sengaja ditempatkan di sini karena dusun Karang Birahi merupakan tempat persinggahan orang-orang yang keluar masuk Kerinci Renluarga dan pengawal lainnya dari Negeri Selampaung sebagai teman dalam perjalanan.
Beliau ini mempunyai semangat juang dan kekuatan batin yang sangat kuat sehingga dapat memenangkan setiap pertempuran di perjalanan, sehingga akhirnya sampai di suatu daerah yang disebut Jerangkang Tinggi. Di Jerangkang Tinggi terdapat tiga orang penguasa yang cukup disegani, yakni:
1. Kerenggo Bungkuk.
2. Lemutung Hitam
3. Tebun Tandang
Dalam perebutan kekuasaan terjadilah perkelahian yang sangat sengit. Alhasil adalam perkalian ini ”meninting-balui”, artinya tidak ada yang kalah dan yang menang, sehingga akhirnya diadakan perundingan damai dengan cara: menyabung ayam. Setelah taji dibuang timbal-balik ayam telah dilepas berlaga dengan sengitnya. Masing-maisng menghimbau tuah. Tuanku Siah Rao menghimbau tuah sambil menghentakkan tongkatnya yang mana diujung tongkatnya tersebut berisi tanah dari Pagarruyung.
Tuah dihimbau: ”Kalau tidak ujung tanah Pagarruyung Hitam, diberi wilayah kekuasaan tetap di Jerangkang Tinggi (Muak) dan bergelar Rio.
3. Tebun Tandang, diberi wilayah kekuasaan berdampingan dengan wilayah Pulau Sangkar yaitu Dusun Pondok dan diberi gelar Mangku.
4. Sedangkan orang-orang yang ikut ben mencari wilayah baru karena adanya perselisihan keluarga dalam kerajaan Pagarruyung, beliau berangkat dengan beberapa orang anggota keluarga dan pengawal lainnya dari Negeri Selampaung sebagai teman dalam perjalanan.
Beliau ini mempunyai semangat juang dan kekuatan batin yang sangat kuat sehingga dapat memenangkan setiap pertempuran di perjalanan, sehingga akhirnya sampai di suatu daerah yang disebut Jerangkang Tinggi. Di Jerangkang Tinggi terdapat tiga orang penguasa yang cukup disegani, yakni:
1. Kerenggo Bungkuk.
2. Lemutung Hitam
3. Tebun Tandang
Dalam perebutan kekuasaan terjadilah perkelahian yang sangat sengit. Alhasil adalam perkalian ini ”meninting-balui”, artinya tidak ada yang kalah dan yang menang, sehingga akhirnya diadakan perundingan damai dengan cara: menyabung ayam. Setelah taji dibuang timbal-balik ayam telah dilepas berlaga dengan sengitnya. Masing-maisng menghimbau tuah. Tuanku Siah Rao menghimbau tuah sambil menghentakkan tongkatnya yang mana diujung tongkatnya tersebut berisi tanah dari Pagarruyung.
Tuah dihimbau: ”Kalau tidak ujung tanah Pagarruyung tentang ini kalahlah saya, kalau ada ujung tanah Pagarruyung tentang ini, maka menanglah saya”. Pertandingan akhinya Tuanku Siah Rao memenangkan pertandingan. Setelah menang beliau diangkat secara adat menguasai wilayah Sigindo Segerinting dan namun masyarakatnya juga memanggil beliau dengan gelar Sigindo Batinting. Batinting dalam bahasa Kerinci Kuno berarti seseorang yang tahan tinting, tahan terhadap pukulan, tahan terhadap bantingan dan segala senjata tajam dalam perkelahian tiga lawan satu ketika melawan penguasa di sekitar Jerangkang tinggi yaitu Kerenggo Bungkuk, Lemutung Hitam dan Tebun Tandang.
Semenjak itu Sigindo Batinting mengatur Pemerintahan di wilayah Kerinci Tinggi (wilayah Sigindo Sigarinting). Karena Jerangkang Tinggi terletak di atas bukit (dekat desa Muak dan Pondok sekarang), transportasi untuk mengatur pemerintahan cukup sulit karena sebagian dusun dan permukiman penduduk berada dipinggir sungai dan danau. Oleh sebab itu beliau memindahkan pusat pemerintahaan ke daerah pinggiran sungai yang strategis yaitu di atas sebuah pulau dipinggir Batang Merangin. Tempat ini beliau beri nama ”Pulau Sangkar”, demi untuk mendekatkan nama dengan daerah yang ditinggal beliau yaitu Batu Sangkar. Orang-orang yang telah kalah dalam pertandingan diangkat menjdai sabahat yang menguasai wilayah tertentu.
1. Karenggo Bungkuk, diberi kekuasaan untuk memerintah dan menguasai daerah Lubuk Paku dan diberi gelar Menggung.
2. Lemutung Hitam, diberi wilayah kekuasaan tetap di Jerangkang Tinggi (Muak) dan bergelar Rio.
3. Tebun Tandang, diberi wilayah kekuasaan berdampingan dengan wilayah Pulau Sangkar yaitu Dusun Pondok dan diberi gelar Mangku.
4. Sedangkan orang-orang yang ikut bersama beliau dari Selampaung Pagarruyung dianggap sebagai keluarga sendidi diberi kekuasaan disatu wilayah di daerah selatan pusat pemerintahan dengan nama yang sama dengan daerah yang ditinggalkan yaitu Dusun Selampaung.
Dengan adanya pembagian wilayah kekuasaan tersebut maka Sigindo Batinting memerintah dengan aman, setiap penguasa wilayah yang ditunjuk tunduk pada pemerintahan Pulau Sangkar dan selalu melaporkan setiap perkembangan pada Sigindo Batinting.


8. Restrukturisasi Kerinci Rendah
(Idris Ja’far, 2003)
Lama kondisi di daerah Kerinci Rendah sepeninggalan kerajaan Sriwijaya berada dalam keadaan tidak menentu. Akhirnya secara alamiah dan perlahan-lahan kondisi masyarakat berangsur baik. Rakyat sudah dapat membenahi dan membangun negeri tempat tinggal. Situasi yang mulai kondusif memberikan kesempatan untuk menata kehidupan kembali secara lebih baik. Para cerdik pandai dan tokoh masyarakat mulai memikirkan upaya ke arah pengembangan negeri dan rakyatnya. Pemerintahan Negara Sigindo di Alam di Kerinci Tinggi dalam hal ini tidak mau ikut mencampuri urusan negeri-negeri Kerinci Rendah walaupun sebelumnya daerah Kerinci Rendah berada dalam suatu kesatuan pemerintahan. Raykat Kerinci Rendah diberikan kebebasan sepenuhnya dalam menata dan menentukan sendiri apa yang sebaiknya mereka lakukan. Sikap ini diambil mengingat negeri –negeri Kerinci Rendah sudah sangat lama lepas dari kesatuan Negara Sigindo Alam Kerinci. Rakyat Kerinci Rendah bisa menentukan peilihannya sendiri, apakah ingin membentuk pemerintahan sendiri atau bergabung kembali dalam kesatuan Negara Sigindo Alam Kerinci dengan menghidupkan kembali pemerintahan Sigindo di Kerinci Rendah.
Dalam arah yang masih tidak jelas, negeri-negeri di Kerinci Rendah secara perlahan-lahan mulai melakukan berbagai upaya untuk meroposisi ulang tata pemerintahan negeri tanpa terpengaruh oleh berbagai kemungkinan pilihan yang mungkin saja bisa terjadi di kemudian hari. Namun gambaran sistem pemerintahan negeri pada masa lalu yang pernah ada tetap menjadi bahan pertimbangan utama. Langkah awal yang dilakukan banyak negeri adalah menyatukan kelompok-kelompok kekerabatan satu keturunan darah (genealogisch) yang telah terpecah-pecah ke dalam suatu himpunan territorial genealogisch tertentu. Faktor kekerabatan genealogisch semasa kekuasaan Sriwijaya telah diabaikan, karena masyarakat digiring dalam bentuk kelompok teritorial saja. Pada hal faktor genealogisch merupakan perekat persatuan rakyat di Alam Kerinci, dan melalui hirarki genealogisch pula pemerintahan Sigindo dibangun. Untuk itu di banyak negeri di Kerinci Rendah persekutuan kekerabatan ditata kemba.
Dalam suasana pengembangan integritas kehidupan masyarakat, diceitakan bahwa pada waktu itu menetap pula di Kerinci Rendah seorang 8DAS) Batang Pangkalan Jambi dan DAS Batang Seringat yang keduanya bermuara memasuki DAS Batang Masumai berdiam banyak penduduk yang berasal dari dusun purba Timben, Pengantungan dan Malagan. Pada wilayah ini lalu berkembang menjadi banyak kampung. Selanjutnya di daerah ini kemudian terbentuk persekutuan masyarakat adat Alam Pangkalan Jambu. Persekutan masyarakat ini dipimpin oleh seorang yang bergelar pemangku.
Demikian pula halnya di sepanjang DAS Masumai dan anak-anak sungainya terdapat beberapa kampun dii Lubuk Gaung bersama istrinya. Karenggo Bungkuk Timpang Dado berperan banyak dalam penataan pemerintahan negeri pada masa itu. Mereka mempunyai tiga anak laki-laki kembar, diberi nama Setio Nyato, Setio Rajo dan Setio Beti. Setelah tumbuh dewasa lalu Setio Nyato kawin dengan gadis di Tanah Renah, Setio Rajo kawin dengan gadis di Lubuk Gaung, dan Setio Beti kawin dengan gadis di Nalo. Berkat didikan orang tuanya ketiganya juga menguasai bidang pemerintahan dan adat. Sebagai anak batino mereka kemudian lalu diangkat menjadi pemuka adat. Ketiganya juga mempunyai peran yang besar dalam penataan pemerintahan negeri di Kerinci Rendah.
Pembenahan tata pemerintahan negeri dilakukan mengacu pada kenyataan bahwa pertumbuhan negeri berlangsung tidak merata. Ada negeri yang makumr dan penduduknya semakin banyak, sebaliknya banyak pula negeri yang tidak berkembang. Untuk itu kampuari Pulau Saalih ketatanegaraan adat bernama Karenggo Bungkuk Timpang Dado yang berasal dari Pulau Sangkar. Menurut penuturan orang adat Kerinci Rendah dia datang dari Jambi setelah memenuhi panggilan raja Jambi. Kecerdasan dan kepribadiannya yang baik telah menimbulkan simpati dari Raja Jambi pada waktu itu. Lalu raja menikahkan dengan anak angkatnya bernama Puti Lelo Beruji. Ketika pulang dari Jambi Keranggo Bungkuk singgah di Kerinci Rendah dan kemudian dimunta untuk tinggal di sana. Dia tidak keberatan dan akhirnya menetap di Lubuk Gaung bersama istrinya. Karenggo Bungkuk Timpang Dado berperan banyak dalam penataan pemerintahan negeri pada masa itu. Mereka mempunyai tiga anak laki-laki kembar, diberi nama Setio Nyato, Setio Rajo dan Setio Beti. Setelah tumbuh dewasa lalu Setio Nyato kawin dengan gadis di Tanah Renah, Setio Rajo kawin dengan gadis di Lubuk Gaung, dan Setio Beti kawin dengan gadis di Nalo. Berkat didikan orang tuanya ketiganya juga menguasai bidang pemerintahan dan adat. Sebagai anak batino mereka kemudian lalu diangkat menjadi pemuka adat. Ketiganya juga mempunyai peran yang besar dalam penataan pemerintahan negeri di Kerinci Rendah.
Pembenahan tata pemerintahan negeri dilakukan mengacu pada kenyataan bahwa pertumbuhan negeri berlangsung tidak merata. Ada negeri yang makumr dan penduduknya semakin banyak, sebaliknya banyak pula negeri yang tidak berkembang. Untuk itu kampung yang berkembang perlu dinaikkan statusnya menjadi dusun, sedangkan kampung yang tidak berkembang diintegrasikan dengan dusun yang berkembang. Pada sisi lain kedudukan orang adat statusnya diperkuat, dan fungsinya diperjelas.
Penataan negeri pada tanah Pemangku Pangkalan Jambu dengan merubah status kampung menjadi dusun dan mengintegrasikan beberapa kampung ke dalam dusun induk.
Pada Tanah Pemangku Masumai dengan kondisi perkembangan negeri yang lebih baik, maka kampung yang terdapat disini statusnya sudah dapat disamakan dengan dusun. Adapun dusun yang berada dalam naungan Tanah Pemangku Alam Masumai.
Pembenahan berlangsung pula pada negeri yang terletak di sepanjang DAS Merangin dalam wilayah Kerinci Rendah yaitu di sekitar daerah Pulau Rengas dan Pemenang. Dalam perkembangannya kampung-kampung yang terletak disekitar kedua daerah tersebut berhasil tumbuh menjadi dusun. Dusun-dusun tersebut lalu membuat payung pemerintahan sebagaimana yang terjadi pada wilayah negeri Masumai, Pangkalan Jambu dan Tantan. Untuk dusun-dusung di sekitar negeri Pulau Rengas mereka menamakannya daerah Pamuncak Pulau Rengas dan berpusat di Pulau Rengas. Dusun yang berada dalam wilayah negeri Pamuncah Pulau Rengas antara lain: Biuku Tanjung, Kunkai, Bangko Rendah, Bangko Tinggi dan Dusun Mudo. Daerah ini juga seing disebkemudian luluh dalam kelompok masyarakat Kerinci Rendah. Sungguhpun percampuran ini tidak ngkar dan Lunang.
Untuk dusun-dusun di sekitar negeri Pemenang yang penduduknya berasal dari negeri Pemerab di Sungai Tenang mereka menamakannya dengan daerah Pemerap – Pemenang, mengambil nama negeri asalnya.

9. Kerinci dan Migrasi dari Minangkabau
Dalam perkembangan selanjutnya, pada sekitar tahun 1343 Masehi daerah Kerinci Rendah pernah pula kedatangan migrasi dari Minangkabau. Mereka datang secara berkelompok dan umumnya terdiri dari kaum laki-laki. Mereka meninggalkan negerinya kerena tidak sudi dijajah, serta tidak menyukai pemerintahan Adityawarman dan pemindahan pusat kerajaan dari Siguntur dekat Sijunjung ke Pagarruyung. Kedatangan mereka di Kerinci Rendah tidak lain hanya untuk mencari tempat kehidupan baru dalam suasana bebas dari perasaan dijajah. Mereka datang dengan memegang prinsip sesuai dengan pepatah adat: dimana batang terguling disana cendawan tumbuh, dimana tanah dipijak disana langit dijunjung, dimana negeri dihuni disana adat dipakai.
Daerah yang didatangi para migrasi dari Minangkabau diantaranya, Nibung, Pangkalan Jambu, Saringat dan Ulu Tabir. Setelah itu, mereka lalu menyebar ke kampung yang terdapat disekelilingnya. Dalam perkembangannya, para migran ini berasimilasi dan bergabung dengan penduduk asli. Orang Minangkabau yang minoritas kemudian luluh dalam kelompok masyarakat Kerinci Rendah. Sungguhpun percampuran ini tidak membawa pengaruh terhadap adat istiadat setempat, namun dampak sosio kultural cukup positif terhadap kemajuan dan dinamika kehidupan masyarakat.

10. Melayu dan Kerinci: Naskah Melayu Tertua
(Uli Kozok, 2006)
Menyembah dan menghormati arwah lelu¬hur merupakan unsur terpenting dalam keper¬cayaan tradisional Indonesia. Tradisi tersebut tidak begitu saja hilang dengan masuknya agama baru seperti Islam atau Kristen, melainkan unsur tradisional sering dipadukan dengan agama baru sehingga terjadi sinkre¬tisme (berpadunya dua budaya agama). Keba¬nyakan masyarakat Indonesia sekarang meng¬anut agama Islam sehingga arwah leluhur tidak lagi disembah – hal mana bertentangan dengan agama Islam – tetapi masih tetap di¬hormati. Arwah leluhur dianggap dapat melin¬dungi dan memberkati keturunannya sehingga upacara yang berkaitan dengan penguburan yang dilakukan oleh kebanyakan orang Indo¬nesia lebih daripada sekedar memenuhi kewa¬jiban menurut agama Islam. Benda-benda yang pernah dimiliki oleh seorang leluhur sering dianggap sakral dan disimpan sebagai pusaka. Hal ini terutama penting bagi kaum elit tradisional seperti para depati di Kerinci. Pusaka Kerinci lazim dilihat sebagai wujud nyata kebesaran nenek moyang dan menjadi bukti basuk di dalam koleksi pusaka, dan tidak ada koleksi pusaka yang terdiri dari naskah meluka. Sebagapusaka yang disimpan sangat beragam. Seba¬gian pusaka menjadi bukti kekuasaan para leluhur seperti panji-panji, tombak, keris, dan perisai sementara pusaka lain melambangkan kekayaan dan wibawa leluhur seperti keramik antik, kain, atau naskah Alquran. Di samping itu termasuk beragam azimat dan malahan juga benda yang relatif modern, seperti kli¬ping dari surat kabar berbahasa Perancis, atau sebuah baju kaos dengan tulisan bahasa Inggris.
Kalau memang demikian mengapa naskah Tanjung Tanah dapat bertahan selama hampir tujuh ratus tahun di sebuah kampung kecil di pedalaman Sumatra?
Sebagaimana sudah disebut di atas, barang pusaka Kerinci selalu disimpan di loteng rumah, dan jarang sekali diturunkan. Penyim-panannya juga tidak sembarangan melainkan dilakukan dengan sangat seksama. Semua ba- rang pusaka pada umumnya dibalut dengan kain dan disimpan un jarang diturunkan sehingga terlindung dari si¬nar matahari, dan hanya dipamerkan pada acara penguburan ketua adat (Kahlenberg, 2003:86).
Masyarakat Kerinci sampai sekarang masih teguh berpegangan pada adat leluhur mereka dan benda-benda pusaka dianggap memiliki nilai yang luar biasa yang dapat melindungi mereka dari ancaman bahaya. Bila ada benda pusaka yang hilang akibatnya bisa fatal bukan saja untuk pemiliknya tetapi untuk seluruh masyarakatnya. Oleh sebab itulah maka sam¬pai sekarang maslu. Jenis pusaka yang disimpan sangat beragam. Seba¬gian pusaka menjadi bukti kekuasaan para leluhur seperti panji-panji, tombak, keris, dan perisai sementara pusaka lain melambangkan kekayaan dan wibawa leluhur seperti keramik antik, kain, atau naskah Alquran. Di samping itu termasuk beragam azimat dan malahan juga benda yang relatif modern, seperti kli¬ping dari surat kabar berbahasa Perancis, atau sebuah baju kaos dengan tulisan bahasa Inggris.
Kalau memang demikian mengapa naskah Tanjung Tanah dapat bertahan selama hampir tujuh ratus tahun di sebuah kampung kecil di pedalaman Sumatra?
Sebagaimana sudah disebut di atas, barang pusaka Kerinci selalu disimpan di loteng rumah, dan jarang sekali diturunkan. Penyim-panannya juga tidak sembarangan melainkan dilakukan dengan sangat seksama. Semua ba- rang pusaka pada umumnya dibalut dengan kain dan disimpan di sebuah peti kayu yang sangat kokoh. Bila disimpan dengan cara itu maka pusaka itu terlindung dari sinar matahari yang bersifat merusak. Pusaka yang dibalut kain dan disimpan dalam peti juga terlindungdari perubahan suhu secara mendadak yang juga bersifat merusak. Memang suhu di siang hari menjadi sangat panas di loteng rumah, akan tetapi suhu panas sendiri sifatnya tidak begitu merusak dibandingkan perubahan suhu yang terjadi secara mendadak. Faktor yang paling mendukung dari segi pelestarian ialah bahwa kelembaban udara di loteng relatif rendah. Selama atap tidak bocor barang pusaka yang disimpan di loteng dapat saja bertahan untuk sangat lama. Selain itu keada¬an alam Kerinci juga mendukung. Hawa di Kerinci sebetulnya tidak patut disebut sebagai iklim tropis karena letaknya Kerinci di pegunungan. Tanjung Tanah terletak 800m di atas permukaan laut dengan suhu tertinggi di siang hari sekitar rata-rata 27 derajat dan suhu terendah di malam hari rata-rata 20 derajat. Dibandingkan dengan daerah pesisir curah hujan juga lebih rendah.
Bila kita tanya mengapa pusaka disimpan di loteng maka jawabannya karena lotenglah tempat yang paling terhormat di rumah, dan juga karena alasan keamanan. Akan tetapi da - pat kita duga bahwa sebetulnya sudah ada pengetahuan tentang tempat mana yang paling sesuai dari segi pelestarian. Soalnya bukan di Kerinci saja pusaka disimpan di loteng. Pusaka di Kerinci itu pun jarang diturunkan sehingga terlindung dari si¬nar matahari, dan hanya dipamerkan pada acara penguburan ketua adat (Kahlenberg, 2003:86).
Masyarakat Kerinci sampai sekarang masih teguh berpegangan pada adat leluhur mereka dan benda-benda pusaka dianggap memiliki nilai yang luar biasa yang dapat melindungi mereka dari ancaman bahaya. Bila ada benda pusaka yang hilang akibatnya bisa fatal bukan saja untuk pemil jelas kuno digu¬nakan dalam kitab undang-undang Tanjung Tanah (no. 160) serta daih banyak pusaka di Kerinci yang selama berabad-abad tersimpan dengan aman.
Selain faktor mendukung yang sudah disebut di atas masih ada faktor lain yang barang¬kali tidak kalah penting. Naskah Tanjung Tanah ditulis di daluang, dan kertas kulit kayu itu dapat bertahan lama asal tidak dibubuhi kanji. Jika naskah daluang tidak diolesi kanji maka naskah itu memiliki sifat pelestarian yang sangat mendukung dan dapat bertahan selama ratusan tahun (Dr. Tim Behrend, korespondensi pribadi, 24 Desember 2003).

Aksara dan Media Tulis
Di dalam karya Tambo Kerintji Voorhoeve memuat transliterasi 261 naskah. Tiga naskah di antaranya, yaitu nomor 259, 260, dan 261, pada saat itu disimpan di Museum Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (cikal bakal Museum Nasio¬nal), dan kini tersimpan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Ke-258 naskah yang lain berasal dari 83 koleksi naskah/pusa¬ka di Kerinci. Hampir semua naskah Kerinci ditulis pada lima jenis media, yakni bambu, kulit kayu, daun lontar, tanduk, dan kertas dengan meng - gunakan tiga jenis aksara, yaitu surat incung, jawi, dan sejenis aksara yang oleh Voorhoeve disebut “Jawa Kuno”.
Empat naskah ditulis pada media yang tidak lazim ditemukan di Kerinci, yaitu nas¬kah Tanjung Tanah yang ditulis di daluang (TK 214), silsilah depati Saliman yang ditulis di tulang (TK 119), sebuah teks berhuruf jawi yang ditulis dengan tinta di kulit (TK 178), dan sebuah teks yang sangat pendek, dan tidak jelas isinya, yang ditulis di “tapak gajah” (TK 191). Tapak Gajah (Merremia [= Convolvulus] nymphaeifolia Hall.f.) merupakan sebuah tumbuhan yang digunakan sebagai obat, tetapi tidak jelas bagaimana “tapak gajah” tersebut dapat digunakan sebagai media tulis. Sayang naskah tersebut belum sempat dilihat oleh penulis. Daluang merupa¬kan media tulis yang lazim dipakai di Jawa dan Madura, sementara naskah tulang sering ditemukan di daerah Batak, tetapi kulit (apa¬kah itu kulit lembu, kambing atau kerbau tidak disebut) sangat jarang digunakan sebagai bahan tulis.
Aksara yang paling lazim digunakan ada¬lah surat incung serta jawi. Naskah lontar dan daluang ditulis dengan aksara “Jawa Lama”. Akan tetapi, pada sebuah artikel yang ditulis Voorhoeve di kemudian hari beliau sempat meralat asumsi tersebut:
“Ternyata saya salah dalam menyebut se¬mua naskah beraksara Jawa di Kerinci seba¬gai Jawa Kuna. Schrieke telah mencatat di tahun 1929 bahwa aksara Jawa yang digu¬nakan di Kerinci terdiri atas duajenis aksara yang berbeda. Aksara yangakan huruf jawi, melainkan memakai aksara pasca-Palawa yang masih serumpun degan aksara lam naskah yang berasal dari Hiang (no. 136). Kedua-duanya jelas dari zaman pra-Islam, dan aksara yang digunakan barangkali merupakan aksara yang berdiri di antara tulisan Jawa Kuna dan aksara rèncong.” (Voorhoeve, 1970)
Voorhoeve ternyata mengikuti kebiasaan pada masa itu yang cenderung menganggap semua aksara yang mirip dengan aksara Jawa Kuna sebagai aksara Jawa terlepas dari tempat asalnya. Akan tetapi menurut De Casparis terdapat kemungkinan bahwa aksara Jawa Kuna sebetulnya berasal dari Sumatra karena sebagian besar prasasti-prasasti yang tertua di¬temukan di Sumatra. Oleh karena sebab itu, dan karena kaitan antara aksara Jawa Kuna dengan aksara Sumatra Lama belum diketahui dengan sempurna, maka De Casparis (1975:57) memilih istilah aksara Malayu, yang khususnya ia gunakan untuk aksara pasca-Palawa yang terdapat di prasasti¬prasasti Adityawarman.
Dalam artikel yang dikutip di atas, Voorhoeve juga mengakui bahwa beberapa naskah yang semula ia sebut sebagai Jawa Kuna ternyata lebih muda:
“Surat lontar yang dikirim oleh pihak istana Jambi kepada para depati di Kerinci meru¬pakan contoh yang sangatjarang ditemukan. Surat tersebut ditulis pada daun lontar yang dipotong sehingga menjadi panjang tetapi kecil bidangnya. Ketika masih lentur daun lontar tersebut digulung dan ditutup dengan sebuah cap yang terbuat dari tanah liat. [...] DR. Poerbatjaraka berhasil untuk membaca beberapa kalimat yang ditulis dengan aksara Jawa dalam bahasa Jawa campur bahasa Melayu. [...] Menurut DR. Th. Pigeaud ak¬sara tersebut berasal dari sekitar abad ke-1 8 atau sesudahnya. Piagam yang berhuruf jawi juga ditulis dalam periode yang sama.” (Voorhoeve, 1970:388-389)
Voorhoeve tidak menyebut naskah lontar mana yang dimaksud, tetapi agaknya ia meru¬juk pada naskah TK 217-222: "Enam helai surat bertulisan Jawa Lama pada daun lontar, ada yang berbahasa Melayu ada yang berba¬hasa Jawa. Salinannya belum siap (lagi diperiksa oleh tuan Dr. Poerbatjarakan [sic] di Batawi)” .
Sebagaimana tampak dari tabel di atas (yang tidak termasuk naskah Tanjung Tanah) terdapat persesuaian yang nyata antara aksara dan media tulis. Semua nakah bambu dan hampir semua naskah tanduk menggunakan surat incung sementara kebanyakan naskah kulit kayu dan kertas berhuruf jawi, dan nas - kah lontar umumnya beraksara Jawa.
Korelasi antara media dan teks juga men ja¬di ciri-ciri khas dalam tradisi pernaskahan Batak (Kozok, 2000a) dan persesuaian terse-but ternyata bukan kebetulan.

Naskah Tanjung Tanah
Benda dengan kitab undang-undang lainnya, naskah Tanjung Tanah tidak ditulis dengan menggunrbahasa Melayu menyebut bahwa undang-undang disusun atas perintah maharaja Dharmasraya, Jawa Kuna. Aksaranya masih belum diteliti dengan sempurna, tetapi untuk sementara dapat disimpulkan bahwa aksara yang paling mirip adalah aksara yang diguna¬kan pada prasasti-prasasti Adityawarman yang bertuliskan aksara Malayu – istilah tersebut merupakan ciptaan De Casparis. Naskah Tanjung Tanah juga berbeda karena tidak ditulis pada kertas melainkan pada kertas daluang sementara naskah Melayu yang hing¬ga kini diketahui hampir semuanya menggu¬nakan kertas, baik kertas Arab maupun kertas Eropa.
Pada umumnya teks undang-undang menunjukkan pengaruh Islam, dan hampir selalu dibuka dengan formula Bismillahi ar-¬Rahmani ar-Rahim sedangkan naskah Tanjung Tanah dimulai dengan beberapa kalimat berbahasa Sansekerta yang juga mencantum¬kan tahun penulisan yang sayang sekali tidak terbaca. Naskah Tanjung Tanah juga ditutup dengan beberapa kalimat berbahasa Sansekerta yang menyebut nama raja, ialah Paduka Ari Maharaja Dharmasraya, dan juga bahwa kitab undang-undang dimaksud untuk seluruh tanah Kerinci (saisi bumi Kurinci).
Selain bahasa Sansekerta yang terbatas pada awal dan akhir, naskah Tanjung Tanah seluruhnya ditulis dalam bahasa Melayu. Mengingat teksnya berasal dari abad ke-14 maka bahasa yang digunakan sudah jauh berbeda dengan bahasa Melayu sekarang, dan hanya sebagian yang dapat dimengerti oleh seorang penutur bahasa Melayu zaman kini karena selama masa 600 tahun tentulah bahasa Melayu mengalami perubahan baik dari segi kosa kata maupun dari sintaks kalimat. Sifat kekunoan juga tam¬pak pada bentuk mamunuh (membunuh) yang konsonan awal luluh bila ditambah awalan mem-. Kekunoan bahasa juga nyata pada bilangan 8 yang ditulis dua lapan.


Isi Naskah Tanjung Tanah
Naskah Tanjung Tanah telah diterjemah¬kan dalam sebuah upaya terpadu sejumlah pakar bahasa Melayu, bahasa Sansekerta , dan bahasa Jawa Kuna yang berkumpul di kampus Universitas Indonesia pada tanggal 12-18 Desember 2004 dalam rangka lokakarya yang diadakan oleh Yayasan Naskah Nusantara.
Bagian teks yang berbahasa Sansekerta diterjemahkan oleh I Kuntara Wiryamartana dan Thomas Hunter. Disebut bahwa naskah ini merupakan “anugerah titah Sanghyang Kemitan kepada penguasa di Bumi Kerinci” dengan peringatan agar penduduknya ”jangan tidak taat kepada dipatinya masing-masing.” Tidak diketahui siapa yang dimaksud dengan Sanghyang Kemitan, namun tampaknya bahwa yang dimaksud dengan gelar tersebut adalah raja Malayu yang dianggap sebagai inkarnasi (penjelmaan) dari dewa. Kata pembukaan dalam bahasa Sansekerta sangat pendek, dan disusul teks undang-undang yang berbahasa Melayu yang isinya diuraikan di bawah.
Alinea terakhir teks beh Minangkabau? Mungkin saja kitab undang-undang ini diresmikan di Suruaso, ibu kota kedan bahwa “para pembesar Bumi Kerinci [...] memberi perhatian sepenuhnya.” Semua yang terjadi dalam sidang besar “ditulis dengan lengkap oleh Kuja Ali, Dipati, di balai kerapatan, di Palimbang, di hadapan paduka maharaja Dharmasraya.”
Besar kemungkinan bahwa yang dimaskud dengan palimbang bukan kota Palembang (yang di dahulu kala juga disebut Palimbang), melainkan “Tanah Emas” atau “Daerah Hilir.” Kedua kemungkinan tersebut akan diuraikan di sini.
Dasar kata palimbang ialah limbang, yang berarti “mencuci”, antara lain juga “mencuci emas”:
“The name Palembang is perhaps derived from the word limbang. This means panning for alluvial gold and, according to Van Rijn van Alkemade, during the latter half of the nineteenth century people still dived for gold in the Musi. However, the quantities found did not amount to much (Van Rijn van Alkemade 1883: 66).” (Nas, 1995)
Dengan demikian, yang dimaksud dengan palimbang ialah kawasan penghasil emas. Pertanyaan yang timbul di sini, daerah mana yang dimaksud? Daerah penghasil emas utama ialah Kerinci dan daerah Minangkabau. Apakah sidang yang menghasilkan kitab undang-undang Tanjung Tanah bertemu di daerah Minangkabau? Mungkin saja kitab undang-undang ini diresmikan di Suruaso, ibu kota kerajaan Malayu pada saat itu, dan bahwa sidang tersebut dihadiri oleh maharaja Dharmasraya selaku “gubernur” yang meme¬rintah kawasan hulu Batang Hari termasuk barangkali Kerinci.
Di samping interpretasi yang tadi, ada pula kemungkinan kedua, ialah bahwa palimbang berarti “tanah rendah” atau “ilir”.
Menurut Sejarah Melayu nama asli Palem¬bang ialah Perlembang:
“Kata sahibu'l-hikayat, ada sabuah negeri di tanah Andelas, Perlembang namanya. Demang Lebar Daun nama rajanya, asalnya daripada anak cucu Raja Sulan, Muara Tatang nama sungainya. Ada pun Negeri Perlembang itu, Palembang yang ada sekarang inilah. Maka di hulu Muara Tatang itu ada sabuah sungai, Melayu namanya. Di dalam sungai itu ada satu bukit yang bernama Bukit Siguntang, di hulunya Gunong Mahameru, di daratnya ada satu padang yang bernama padang Penjaringan” (Shellabear, 1967:20).
Limbang, selain “mencuci” juga memiliki arti “rendah” (dari tanah) (Wilkinson, 1959:693). Menurut Wilkinson yang merujuk pada kutipan Sejarah Melayu di atas, perlimbang berarti “tanah rendah” sementara “Mahameru” adalah “tanah tinggi”.
Interpretasi tersebut juga masuk akal karena di naskah Tanjung Tanah kita mene¬mukan palimbang di samping Kurinci, yang berarti “tanah tinggi”. Dengan demikian “di waseban, di Palimbang” dapat berarti “di balai kerapatan di tanah rendah” (arti waseban mungkin sama dengan paseban dalam bahasa Jawa yang berarti “tempat pertemuan”) sehingga palimbang merujuk pada kawasan ilir.
Akan tetapi kawasan ilir mana yang dimak¬sud? Hal ini tidak dapat dijawab dengan pasti, tetapi ada tiga kemungkinan. Pertama, yang dimaksud dengan palimbang adalah Dhar¬masraya sendiri, kedua, palimbang merujuk pada daerah hilir Batanghari, dan dengan demikian tempat yang dimaksud adalah Muara Jambi yang pernah menjadi ibu kota Malayu dan mungkin pada saat penulisan kitab undang-undang Tanjung Tanah masih memainkan peranan penting sebagai salah satu kota administrasi dan pusat perdagangan kerajaan Malayu. Kemungkinan ketiga, ialah yang dimaskud dengan palimbang memang kota Palembang. Kebanyakan ahli sejarah cenderung menganggap bahwa selama abad ke-14 Palembang, bekas ibu kota Sriwijaya, telah kehilangan pamor, dan disingkirkan oleh kerajaan Malayu sehingga interpretasi yang ketiga ini agak sulit diterima.
Kozok (2006) cenderung untuk menganggap bahwa tempat yang dimaksud dengan palimbang tidak lain daripada Dharmasraya karena tidak ada alasan mengapa balai kerapatan yang disebut terletak di tempat lain daripada di Dharmasraya sendiri.
Di samping ketiga interpretasi di atas masih ada pula interpretasi satu lagi, yaitu bahwa keharuman nama Palembang sebagai salah satu tempat yang paling berjaya selama sejarah Sumatra, masih dibawa-bawa dan digunakan sebagai epithet ibu kota di kemu¬dian hari.
Alinea terakhir teks undang-undang disusul oleh kata penutup yang, sebagaimana halnya dengan kata pembuka, juga ditulis dalam bahasa Sansekerta. Kata penutup diawali dengan persembahan kepada Sang Dewa Suci ialah sang raja yang disusul dengan sebuah seloka (puisi) yang memuja para dipati sebagai “sang pembela [negeri] terhadap aneka musuh, yang berkata tegas, pemimpin para kesatria.”
Selanjutnya, arti kata-kata yang digunakan dalam seloka dipati masih dijelaskan secara terperinci. Adanya daftar kata seperti itu merupakan kebiasaan para pakar bahasa Sanskerta di Nusantara. Dengan demikian penulis naskah, Dipati Kuja Ali, menunjukkan kemahirannya karena ternyata ia memahami konvensi-konvensi penulisan Sansekerta yang berlaku pada zamannya. Daftar kata tersebut juga sekaligus menekankan sekali lagi kedu¬dukan terhormat para dipati yang di sini dise¬but sebagai “yang unggul.”
Ternyata enam ratus lima puluh tahun yang lalu Kerinci sudah memiliki kitab undang¬undang yang komprehensif. Bahwa kitab undang-undang tersebut ditetapkan di Dharmasraya menunjukkan bahwa Kerinci pada saat itu menjadi bagian kerajaan Malayu Adityawarman. Hal tersebut juga menjadi jelas dari tingkatan gelar para penguasa. Penguasa tertinggi di dalam kerajaan Malayu menyandang gelar maharajadhiraja yang, setahu kita, hanya digunakan oleh Akarendra¬warman dan Adityawarman yang berkuasa di ibu kota Malayu di Suruaso. Penguasa terting¬gi di Dharmasraya memegang gelar sebagai maharaja, artinya dia masih mengakui raja yang lebih tinggi, yaitu raja Malayu di Suru¬aso. Sedangkan penguasa tertinggi di Kerinci hanya menyandang gelar sebagai raja sehing¬ga dapat disimpulkan bahwa raja tersebut tun¬duk pada sang maharaja di Dharmasraya.
Bagaimana bentuk ‘kerajaan’ Kerinci tidak dapat dipastikan, tetapi terdapat kemungkinan bahwa sang raja yang disebut itu merupakan seorang dari ilir yang mewakili kepentingan Malayu-Jambi di Kerinci. Namun Ja’far (2003), menerangkan bahwa pada abad ke 6 sampai 13 bentuk pemerintahan yang ada di Kerinci adalah Pemerintahan Negeri Sigindo. Sedangkan pemerintahan Kerinci mulai abad ke 14 dikenal dengan nama Pemerintahan Depati IV Alam Kerinci. Mungkin itu pula sebabnya bahwa penulis Naskah Tanjung Tanah bergelar depati, yaitu Dipati Kuya Ali. Salah satu kelembagaan depati dari kerajaan Depati IV Alam Kerinci adalah Depati Atur Bumi yang melingkupi wilayah Hyang dan sekitarnya termauk daerah Tanjung Tanah. Depati Atur Bumi dalam pemerintahan semasa itu berfungsi sebagai ‘menteri dalam negeri’-nya Kerajaan Depati IV Alam Kerinci. Mungkin saja Depati Kuya Ali adalah sekretaris (juru catat dan simpan) dari Depati Atur Bumi.
Hubungan Kerinci dengan pusat kerajaan pada saat itu kelihatan sangat erat, dan hal itu tidak mengherankan bila mengingat bahwa bagi kerajaan Malayu, Kerinci merupakan sebuah daerah yang penting karena sumber daya alam yang dikandungnya. Dari kitab undang-undang Tanjung Tanah tampak bahwa kerajaan pusat di Dharmasraya sangat meng¬hormati para dipati di Kerinci dan berupaya untuk menetapkan dasar hukum yang memungkinkan adanya hubungan yang saling bermanfaat bagi kedua belah pihak.
Menyimak naskah Tanjung Tanah timbul kesan bahwa di abad ke-14 penduduk Kerinci lebih rela menerima raja di ilir sebagai tuannya karena kedua belah pihak diuntung¬kan dari hubungan yang ada yang berazaskan kepastian hukum. Selain itu, kerajaan Malayu di abad ke-14 pasti dianggap lebih berwibawa karena Malayu pada saat itu berada di tengah¬ tengah kejayaannya, dan dapat menikmati kekayaan yang berlimpah. Kekayaan itu tentu berasal dari sumber daya alam, dan pada abad ke-14 hasil pertambangan, hasil hutan, dan hasil pertanian menjadi sumber kekayaan utama.
Akan tetapi adanya sumber daya alam belum cukup agar sebuah negeri menjadi makmur dan sentosa bila tidak ada kepastian hukum.
Dilihat dari sudut pandang itu maka dapat disimpulkan bahwa – secara relatif – Kerinci mungkin lebih makmur di abad ke-14 daripada di abad-abad sesudahnya, perlu kiranya direnungkan apakah kepastian hukum yang ada sudah cukup untuk menjamin bahwa kekayaan alam dieksplorasi sedemi¬kian sehingga “saisi bumi Kurinci si lunjur Kurinci” dapat memanfaatkan kekayaan sum¬ber daya alamnya secara maksimal.

Aksara Naskah Tanjung Tanah
Teks undang-undang ditulis dengan sejenis aksara pasca-Palawa yang mirip dengan aksara Malayu zaman Adityawarman. Aksara Malayu merupakan turunan dari aksara Palawa yang berasal dari India Selatan, dan digunakan di berbagai tempat di Nusantara. Dari zaman ke zaman aksara Palawa berubah bentuknya sehingga menjadi aksara Nusantara yang pertama yang, antara lain, digunakan dalam prasasti-prasasti Srivijaya yang kebanyakan berasal dari abad ketujuh. Karena jumlah prasasti di Sumatra dan juga di kawasan berbahasa Melayu sangat sedikit maka tidak jelas bagaimana sejarah perkem-bangan aksara Sumatra di antara zaman Srivijaya sampai pada prasasti Adityawarman di abad ke-14. Secara paralel aksara pasca- Palawa juga berkembang di Jawa, Sunda, Madura, dan Bali sehingga pada abad ke- 16 terdapat berbagai ragam aksara pasca-Palawa, yang, antara lain, mencakup aksara yang digu- nakan di Majapahit (Jawa), Pajajaran (Sunda), dan di dalam kerajaan Malayu di zaman Adi¬tyavarman. Pada tulisan yang digunakan di ketiga daerah ini masih tampak warisan Palawa sehingga Dr. Tim Behrend (Universitas Auckland) menganjurkan istilah “late Pallavo-Nusantaric”. Aksara Palawa- Nusantara ini selanjutnya mengalami per¬ubahan yang cukup berarti sehingga timbullah berbagai ragam tulisan di Nusantara yang hubungan satu dengan yang lain belum diteliti secara sempurna. Aksara ini mencakup aksara Jawa dan Bali, serta beberapa ragam aksara di Sumatra (surat Batak dan surat ulu), Sulawesi, dan di Filipina yang mengalami perubahan yang sangat radikal sehingga hubu¬ngannya dengan aksara induknya tidak lagi jelas.
Prasasti-prasasti Akarendrawarman dan Adityawarman, dan demikian juga naskah Tanjung Tanah, menggunakan aksara Malayu. Karena kebanyakan prasasti ditemukan di daerah Minangkabau, maka tidak salah kalau aksara tersebut disebut sebagai aksara asli Minangkabau-Malayu. Aksara Malayu ini masih jelas termasuk kelompok aksara pasca - Palawa yang berkembang di Nusantara mulai dari aksara Sriwijaya hingga pada aksara Jawa Kuno. Dengan demikian aksara tersebut jelas termasuk dalam keluarga tulisan pasca-Pala¬wa, tetapi berbeda dengan aksara yang diang¬gap lebih khas Sumatra seperti surat ulu atau surat Batak.
Tentu saja hal ini tidak menjawab perta¬nyaan mengapa naskah Tanjung Tanah ditulis di daluang dan tidak di bambu, atau di tanduk kerbau yang merupakan bahan tulis yang paling umum di Kerinci. Hal tersebut tentu berkaitan dengan pengaruh Jawa yang sudah sejak abad ke-13 atau malahan sebelumnya merembes ke Sumatra bagian selatan. Aditya-warman yang pernah menjadi mantri praudhataro di istana Majapahit pasti sangat terpengaruh dengan budaya Jawa dan ingin menerapkan gaya kerajaan seperti di Jawa di dalam kerajaannya. Hal ini tentu tidak berarti bahwa kerajaan Malayu semata-mata mencon¬toh Majapahit, tetapi memilih unsur-unsur yang dianggapnya sesuai dan yang dapat memperkuat kedudukan sang Maharajadhiraja sebagai penguasa mutlak. Kalau menulis di bambu dan tanduk kerbau sudah menjadi tradisi kerakyatan dengan menggunakan aksara setempat seperti aksara Kerinci maka sang raja dan para pegawai tinggi merasa perlu mem-bedakan dirinya dari rakyat biasa dengan menggunakan aksara dan bahan tulis yang berbeda.

Analisis Radiokarbon
Untuk membuktikan kebenaran asumsi Voorhoeve bahwa naskah Tanjung Tanah memang berasal dari zaman sebelum agama Islam tersebar di pelosok-pelosok alam Melayu di sekitar Bukit Barisan, maka sebuah sampel naskah ditentukan usianya dencan cara pengukuran umur dengan metode radiokar¬bon. Sampel kecil yang dengan izin pemilik naskah Tanjung Tanah diambil dari salah satu halaman yang kosong (tidak mengandung tulisan), dikirim ke Rafter Radiocarbon Labo¬ratory di Wellington, New Zealand untuk di¬analisis dengan menggunakan spektrometer pemercepat masa. Accelerator mass spectrometry (AMS) merupakan metode yang relatif baru yang pertama kali diperkenalkan pada tahun 1977.
Analisis sampel naskah Tanjung Tanah yang diadakan di Laboratorium Rafter meng¬hasilkan umur radiokarbon 553 ± 40 tahun before present (BP) yang sama dengan tahun 1397 M ± 40 tahun (1357 – 1437 M) karena tahun 1950 dianggap sebagai ‘present’ Ñ demikianlah memang kovensi yang berlaku. Akan tetapi umur yang ‘konvensional” terse-but tidak persis sama dengan umur yang sebenarnya karena waktu paruh karbon-14 adalah 5.730 tahun dan bukan 5.568 tahun sebagaimana dianggap semula. Waktu paruh ialah waktu yang dibutuhkan untuk meluruh¬kan setengah dari inti atom. Artinya apabila proses peluruhan dimulai pada satu kilogram material radioaktif, material tersebut akan luruh menjadi setengah kilogram dari unsur tersebut. Selanjutnya setengah kilogram mate¬rial tersebut akan menjadi setengahnya lagi setelah waktu paruhnya dan seterusnya.
Karbon-14 dihasilkan terus menerus di bagian atas atmosfer akibat tembakan sinar kosmis (partikel nuklir energi tinggi) di alam, sehingga semua organism mengandung kar¬bon-14. Kadar kandungan karbon-14 juga tergantung pada intensitas pancaran yang mengalami perubahan di sepanjang masa. Kedua faktor tersebut perlu diperhatikan untuk penanggalan yang tepat, dan penyesuaian dilakukan dengan menggunakan kalibrasi INTCAL98 (Stuiver et al., 1998). Setelah diadakan kalibrasi maka terdapat dua kemungkinan tentang umur naskah Tanjung Tanah: Dengan probabilitas 95,4% naskah Tanjung tanah jatuh pada kurun waktu 1304 dan 1370 M (44,3%), atau antara tahun 1380 dan 1436 M (5 1,7%). Persentase yang di kurung adalah distribusi probabilitas yang untuk kedua kurun waktu hampir sama sehingga kita harus menerima kenyataan bahwa penanggalan tidak dapat diadakan dengan sangat tepat. Namun demikian jelas bahwa pohon yang digunakan untuk menghasilkan kertas daluang ditebang antara tahun 1304 dan 1436 Masehi.
Dapat disimpulkan bahwa naskah Tanjung Tanah ditulis selama abad ke-14 atau pada awal abad ke-15. Bila hasil analisis karbon-14 dikaitkan dengan data-data sejarah sebagai¬mana dilakukan di atas, maka kemungkinan besar bahwa naskah Tanjung Tanah ditulis pada paruh kedua abad ke-14.
Kenyataan bahwa tidak pernah ditemukan naskah Melayu yang berasal dari zaman pra¬Islam malahan diinterpretasikan oleh sebagian pakar sebagai petunjuk bahwa – lain dengan orang Jawa atau orang Bali misalnya – orang Melayu tidak pernah memiliki tradisi pernaskahan pra-Islam dengan menggunakan daun lontar, buluh, atau kulit kayu sebagai media tulis.*** (bersambung)

Catatan: Mohon Masukan agar Lembaran Sejarah Jambi semakin lengkap dan terima kasih.

3 komentar:

  1. Cerita ini apakah benar2 adanya ataukah sekedar rekayasa? dan jika memang ada kerajaan di tanjung kaseri mana bukti peninggalan kerajaan tersebut?
    setelah saya telusuri dan saya amati di tanjung kaseri g' da bentuk maupun bekas2 kerajaan! thanks

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  3. Tulisannya sangat menarik sekali. Prof..
    tapi ketikannya itu rada agak bingung bacanya, bebelit-belit. entah itu karena copy paste dari tulisan yg telah ada atau karena terburu-buru jadi ada yg double-double tulisannya, akan tetapi jika boleh membantu di edit lagi Supaya enak bacanya, Prof.

    BalasHapus