One site of Kerinci

Minggu, 15 Agustus 2010

Kerajaan Manjuto

Sekilas Tentang
KERAJAAN PAMUNCAK NAN TIGO KAUM
(KERAJAAN MANJUTO)

Prof. Aulia Tasman, Ph.D


Seiring perubahan yang terjadi dalam pemerintahan Sigindo, pengaruh asimilasi sebagian pasukan Ekspedisi Pamalayu yang tidak pulang ke Jawa sekitar abad ke 13 Masehi, membaur dengan masyarakat di Alam Kerinci. Sistem pemerintahan Sigindo berganti dengan sistem pemerintahan Pamuncak. Di wilayah Kerinci (Kerinci Tinggi dan Rendah) muncul pemerintahan Pamuncak yang menguasai wilayah tertentu.
Daerah pamuncak dulunya termasuk ke dalam wilayah Kerajaan Pagarruyung sampai ke perbatasan Palembang. Itulah sebabnya pemuka-pemuka adat yang ada di Alam Kerinci pada waktu itu dipengaruhui oleh sistem pemerintahan Kerajaan Pagarruyung. Demikian pula di pusat-pusat konsentrasi penduduk banyak sekali mereka yang berasal dari Alam Lekuk 50 Tumbi Lempurkabau, termasuk pemuka-pemuka adatnya.
Di wilayah Jerangkang Tinggi diperintah oleh Pamuncak Tuo dengan rajanya Sigindo Batinting, di wilayah Sigindo Balak diperintah Pamuncak Tengah dan di wilayah Sigindo Elok Misai diperintah oleh Pamuncak Bungsu. Masing-masing Pamuncak membentuk pemerintahan sendiri dengan mengangkat pelaksana pemerintahan sebagai kembang rekan (kemerkan) dari kewilayahan Pamuncak yang terbentuk. Ketiga wilayah depati dirobah menjadi wilayah pamuncak dan bergabung menjadi satu kerajaan yang bernama Kerajaan Manjuto atau Kerajaan Pamuncak Nan Tigo Kaum.
Pada sisi lain perubahan-perubahan yang terjadi di pemerintahan Sigindo, wilayah-wilayah sigindo lain juga membentuk pemerintahan sendiri dengan mengangkat perangkat pemerintahan menjadi pemimpin tanah Sigindo. Demikianlah di Alam Kerinci Tinggi terjadi perubahan-perubahan yang sangat mendasar dalam sistem pemerintahan, dari pemerintahan Sigindo menjadi sistem pemerintahan Pamuncak.
Untuk daerah Kerinci Rendah terdiri dari dua daerah Pamuncak, yaitu Pamuncak Pamerab – Pamenang dan Pamuncak Pulau Rengas.
Khusus untuk Kerajaan Manjuto dengan sebutan lain “Kerajaan Pemuncak Nan Tigo Kaum” mempunyai pusat kerajaan di Tanjung Kaseri yang terletak pada pedalaman jauh di tengah kawasan Bukit Barisan, dibawah kekuasaan Sagindo Balak. Pamuncak Nan Tiga Kaum terdiri dari:
1. Pamuncak Tuo, berkedudukan di Jerangkang Tinggi.
2. Pamuncak Tengah, berkedudukan di Tanjung Kaseri
3. Pamuncak Bungsu, berkedudukan di Koto Tapus
Dalam Buku Encydopaedie van Nederland Indie, tahun 1918 yang bahannya diambil dari Tambo Adat Kerajaan Manjuto di Renah Kemumu Srampas dengan dipimpin oleh Depati Pulang Jawa. Diterangkan bahwa Kerajaan Manjuto berwatas dengan Kerajaan Alam Lekuk 50 Tumbi Lempurkabau dan Jambi.
Luas daerah takluk Kerajaan Manjuto: Semenjak dari Pematang Tumbuk Tigo sampai Sebih Kuning Muaro Saliman sampai Semerap mendaki Gunung Raya turun ke Sungai Batang Selaut sampai Sungai Serik sampai ke Ombak nan Berdebur. Keselatan sampai ke daerah Rawas – Rupit, Lubuk Linggau dan berbatas dengan Bukit Siguntang-guntang.
Sebelah Utara, sebelah Timur dari Pematang Tumbuk Tigo mencakup wilayah Depati Muaro Langkap menuju kearah Peratin Tuo dengan Pembarab Tiang Pumpung terus ke Limun Batang Asai, ke Sungai Suo di Muara Aman sampai mengalir ke Batang Ketaun sampai ke Ombak nan Berdebur.

Menurut Abdul Kiram dan Yeyen Kiram (2003), bahwa pada waktu Sri Maharaja Sakti (Akarendrawarman) berkuasa pada tahun 1279 Masehi, Kerajaan Melayu di Darmasyraya menempatkan keluarga-keluarga kerajaan pada daerah-daerah rantau sebagai pemimpin (raja kecil) di tempat mereka berada. Sehingga beliau banyak sekali mengirim keluarga kerajaan seperti ke daerah Kampar (Kuantan), Palembang, Bengkulu, Johor, Jambi, Kerinci dan lain-lain.
Keluarga kerajaan yang dikirim misalnya ke daerah Bengkulu bagian utara, tepatnya di daerah Manjuto sampai ke Kerinci adalah (1) Datuk Rajo Magek menguasai dareah Manjuto bagian hulu, (2) Raja Bungsu menguasai daerah hilir Manjuto dan (3) Datuk Rajo Nan Sati megusasai daerah Manjuto bagian barat, ketiganya diberi wewenang dan hak untuk memimpin pemukiman baru tersebut. Daerah baru yang dimaksud adalah daerah yang berada pada kawasan Sungai Manjuto.
Jika dihubungan dengan Tambo Kerinci – Serampas, bahwa keluarga kerajaan Melayu Darmasyaraya yang ada di wilayah tersebut terdiri dari: (1) Sigindo Batinting dikenal di daerah ini sebagai Sigindo Siah Rao (menguasai daerah Kerinci), (2) Sigindo Balak (menguasai daerah Manjuto –Serampas); dan (3) Sigindo Ilok Misai (menguasai daerah Jangkat – Koto Tapus.
Kalau dihubungkan antara dua sumber tadi mungkin saja dapat ditarik kesimpulan bahwa pemimpin keluarga kerajaan yang dikirim tersebut adalah orang yang sama?, tetapi panggilan untuk masing-masing dearah berbeda-beda. Sebab wilayah yang dikuasai oleh masing-masingnya itu berada dalam lingkup batas wilayah Kerajaan Manjuto yang dikenal dengan nama Kerajaan Manjuto (Pamuncak Nan Tigo Kaum). Pamuncak Tuo (Sigindo Batinting) atau dikenal juga dengan nama Datuk Rajo Magek, sebagai raja di daerah Jerangkang Tinggi di Kerinci. Kemudian pewaris tahta kerajaan nantinya adalah Tuanku Magek Bagonjong. Pamuncak Tengah (Sigindo Balak) atau dikenal juga sebagai Rajo Bungsu. Beliau inilah sebagai rajo kerajaan Manjuto dan pusat kerajaan berada di daerah Renah Kemumu – Tanjung Kasri. Sedangkan Sigindo Ilok Misai merupakan Pamuncak Bungsu adalah sama orangnya dengan Datuk Rajo Nan Sati yang menguasai daerah Jangkat dan Kota Tapus.
Oleh karena anak raja Kerajaan Manjuto (pamuncak tengah) yang bernama Puti Dayang Ayu (anak Pamuncak Tuo) kawin dengan anak dari Pamuncak Tuo yang bernama Bujang Palembang Gelar Tuanku Magek Bagonjong, maka pusat pemerintahan Kerajaan Manjuto dipindahkan ke Jerangkang Tinggi – (pusat kerajaan di sekitar Danau Kerinci). Penobatan gelar Bujang Palembang (Raja Kerajaan Manjuto) sebagai Tuanku Magek Bagonjong dilakukan di Istana Pagarruyung dan sekali gus sebagai raja pada wilayah Pamuncak Tuo.***

Jumat, 13 Agustus 2010

Kebutuhan Listrik Jambi

Tahun 2010, Jambi Butuh Listrik 191 MW
Jambi, CyberNews. Pada 2010 Provinsi Jambi membutuhkan tambahan listrik sebesar 191 Mega Watt (MW) untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, baik rumah tangga maupun industri, kata Kepala Pertambangan dan Energi Provinsi Jambi Irmansyah Herman.

Ketika dihubungi di Jambi, Senin, ia mengatakan, saat ini pada beban puncak Provinsi Jambi membutuhkan 150 MW listrik, 70 persen di antaranya masih dipasok dari provinsi tetangga seperti Sumatra Barat dan Sumatra Selatan lewat interkoneksi.

"Belum mandirinya PLN di Provinsi Jambi menyebabkan Jambi masih harus mengandalkan pasokan dari provinsi tetangga, padahal potensi primer energi listrik di daerah itu sangat besar dan melimpah," katanya.

Akibat kekurangan itu, pada 2010, Jambi masih harus meminta pasokan listrik sebesar 191 MW dari provinsi tetangga untuk mencukupi kebutuhan listrik di daerahnya.

Potensi primer yang dimiliki Provinsi Jambi seperti panas bumi, air dan batu bara sangat besar, bahkan batu bara tersebar di tujuh kabupaten meliputi Sarolangun, Batanghari, Muarojambi, Bungo, Tebo, Merangin dan Tanjung Jabung Barat.

Potensi batu bara terbesar terdapat di Kabupaten Bungo yang terdapat pada hamparan seluas 120.000 hektare, Sarolangun (94.121 Ha), Batanghari (89.315 Ha, Tebo (61.229 Ha), Merangin (16.557 Ha, Muarojambi (16.00 Ha) dan Kabupaten tanjung Jabung Barat seluas 13.281 Ha.

Potensi energi primer lainnya seperti panas bumi terdapat di Kabupaten Kerinci, Sarolangun dan Merangin yang banyak terdapat air terjun dan sungai berair deras yang tenaganya bisa digunakan untuk Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA).

Potensi itu jika dimanfaatkan secara optimal, diyakini Provinsi Jambi mampu menjadi daerah penghasil listrik terbesar di Sumatra, tidak saja untuk memenuhi kebutuhan lokal, namun juga bisa dijual untuk meningkatkan pendapatan daerah.

"Untuk itu pihak PLN harus memanfaatkan potensi energi primer yang ada di daerah, dengan menjaring atau membuka peluang bagi investor untuk menggrap potensi tersebut," kata Irmansyah Herman.
(Ant /CN08)

Batas Wilayah Provinsi Jambi

Batas Wilayah Provinsi Jambi :

Dari Durian di Takuk Rajo, Lepas ke Sialang Berlantak Besi
Melayang ke Tanjung Simalidu, Menepat di Beringin Nan Sebatang
Beringin Gedang Nan Sekali Dalam
Mendaki bukit ke Lirik Nan Basibak
Meniti Pematang Panjang
Menepat ke Singkil Tujuh Berlarik, ke Sepisak Pisau Hilang
Mendaki Bukit alum Babi, Meniti Pematang Panjang Menepat ke Bukit Cendaku
Laju ke Ulu Parit 9, Menuju ke Sungai Retih dan Sungai Enggang .
Meremah Tanjung Labuh, Terjun ke Laut Nan Mendidih .
Menempuh Ombak Nan Bedebur Merapat ke Pulau Nan Tigo
Sebelah Laut Pulau Berhala, Naik Ke Sekatak Air Hitam
Menuju ke Bukit Seguntang-guntang, Mendaki Bukit Tuo
Lepas Sungai Bayung Lincir, Laju ke Hulu Sungai Singkut
Dikurung Bergadeng Bukit Tigo, Mudik ke Serintik Hujan Panas
Meniti Bukit Barisan, Turun ke Renah Sungai Buntal
Menuju ke Sungai Air Dikit, Menepat ke Hulu Sungai Ketaun .
Mendaki Bukit Malin Dewa, Laju ke Sungai Ipuh
Mendaki Bukit Sitinjau Laut, Sayup-sayup Laut Lepas Menuju Gunung Berapi
Disitu Tertegak Gunung Kerinci, Menepat ke Muaro Danau Bento Menempuh Bukit Kaco, Meniti Pematang Lesung Teras
Menuju Batu Anggit dan Batu Kangkung, Teratak Tanjung Pisang
Siangkak-Siangkang Hilir Pulo ke Durian di Takuk Rajo, di Situ Mulai Berjalan
Balik Pulo ke Tempat Lamo, Berjalan Meniti Batas.

Berjalan Sampai ke Batas, Menepat Janji Lampau, Sampai ke Pulau
Elok-Elok Berhumo Rimbo, Elok-Elok Membaco Tando Malang Capo Tumbuh di Reuah,
Hilang Tambo Hilang Tanah

(Buku Adat Melayu Jambi)

Rabu, 11 Agustus 2010

Datuk Paduko Berhalo

SIAPA DATUK PADUKO BERHALO?


A. Penggalan Sejarah Kerajaan Melayu

Kerajaan Melayu mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Adityawarman. Adityawarman adalah anak Dara Jingga dan Adwayamarman yang dilahirkan di Siguntur. Kisah Adityawarman sampai memegang tampuk pimpinan di Pagarruyung memang berlaku-liku. Setelah meningkat dewasa dia dikirim oleh ayahnya ke Majapabit untuk mengabdi pada kerajaan. Tujuan ayahnya adalah agar putranya itu dapat menggantikan Raden Wijaya jadi Raja Majapahit. Namun, harpannya tidak terkabul, karena ada putra Raden Wijaya yang harus naik tahta.
Oleh karena kepintarannya, Adityawarman dapat kedudukan tinggi juga, sebagai Menteri Utama dalam kerajaan, yang disebut weddhamantri atau mantri praudhataro. Gelar tinggi di Istana Majapahit. Nama itu terkmaktub dalam prasasti di belakang sebuah patung Manjusri. Teks itu berbunyi ebagai berikut:
Rajya Srwirarajapathniwijite [h] tadhangsajah sudhadhih cakra Jahamahitale waregunai Adityawarmmapy= asau/mantri praudhataro jinalayapura prasdam atyadbhutam matatatasuhrjjanam samasukham netum bhawat tatparah// ...//i saka 1265//.
Oleh Bosch dikemukan juga bahwa tulisan dan ejaan prasasti itu, yang ditulis sisi belakang arna Manjusri yang diartikan:
Dalam kerajaan yang dikuasai oleh Ibu Yang Mulia Rajapatni maka Adityawarman itu, yang berasal dari keluarganya yang berakal murni dan bertindak selaku menteri wreddharaja, telab berbuat di pulau Jawa, di dalam Jinalayapura, sebuah candi yang ajaib.--- dengan harapan agar dapat membimbing ibunya, ayahnya dan sahabatnya ke kenikmatan Nirwana.
Dengan candi, yang dinamakan Jilanaya(pura) di sini, tentu dimaksudkan Candi Jago atau Tumpang yang sekarang, tempat asalnya patung Manjusri yang bertulisan itu. Candi tersebut mula-mula didirikan atas perintah raja Kertanagara guna menghormati ayahnya Wisnuwardana, yang mangkat tahun 1286 Maserhi. Candi yang sedemikian rupa pada umumnya didiirkan sesudah upacara sraddha yang dilangsungkan duabelas tahun sesudah kemangkatan, maka candi Jago didirikan pada tahun 1268+12 atau 1280 Masehi, menurut kiab Pararaton.
Sesuai dengan penafsiran Bosch diterangkan bahwa tulisan ini oleh Adityawarman didirikan candi tambahan di lapangan Candi Jago. Atau mungkin juga bahwa candidiari kira-kira tahun 1280 Masehi sudah runtuh dan digantikan denan candi baru. Menimbang bahwa tidak ada sisa-sisa bangunan besar di samping Candi Jago yang sekarang, maka penerangan yang kedua masuk akal. Itu pula sesudai dengan gambar-gambar timbul dan ukiran di candi tersebut.
Berdasarkan gaya tulisan dan ejaan prasasti Adityawarman apda patung Manjusri Bosch telah menarik kesimpulan bahwa keduanya dipengaruhi oleh gaya Sumatera. Maka itu membuktikan bahwa tulisan itu adalah dari tangan seorang Sumatra dan barangkali Adityawarman sendiri. Kebetulan di belakang batu bertulisan Ombilin dibaca kata-kara svahastena maya Adityawarmana, (ini ditulis) oleh saya, Adityawarman, dengantangan dirinya.
Jadi raja itu ternyata pandai menulis dalam bahasa Sangskerta. Meskipun hal itu tidak disebutkan pada prasasti Manjusri, namun kemungkinan ada pasasti itu ditulis Adityawarman sendiri, pada waktu itu belum raja, melainkan wreddhamantri. Kalau demikian halnya maka dapat disimpulkankan bahwa Adityawarman singgah di istana Majapahit sebagai seorang putera Sumatera. Sesuai dengan politik Gajah Mada terhadap ”Nusantara” para pembesar di berbagai dari di Indonesia diundang atau dipanggil ke istana guna memberi hormat keapa sang Ratu di Majapahit.
Maka tentang asal Adityawarman perlu disimpulkan bahwa:
(1) ia adalah seorang pembesar dari Sumatra, yang singgah beberapa lama di Jawa Timur di Istana Majapahit,
(2) ia dilahirkan di dalam keluarga Rajapatni; Puteri Kertanagara dan permaisuri Kertarajasa yang ke-empat.
Kalau dipandang dari sisi ini maka kemungkinan bahwa seorang puteri Melayu adalah anggota rajakula Singasari/Majahit, sehingga keturunannya pun dapat dianggap sebagai seorang putra Malayu yang sebangsa sengan ratu Tribhuwana. Maka dengan jalan demikian Kertanegara seakan-akan menciptkaan kekerabatan atar pulau di Indonesia, yang kemudian menjadi dasar nagara Majapahit.
Sebagai anak pembesar kerajaan Majapahit, Adityawarman sering pula ditugaskan menjadi utusan raja dan duta di kerajaan lain. Misalnya Ia juga pernah diutus sebagai duta kerajaan ke Tiongkok pada tahun 1325 dan 1329 M.
Sebagaimana sering terjadi dalam hubungan antarnegara maka persekutuan diperkuat dengan adanya perkawinan antara anggota-anggota kedua pemerintahan atau dinasti yang bersangkutan. Sehingga Adityawarman, yang dilahirkan dari hubungan yang sedemikian, oleh karena itu menjadi tokoh yang dipilih Majapahit, terutama Gajahmada, untuk melanjutkan dan mengembangkan hubungan persahabatan antara kekuasaan yang terpenting di Nusantara pada waktu itu.
Setelah sekian lama menjadi petinggi kerajaan Majapahit, kedudukan Adityawarman tidak memperoleh kesempatan untuk menjadi Raja Majapahit, maka karena tidak ada harapan lagi di Majapahit, Adityawarman kembali ke kerajaan Melayu, dan dia kawin dengan Puti Jamilan, anak dari Puti Dayang Bulan, yang merupakan juga adik dari Datuk Parpatih Nan Sabatang dan kemenakan Datuk Ketamanggungan.
Moens (1974) menyebutkan bahwa Matangini di dalam prasasti Amoghapasa itu adalah sebuah nama dewi yang dianggap menjelma sebagai permasisuri Adityawarman. Matangi dapat diartikan pula sebagai seorang gadis dari kasta rendah yang bertugas sebagai yogini dalam cakrapuja, dimana Adityawarman adalah suatu bhairawa dan istrinya dapat pula disebut sebagai bhairawi, tidak mempengaruhi pula pilihan nama bagi permaisuri Raja. Matingi dapat pula diartikan sebgai puteri dari Matanga yang Arief, mungkin ikut disokong oleh kenyataan bahwa permasiuri Aditya itu adalah puteri kepala suku Melayu, pendukung azas-azas adat-istiadat, jagi puteri dari seorang cedkiawan Melayu.
Lebih lanjut Moens (1974) menyebutkan bahwa perhatian tertarik pula oleh persamaan antara kelompok-tiga: Adityawarman (Matanginisa), permaisuri (Matangini) dan Dewa-Tuhan, Prapatih dari prasasti Amogahpasa, dan kelompok-tiga: Siwa (Wirabhadra, Sati (Bhadrakali) dan Daksa. Daksa Prajapait, dewa tua, dalam jalannya masa telah harus menyerahkan tahtanya kepada Siwa (dalam hal ini kepala suku Melayu yang harus menyerahkan kerajaannya kepada Adityawarman); sesudah Daksa dikalahkan oleh Siwa, maka setelah disadarkan kembali ia dijadikan kepada gana-gananya (dalam hali ini: sesudah Dewa Tuhan ditaklukkan, ia dijadikan prapatih atas suku-suku dalam nagari yang takluk oleh Adityawarman). Daksa termauk pariwara-dewata dari Subrammanya, suatu bentuk dri Agni, yang adalah menantunya (dalam hal ini: Dewa Tuhan adalah abdi yang dipercaya – patraya? – dari Aditya). Karena kutukan Siwa maka Daksa dilahrikan kembali sebgai ksatrya, sedangkan kepada Dewa Tuhan pun dalam prasasti itu diberikan kedudukan kasta ksatray, dan seterunya.
Maka dari itu sangat mungkinlah, bahwa di antara Dewa Tuhan – Daksa dan Adityawarman-Siwa terjadi suatu ikatan kekeluargaan tertentu, disebabkan oleh perkawinannya dengan Matangini: sangat mungkin ia tidak lain dari pada ayah atau mamak (paman dair pihak ibu Matangini, yang menurut adat Melayu berkuasa dalam segala-galanya terhadap anak-anak saudara perempuannya). Mungkinkah ia adalah ”Prapatih nan Sebatang” (”satu-satunya” patih) yang besar dari sejarah Minangkabau.
Moens (1974) lebih lanjut menerangkan bahwa sangatlah mungkin Dewa Tuhan itu, seperti dilakukan oleh Daksa, menyatakan penyesalannya terhadap puterinya (kemenakan permpuan), karena suaminya yang masuk golongan pemuja bharawa itu. Khas adalah pulah bahwa ia, yang disebut Matanginisa, Tuan dari seorang matangi, seorang wanita Melayu, demikian sangat menghormati ayah dan paman isterinya (bacalah: ia, yang sebagai Mahakala membiarkan ditaklukkan oleh Sati dalam Mahabhagawata), yang merupakan kepala suku Melayu yang palin kuasa dan mungkin paling kaya dalam wilayah kerajaan Aditya, dalam prasasti Amoghapasa hampir memberikan kehormatan yang sama seperti kepada dirinya. Kalau tidak demikian hanya tak dapatlah diterangkan, mengapa kepada seorang patih dalam prasasti yang sama, dieberikan hampir sama banyaknya perhatian seperti kepada Tuannya. Bukankah patih itu yang ”telah mengumpulkan kekayaaan dan emas” menurut prasasti ”dengan kebajikan-kebajikan yang sama (seperti Tuannya), amat mahir dalam penggunaan senjata-senjata, dalam ilmu-ilmu, suatu samudra kebajikan-kebajikan”.
Dari prasasti yang sama, di dlam mana ternyata pula diperingati perkawinannya, selanjutnya dapat disimpulkan bahwa Adityawarman mengadakan ”pertunjukan tarian” (secara India-Selatan), tetapi tidak menari dengan alam-semesta, melainkan dengan ”kedua permata’, yaitu matahari dan bulan, lambang-lambang dari ajaran keselamatan buddhis dan siwais.
Adityawarman diangkat jadi raja Kerajaan Melayu pada tahun 1347 M dengan gelar Adityawarmadaya Pratara Parakra Marajendra Mauliwarmadewa. Meskipun Adityawarman memperluas wilayah kerajaannya ke barat, namun ia tetap menyatakan dirinya sebagai raja Kerajaan Melayu, Werdahmantri di Keraton Majapahit. Perluasan daerah Kerajaan Melayu ke barat selanjutnya dijadikan inti Kerajaan Melayu.
Setelah jadi Raja Melayu, Adityawarman ingin menjauhkan diri dari kerajaan Majapahit. Untuk itu dia menindahkan pusat kerajaan ke daerah pedalaman di Sungai Tarab – Batu Sangkar. Oleh Aditywarman, kakak iparnya (Datuk Parpatih Nan Sabatang) dan paman istrinya (Datuk Katamanggungan) ini diangkat menjadi Menteri kerajaan Pagarruyung. Trio tokoh kerajaan inilah yang mengendalikan pemerintahan sampai mereka dapat menguasai Sumatera dan Malaka.
Pada prasasti Pagarruyung tahun 1357 tertulis bahwa Adityawarman disebut Maharaja Diraja, yang melanjutkan pemerintahan Sriwijawa Jambi dan Sriwijaya Palembang. Dari prasasti ini jelas bahwa Aditywarman dapat menguasai daerah bekas kerajaan dan jajahan Sriwijaya.
Semenjak Adityawarman berkuasa di Pulau Sumatera, pada masa agama Islam sudah mulai tersebar di bagian Barat Nusantara serta mendapat dukungan dari beberapa raja-raja di daerah itu. Menurut Casparis (1992) menyatakan tidak disangsikan bahwa sikap Adityawarman terhadap agama Budha yang dianutnya. Agama Budha, yang pada umumnya dianut oleh penduduk kerajaan, sehingga Adityawarman menjadi agresif, seakan-akan ingin membunuh lawannya.
Patung Bhairawa adalah patung terbesar yang pernah ada di Indonesia. Sifatnya demonis, Bhairawa itu setinggi 4,41 meter berdiri di atas mayat, sedangkan dasar patung itu dihiasi dengan tengkorak-tengkorak. Di tangan kanan dipegangnya pisau besar dengan sikap ingin memakainya. Dapat diduga bawah fungsi patung itu diak terbatas kepada agama dalam arti sempit, melainkan merupakan pengancaman terhadap bahaya yang mungkin datang dari sebelah timur (de Casparis 1937).
Adapun latar belakang pengancaman itu ada berapa kemungkinan: Perama dapat dipertimbangkan apa Adityawarman, meskipun bersahabat dengan Majapahit, berangkali mencurigai rencana-rencana Gajah Mada yang dalam sumpah ‘palapa’nya sebelum sekalian pulau Nusanara adlah dibawah kewibawaan Majapahit. Memang benar bahwa Adityawarman, sesudah berkuasa di Sumatera, tidak pernah menyebut nama Majapahit atau pulau Jawa, apalagi menunjukkan bahwa patuh kepada Majapahit. Akan tetapi itu belum berati bahwa ia merasa dirinya aman terhadap bahaya adanya serangan Majapahit terhadap negaranya. Dari pihak Majapahit pun tidak ada pentunjuk bahwa negara itu bermaksud untuk menyerang Melayu.
Kemungkinan kedua mengenai negara Cina. Barang tentu Kubilai Khan pernah mengirim pasokan Cina ke Indonesia, yang tidah mau tunduk kepadanya. Tetapi pada zaman Adityawarman hubungan dengan Cina ternyata membaik.
Kemungkinan ketiga bahwa Adityawarman menginsyafi bahwa telah datang agama baru yang sedang berkembang tidak jauh dari Melayu. Tentu tantangan rohani tidak dapat dihadapi dengan kekuasan bala-tentara, melainkan dengan senjata keagamaan juga. Maka arca Bhairawa, yang memusnahkan segala musuhnya, dianggap pada tempatnya. Sikap Adityawarman itu dipahami jika diingat bahwa agama baru itu tidak hanya mengancam agama Budha yang dipeluknya, melainkan juga membahayakan kedudukan raja sendiri. Andaikata banyak penduduk di kerajaan yang memeluk agama Islam maka kedudukan sang prabu akan menjadi lemah, semakin sedikit orang yang mendewa-dewakan dan menyembah berhala Adityawarman. Kalau demikian halnya, maka arca Bhairawa itu dapat dipandang sebagai lambang yang harus melindungi negara Adityawarman terhadap penyebaran agama Islam.
Oleh sebab itu dengan pemindahan pusat kerajaan ke arah barat yang selanjutnya dijadikan inti Kerajaan Melayu, dengan mendirikan Kerajaan Pagarruyung pada tahun 1349 Masehi dan langsung menjadi Raja Kerajaan itu yang pertama.
Dalam naskah tulisan encong Kerinci, tidak ditulis siapa Paduka Berhala, namun yang jelas beliau berasal dari Minangkabau. Sedangkan raja melayu dalam kerajaan Pagarruyung pada waktu itu adalah Adityawarman (A. Jafar 1989). Dalam kajiannya menyatakan pakah Adityawaman yang diberi gelar Paduka Berhala? Mungkin saja, karena dia selaku pemeluk agama Budha tentu disembah dan dihormati oleh penduduknya. Selaku raja Adityawarman dibuatkan patungnya oleh mereka yang panatik, dan disembah-sembah. Sekarang patung tersebut disimpan sebagai benda purbakala dan bersejarah di Museum Jakarta. A. Jafar (1989), dalam kajiannya yakin bahwa yang meberi gelar Paduka Berhala itu bukan yang menganut agama Budha, tetapi adalah penganut agama Islam yang masuk ke sana. Patung-patung umumnya disebut berhala, karena patung-parung yang disembah oleh orang zaman dulu disebut berhala. Sehingga patung Adityawarman disebut berhala Adityawarman, Patung Datuk Paduka Berhala Adityawaraman, dan akhirnya menjadi kebiasaan dipanggil dengan disebut Datuk Paduka Berhala?

Wilayah Alam Kerinci

Sekilas Perkembangan
WILAYAH “ALAM KERINCI”
Prof. Aulia Tasman, SE, MSc, Ph.D


Alam Kerinci merupakan bagian dari Alam Melayu yang wilayahnya terletak di tengah Pulau Sumatera. Wilayahnya mencakup daerah di sepanjang aliran sungai Batang Merangin, mulai dari daerah hulu di kaki Gunung Kerinci sampai ke muaranya di Kecamatan Pemenang sekarang dan daerah di sekitar hulu Sungai Batang Tembesi. Wilayah ini merupakan daerah pergunungan Bukit Barisan yang permukaan wilayahnya bergelombang, bergunung dan berbukit, terditi atas dataran tinggi dan dataran rendah. Pada daerah ini banyak terdapat hulu sungai yang bermuara ke sungai Batang harir dan selanjutnya mengari menuju Laut Cina Selatan, seperti Batang Jujuhan, Batang Bungo, Batang Tebo, Batang Pelepat, Batang Senemat, Batang Tantan, Batang Tabir, Batang Masumai, dll. Selain itu terdapat pula hulu-hulu sungai yang airnya mengalir ke daerah Bengkulu Utara pada pantai barat Pulau Sumatera dan bermuara di Lautan Hindia, seperti Sungai Tenang, Sngai Pekan, Sungai Menjuto, Sungai Riang, Sungai Dikit, Sungai Selagan, Air Ipuh, Air Seblat, dll.

Kondisi topografi alamiah tersebut menyebabkan Alam Kerinci dikelompokkan atas dua bagian wilayah, yang disebut dengan Kerinci Tinggi dan Kerinci Rendah. Wilayah Kerinci Tinggi merupakan daerah-daerah yang berada pada bagian barat Bukit Barisan, sedangkan Wilayah Kerinci Rendah adalah daerah-daerah yang letaknya lebih rendah dari wilayah barat dan berada pada bagian timur pergunungan Bukit Barisan. Pada saat itu batas wilayah masih dinyatakan dalam bentuk batas alam. Di daerah Kerinci Tinggi dan Kerinci rendah inilah berdiam suku Bangas Kerinci. Meurut satatan sejarah yang dibuat oleh K’an dan Wan-che dari Wangsa Wu (222-280), dalam ensiklopedi Tung-tien yang ditulis Tu-yu (375), Wen-hsien t’ung-k’ao (Wolters 1967:51) tentang negeri Koying (abat 3), maka berdasarkan ciri wilayah yang dikemukan daerahnya yang berada di dataran tinggi, terdapat banyak gunung api dan aliran sungai yang mengalir ke teluk ‘Wen’ (pantai timur Sumatera) besar dugaan negeri yang dimaksud adalah wilayah yang didiami suku bangsa Kerinci yaitu Alam Kerinci. Menurut catatan Cina negeri ini telah aktif mengadakan perdagangan dengan berbagai daerah di bagian barat dan timur Sumatera. Disebutkan negeri ini penduduknya sangat banyak dan menghasilkan mutiara, emas, perak, batu kristal dan pinang.

Dari berbagai catatan sejarah dinyatakan bahwa dalam wilayah Alam Kerinci pernah terdapat pemerintahan yang berdaulat dari masyarakat yang mendiami daerah ini, yaitu pemerintahan Koying, Sigindo, Pamuncak Nan Tigo kaum dan Depati Empat. Pada masa pemerintahan Koying gambaran tentang lingkup kekuasaanya belum kelihatan secara jelas, haya disebutkan sebatas wilayah Alam Kerinci dengan ciri-ciri sebagaimana diterangkan sebelumnya. Baru pada pemerintahan Sigindo penguasaan terhadap wilayah Alam Kerinci mulai tampak dengan adanya daerah tanah Sigindo. Dalam beberapa catatan naskah kuno yang ditulis dengan Tulisan Rencong disebutkan baha di daerah Kerinci Tinggi terdapat beberapa tanah Sigindo yang terkenal, antara lain:
1. tanah Sigindo Elok Masai di daerah dusun Sungai Tenang (Koto Tapus)
2. tanah Sigindo Balak di Tanjung Kasari,
3. tanah Sigindo Panjang di dusun Rawang
4. tanah Sigindo Kuning di dusun Seleman
5. tanah Sigindo Bauk di dusun Tamiai,
6. tanah Sigindo Batinting di Jerangkang Tinggi,
7. tanah Sigindo Sakti di Ujung Tanjung Muara Sekiau.

Sedangkan tanah Sigindo pada daerah Kerinci Rendah antara lain:
1. tanah Sigindo Sigilintang di dusun Sungai Lintang dekat Pemenang
2. tanah Sigindo Dusun Purba Timben di Tanah Renah
3. tanah Sigindo Dusun Purba Muara Semukin di Lubuk Gaung.

Penguasaan terhadap wilayah Alam Kerinci dinyatakan lebih tegas lagi sejak pada masa pemerintahan Depati Empat. Disebutkan bahwa kekuasaan pemerintahan Depati Empat wilayah Alam Kerinci dinyatakan meliputi daerah Kerinci Tinggi dan Kerinci Rendah. Bila dilihat sekarang daerah tersebut mencakup luas wilayah yang terdiri dari Kabupaten Kerinci, Kabupaten Merangin semuanya dalam Wilayah Provinsi Jambi.

Pada daerah Kerinci Tinggi terdapat 4 (empat) buah tanah depati itu adalah:
1. tanah Depati Atur Bumi
2. tanah Depati Biang Sari
3. tanah Depati Rencong Telang
4. tanah Deapti Muara Langkap Tanjung Sekiau.

Ketinggian letak geografis ke empat tanah depati tersebut, menyebabkan dataran itu disebut dengan Empat di Ateh (daerah empat di atas), yang sekarang telah menjadi Kabupaten Kerinci, Kecamatan Muara Siau dan Jangkat. Kedua kecamatan yang disebutkan, termasuk dalam wilayah Kabupaten Merangin.

Daerah Kerinci Rendah adalah wilayah yang berada di sebelah timur Kerinci Tinggi pada kaki pergunungan Bukit Barisan. Topografi daerahnya berbukit-bukit dan disini mengalir banyak sungai denan arus air yang tenang, tidak berbatu dan permukaannya lebar, shinga dapat dilayari kapal kecil. Kondisi sungai tersebut sangat berbeda dengan sungai-sungai yang terdapat di Kerinci Tinggi yang pada umumnya berarus deras, beriam, berair terjun (telun), berbatu dan berpermukaan sempit. Sekarang wilayah ini berada dalam daerah Kabupaten Merangin yaitu kecamatan Sungai Manau, Bangko, Pemenang dan Tabir (Rantau Panjang).

Pada wilayah Kerinci Rendah terdapat tiga Tanah Dapati dan dua daerah khusus dari Pemerintahan Depati Empat Alam Kerinci. Tanah depati dimaksud adalah:
1. tanah Depati Setio Nyato,
2. tanah Depati Setio Rajo
3. tanah Depati Setio Beti (bhakti).

Sedangkan daerah khususnya adalah:
1. tanah Pemuncak Pulau Rengas
2. tanah Pemuncak Pemerap Pemenang.

Ketiga tanah depati dan dua daerah khusus itu, karena letaknya berada pada ketinggian jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan daerah Kerinci Tinggi maka disebut dengan daerah Tigo di Baruh atau daerah tiga di bawah.

Dalam pepatah adat yang menyebutkan tentang kekuasaan pemerintahan Depati Empat Alam Kerinci dikatakan lingkupnya mencakup daerah Empat di Ateh, Tigo di Baruh, Pemuncak Pulau Rengas dan Pemerap Pemenang. Kesembilan daerah kekuasaan pemerintahan Depati Empat inilah yang disebut orang-orang pada zaman Kerajaan Jambi menurut sepanjang adat dengan nama: Pucuk Jambi Sembilan Lurah, yaitu wilayah yang berada di daerah atas atau daerah bagian hulu dari Kerajaan Jambi.

Pada zaman pemerintahan Hindia Belanda sekitar tahun 1903 – 1906 wilayah Kerinci Tinggi yang terdiri atas daerah Kabupaten Kerinci, Kecamatan Muara Siau dan Kecamatan Jangkat sekarang, dijadikan Belanda daerah Landschap Kerinci yang berada di bawah Keresidenan Sumatera Barat. Sedangkan daerah Kerinci Rendah terdiri atas Kecamatan Bangko, Pemenang, Tabir dan Sungai Manau dijadikan Ondrafdeeling Bangko yang tergabung dalam Afdeeling Jambi.

Pada tahun 1906 Belanda membentuk keresidenan baru yaitu Keresidenan Jambi. Afdeeling Jambi dikeluarkan dari Keresidenan Palembang dan Landschap Kerinci dari Keresidenan Sumatera Barat. Landschap Kerinci dijadikan daerah Afdeeling Kerinci dengan mengeluarkan daerah Muara Siau dan Jangkat, dan kedua wilayah tersebut dimasukan kedalam Keresiden Jambi. Untuk daerah Muara Siau dan Jangka digabungkan ke dalam Onderafdeeling Bangko termasuk didalamnya daerah Bangko, Tabir, Sungai Manau dan Pemenang.
Setelah melalui masa transisi, perubahan struktur pemerintahan baru efektif berjalan ada tahun 1908. Mulai sejah tahun 1908 -1921 Afdeeling Kerinci merupakan bagian dari Keresidenan Jambi. Selain Afdeeling Kerinci dalam Keresidenan Jambi terdapat Afdeeling Djambische Bovenlanden dan Afdeeling Djambische Benedenlanden. Untuk Afdeeling Djambische Bovenlanden tergabung didalamnya Onderafdeeling Bangko, Sarolangun, Muaro Bungo, Muara Tebo. Sedangkan Afdeeling Djambische Benedenlanden terdiri dari Onderafdeeling Djambi, Onderafdeeling Muara Tembesei, dan Stad Gunieente Djambi. Dalam perkembangan selanjutnya pada tahun 1922-1957 Afdeeling Kerinci ditarik dari Keresidedan Jambi digabungkan kembali ke dalam Keresidean Sumatera Barat dan dimasukan ke dalam Afdeeling Zuid Beneden Landen (Pesisir Selatan).
Bab 9
KERAJAAN MELAYU DAN KERAJAAN INDOJATI (INDRAPURA)
Periode Abad XII-XIV

Suntingan dari Buku "Menelusuri Sejarah Kerajaan Melayu Jambi"
oleh: Prof. Aulia Tasman, SE, MSc, Ph.D


.......................................
Sejak kerajaan rum terbelah menjadi dua bagian yaitu rum barat dan rum timur dimana rum timur berpusat diangkara turki. Adapun raja rum timur ke 21 yang berkuasa tahun 1122 - 1143 ialah raja Zulkarnain dan mempunyai dua orang putra yaitu Zatullah Syah dan adiknya Hidayatullah.

1. Zatullah Syah
Atas ilham dari ayahnya supaya zatullah menuntut ilmu sarnpai ke negeri cina. Pedoman untuk menuju negeri cina, yaitu jika bertemu dengan sebuah benue putarkan haluan cung ( perahu ) ke selatan bile bertemu air jernih ikan jinak dan terdapat batu menikam berhentilah disitu,-
Disaat Zatullah berumur 17 tanun dia mencoba menuju dunia timur yaitu pada tahun 1124 masehi . Zatullah beserta dengan 40 orang catri ( orang pandai ) pada umumnya berfsal dari afrika. Dimana mereka dengan memakai tiga buah cung (sejenis perahu layar) dimana Zatullah Syah dengan catri tersebut berlayar dari negeri rum timur, menuju negeri di sebelah timur terutama cina dan selama diperjalanan mereka pernah singgah di hadramaut yaman selatan Gujarat dan Pulau Langka Puri (Srilangka).
Waktu berlayar mereka sampai pada tanah tenting kra antara Burma dan Malaysia yang sangkanya adalah benua. Mereka memutar cungnya ke selatan sampai ke Aceh Timur. Karana tidak menemui tanda - tanda tersebut diatas dengan gerak allah haluan diarahkan kepantai barat laut sumatera. Pantai barat sumatera waktu itu belum dihuni oleh manusia yang berbudaya karena daerahnya berbukit - bukit (bukit barisan) dan ombaknya besar dan tinggi - tinggi tidak sesuai dengan ukuran kapal waktu itu, sedangkan dipantai timur Sumatra ditunggu oleh armada laut Kerajaan Sriwijaya.
Dalam berlayar menyisir pantai Sumatera bagian barat mereka menemui jurang dan pantainya ditumbuhi oleh pohon nipah dan bakau, tetapi mulai dari Muaro Gedang dan terus ke Muaro Samungo mereka melihat deretan pohon yang berjejer batangnya memutih bagaikan pohon kelapa tersusun rapi menemui air jernih ikannya jinak dan banyak batu manikam dan diduganya di balik pohon yang memutih dan berjejer itu kemungkinan ada perkampungan manusia disana. Maka mereka berbalik ke belakang dan masuk di muaro gedang dan menuju ke hulu. Di kala sore hari mereka sampai di Muaro Talaut yaitu antra pertemuan Muara Air Lunang, Kumbung dan Tapan.
Dari Muaro Gedang sampai Muaro Talaut di sepanjang perjalananya dipenuhi oleh pohon ruyung (bahkan sampai hari ini) masih bisa dilhat keberadaan ruyung tersebut, dekat Danau Limbek Pinang sebatang rombongan Zatullah menemui 5 orang bunian yang disangkanya orang biasa, mereka diajak oleh bunian mengikutinya yaitu ke kampung bunian. Dua puluh orang catri mengikuti Zatullah Syah semuanya laki - laki dan menuju kampung bunian di Renah Pandan ulu Air Lunang, dan sisanya yaitu 20 catri menunggu di cung (kapal) di lokasi limbek pinang sabatang di muara talaut.
Setelah lama diperjalanan robongan Zatullah Syah tiba di Renah Pandan. Kemudian satulah kawin dengan putri yang bernama Jining Indo Malayu dan dinikahkanya secara Islam yang dilakukan oleh 20 orang catri pengikutnya tadi. Istri Zatullah Syah sering juga disebut oleh anak cucunya Indo Malayu atau Gindo Layu.
Selama pembaurannya di Renah Pandan Zatullah Syah diangkatlah menjadi junjungan (pemimipin), serbagai raja pertama di kerajaan tersebut, 20 orang dari pengikut Zatullah Syah di Renah Pandan, 2 orang diantaranya disuruh oleh Zatullah Syah menemui 20 orang catri yang telah lama menunggu dan menjaga cung di muara talaut. Sesuai petunjuk Zatullah Zyah 2 orang tadi ditambah 20 orang catri yang menunggu cung kembali ke rum timur.
Awal kepemimpinan Zatullah Syah dia mengeluarkan hukum yang pertama yaitu " luko nan bapapeh mati nan babangun". Hal ini dikeluarkan oleh Zatullah Syah guna untuk melindungi 18 catri dan masyarakatnya di Renah Pandan,
Raja Rum Timur ke 21 yaitu Zukranain menyerahkan kekuasaan raja kepada anaknya yang ke 2 yang bernama Hidayatullah tahun 1143 masehi, maka Hidayatullah menjadi raja di negeri Rum Timur ke 22. Hidayatullah mempunyai 3 putra dan 1 putri adapun ke tiga putra Hidayatullah ialah Maharaja Depang, Maharaja Diraja dan Maharaja Alif, dan setelah remaja ketiga putra Hidayatullah bertanya kepada ayahandanya adakah saudara dari ayahnya di dunia ini. Maka setelah mendapat jawaban dari Hidayatullah, mereka bertiga berangkat menuju timur sesuai dengan keterangan dari catri yang telah kembali ke rum timur dari renah pandan dahulu yaitu 22 orang catri.
Tahun 1167 masehi mereka berangkat menuju lokasi pak tuanya dengan membawa 5 buah cung dan 60 orang catri termasuk catri lama beserta mahkota kerajaan Rum dan stempel emas dan perak. Berlambangkan tulisan nama Zulkarnain,
Mereka berangkat dengan memakai rute yang sama sesuai petunjuk dari catri yang dahulu. Karena omhak besar di perjalanan antara pulau langka puri dan teluk Benggala mahkota yang dibawanya tadi terjatuh sampai ke dasar laut dan pernah dicoba diselami oleh catri. Tetapi tidak pernah dapat, maka oleh catri dibuat kembali mahkota di atas kapal sesuai seperti mahkota asli.
Pada tahun 1168 masehi mereka sampai di Renah Pandan bertemu dengan Zatullah Syah dan untuk membuktikan kebenaran bahwa mereka memang benar anak Hidayatullah maka diserahkanlah stempel dan mahkota tadi kepada Zatullah Syah sebab waktu ia berangkat orang tua meraka Hidayatullah masih remaja.
Rombongan Maharaja Depang mendapati Zatullah syah di lembah Renah Pandan dan telah mempunyai anak 3 wanita dan 1 pria yaitu bernama Latinjing, Guluni, Kalum dan Iskandar dan 15 catri, karena 3 diantara catri yang tinggal direnah pandan telah meninggal dunia.

2. Iskandar Johan Syah
Setelah beberapa lama di renah pandan maka maharaja depang dan ditambah dengan 15 catri lama beserta 60 catri yang baru beserta masyarakat menganjurkan kepada zatullah syah agar Iskandar yang masih muda belia dapat dianggkat menjadi raja yang berhak memakai gelar syah, maka dinobatkan dia menjadi raja dengan gelar Iskandar Johan syah sebagai raja (bertempat di daerah Aceh) dan berhak memakai mahkota yang dibuat catri tadi.
Hal ini terjadi tahun 1159 masehi dimana Iskandar waktu itu baru berumur 14 tahun. Tahun 1170 masehi Maharaja Depang kembali ke Moghol Hairat atau Rum Timur (negeri Ruhum), setelah selesai pelantikan Iskandar Johan Syah mereka kembali ke Rum Timur dengan 35 catri yang lama dan yang baru berta membawa 3 buah cung. Maka tinggallah Maharaja Diraja dan Maharaja Alif beserta 40 catri yang baru dan 2 buah cung.
Karena Maharaja Depang sudah kembali ke Rum Timur sebab dia bakal calon pengganti ayahnya hidayatullah menjadi raja rum timur ke 23. Pada tahun 1172 masehi maharaja berangkat pula meninggalkan renah pandan lunang beserta dengan 20 catri dan membawa 1 buah cung (kapal) rencananya untuk kembali ke rum timur atau untuk mencari wilayah baru.
Sampai di laut bayang pada waktu subuh melihat matahari terbit di timur, maka timbul keinginannya meninjau rimba belantara. Cung ditinggalkanya di sungai bayang dan mereka terus menuju ke hulu sungai dan terus ke pulut- pulut kemudian terus ke danau di baruh kemudian menyisir gunung talang dan mengikuti arah sungai menyisir ke sukit belantik dan terus ke gunung singgalang, dan dilanjutkan perjalanan ke sekitar gunung berapi dan akhirnya ber,mukim dibukit gombak Batu Sangkar sekarang.
Maharaja Diraja kawin dengan wanita yang bernama Kagiluh, dua tahun kemudian dia ingin menobatkan diri sebagai raja di Darek (nantinya menjadi luak nan tiga = tanah datar, agam dan 50 kota). Karena bingung siapa yang harus melantiknya sedangkan catri pengikutnya tidak bisa melantiknya karena mereka adalah pesuruhnya dari Maharaja.
Maka kembali dia meminta gelar kepada Zatullah Syah di Lunang (renah pandan ). Maka oleh Zatullah Syah diberilah gelar Diraja bukan raja dan tidak berhak memakai gelar syah. Karena gelar syah sudah diserahkan kepada anaknya yaitu Iskandar Johan Syah maka dia diberi gelar oleh Zatullah Syah yaitu memakai pangkal nama mereka " Sri " yang maknanya sama dengan sah. Maka dia bergelar Sri Maharaja Diraja. Justru itulah seluruh raja yang ada di darek tetap memakai gelar Sri di pangkal namanya. Adapun raja darek yang terakhir bernama Sri Jelito atau Indo Jelito (raja perempuan) yaitu ibu dari Datuk Perpatih dan Datuk Ketamangungan. Sri Indo Jelito adalah raja terakhir di darek kemudian setelah Sri Jelita kekuasaan di darek dipegang oleh Tuanku Lareh dan opersonil sanak keponakan dipegang oleh datuk.
Mulai dari Sri Maharaja Diraja sampai raja terakhir Sri Indo Jelito di luak tanah datar, agam dan 50 kota disebut orang kerajaan darek berkedudukan di bukit gombak batu sangkar sedangkan di lunang (Renah Pandan) disebut Kerajaan Indojati dan istananya disebut istana pagar ruyung karena di Indojati tumbuh - tumbuhan ruyung sangat banyak. Luas arealnya di indojati pada zaman itu yang terdiri kerajaan 2 bersaudara tersebut yaitu: darek - pagaruyung (renah pandan). Di pagaruyung duduk raja bergelar Syah dan di darek duduk diraja dengan memakai gelar Sri.

3. Maharaja Alif
Di saat zatullah syah sudah tua untuk menjalankan kepemimpinannya diserahkan kepada Maharaja Mlif karena Maharaja Depang sudah kembali ke rum timur sedang Sri mahadiraja berkuasa di darek dan raja Iskandar Johan Syah masih muda belia.
Entah kenapa pada tahun 1189 masehi Iskandar Johan Syah beserta dengan 20 orang catri dan 1 buah cung yang masih tinggal di muara talaut dibawanya berangkat menyisir pantai barat sumatera arah ke utara, untuk mencari wilayah baru, karena untuk pendamping ayahnya dipercayakan kepada Maharaja Alif.
Iskandar Johan Syah dengan pengikutnya membuat kerajaan di Dayak Aceh tahun 1189 - 1207 masehi itulah kerajaan pertama di aceh yang dinamakan kerajaan Samudra Pasai, dan Iskandar Johan Syah meninggal di Dayak Aceh. Banyak sejarawan mengatakan Iskandar Johan Syah adalah saudagar asal Arab dari Gujarat sebenarnya dia iahir di lunang ( renah pandan)
Sebanyak 10 dari 20 catri yang dibawa oleh Iskandar Johan Syah kembali lagi ke Renah Pandan atau Lunang bersama cungnya. Raja maharaja alif berkuasa tahun 1198 masehi, setahun setelah meninggal zatullah syah raja alif berangkat pula dengan 1 cung tadi dan membawa 10 orang catri yang dibawa oleh raja iskandar johan sah mereka menuju pantai selatan sumatera terus ke jawa dan sampailah ke gersik dan demak.

4. Raja Tuo
Maka di renah pandan (lunang) pada tahun itu kekuasaan dipegang oleh raja tua keponakan dari Iskandar Johan Syah atau anak dari gulumi cucu zatullah syah. Raja tua juga beristrikan orang dan mempunyai 3 orang anak dan anaknya ke 2 adalah laki - laki yang bernama Ramadun.

5. Ramadun Syah = raja indojati ke 1
Raja alif ( samambing bidai kato tamo ) kabarnya kembali dari jawa ke Renah Pandan dan dia sempat melantik Ramadun menjadi syah (raja) dan kerjaaan yang dipimpinya diberi nama Kerajaan Indo Jati yang berarti indo adalah nama neneknya yaitu istri zatullah syah dan jati adalah sifat manusia ( yang telah mempunyai 2 sifat yaitu baik dan buruk ),
Ramadun Syah kawin dengan penduduk setempat tujuh bersaudara yang bernama Luhsi atau Puti yang bungsu tujuh bersaudara di talang arah. Ramadun Syah mempunyai anak pertama dan kedua wanita dan anak ke tiga laki-laki yang bernama Bahrun.

6. Bahrun Syah
Dia diangkat oleh ayahnya menjadi raja tahun 1282 masehi dan berhak memakai gelar syah dia dipanggil Bahrun Syah dan merupakan syah yang ke tiga dan raja kedua di kerajaan Indojati. Bahrun Syah mempunyai istri 3 orang yaitu: Sari Mekah tinggal di Ipuh dan tidak mendapat anak, istrinya yang ke 2 bernama Andam Dewi di Indrapura dan mempunyai 3 orang anak di mana anak yang ke 2 adalah laki - laki yang bernama Trapal, dan istrinya yang ke 3 bernama Nilam Sari di dapatnya di Batang Kapas pesisir.
Bahrun Syah pernah berperang dengan sipatokah (portugis) di laut batang kapas selama 11 bulan, dengan dalih portugis untuk merebut Nilam Sari - istri ke tiga dari barun syah. Pasukan Bahrun Syah dihajar oleh portugis dengan mariam sumbu dan pelurunya sering diartikan dengan cindung permayo tujuh ambin anak.
Pasukan Bahrun Syah dibantu oleh orang dari darek waktu itu raja di darek adalah sri maharaja diraja, Bahrun Syah kalah dan dia beserta pengikutnya menyingkir ke Darek dan kemudian mereka meng-hilir sungai yaitu sungai batang sangir dan membuat perkampungan dan perkampungan mereka tersebut di namakan Tanah Tumbuh, itulah sebabnya Tanah Tumbuh merupakan negeri yang tertua di kabupaten Tebo - propinsi jambi.
Karena Bahrun Syah telah meninggalkan Indojati maka penduduk lndojati kebingungan karena tidak ada lagi raja di indojati, maka rakyat banyak yang menyisir bandar 10 menuju darek dan tidak lewat laut karena takut dengan sipatokah (portugis). Orang - orang kerajaan Indojati menyisir bandar 10 (melewati sepuluh buah sungai besar dan panjang ) dari air haji sampai ke bayang pulut - pulut dan mendaki terus cermin alam dan sampai luak nan tigo ( darek ).
Karena sering dilewati menyisir bandar itu maka jalan yang ditempuh mereka berobah menjadi pesisir bandar sepuluh, kemudian berobah lagi menjadi pesisir. Jadi yang disebut pesisir adalah air haji ( bukan negeri air haji ) sampai ke bayang pulut - pulut.
Bahrun Syah dengan istrinya yang tertua bernama sari mekah tidak mempunyai anak dan di Indrapura dia merdapat 3 orang anak yaitu 2 wanita dan 1 laki - laki yang bernama Trapal.


7. Trapal Bahil Syah
Adapun yang laki - laki bernama Trapal, orang mengangkat Trapal menjadi raja (syah) tetapi trapal bukan anak dari istri Bahrun Syah yang pertama, maka gelar syah-nya disamakan dengan batil ( batal) dan diperhalus ucapanya setelah dia berkuasa yaitu Batil menjadi Bahil sehingga nama kebesarannya ialah Trapal Bahil Syah menjadi raja Indojati 1305 – 1323 masehi.
Trapal Bahil Syah kawin dengan cina islam asal Lowksawe Aceh dan tidak mempunyal anak, jika keponakannya diangkat tidak dapat memakai gelar syah maka anak Reno Sati anak kakak Trapal Bahil Syah yang bernama lumi (anak kerajaan Indojati) dikawin dengan Sri Jelita anak raja Sri Mat Diraja di darek kawin dengan Luhmi, suami ke dua dari Sri Jelita, karena suami pertamanya bernama Sapurba asal turki. Karena itulah Datuk Parpatih Nan Sabatang sering disebut orang anak Indojati.
Kemudian adiknya Lumi (suami Sri Indo Jelito) yang bernama Tuno Suli akan dikawinkan dengan adik Sri Indo Jelito yang bernama Reno Gemilan yang tinggal di darek. Dia bisa kawin dengan tuno suli asal Indojati lunang dengan catatan mohon dibuat istana.
Karena dia anak raja (anak-sri mat diraja ) hal itu dipenuhi orang dan dibuatkanlah istananya ditepi sungai kecil yang menghubungkan batang silaut menuju muaro samungo karena dahulu bating air silaut yang bermuara ke muara sakai indrapura, dari batang air silaut adalah sungai kecil bermuara ke semungo adapun istana dibuat orang berada ditepi sungai kecil tersebut terletak di areal padang tumbuh- tumbuhan ruyung. Kemudian istana tersebut dinamakan istana pagar ruyung. Karena sungai kecil tersebut makin lama makin besar akhirnya batang silaut bermuara ke samungo dan istana tadi hanyut oleh air dan usianya sudah lama.
Waktu pembangunan istana ruyung - ruyung yang ada disekitar istana diatur penebangannya agar yang tertinggal menjadi pagar pekarangan istana sekaligus bisa menghambat musuh yang ingin masuk karena setiap batang ruyung penuh dengan duri yang panjang.
Waktu itu kerajaan Jawa (Majapahit) mulai diwaspadakan. Kalau sempat tahu ada kerajaan Indojati dia akan menyerang kerjaan Indojati. Bahkan pasukan Gajah Mada telah menjelajah mencari kerajaan indojati sudah sampai ke ipuh, tetapi mendengar berita kerajaan Indojati tidak mempunyai raja yang aktif dan pemerintahan kerajaan sudah di pindah ke darek maka pasukan gajah mada tersebut kembali ke Jawa barulah kemudian dikirim Aditywarman diutus ke Sumatera dan untuk mencapai darek harus lewat pantai timur sumatera (jambi dan bukan pantai barat sumatera). Adapun lokasinya istana itu disebut orang rantau suli atau lubuk suli atau tanjung suli atau sungai ngiang di silaut itulah sebenarnya. Sedangkan yang disebut istana pagar ruyung yang terdapat di areal ruyung yang luas, jadi nama yang populer waktu itu ialah kerajaan darek - paga ruyung di darek diperintah oleh raja. Sri Indo Jelito, kakaknya Reno Gemilan dan di Indojati yang beristana di pagar ruyung dlperintah oleh (Reno Gemilan) yang sering disebut orang kerajaan darek - pagar ruyung.

8. Tengku Dusi (Reno Gemilan)
Reno gemilan adalah raja kerajaan Indojati (Silaut) yang memerintah di kerajaan indojati disebut orang tengku dusi. Hasil perkawinanya dengan tuno suli menghasilkan 5 orang anak 4 wanita dan 1 laki - laki adapun anak yang laki - laki bernama Mansur dan anak Reno Gemilan yang bungsu bernama Gadih Jamilan. Anaknya yang tertua berkembang di pariaman dan anak yang ke 2 berkembang di bengkulu dan anak yang ke 3 berkembang di darek sedangkan gadih Jemilan (si bungsu) saat itu belum berkeluarga.

9. Mansur Syah
Anaknya yang laki - laki bernama mansur syah baru diangkat menjadi raja di Kerjaan Indojati (Silau). Adityawarman yang beragama hindu diutus oleh gajah mada sebagai perwakilan raja majapahit untuk sumatra pada tahun 1348 masehi di mana majapahit telah menundukkan kerajaan Sriwijaya dan para dubalang sriwijaya yang tidak mau tunduk kepada kerajaan majapahit pindah ke hulu batang musi ke hulu musi rawas yang disebut muaro ropit yang terkenal dengan nama bukit tambun tulangnya.
Aditiawarman tahun 1348 masehi dia masuk dari jambi menuju darek. Sebelum tiba di darek, datuk ketemangunggan dan adiknya datuk parpatih nan sabatang telah mencari jalan bagalmana menangkis kehendak aditiawarman untuk kerajaan memasukkan kerajaan darek supaya tunduk kepada kerajaan majapahit dengan dalih adityawarman untuk melindungi darek dari serangan cina yang akan datang.
Datuk Ketemangunggan dan adiknya datuk parpatih nan sabatang merasa cemas menghadapi raja jawa yang besar tersebut. Kemudian teringat adiknya yang se ibu dengan Datuk Parpatih di darek seluruhnya sudah menikah dan teringat anak makciknya (anak eteknya) yaitu reno gemilan di istana paga ruyung kerajaan indojati yang bungsu belum berumah tangga dan masih gadis maka timbul niat untuknya untuk dibawa ke darek.
Utusan Datuk Parpatih memohon kepada Reno Gemilan di Silaut (Sungai Ngiang) dengan segala bujukan dan janjinya memohon agar Gadis Jemilan dapat dibawa ke darek, dan akan didirikan istana di darek setelah Geno Gemilan dengan anaknya mansur syah berunding maka gadis jemilan diizinkanya untuk dibawa ke darek, gadis jemilan tiba di darek tahun 1349 masehi.
Awal 1350 masehi Adityawarman utusan raja jawa majapahit tersebut sampai di darek. Adityawarman disambut secara permai oleh orang darek dibawah pimpinan Datuk Ketemanggungan dan Datuk Parpatih nary sabatang seperti menyambut raja besar. Seolah - olah ingin kerjasama dan tunduk kepada majapahit dari jawa. Sebagai bukti tunduk dia menawarkan adiknya Gadis Jemilan anak dari Reno Gemilan di silaut yang masih berumur 16 tahun untuk dikawinkan dengan adityawarman pada tahun 1350 masehi.
Setelah beberapa bulan mereka kawin, datuk parpatih mengeluarkan peraturan adat yang berlaku di darek yaitu Adityawarman selaku sumando turun setangkik tanggo dan datuk parpatih selaku basumando naik setangkik tanggo. Maka menurut adat yang berlaku di darek Adityawarman tidak bisa berkuasa di darek. Jadi yang berkuasa di darek adalah datuk parpatih nan sabatang (Sutan Balun). Perkawinan mereka berlangsung selama 11 bulan.
Karena malu dikungkung oleh sistem adat di darek maka adityawarman kerbau jantan gedang ) dari jawa bercerai dengan gadis jemilan kerbau betina gadis kecil ).
Adityawarman kembali ke jawa lewat jambi, dengan hati yang hancur dan kalah. Hal ini diwujudkan oleh orang darek melalui kiasan kerbau jantan besar dari jawa kalah oleh kerbau kecil dari silaut yang dibawa ke darek dalam adu kerbau (perkawinan). Itulah awal mulanya kerjaaan darek menjadi minang kabau pada tahun 1350 masehi.
Akibat bujuk rayu utusan datuk perpatih yang telah membawa gadis jemilan ke darek. Adapun janjinya yang tidak sesuai dengan kenyataanya yaitu dimana datuk parpatih mengawinkan gadis jemilan dengan orang yang beragama hindu dari jawa yang bernama adityawarman sangat tersinggung reno gemilan dan mansur syah. Pernikahanya tidak dihadiri oleh ibunya dan kakaknya mansur syah. Selanjutnya Mansur syah tersinggung kepada datuk parpatih dan juga kepada ibunya yang telah mengizinkan Gadis Jemilan untuk dibawa ke darek oleh Datuk Parpatih Nan Sabatang.
Akibat hal itu Mansur Syah berangkat meninggalkan Indojati lunang dan menetap di lowksamawe aceh dan beristrikan orang aceh, kemudian beristri lagi dengan orang cina asal yunan di kedah malaysia dan membuat kerajaan di sana. Dia bergelar Mansur syah atau kata orang cina muan - saw - tir - sha dia mempunyai 2 orang putra yang tertua bernama ahmad. Sampai matinya mansur syah tetap di malaysia, dan tidak pernah kembali ke Indojati. Mansur syah adalah merupakan cikal bakal kerajaan malayu di malaysia dan tidak pernah kembali ke indojati.
Seiring dengan kepergian Mansyur Syah dari Karajaan Indojati, beliau juga menyerahkan stempel kerajaan dan sebilah keris pusaka untuk diantar kepada Gadis Jemilan di daerah Darek sebagai bukti kelak di kemudian hari Gadis Jemilan masih sangat dimulyakan dan kepadanya harus dikuatkan dengan benda berharga kerajaan. Barang-barang kerajaan yang diantar dan dikuasai oleh Gadis Jemilan adalah stempel kerajaan dan keris pusaka, dengan demikian sewaktu-waktu dia dapat kembali ke Silaut dengan keturunannya untuk diangkut menjadi raja.




Gambar 1. Stempel dan Keris Kerajaan Indojati

Catatan: Menurut sejarah, stempel dan keris inilah yang dibawa ke Jambi oleh petinggi kerajaan untuk membuktikan bahwa Puti Salaro Pinang Masak adalah keturunan raja Melayu Pagarruyung sehingga dapat diterima oleh rakyat Jambi sebagai raja.
Stempel dan keris ini juga yang dibawa ke Kerinci sewaktu menobatkan Tuanku Magek Bagonjong anak dari Puti Sarunduk Pinang Masak sebagai raja Kerajaan Pamuncak Nan Tiga Kaum di Alam Kerinci-Serampas. Kedua benda ini masih dikeramatkan dan sebagai benda pusaka tersimpan di rumah adat Pulau Sangkar (Kerinci).

----------------------------------------
Ibu dari Gadis Jemilan yaitu Reno Gemilan akibat bujuk rayu utusan datuk parpatih dia sangat kecewa sampai mati juga dia tidak mau kembali ke darek dan meninggal di silaut dimakamkan di rantau suli dekat istananya di mudik perkuburan lubuk bunta orang kepercayaanya dimakamkan di lubuk peta tepi sungai silaut dimana bekas kerajaan tersebut sudah dilewati oleh batang sikai silaut sedangkan dahulu disitu sungai kecil menuju muaro samungo. Sedangkan sungai silaut yang besar dahulunya masih bermuara ke muara sakai.
Bercerai dengan adityawarman gadis jemilan kawin lagi dengan cina yang bernama La - la - tun, untuk menebus janjinya maka Datuk Parpatih dan Datuk Ketamanggungan membuat istana untuk gadis jemilan di darek yang disebutnya istana paga ruyung mengambil nama istana di selaut tempat Gadis Jemilan lahir.
Atau istana yang didiami oleh ibunya Reno Gemilan (walaupun tidak ada ruyung di darek karena ruyung tumbuh pada air asin). Gadis jemilan diangkat menjadi Bundo Kandung setingkat raja di darek oleh Datuk Parpatih nan Sabatang. Namun hati Reno Gemilan dan Mansur Syah tidak dapat terobati oleh keberadaan istana tersebut.
Kemudian jabatan bundo kandung di darek tersebut Gadis Jemilan diserahkan kepada anaknya yang pertama dan disetujui oleh datuk parpatih yaitu kepada ibu Romandung anak gadis jemilan yang tertua dan anak gadis jemilan yang kedua diangkat menjadi rajo mudo dan anaknya yang bungsu sikembang diangkat menjadi bendahara sering disebut si kembang bendahari karena dia wanita. Si kembang bendahari itulah ibu dari harullah dan bapak hairullah ialah slamet panjang gombak (cina).
Di kerajaan indojati reno gemilan menyerahkan kekuasaan raja kepada anaknya yang laki - laki 1347 masehi yaitu kepada mansur dan berhak memakai gelar syah ( raja).
Dia meninggalkan kerajaan indojati 1351 masehi sehingga pada tahun 1351 - 1357 masehi kerajaan indojati tidak ada syah atau raja, karena sesuatu dan lain hal maka rajo mudo di darek kembali ke silaut dan dialah yang dianggap orang sebagai raja, sedangkan darek dengan pagar ruyung (indojati) sudah renggang. Karena tidak adanya raja lagi di indojati maka masyarakat indojati banyak menyisir bandar 10 air haji sampai bayang pulut - pulut jalan menuju darek yang kelak berobah menjadi pesisir bandar sepuluh.

10. Ginayat Syah
Maka tahun 1357 masehi sepakat orang indojati mengangkat Ginayat cucu Reno Gemi!an ) anak kakak perempuan dari Mansur Syah atau keponakan Mansur Syah yaitu anak Reno Tuo dengan suaminya yang bernama Hasan asal darek yang berkembang di pariaman untuk menjadi sah (raja) di Indojati maka berhak dia memakai gelar ginayat sah. Dimana ginayat syah selama menjadi raja pernah berperang dengan sipatukah (portugis) dan si unggarai (ingris). Dizaman panglima laut magek jabang, terakhir ginayat sah berperang dengan pasukan tiang bungkuk atau kaum hulu balang sriwijaya yang lari ke muara rupit karena sriwijaya telah ditundukan oleh majapahit.
Perperangan pasukan Ginayat Syah dan pasukan Tiang Bungkuk terjadi bertempat di Indrapura, muko - muko, ipuh dan malepang dan kemenangan di pihak Ginayat Syah sehingga banyaklah jasat manusia yang diikat ampu jari tangannya yang hanyut menuju muaro sakai. Ginayat sah raja terlama di indojati sampai 1403 dan dia juga melidungi Bundo Kandung, Tuan Romandung, Sikembang Bendahari, Puti bungsu dan Slamet Panjang Gombak di Lunang,
Sejak tahun tersebut berakhirlah keberadaan raja di darek dan kekuasan dipegang oleh tuan lareh dan dibantu oleh datuk.
Ginayat sah meninggal dunia karena sakit dan sudah tua dan tidak mempunyai anak dan dia minta dikuburkan di polikan mudik berdekatan dengan kuburan tentara Ropit (sisa Sriwijaya ) supaya tahu oleh anak cucunya di kemudian hari sebagai bukti sejarah kepahlawananya. Tempatnya makam Ginayat sah dekat somil sabral sekarang.

11. Hairullah Syah
Sepeniggalnya Ginayat Syah terjadi kekosongan raja tidak begitu lama di kerajaan Indojati, karena pada tahun 1404 munculah Hairullah anak si Kembang Bendahari di Indojati setelah ditawan oleh Tiang Bungkuk dan dia telah juga membunuh Tiang Bungkuk di muaro ropit ulu sungai rawas (ulu sungai musi). Sebelum dia ditawan oleh Tiang Bungkuk, Hairullah telah beristri dengan Lenggo geni keponakan datuk Mandaro di darek dan telah mempunyai satu orang anak yang bernama Iskandar yang ditinggalkannya pada umur 1 tahun karena menjadi tawanan Tiang Bungkuk.
Setelah Tiang Bungkuk meninggal dia juga mempunyai anak dengan Reno Bulan (1 orang) yang bernama Temenggung Kabur di Bukit. Karena permintaan Tiang Bungkuk sebelum dia dibunuh oleh Hairullah agar mengawinkan Reno Bulan, karena kakaknya Imbang Jayo juga sudah meninggal dibunuh oleh kali bayan nunlah (Cindur Mato). Dengan siapa dia harus hidup sedangkan Tiang Bungkuk calon akan dibunuh oleh Hairullah. Secara jiwa besar itulah sebabnya dia kawin dengan Reno Bulan dan melahirkan anak laki - laki yang bernama Temenggung Kabur di Bukit (cucu tiang bungkuk ) inilah cakal bakal rajo jambi bagian barat.
Hirullah sah karena sakti dia diangkat menjadi raja di indojati karena dia juga garis raja. Hairullah sah adalah cucu reno gemilan yaitu anak dari sekembang bendahari, dengan slamet panjang gombak saat itu itulah adat matrilinial mulai masuk ke indojati dan belum begitu diterima oleh orang indojati.
Adapun sistim matrilinial ini oleh bundo kandung diterapkan darek untuk melindung romandung dan hairullah karena garis ke atas itu sangat penting apalagi romandung anak dari bundo kandung yang bapaknya adalah adityawarman (annasha anabrang). Sejak itu istilah sarak mendaki ke darek adat menurun ke indojati
Hairullah diangkat orang menjadi raja dilunang dan berhak memakai gelar syah.yaitu bergelar hairullah syah dia memegang jabatan selama 11 tahun yaitu sampai tahun 1415 dia menderita sakit hampir 1 tahun menjelang kematianya dia berpesan kepada rangkayo, penghulu dan datuk dua selo, lunang silaut terutama kepada rajo nan panjang yang memegang kendali kerajaan waktu itu merangkap sebagai panglima laut. Dimana jika seandainya kelak dia meninggal dunia. Maka dia minta pengganti dirinya untuk menjadi syah (raja) di indojati agar dapat diangkat orang yang mempunyai darahnya berwarna putih .
Waktu hairullah sah sakit dan sampai meninggalnya kekuasaan sementara dipegang oleh panglima laut rajo nan panjang, dan sebelum hairullah sah -meninggal dia minta dikuburkan di lunang dekat istananya (rumah gedang lunang ).
Setelah Hairullah syah meninggal dunia tarjadi kekosongan raja selama 2 tahun di ke rajaan indojati. Adapun Hairullah sah selama hidupnya 2 kali dia menikah dan mendapat dua orang putra, putra yang tertua adalah hasil perkawinanya dengan istrinya di darek yaitu dengan keponakan datuk bandaro yang bernama lenggo geni, adapun putranya yang di darek tersebut bernama Iskandar dan di tinggalkanya waktu umur 1 tahun karena dia di tawan oleh tiang bungkuk dan dibawa ke ropit, Lenago geni sendiri tidak pernah diceraikan oleh Hairullah sah begitu juga Reno Bulan,
Setelah Iskandar menginjak remaja berurnur sekitar 16 tahun mencari orang tuanya Hairullah ke daerah selatan karena ditawan oleh Tiang bungkuk. Karena dia tidak pernah tahu dengan wajah ayahnya. Iskandar diserahkan oleh ibunya Lenggo geni satu botol air sebelum berangkat. Jika kelak bertemu dengan air yang berat nya sama dengan air dalam botol yang dibawanya itulah tempat hairullah syah bapaknya berada. Terakhir perjalanannya dari darek ke daerah selatan. Di lokasi daerah di kuala air dikit (kabupaten muko - muko) setelah terjadi sesuatu akhirnya Iskandar diantar orang ke rumah rajo nan panjang di Indrapura selaku pemegang kekuasan diwaktu itu.

12. Sultan Iskandar Bagagar Alam Syah
Setelah dia mencoba membuat bingkai lukah akibatnya luka ditangan waktu meraut rotan, hal itu membawa hikmah tersendiri bagi iskandar, dimana rajo nan panjang menghimbau seluruh rang kayo datuk dua selo lunang silaut bahwasanya pengganti hairullah syah telah berada di indrapura yaitu di rumah rajo nan panjang. Setelah beberapa hari dan didapat kesepakatan Iskandar diarak dan dinobatkan orang sebagai syah (raja) walaupun dia anak pisang indojati, karena dia adalah anak raja yaitu anak hairullah sah, dia diangkat sebagai raja bergelar sultan iskandar bagagar alam syah sejak itulah raja memakai pangkal nama sultan ( st ) setahun setelah dia menjadi raja dia dikawinkan dengan anak gordan gonto sori dari kaum rajo melayu indrapura yang bernama ratna nandewa yaitu pada tahun 1418 di kampung empat lenggam indrapura dekat muaro gedang, iskandar bagagar alam syah sangat bertanggung jawab dan melindungi wilayah kerajaanya dari air bangis sampai ketaun (ombak yang berdebur) dia berkali - kali, berperang dengan portogis dan ingris, ketika peperangan dia sendiri memimpinya.
Kerajaan indojati dirobahnya menjadikerajaan air pura berkedudukan di kampung empat lenggam di istananya di ambacang manis dekat muaro gedang sultan iskandar bagagar alam syah berkuasa kerajaan dirobah namanya dari indojati menjadi air pura dan sejak inilah kerjaan dari lunang pindah ke indrapura.
Iskandar bagagar alam sah pernah berperang dan adu sakti dengan, temegung kabur di bukit raja jambi bertempat di kerinci mempertahankan kerinci dan berkelahi selama 3 hari tanpa ada pemenangnya, dia dilerai oleh seseorang yang mengerti seluk beluk raja yang sedang berkelahi tali dimana dia mengatakan bahwa kedua tuanku raja sedang berkelahi adalah satu bapak dan berlainan ibu.
Dimana mereka yaitu sama - sama anak hairullah setelah sadar maka dibuatlah perjanjian di bukit sitinjau laut dan memotong kerbau satu setengah ekor dan darah kedua raja tersebut dicampur dalam mangkuk karang setio dan diminum bersama - sama dengan janji yaitii :
1. Tengkuluk latuh serindit lepas adat teliti, balik ke jambi
2. Undang - undang dan rumah beratap ijuk balik ke minang kabau
3. Mas nan se emas serta rumah beratap sikai kembali ke indrapura ( tanah tiga lurah negeri 4 jurai 20 kaum muko-muko selingkup alam kerinci )
Iskandar bagagar alam sah adalah orang ke tiga yang memakai darah syah yang berdarah darek yang beristana diwilayah pagar ruyung indrapura ).
Iskandar bagagar alam syah adalah jabatan raja yang ke 11 dan merupakan raja ke 8 yang memakai gelar syah dan merupakan raja yang pertama yang memakai gelar sultan di kerajaan indojati indrapura ).
Selama dia berkuasa adat darek semakin dipopulerkan di daerah indojati yaitu di tanah tiga lurah negeri empat jurai 20 kaum muko -muko serta alam kurinci. Di zaman hairullah sah dan iskandar bagagar alam syah orang indojati yang dulu banyak ke darek sekarang berangsur - angsur kemabali ke indojati dan terpusat di dusun dobi dan dusun batu muko - muko sebab raja tidak ada lagi di darek sedangkan darek diperintah oleh tuanku lareh dan datuk.
Selama perkawinan iskandar bagagar alam sah dengan permaisurinya ratna mandewa menghasilkan 3 orang anak yaitu puan leha, pirman dan gumbalo intan, dan gumbalo intan dikawinkan dengan anak raja aceh. Iskandar bagagar alam sah meninggal sewaktu melawan ingris untuk mempertahankan wilayahnya bengkulu.
Dia meninggal diwilayah bengkulu utara, karena kecintaan rakyat kepadanya sangat tinggi maka mayatnya dipikul orang pakai tandu dalam gardo cermin menuju indrapura dan tidak diangkut dengan perahu, dia sangat dicintai dan mencintai rakyat dan sangat ditakuti oleh lawan dia merupakan raja besar dan gagah berani karena disepuh oleh perjalanan hidupnya sejak ditinggal ayahnya sampai masa berkelana mencari ayahnya. Dia mati umur separoh baya dan masih gagah.
Kabar setengah orang mengatakan dia mikrat ditengah jalan dan sebagian lagi orang mengatakan mayatnya iskandar bagagar alam sah tidak sampai ke indarapura. Tetapi yang jelas sekarang diakui mayat iskandar bagagar alam syah terbujur kaku dimakamnya di tanjung batang kapeh indrapura. Iskandar bagagar alam sah berkuasa memimpin kerajaan airpura selama 21 tahun.

Gambar 2. Stempel Kerajaan
Sultan Iskandar Bagagar Alam Syah

13. Sultan firman sah = raja kerajaan air pura
Iskandar bagagar alam syah diganti oleh anaknya firman dia diangkat menjadi syah dan bergelar kebesaran yaitu sultan firman syah, dia mempunyai istri asal muko - muko yang masih berdarah darek dalam kaum sanguno dirojo. Kegiatan kerjaan airpura ke selatan, firman syah orangnya gagah tanpan dan berani tetapi belum bisa menyamai keberanian bapaknya.
Firmansah mempunyai anak 5 orang tiga wanita dua orang laki -laki yaitu anak yang laki - laki bernama nurman dan usman. Firmansyah menderita sakit sejak tahun 1458m dan meninggal tahun 1462m dan dikuburkan di lalang panjang, dia memerintah selama 23 tahun, dan selama pemerintahanya kerjaan airpura tidak begitu banyak mendapat tantangan.

13. Sultan Nurman syah, = raja kerajaan air pura
Semasa firmansyah sakit dia menyerahkan kekuasan kepada anaknya nurman sedangkan nurman baru berumur 10 tahun dia diangkat menjadi sah dan bergelar sultan nurman syah. Dia mempunyai putra 3 orang yaitu 2 wanita 1 pria dia memegang gelar sah selama 14 tahun. Dia meninggal dalam usia muda berumur 24 tahun dan meninggal 3 orang anak yaitu seorang pria yang bernama nardu alam.

14. Sultan Usman sah
Nurman syah digantikan oleh adiknya yang terkecil bernama usman tahun 1471 dalam usianya 20 tahun dan berhak memaki gelar raja syah yaitu sultan usman syah.
Sultan usman syah adalah raja yang terkenal yang sangat arif dan bijaksana manajemen dan kerja samanya denga pihak lain sangat baik , wilayah kerajaannya sangat luas yaitu mulai dari biha krol dan liwa lampung barat sampai ke air bangis terus ke singkil pulau tengku aceh barat dimasa beliau inilah kerjaaan dirobah namanya menjadi kerajaan jaya pura.
Dan suami kakaknya yang bernama jamilah diberinya memegang wilayah aceh sampai ke riau, dan beristana di kampung indrapuri pidi sigli aceh. Semasa beliau hidup seluruh pembesar kerajaan jayapura memanggil raja aceh dengan sebutan uia atau gata (kamu atau saya) tidak perlu pakai petik atau hamba
Usman sah mempunyai anak 5 orang seluruhnya wanita tertua bernama hartini, tidartun dan yang terkecil bernama saripah, kakaknya jamilah yang kawin dengan orang makudum dalam 6 kaum dmidik indrapura diberikan kekuasaan di pidi dan lowksamawe dan dibuat perkampungan bernama indrapura karena jamilah putri raja indrapura anaknya bernama ibrahim.
Dimana ibrahim tidak bersama dengar ibunya di pidi tetapi banyak, hidup di indrapura bersama pamanya usman sah. Setelah dia besar ibrahim dikawinkan oleh usman sah dengan putrinya yang bernama tidartun anak usman syah yang tertua dan diberinya wilayah kekuasaan di daerah pidi lowksamawe dan aceh timur dimana orang tuanya berada.
Ibrahim diberi gelar oleh usman sah yaitu mohayat syah dan berkuasan 1506 - 1524. Dimana istri mohayat sah tidartun bersaudara kandung dengan saripah ibu musapar sah. Dan usman sah lah yang merobah nama kerajaan airpura menjadi kerajaan jayapura. Dia memerintah di jayapura selama 32 tahun dan usman sah meninggal dunia setelah tua dirumah keponakanya dan anaknya jamilah atau menantunya vaitu di tempat mohayat sah di pidi aceh dia akan dibawa ke indrapura karena sesuatu dan lain hal terpaksa dikuburkan di pulau tongku singkil aceh barat.

16. Sultan Muhamad Syah (merdu alam. Raja kerajaan jaya pura)
Karena usman sah tidak mempunyai anak laki -laki orang menyerahkan kekuasan kepada anak kakaknya yaitu anak nurman soar yang bernama mardu alam untuk menjadi raja ( sah ) dan dia diangkat menjadi raja dan bergelar sultan mohamad sah dan permaisurinya bernama puan nur nir nala asal aceh. Mardu alam orangnya juga sangat gagah dan berani dar berjiwa sem, aril dan bijaksana.

17. Sultan muhamad syah ( ngoh - ngoh raja kerajaan ujung indrapura
Merdu alam digantikan oleh cucu usman sah anak dari hartini yang sering dipanggil ngoh - ngoh yang bergelar sultan mohammat sah, ngoh - ngoh menikah dengan wanita pariaman dan mendapat anak 2 orang pria 4 orang wanita.
Ngoh - ngoh senang dipuji dan wilayahnya kurang terjaga sehingga ujung ke ujung pindah ke kerajaan lain seperti biha, kroi dan lain - lain sudah masuk ke banten natal sam,dal singkil sudah masuk ke aru ( batak ) dan sebagian ke aceh. Ngoh - ngoh asik bersenang lena di istananya dijayapura dan juga di pariaman. Metri sating bertingkah akibat saliro mengambil muka kepada raja, istri dan keluarga istrinya ikut mengatur istana hukum kurang berjalan sebagaimana mestinya perlidungan kerjaaan kepada rakyat sangat kurang bahkan panglima laut ikut mengambil muka dia sering bolak batik indrapura pariaman sehingga kerajaan dirobah namanya dari jayapura menjadi ujung indrapura perobahan ini atas permintaan istrinya.

18. Sultan Musapar = pain kerajaan indrapura
Kerajaan sudah mulai miring pusaka dan wilayah berangsur angsur kurang. Adat dan agama semakin renggang melihat hat yang demikian orang kerajaan sepakat seluruhnya mrnyarankan agar ngoh -ngoh meletakan jabatan dan mengangkat musapar anak dari saripah yang juga cucu dari usman sah menjadi raja dan berhak memakai gelar sah yaitu sultan mospar sah.
Ngoh - ngoh beserta istri dan keluarga istrinya kecewa berat dia kembali ke Pariaman setelah 20 tahun berkuasa memimpin kerjaan ujung indrapura setelah itu jarang dia kembali ke indrapura sampai meninggal di pariaman.
Ucapannya indah didengar dan istrinya orang aceh dia meninggal dan dimakam di aceh setelah memerintah selama 23 tahun di kerajaan jaya pura. *** (bersambung)

Catatan: Silakan komentari dan beri masukan, terima kasih.

Selasa, 10 Agustus 2010

Kerajaan Sigindo

Bab 7
KERAJAAN MELAYU DAN
NEGERI SIGINDO
(Suntingan dari Buku "Menelusuri Sejarah Kerajaan Melayu Jambi"
Karangan: Prof. Aulia Tasman, SE, MSc, Ph.D

1. Asal-usul Sigindo
Diperkirakan bahwa sekitar abad ke 6 M di wilayah Alam Kerinci, telah terbentuk negeri-negeri yang secara terpisah mempunyai pemerintahan sendiri. Sebuah komunitas masyarakat sudah barang tentu mencari pemimpin dari orang-orang yang mempunyai pengaruh dan disegani dalam kelompoknya. Biasanya mereka juga merupakan orang yang diyakini memiliki kesaktian sehingga diharapkan dapat melindungi negeri dari berbagai mara bahaya yang ditimbulan manusia, alam, binatang, maupun roh-roh jahat. Munculnya pemimpin-pemimbin negeri baru ini diperkiranan seiring dengan pertumbuhan negeri-negeri di Alam Kerinci yaitu sekitar abad ke 6 M. Para pemimpin negeri itu, dikenal dengan sebutan Sigindo atau kepala kaum/kelompok darisuatu komunitas keturunan dari kelompok masyarakat yang mendiami suatu daerah tertentu, dimana sekaligus merangkap sebagai kepala pemerintahan dari suatu wilayah negeri.
Sebuah negeri Sigindo teridiri atas beberapa buah dusun, dimana di dalam sebuah dusun terdapat kelompok kekarabatan masyarakat seketurunan. Pada kelompok kekarabatan ini masih terdapat lagi kelompok yang lebih kecil kaitu kumpulan dari kelompok-kelompok kekeluargaan, sedangkan strata masyarakat yang paling kecil adalah keluarga. Masing-masing strata kekarabatan mulai dari unit yang terkecil dipimpin oleh seorang kelompk yang ditunjuk dan dipilih menurut ketentuan adat yang berlaku.
Dalam perkembangan selanjutnya, untuk unit keluarga terkecil disebut denan Tumbi oleh kepala Tumbi atau kepala keluarga. Kempulan dari beberapa unit keluarga kecil (tumbi) dalamlingkup kekarabatan seketurunan disebut dengan istilah Perut, dan dipimpin oleh Tengganai. Lapisan berikutnya merupakan dari beberapa Perut disbeut dengan istilah Kelebu dan dipimpin oleh kepala Kelebu yang lazim disebut sekarang dengan istilah Ninik Mamak. Sedangkan kumpulan dari kekerabatan Kelebu disebut dengan ‘luhak; atau lurah yang dipimpin oleh seorang kepala lurah yang lazim disebut dengan Depati. Masing-masing strata di atas mempunyai tugas dan tanggung jawab sendiri-sendiri yang pada intinya menuntun dan membimbing masyarakat untuk dapat mentaati norma dan kententuan adat negeri.
Melalui strata kemasyarakatan di atas, segala bentuk kebijakan pemerintah negeri disampaikan secara beranting ke bawah. Melalui alir system ini dilakukan pengendalian terhadap komponen masyarakat atau warga yang terhimpun dalam sebuah negeri Sigindo. Masing-masing pemimpin pada strata masyarakat yang terbentuk memikul tugas dan tanggung jawab membina dan mengurus anak negeri atau kaum kerabatnya.
Bila sebuah negeri Sigindo hanya merupakan sebuah dusun, maka berarti Sigindo yang memerintah hanya memeritnah strata kelompok masyarakat yagn berada alam lingkup dusun itu saja. Namun apabila sebuah negeri Sigindo terdiri atas banyak dusun dibawahnya, maka Sigindo yang berkuasa berarti memerintah dan mengatur seluruh strata kemasyarakatan yang terdapat pada beberapa dusun. Makin banyak dusun-dusun yang berada di bawah sebuah pemerintahan Sigindo menunjukkan besarnya kekuasaan seorang Sigindo.
Pada pemerintahan para Sigindo dikisahkan bahwa kehidupan masyarakat di Alam Kerinci berjalan dengan baik. Masyarakat dapat hidup aman, tentram dan makmur. Pemerintahan Sigindo semakin meluas sehingga di Alam Kerinci terdapat banyak negeri yang dibawah kepemimpinan Sigindo. Banyak diantara negeri Sigindo tersebut berasal dari induk Sigindo yang sama atau negeri tersebut berasal dari induk negeri yang serumpun, namun secara otonom masing-masing menjalankan pemerintahan secara terpisah.
Masing-masing mengurus dan mengatur kepentingan penduduk negerinya tanpa ikut sampur Sigindo asalnya. Tidak ada Sigindo yan gberada dibawah kekuasaan Sigindo yang lain, atau satu Sigindo takluk pada kekuasaan sebuah pemerintahan Sigindo lainnya. Walaupun tidak terdapat hubungan secara hirarki dengan pemerintahan Sigindo negeri asal, namun pemerintahan Sigindo yang berumur lebih tua (Sigindo asal) selalu dihormati oleh Sigindo yang lebih baru. Negeri Sigindo yang keberadaanya lebih muda sunggupun tidak berada dibawah kekuasaan atau pengaruh Sigindo asal, akan tetapi mereka selalu mengikuti langkah kebijakan pendahulunya dalam meminpin negeri. Perselisihan antara negeri Sigindo jarang diceritakan, karenanya boleh dikatakan jarang terjadi. Kalaupun ada, itupun hanya terjadi antara Sigindo pada tingkatan lapisan di bawah atau antara negeri Sigindo yang berbeda asal. Perselisihan biasanya akan dapat diselesaikan melalui peran Sigindo-Sigindo asalnya. Indilah diantara kekhasan dari pemerintahan Sigindo di Alam Kerinci.

2. Wilayah Sigindo-Sigindo
Dalam pertumbuhannya, sebagaimana kebanyakan pemerintahan negeri-negeri pada masa lalu, ada negeri yang kuat dan berkembang, sebaliknya adapula yang tidak mampu bertahan dan akhirnya tenggelam atau lenyap. Hal tersebut juga berlaku terhadap negeri-negeri Sigindo di Alam Kerinci, dimana tidak semua negeri Sigindo dapat tumbuh menjadi negeri yang makmur dan kuat. Bagi negeri yang tidak mampu berkembang, maka secara alamiah lenyap dengan sendirinya. Bilamana suatu negeri Sigindo tidak dapat bertahan lagi, maka biasanya rakyat negeri tersebut akan memilih bergabung dengan negeri Sigindo lain, yaitu dengan negeri Sigindo yang lebih kuat dan makmur. Kondisi ini merupakan seleksi alamiah yang terjadi terhadap kemapanan dari suatu pemerintahan Sigindo yang tersebar di Alam Kerinci. Sehingga pada akhirnya pemerintahan Sigindo yang bertahan, memang benar-benar pemerintahan Sigindo yang telah terusji kemapanannya.
Dari sekian banyak negeri Sigindo di Alam Kerinci, diantaranya yang sering disebut orang untuk Kerinci Tinggi adalah:
1. Sigindo Batinting (Segerinting atau Keninting) terletak di wilayah Selatan Danau Kerinci. Wilayah ini diduga merupakan lokasi bekas dusun purba Jerangkang Tinggi. Di wilayah ini terdapat beberapa dusun yang dulunya berkembang pesat dan maju.
2. Sigindo Sakti yang lokasinya diperkirakan terletak dibagian timur dusun Lempur. Negeri dalam wilayah tanah Sigindo ini adalah dusun-dusun yang berasal dari dusun purba Tanjung Muara Sekiau.
3. Sigindo Balak wilayahnya memayungi negeri-negeri yang berasa dari bekas dusun pubra Renah Punti. Daerah tanah Sigindo ini diperkirakan disekitar dusun Serampas sekarang.
4. Sigindo Elok Misai yang diperkirakan berada disekitar dusun Jangkat (Muara Maderas). Negeri tanah Sigindo ini berasal dari dusun purba Koto Mutun.
5. Sigindo Bauk diperkirakan berada dekat dusun Tamiai sekarang. Negeri dari tanah Sigindo ini berasa dari dusun purba Muara Sekiau berlokasi di tepi Batang Merangin.
6. Sigindo Teras diperkirakan berlokasi disekitar dusun Pengasi, yang berasal dari dusun purba Jerangkang Tinggi.
7. Sigindo Kumbang diperkirakan berlokasi di daerah Jujun di pinggir Danau Kerinci. Wilayah Sigindo ini berasal dari dusun purba Jerangkang Tinggi.
8. Sigindo Kerau diperkirakan berlokasi di dusun Selemean sekarang. Negeri dibawah tanah Sigindo ini berasal dari dusun purba Koto Jelatang.
9. Sigindo Keramat diperkirakan berlokasi di luar dusun Hiang sekarang. Negeri yang tercakup disini berasal dari dusun purba Koto Jelatang.
10. Sigindo Kecik diperkirakan berlokasi di luar dusun Tanah Kampung sekarang. Negeri yang terlingkup dalam wilayah kekuasaan Sigindo Kecik berasal dari dusun purba Koto Beringin.
11. Sigindo Siung diperkirakan berlokasi di daerah perbukitan di sekitar dusun Kumun sekarang. Negeri yang berada di bawah tanah Sigindo ini beradal dari dusnu purba Talang Betung.
12. Sigindo Panjang Rambut diperkirakan berlokasi di atgas bukit dekat dusun Sungai Liuk sekarang. Negeri yang berada dibawah tanah Sigindo ini berasal dari dusun purba Koto Beringin.
13. Sigindo Merak diperkirakan berlokasi di atas perbukitandekat dusun Tebat Ijuk sekarang. Negeri yang masuk wilayah ini berasal daeri dusun purba Koto Limau Sering.
14. Sigindo Junjung diperkirakan berlokasi di Tanjung Kerbau Jatuh (Sanggaran Agung) sekarang. Negeri yang berada dibawah tanah Sigindo ini berasal dari pemekaran dusun purba Jerangkang Tinggi.
15. Sigindo Siah tanah Sigindo Rawo, tanah Sigindo Batinting dan tanah Sigindo Bujang diperkirakan berlokasi di sekitar dusun Pulau Sangkar sekarang. Negeri yang ini berasal dari dusun purba Jerangkang Tinggi.
16. Sigindo Kuning berlokasi di daerah Pratin Tuo (dusun Tuo). Negeri yang berada di bawah Sigindo ini berasal dari dusun purba Lapai Tuo. Daerah ini disebelah Timur Serampas.
Sedangkan untuk daerah Kerinci Rendah tanah Sigindo yang sering dituturkan adalam perbincangan tetua masyarakat adalah:
1. Sigindo Segilintang berada disekitar daerah Pamenang sekarang. Negeri yang berada dalam lingkup tanah Sigindo ini berasal dari dusun purba Sungai Lintang.
2. Sigindo Timben berada pada daerah sekitar dusun Sungai Manau sekarang. Negeri yang berada dalam lingkup wilayah ini berasal dari dusun purba Timben.
3. Sigindo Pengantung wilayahnya berada pada daerah sekitar Pangkalan Jambu sekarang. Sigindo ini menerintah negeri yang berasal dari dusun purba Pengantung.
4. Sigindo Malgan wilayahnya juga berada pada daerah sekitar Pangkalan Jambu. Negeri yang berada dalam lingkup tanah Sigindo ini berasa dari dusun purba Malgan.
5. Sigindo Simukun wilayahnya berada disekitar Nalo dan Tantan sekarang. Negeri yang berada dalam lingkup wilayah ini beradal dari dusun purba Muaro Simukun.
6. Sigindo Demahu wilayahnya juga berada pada daerah sekitar Nalo dan Tantan sekarang. Seang negeri yang berada dalam lingkup tana seginda oni beradal dari dusun purba Demahu.
7. Sigindo Buluh wilayah berada pada daerah sekitar Nalo dan Tantan. Negeri yang berada dalam lingkup tanah Sigindo ini berasal dari dusun purbah Lubuk Buluh.
Pada masa kejayaannya, keberadaan negeri Sigindo di Alam Kerinci telah menjadi pembicaraan dari banyak kerajaan atau pemerintahan pada waktu itu. Perkembangan ini berpengaruh cukup besar terhadap eksistensi pemerintahan negeri-negeri Sigindo. Kekawatiran akan terjadi perselisihan di antara negeri Sigindo yang disebabkan perebutan pengaruh dari kerajan luar mungkin saja terjadi. Para Sigindo menyadari akan potensi komplik ini, maka untuk itu para Sigindo yang berpengaruh di Alam Kerinci lalu memprakarsai langkah-langkah konsolidasi ke arah persatuan dan kesatuan negeri-negeri Sigindo.
Prakarsa ke arah terbentuknya persatuan ini telah melahirkan Negara Sigindo Alam Kerinci yang bernaung dalam satu payung pemerintahan yang terkoordinasi pdaa tahun 644 M. Pusat pemerintahan kolektif ini berkedudukan di Jerangkang Tinggi sengan Sigindo rumpun kerabat tertua yaitu Sigindo Batinting dari Jerangkang Tinggi dituungai Musi. Kepindahan pusat kerajaan diduga karena posisi Muara Takus sebagai pusat pengendalian kekuasaan kurang strategis bagi perkembangan masa depan kerajaan. Dalam Prasasti Kedukan Bukit tahun 683 M disebutkan mereka pindah denan membawa tentara sebanyak 20.000 orang menggunakan perahun dan 1.312 orang berjalan kaki. Mengendalikan kekuatan besar itu, mereka lalu membangun Kedukan Bukitdiantaranya, negara Sigindo menjalin persahabatan dengan kerajaan tetangga yaitu kerajaan Malayu. Hubungan baik ini telah dibina cukup lama dan kedua belah pihak mendapat manfaat yang saling menguntungkan terutama dalam perniagaan diantara penduduk negeri. Namun h Samwau magalap sidhayatra di saptami cuklapakan
4. Wulan Jyestha dapunta hyang marlepas dari minanga
5. Tamwa (r) mamawa yang wala dua laksa ko
6. Dua ratus saradisamwau dengan jalan gariwu
7. Tlu ratus sapulu dua wanyaknya datang dari matada (nau)
8. Sukhacitta di pancami suklapaksa wula(n) (asada)
9. Laghu mudita datang marwuat wanua
10. Criwijaya jaya siddhayatra subhiksa…

Terjemahan (Mulyana, 1981)
1. Bahagia ! pada tahun saka 605 hari kesebelasan
2. Dari bulan terang bulan waisaka dapunda hyang naik di
3. Perahu melalukan perjalanan. Pada hari ketujuh dari bulan terang
4. Bulan Jyestha dapunta hyang berangkat dari minanga
5. Tamwa (r) membawa tern perdagangan yang dipasok dari negeri-negeri pedalaman Sumatera, termasuk dari negeri-negeri Sigindo. Posisiang di matada (nn Melayu menjadi penting artinya bagi kerajaan Sriwijaya. Oleh sebab itu kerajaan Melayu perlu segera dikuasai agar tidak menjadi batu sandungan di kemudian hari.
Untuk menaklukkan kerajaan Melayu, maka kerajaan Sriwijaya mempersiapkan strategi penyerangan seca menjadi ibukota kerajaan. Lokasi Kedukan Bukit diperkirakan terletak di sungai Musi atau sekitar kota Palembang sekarang.

PRASASTI KEDUKAN BUKIT
1. Swasti Cri Cakawareatita 605 Ekadaci cu
2. Klapaksa wulan waickha dapunta hyang nayik di
3. Samwau magalap sidhayatra di saptami cuklapakan
4. Wulan Jyestha dapunta hyang marlepas dari minanga
5. Tamwa (r) mamawa yang wala dua laksa ko
6. Dua ratus saradisamwau dengan jalan gariwu
7. Tlu ratus sapulu dua wanyaknya datang dari matada (nau)
8. Sukhacitta di pancami suklapaksa wula(n) (asada)
9. Laghu mudita datang marwuat wanua
10. Criwijaya jaya siddhayatra subhiksa…

Terjemahan (Mulyana, 1981)
1. Bahagia ! pada tahun saka 605 hari kesebelasan
2. Dari bulan terang bulan waisaka dapunda hyang naik di
3. Perahu melalukan perjalanan. Pada hari ketujuh dari bulan terang
4. Bulan Jyestha dapunta hyang berangkat dari minanga
5. Tamwa (r) membawa terntara dua laksa orang
6. Dua ratus orang diperahu, yang berjalan seribu
7. Tiga ratus dua belas datang di matada (nau)
8. Dengan senang hati, pada hari kelima bulan terang bulan (Asada)
9. Dengan lega gembira datang membuat wanua….
10. Sriwijaya melakukan perjalanan jaya denga lengkap’
Versi lain dari H. Boedenani (1970: 19-22) mengatakan kerajaan Sriwijaya berasa dari kaki Gunung Dempo di pergunungan Bukit Barisan di tengah pulau Sumatera bagian selatan. Dari sini mereka turun mengikuti aliran sungai Musi dan pada tahun 682 M mereka membuat ibukota di Kedukan Bukit. Kepindahan ini diperkuat oleh prasasti Talang Tuo tahun 684 M yang ditemukan tidak berapa jauh dari Kedukan Bukit. Sebagaimana disebutkan dalam prasasti Kedukan Bukit, dengan kekuatan bala tentara yang besar mereka membangun kerajaan dan kemudian menaklukkan daerah sekitarnya.
Kerajaan Sriwijaya yang berambisi untuk mengukuhkan pengaruh da kekuasaannya atas bumi nusantara terus melakukan ekspansi ke daerah-daerah disekitarnya dengan mengirim pasokan dan armada perang yang tangguh. Salah satu daerah terdekat yang menjadi sasrajaan Melayu, pengaruh kerajaan Sriwijaya juga sampai ke daratan Asia Tenggara, seperti Malaysia (Tanjung Kra), Birma, Kamboja, Annam dan kepulauan Filipina. Daerah-daerah itu sebelumnya berada dibawah pengaruh kekuasaan kerjaan Melayu.
Masih dalam abad ke 7 M ekspansi kerajaan Sriwijaya juga dilakukan ke daerah Selatan dengan menaklukkan kerajaan Tulang Bawang di daerah Lampung. Setelah itu, kerajaan Sriwijaya mengukuhkan pula kekuasaannya ata pulau Bangka (Prasasti Kota Kapur tahun 686 M). Ekspansi tidak terhenti di sini karena diteruskan ke pulau Jawa. Berbarengan dengan ekspansi ke pulau Jawa, kerajaan Sriwijaya ra matang. Persiapan dilakukan mengingat posisi kerajaan Melayu merupakan satu kerajaan terkuat di Sumatera. Setelah segala sesuatu dipersiapkan dengan baik, maka penyerangan lalu dilaksanakan baik melalui darat maupun laut terhadapdaerah-daerah pusat kekuatan kerajaan Melayu. Gempuran yang dilakukan berkali-kali dari berbagai penjur wilayah menyebabkan kerajaan menjadi amat kewalahan. Upaya yang melelahkan dan memakan banyak korban jiwa mapun materi itu, akhirnya membuahkan hasil dengan takluknya kerajaan Melayu. Diperkirakan pada sekitar pertengahan abad ke 6 M kerajaan Sriwijaya dapat menguasai hampir sebagian besar wilayah kerajaan Melayu. Kekalahan kerahaan Melayu telah menempatkan kerajaan Sriwijaya tumbuh dan berkembang dengan cepat. Sama halnya dengan kerajaan Melayu, pengaruh kerajaan Sriwijaya juga sampai ke daratan Asia Tenggara, seperti Malaysia (Tanjung Kra), Birma, Kamboja, Annam dan kepulauan Filipina. Daerah-daerah itu sebelumnya berada dibawah pengaruh kekuasaan kerjaan Melayu.
Masih dalam abad ke 7 M ekspansi kerajaan Sriwijaya juga dilakukan ke daerah Selatan dengan menaklukkan kerajaan Tulang Bawang di daerah Lampung. Setelah itu, kerajaan Sriwijaya mengukuhkan pula kekuasaannya ata pulau Bangka (Prasasti Kota Kapur tahun 686 M). Ekspansi tidak terhenti di sini karena diteruskan ke pulau Jawa. Berbarengan dengan ekspansi ke pulau Jawa, kerajaan Sriwijaya melakukan pula penyerangan ke daerah-daerah pedalaman pulau Sumatera. Salah satu daerah yang menjadi sasaran adalah negara Sigindo Alam Kerinci. Kerajaan Sriwijaya kelihatan sangat berkepentingan terhadap negeri-negeri Sigindo, karena wilayah Alam Kerinci di bawah pemerintahan para Sigindo selama ini diketahui sebagai daerah pemasok berbagai komoditi dagang untuk pasar manca negara.

4. Kerinci Rendah Dikuasai Sriwijaya
(Idris Ja’far, 2003)
Selama terjadi komplit antara kerajaan Sriwijaya dengan kerajaan Melayu pasokan komoditi perdagangan dari daerah Alam Kerinci terasa sangat menurun. Demikian juga setelah kerajaan Sriwijaya menaklukkan kerajaan Melayu arus barang-barang melalui daerah Jambi dan Alam Kerinci volumenya terus berkurang. Menurunnya pasokan komoditi dagang yang berasal dari daerah Alam Kerinci ke jalur perdagangan pantai timur Jambi dikaeranakan negeri-negeri Sigindo telah mulai mengalihkan jalur perdagangan ekspornya ke pelabuhan-pelabuhan pantai Barat Sumatera yang kebetulan lagi berkembang. Perubahan jalur perniagaan ini dilakukan para pedagang negeri Sigindo atas pertimbangan keamanan yang sulit untuk diatasi. Selain itu, kebetulanpula pelabuhan samudra di pantai Barat mulai banyak digunakan armada dagang manca negara dari daratan India dan Asia Tenggara. Perubahan situasi ini memberikan prospek yang cukup baik bagi negeri-negeri disekitar pantai Barat dalam perniagaan, mengingat perairan Selat Malaka semakin tidak kondusif untuk dilayani.
Akan tetapi kerajaan Sriwijaya beranggapan bahwa negeri-negeri Sigindo Alam Kerinci sengaja melakukan pembangkangan. Sebenarnya apa yang dikemukakan kerajaan Sriwijaya hanya merupakan alasan semata. Pada hal sebenarnya kerajaan Sriwijaya berambisi menaklukkan seluruh pemerintahan atau kerajaan-kerajaan yang terdapat disekitarnya. Kecongkakan yang tidak bias dibendung lagi, lalu mereka wujudkan dengan mengerang negeri-negeri Segindo pada wilayah Kerinci Rendah. Daerah ini merupakan wilayah yang dulunya berbatasan langsung dengan kerajaan Melayu.
Untuk menyerang Kerinci, Rendah, kerajaan Sriwijaya mengerahkan kekuatan darat dan armada lautnya. Pasukan darat didatangkan melalui Jambi dan Rawas, sedangkan armada laut didatangkan dengan melewati jalur sungai Batanghari, terus menelusuri sungai Batang Tembesi dan kemudianmasuk ke daerah Kerinci Rendah melalui sungai Batang Merangin. Mengingat perahu-perahu pengangkut pasokan sulit untuk berlayar jauh lebih ke hulu lagi menelusuri Batang Merangin dan Matang Masumai yang dangkal dan berbatu, maka pasokan didaeratkan diujung Muara Mesumai (Bangko). Tempat ini lalu dijadikan sebagai basis penyerangan ke daerah-daerah Kerinci Rendah.
Dari Muara Mesumai seranan pertama dilakukan terhadap tanah Sigindo Sungai Lintang yaitu daerah di sekitar anak Sungai Batang Lintang yang bermuara ke Batang Merangin. Wilayah ini sekarang berapa pada sekitar daerah Kecamtan daerah Sigindo Sungai Lintang dengan mudah dapat dikuasai. Dari sini pasokan melanjutkan penyeranganke daerah tanah Sigindo Timben, Pengantungan, Malgan, Semukun, Lubuk Buluh dan tanah Sigindo Damahu. Penyerangan tahap ke dua mendapat perlawanan yang keras dari rakyat Kerinci Rendah. Namun karena pasukan Sriwijaya dengan kekuatan yang besar dan peralatan perang yang lengkap. Perlawanan rakyat Kerinci Rendah dapat dipatahkan.

5. Prasasti Karang Birahi
Setelah menaklukkan Daerah Kerinci Rendah, pemerintahan Sriwijaya membuat sebuah prasasti yang berupa peringatan kepada daerah pendudukan Sriwijaya untuk selalu tunduk kepada Kerajaan Sriwijaya. Bagi penduduk yang berniat untuk melawan pemerintahan kerajaan Sriwijaya atau penduduk yang melakukan kejahatan akan dikutuk oleh dewa penguasa alam. Prasasti ini dikenal dengan nama Prasasti Karang Birahi. Prasasti Karang Birahi ditemukan di pinggir Sungai Batang Merangin di Dusun Karang Birahi di wilayah Kerinci Rendah tepatnya di Kecamatan Pemenang Kabupaten Merangin sekarang. Tempat prasasti ini berada berjarak lebih kurang 25 km dari Bangko ibukota Kabupaten Merangin. Prasasti ini bertan (7) di dalanan bhumi ajnana kadatuan
10. ini parawis o dhrohaka wanun o samawuddhi la (8) wan
11. drohaka o manBahasa Melayu Kuno yang dipakai tersebut besar dugaaan adalah bahasa Kerinci Kuno, mengingat bahasa Kerinci merupakan bagian dari bahasa Melayu.
Menurut J.G. de Casparis seorang ahli sejarah dan purbakala Belanda yang telah membaca tulisan ini berpendapat bahwa isi dari Prasasti Karang Birahi bermakna permohonan kepada para dewa untuk melindungi kekuasaan Kerajaan Sriwijaya dan menghukum setiap orang yang bermaksud jahat dan durhaka kepada kerajaan, serta melindungi keselamatan orang yang taat dan setia keamwal o saramwat o kasi (13) han o wasika rana
20. iyewamad o janan muah ya siddha o pulan ke yah muah yan dosa (14) na wuatna jaha inan o
21. –
22. –
23. –
24. –
25. –
26. ini gran kadaci iya bhakti tatwarjjawa di
27. yaku o dnan di yan ni (15) galarkuasanyasa datua o
28. santi muah kawuatana o dnan gotra santanaa o
29. samddha (16) swastha o nirogo o nirupadrawa subhiksa
30. muah yan wanuana parawis //

Terjemahan (Sumber Museum Negeri Jambi, 1992) :
1. Tercapailah sudah maksud kita sampai tanda ini, tandrun kayet
2. Yang melakukan pemberontakan, bertemu tanding melawan tandrua-dosa
14. orang yang tabianya jahat, namun apabila mereka berbhakti dan setia kepada mereka yang
15. sudah kuangkat menjabat daujari drohaka o niujari drohaka tahu din
12. drohaka o tida (9) ya marpphadah tidy a bhakti o
13. tatwarjjawa diyaku o dnan di iyan nigalarku ganyasa
14. datua o niwunuh (10) ya sumpah
15. nisuruh tapik ya mulan o parwwandan datu sriwijaya o
16. talu muah ya dnan (11) gora santanana o tathapi
17. sawanakna yan wuatna jaha o maka lanit uran o
18. maka sa (120 kit o maka gila o matragada o wisaprayoga o upah
19. tuwa o tamwal o saramwat o kasi (13) han o wasika rana
20. iyewamad o janan muah ya siddha o pulan ke yah muah yan dosa (14) na wuatna jaha inan o
21. –
22. –
23. –
24. –
25. –
26. ini gran kadaci iya bhakti tatwarjjawa di
27. yaku o dnan di yan ni (15) galarkuasanyasa datua o
28. santi muah kawuatana o dnan gotra santanaa o
29. samddha (16) swastha o nirogo o nirupadrawa subhiksa
30. muah yan wanuana parawis //

Terjemahan (Sumber Museum Negeri Jambi, 1992) :
1. Tercapailah sudah maksud kita sampai tanda ini, tandrun kayet
2. Yang melakukan pemberontakan, bertemu tanding melawan tandrun lua (raja sungai), matilah dia oleh
3. tandrun luah, dibunuhla si pemberontak itu. Jangan terjadi lagi pemberontakan si kayet.
4. itu sudah tenang (padam). Haturkan bhaktimu kepada ku. Itu sudah (menjadikan) tenang. (hai) kamu semua
5. para dewa yang berkuasa dan hadir (disini), yang menjaga kedatuan Sriwijaya. Demikian pula kamu tandrun luah.
6. dan semua dewa yang menjadi asal mula mantra kutukan ini jika orang
7. di dalam seluruh kekuasaanku ada yang memberontak atau yang bersekongkol de-
8. ngan pemberontakkan, berbicara dengan pemberontak. Mendengarkan (rencana) pemberontakan. Mengetahu pemberontakan tidak
9. menghormati dan tidak berbhakti dan setia kepadaku, dan mereka yang sudah kuangkat menjabat datrah dan perkembangan dari satu kaum yang akhirnya membentuk suatu daerah kekuasaan atas kaum tertentu dan untuk wilayah kekuasaan tertentu. Wilayah kekuasaan Sigindo Sigarinting terletak di wilayah Kerinci Tinggi yang berpusat di Jerangkang Tinggi (sekitar daerah Desa Muak sekarang, di pinggir Danau Kerinci).
Sungguhpun telah berhasil menaklukkan negeri Sigindo di daerah Kerinci Rendah dengan susah payah kemudian menguasainya dalam waktu yang cukup lama (lebih dari 3 abad alamnya). Kemudian timbul keinginan untuk menaklukkan seluruh negeri Sigindo Alam Kerinci tidaklah surut. Selama ini wilayah Kerinci Tinggi belum pernah mereka taklukkan karena untuk menyerang daerah tersebut tidak sulit dan harus membelah hutan belantara yang sangat ganas.
Pasukatu, mereka akan mendapat berkah beserta suku dan keluarganya. (Semoga) berhasil
16. (mendapat) kesehatan jauh dari penyakit, jauh dari malapetaka dan (menjadi) makmur seluruh negeri.


6. Sigindo Sigarinting dan Sriwijaya
(Idris Ja’far, 2003)
Wilayah Kerinci Tinggi dikomandoi oleh Sigindo Sigarinting. Pemerintahan Sigindo Sigarinting berlangsung dalam kurun waktu yang cukup lama mulai dari abad ke 6 Masehi sampai dengan terbentuknya Pemerintahaan Depati Empat Alam Kerinci. Pemerintahan Sigindo Sigarinting seperti juga dengan sigindo-sigindo lainnya terlahir dari pertalian darah dan perkembangan dari satu kaum yang akhirnya membentuk suatu daerah kekuasaan atas kaum tertentu dan untuk wilayah kekuasaan tertentu. Wilayah kekuasaan Sigindo Sigarinting terletak di wilayah Kerinci Tinggi yang berpusat di Jerangkang Tinggi (sekitar daerah Desa Muak sekarang, di pinggir Danau Kerinci).
Sungguhpun telah berhasil menaklukkan negeri Sigindo di daerah Kerinci Rendah dengan susah payah kemudian menguasainya dalam waktu yang cukup lama (lebih dari 3 abad alamnya). Kemudian timbul keinginan untuk menaklukkan seluruh negeri Sigindo Alam Kerinci tidaklah surut. Selama ini wilayah Kerinci Tinggi belum pernah mereka taklukkan karena untuk menyerang daerah tersebut tidak sulit dan harus membelah hutan belantara yang sangat ganas.
Pasukan Sriwijaya ingin masuk ke daerah Kerinci Tinggi yang kaya dengan produk perdagangan yang sangat diminati oleh negara luar, disamping itu daerah ini juga merupakan basis kekuasaan pemerintahan negeri-negeri Sigindo. Akan tetapi menyerang Kerinci Tinggi bukanlah hal yang mudah. Pasukan Sriwijaya menyadari bahwa mereka akan dihadapkan dengan tentangan yang lebih berat. Perlawanan dari pasokan dan rakyat negeri-negri Sigindo di Kerinci Tinggi tentu akan lebih sengit. Negeri-negeri Sigindo di Kerinci Tinggi telah siaga menyongsong kedatangan mereka. Selain itu, pasukan Sriwijaya menyadari pula bahwa mereka akan berhadapaan dengan kondisi alamangat membara dari pasukan negeri Sigindo beserta rakyat disekitarnya dalam menghadapi pasukan Sriwijaya menyebabkan pasukan Sriwijaya dapat dipumpas. Tak seorangpun dibiarkan meloloskan diri, semuanya mati dalam pertempuran. Sebagai peringatan atas kejadian tersebut, maka tempat dimana berlangsungnya pertempuran sengit itu, lalu diberi nama dengan Telaga Darah. Walaupun peristiwa peperangan terjadi ratusan tahun yang silam, namun sampai kini lokasi Telaga Darah di Bukit Melegan selalu dikenang rakyat Kerinci sebagai tempat kemenangan pasukan Sigindo atas pasukan Kerajaan Sriwijaya.
Berita kekalahan pasukan Sriwijaya di Kerinci Tinggi, kemudian diterima induk pasukan yang bermarkas di Kerinci Rendah. Sudah barang tentu hal ini amat menyakitkan, karena tnan tertinggi Negara Sigindo Alam Kerinci. Koordinasi dilakukan para pemimpin negeri Sigindo di seluruh Kerinci Tinggi untuk menghadapi kedatangan pasukan Sriwijaya yang akan menduduki daerah Kerinci Tinggi.
Setelah segala sesuatu dipersiapkan mulai dari perbekalan, taktik dan strategi perang, maka pasukan negeri-negeri Sigindo lalu diberangkatkan untuk menghadang musuh. Pada suatu tempat di Bukit Malegan dekat dusun Pulau Sangkar sekarang, kedua pasukan bertemu dan terjadilah pertempuran sengit. Pasukan Sriwijaya karena tidak menguasai medan perang dan telah lelah melawan keganasan alam dengan mudah dapat diporak-porandakan. Semangat membara dari pasukan negeri Sigindo beserta rakyat disekitarnya dalam menghadapi pasukan Sriwijaya menyebabkan pasukan Sriwijaya dapat dipumpas. Tak seorangpun dibiarkan meloloskan diri, semuanya mati dalam pertempuran. Sebagai peringatan atas kejadian tersebut, maka tempat dimana berlangsungnya pertempuran sengit itu, lalu diberi nama dengan Telaga Darah. Walaupun peristiwa peperangan terjadi ratusan tahun yang silam, namun sampai kini lokasi Telaga Darah di Bukit Melegan selalu dikenang rakyat Kerinci sebagai tempat kemenangan pasukan Sigindo atas pasukan Kerajaan Sriwijaya.
Berita kekalahan pasukan Sriwijaya di Kerinci Tinggi, kemudian diterima induk pasukan yang bermarkas di Kerinci Rendah. Sudah barang tentu hal ini amat menyakitkan, karena tidak seorangpun di antara mereka yang dapat kembali. Kekalahan di Telaga Darah merupakan tamparan yang amat berat bagi kelanjutan ekspedisi pasukan Sriwijaya. Akhirnya, mereka lau mengurungkan niatnya untuk menyerang kembali Kerinci Tinggi. Keputusan diambil atas pertimbangan medan yang sangat berat di wilayah Kerinci Tinggi dan kekuatan pasukan Sigindo Sigarinting dan sigindo-sigindo lain yang telah bersatu berjuang mempertahankan wilayah Kerinci Tinggi tida bisa diremehkan.
Sungguhpun keinginan menyerang daerah Kerinci Tinggi tidak dilanjutkan, akan tetapi pendudukan atas wilayah Kerinci Rendah tetap dipertahankan. Kerajaan Sriwijaya sangat berkepentingan terhadap Kerinci Rendah, karena daerah ini sangat potensial dalam pertambangan emas. Dalam mengukuhkaajaan Sriwijaya, daerah Kerinci Tinggi tidak pernah dapat ditundukkan, sehingga daerah Kerinci Tinggi adalah satu-satunya wilayah di Sumatera yang tidak pernah takluk oleh kerajaan Sriwijaya (sampai abad ke 9 Masehi, Kerajaan Sriwijaya berakhir). Semenjak itu Kerinci Tinggi secara turun temurun diperintah oleh siapa saja yang diangkat oleh masyarakat adat untuk silih berganti menyandang gelar Sigindo Sigarinting sampai pada abad ke 13 Masehi.
7. Sigindo Sigarinting & Tuanku Siah Rao
(Abad ke 13 Masehi)
Tuanku Siah Rao adalah salah seorang keluarga Kerajaan Malayu di Pagarruyung yang pergi mengasingkan diri dan. Prasasti sengaja ditempatkan di sini karena dusun Karang Birahi merupakan tempat persinggahan orang-orang yang keluar masuk Kerinci Renluarga dan pengawal lainnya dari Negeri Selampaung sebagai teman dalam perjalanan.
Beliau ini mempunyai semangat juang dan kekuatan batin yang sangat kuat sehingga dapat memenangkan setiap pertempuran di perjalanan, sehingga akhirnya sampai di suatu daerah yang disebut Jerangkang Tinggi. Di Jerangkang Tinggi terdapat tiga orang penguasa yang cukup disegani, yakni:
1. Kerenggo Bungkuk.
2. Lemutung Hitam
3. Tebun Tandang
Dalam perebutan kekuasaan terjadilah perkelahian yang sangat sengit. Alhasil adalam perkalian ini ”meninting-balui”, artinya tidak ada yang kalah dan yang menang, sehingga akhirnya diadakan perundingan damai dengan cara: menyabung ayam. Setelah taji dibuang timbal-balik ayam telah dilepas berlaga dengan sengitnya. Masing-maisng menghimbau tuah. Tuanku Siah Rao menghimbau tuah sambil menghentakkan tongkatnya yang mana diujung tongkatnya tersebut berisi tanah dari Pagarruyung.
Tuah dihimbau: ”Kalau tidak ujung tanah Pagarruyung Hitam, diberi wilayah kekuasaan tetap di Jerangkang Tinggi (Muak) dan bergelar Rio.
3. Tebun Tandang, diberi wilayah kekuasaan berdampingan dengan wilayah Pulau Sangkar yaitu Dusun Pondok dan diberi gelar Mangku.
4. Sedangkan orang-orang yang ikut ben mencari wilayah baru karena adanya perselisihan keluarga dalam kerajaan Pagarruyung, beliau berangkat dengan beberapa orang anggota keluarga dan pengawal lainnya dari Negeri Selampaung sebagai teman dalam perjalanan.
Beliau ini mempunyai semangat juang dan kekuatan batin yang sangat kuat sehingga dapat memenangkan setiap pertempuran di perjalanan, sehingga akhirnya sampai di suatu daerah yang disebut Jerangkang Tinggi. Di Jerangkang Tinggi terdapat tiga orang penguasa yang cukup disegani, yakni:
1. Kerenggo Bungkuk.
2. Lemutung Hitam
3. Tebun Tandang
Dalam perebutan kekuasaan terjadilah perkelahian yang sangat sengit. Alhasil adalam perkalian ini ”meninting-balui”, artinya tidak ada yang kalah dan yang menang, sehingga akhirnya diadakan perundingan damai dengan cara: menyabung ayam. Setelah taji dibuang timbal-balik ayam telah dilepas berlaga dengan sengitnya. Masing-maisng menghimbau tuah. Tuanku Siah Rao menghimbau tuah sambil menghentakkan tongkatnya yang mana diujung tongkatnya tersebut berisi tanah dari Pagarruyung.
Tuah dihimbau: ”Kalau tidak ujung tanah Pagarruyung tentang ini kalahlah saya, kalau ada ujung tanah Pagarruyung tentang ini, maka menanglah saya”. Pertandingan akhinya Tuanku Siah Rao memenangkan pertandingan. Setelah menang beliau diangkat secara adat menguasai wilayah Sigindo Segerinting dan namun masyarakatnya juga memanggil beliau dengan gelar Sigindo Batinting. Batinting dalam bahasa Kerinci Kuno berarti seseorang yang tahan tinting, tahan terhadap pukulan, tahan terhadap bantingan dan segala senjata tajam dalam perkelahian tiga lawan satu ketika melawan penguasa di sekitar Jerangkang tinggi yaitu Kerenggo Bungkuk, Lemutung Hitam dan Tebun Tandang.
Semenjak itu Sigindo Batinting mengatur Pemerintahan di wilayah Kerinci Tinggi (wilayah Sigindo Sigarinting). Karena Jerangkang Tinggi terletak di atas bukit (dekat desa Muak dan Pondok sekarang), transportasi untuk mengatur pemerintahan cukup sulit karena sebagian dusun dan permukiman penduduk berada dipinggir sungai dan danau. Oleh sebab itu beliau memindahkan pusat pemerintahaan ke daerah pinggiran sungai yang strategis yaitu di atas sebuah pulau dipinggir Batang Merangin. Tempat ini beliau beri nama ”Pulau Sangkar”, demi untuk mendekatkan nama dengan daerah yang ditinggal beliau yaitu Batu Sangkar. Orang-orang yang telah kalah dalam pertandingan diangkat menjdai sabahat yang menguasai wilayah tertentu.
1. Karenggo Bungkuk, diberi kekuasaan untuk memerintah dan menguasai daerah Lubuk Paku dan diberi gelar Menggung.
2. Lemutung Hitam, diberi wilayah kekuasaan tetap di Jerangkang Tinggi (Muak) dan bergelar Rio.
3. Tebun Tandang, diberi wilayah kekuasaan berdampingan dengan wilayah Pulau Sangkar yaitu Dusun Pondok dan diberi gelar Mangku.
4. Sedangkan orang-orang yang ikut bersama beliau dari Selampaung Pagarruyung dianggap sebagai keluarga sendidi diberi kekuasaan disatu wilayah di daerah selatan pusat pemerintahan dengan nama yang sama dengan daerah yang ditinggalkan yaitu Dusun Selampaung.
Dengan adanya pembagian wilayah kekuasaan tersebut maka Sigindo Batinting memerintah dengan aman, setiap penguasa wilayah yang ditunjuk tunduk pada pemerintahan Pulau Sangkar dan selalu melaporkan setiap perkembangan pada Sigindo Batinting.


8. Restrukturisasi Kerinci Rendah
(Idris Ja’far, 2003)
Lama kondisi di daerah Kerinci Rendah sepeninggalan kerajaan Sriwijaya berada dalam keadaan tidak menentu. Akhirnya secara alamiah dan perlahan-lahan kondisi masyarakat berangsur baik. Rakyat sudah dapat membenahi dan membangun negeri tempat tinggal. Situasi yang mulai kondusif memberikan kesempatan untuk menata kehidupan kembali secara lebih baik. Para cerdik pandai dan tokoh masyarakat mulai memikirkan upaya ke arah pengembangan negeri dan rakyatnya. Pemerintahan Negara Sigindo di Alam di Kerinci Tinggi dalam hal ini tidak mau ikut mencampuri urusan negeri-negeri Kerinci Rendah walaupun sebelumnya daerah Kerinci Rendah berada dalam suatu kesatuan pemerintahan. Raykat Kerinci Rendah diberikan kebebasan sepenuhnya dalam menata dan menentukan sendiri apa yang sebaiknya mereka lakukan. Sikap ini diambil mengingat negeri –negeri Kerinci Rendah sudah sangat lama lepas dari kesatuan Negara Sigindo Alam Kerinci. Rakyat Kerinci Rendah bisa menentukan peilihannya sendiri, apakah ingin membentuk pemerintahan sendiri atau bergabung kembali dalam kesatuan Negara Sigindo Alam Kerinci dengan menghidupkan kembali pemerintahan Sigindo di Kerinci Rendah.
Dalam arah yang masih tidak jelas, negeri-negeri di Kerinci Rendah secara perlahan-lahan mulai melakukan berbagai upaya untuk meroposisi ulang tata pemerintahan negeri tanpa terpengaruh oleh berbagai kemungkinan pilihan yang mungkin saja bisa terjadi di kemudian hari. Namun gambaran sistem pemerintahan negeri pada masa lalu yang pernah ada tetap menjadi bahan pertimbangan utama. Langkah awal yang dilakukan banyak negeri adalah menyatukan kelompok-kelompok kekerabatan satu keturunan darah (genealogisch) yang telah terpecah-pecah ke dalam suatu himpunan territorial genealogisch tertentu. Faktor kekerabatan genealogisch semasa kekuasaan Sriwijaya telah diabaikan, karena masyarakat digiring dalam bentuk kelompok teritorial saja. Pada hal faktor genealogisch merupakan perekat persatuan rakyat di Alam Kerinci, dan melalui hirarki genealogisch pula pemerintahan Sigindo dibangun. Untuk itu di banyak negeri di Kerinci Rendah persekutuan kekerabatan ditata kemba.
Dalam suasana pengembangan integritas kehidupan masyarakat, diceitakan bahwa pada waktu itu menetap pula di Kerinci Rendah seorang 8DAS) Batang Pangkalan Jambi dan DAS Batang Seringat yang keduanya bermuara memasuki DAS Batang Masumai berdiam banyak penduduk yang berasal dari dusun purba Timben, Pengantungan dan Malagan. Pada wilayah ini lalu berkembang menjadi banyak kampung. Selanjutnya di daerah ini kemudian terbentuk persekutuan masyarakat adat Alam Pangkalan Jambu. Persekutan masyarakat ini dipimpin oleh seorang yang bergelar pemangku.
Demikian pula halnya di sepanjang DAS Masumai dan anak-anak sungainya terdapat beberapa kampun dii Lubuk Gaung bersama istrinya. Karenggo Bungkuk Timpang Dado berperan banyak dalam penataan pemerintahan negeri pada masa itu. Mereka mempunyai tiga anak laki-laki kembar, diberi nama Setio Nyato, Setio Rajo dan Setio Beti. Setelah tumbuh dewasa lalu Setio Nyato kawin dengan gadis di Tanah Renah, Setio Rajo kawin dengan gadis di Lubuk Gaung, dan Setio Beti kawin dengan gadis di Nalo. Berkat didikan orang tuanya ketiganya juga menguasai bidang pemerintahan dan adat. Sebagai anak batino mereka kemudian lalu diangkat menjadi pemuka adat. Ketiganya juga mempunyai peran yang besar dalam penataan pemerintahan negeri di Kerinci Rendah.
Pembenahan tata pemerintahan negeri dilakukan mengacu pada kenyataan bahwa pertumbuhan negeri berlangsung tidak merata. Ada negeri yang makumr dan penduduknya semakin banyak, sebaliknya banyak pula negeri yang tidak berkembang. Untuk itu kampuari Pulau Saalih ketatanegaraan adat bernama Karenggo Bungkuk Timpang Dado yang berasal dari Pulau Sangkar. Menurut penuturan orang adat Kerinci Rendah dia datang dari Jambi setelah memenuhi panggilan raja Jambi. Kecerdasan dan kepribadiannya yang baik telah menimbulkan simpati dari Raja Jambi pada waktu itu. Lalu raja menikahkan dengan anak angkatnya bernama Puti Lelo Beruji. Ketika pulang dari Jambi Keranggo Bungkuk singgah di Kerinci Rendah dan kemudian dimunta untuk tinggal di sana. Dia tidak keberatan dan akhirnya menetap di Lubuk Gaung bersama istrinya. Karenggo Bungkuk Timpang Dado berperan banyak dalam penataan pemerintahan negeri pada masa itu. Mereka mempunyai tiga anak laki-laki kembar, diberi nama Setio Nyato, Setio Rajo dan Setio Beti. Setelah tumbuh dewasa lalu Setio Nyato kawin dengan gadis di Tanah Renah, Setio Rajo kawin dengan gadis di Lubuk Gaung, dan Setio Beti kawin dengan gadis di Nalo. Berkat didikan orang tuanya ketiganya juga menguasai bidang pemerintahan dan adat. Sebagai anak batino mereka kemudian lalu diangkat menjadi pemuka adat. Ketiganya juga mempunyai peran yang besar dalam penataan pemerintahan negeri di Kerinci Rendah.
Pembenahan tata pemerintahan negeri dilakukan mengacu pada kenyataan bahwa pertumbuhan negeri berlangsung tidak merata. Ada negeri yang makumr dan penduduknya semakin banyak, sebaliknya banyak pula negeri yang tidak berkembang. Untuk itu kampung yang berkembang perlu dinaikkan statusnya menjadi dusun, sedangkan kampung yang tidak berkembang diintegrasikan dengan dusun yang berkembang. Pada sisi lain kedudukan orang adat statusnya diperkuat, dan fungsinya diperjelas.
Penataan negeri pada tanah Pemangku Pangkalan Jambu dengan merubah status kampung menjadi dusun dan mengintegrasikan beberapa kampung ke dalam dusun induk.
Pada Tanah Pemangku Masumai dengan kondisi perkembangan negeri yang lebih baik, maka kampung yang terdapat disini statusnya sudah dapat disamakan dengan dusun. Adapun dusun yang berada dalam naungan Tanah Pemangku Alam Masumai.
Pembenahan berlangsung pula pada negeri yang terletak di sepanjang DAS Merangin dalam wilayah Kerinci Rendah yaitu di sekitar daerah Pulau Rengas dan Pemenang. Dalam perkembangannya kampung-kampung yang terletak disekitar kedua daerah tersebut berhasil tumbuh menjadi dusun. Dusun-dusun tersebut lalu membuat payung pemerintahan sebagaimana yang terjadi pada wilayah negeri Masumai, Pangkalan Jambu dan Tantan. Untuk dusun-dusung di sekitar negeri Pulau Rengas mereka menamakannya daerah Pamuncak Pulau Rengas dan berpusat di Pulau Rengas. Dusun yang berada dalam wilayah negeri Pamuncah Pulau Rengas antara lain: Biuku Tanjung, Kunkai, Bangko Rendah, Bangko Tinggi dan Dusun Mudo. Daerah ini juga seing disebkemudian luluh dalam kelompok masyarakat Kerinci Rendah. Sungguhpun percampuran ini tidak ngkar dan Lunang.
Untuk dusun-dusun di sekitar negeri Pemenang yang penduduknya berasal dari negeri Pemerab di Sungai Tenang mereka menamakannya dengan daerah Pemerap – Pemenang, mengambil nama negeri asalnya.

9. Kerinci dan Migrasi dari Minangkabau
Dalam perkembangan selanjutnya, pada sekitar tahun 1343 Masehi daerah Kerinci Rendah pernah pula kedatangan migrasi dari Minangkabau. Mereka datang secara berkelompok dan umumnya terdiri dari kaum laki-laki. Mereka meninggalkan negerinya kerena tidak sudi dijajah, serta tidak menyukai pemerintahan Adityawarman dan pemindahan pusat kerajaan dari Siguntur dekat Sijunjung ke Pagarruyung. Kedatangan mereka di Kerinci Rendah tidak lain hanya untuk mencari tempat kehidupan baru dalam suasana bebas dari perasaan dijajah. Mereka datang dengan memegang prinsip sesuai dengan pepatah adat: dimana batang terguling disana cendawan tumbuh, dimana tanah dipijak disana langit dijunjung, dimana negeri dihuni disana adat dipakai.
Daerah yang didatangi para migrasi dari Minangkabau diantaranya, Nibung, Pangkalan Jambu, Saringat dan Ulu Tabir. Setelah itu, mereka lalu menyebar ke kampung yang terdapat disekelilingnya. Dalam perkembangannya, para migran ini berasimilasi dan bergabung dengan penduduk asli. Orang Minangkabau yang minoritas kemudian luluh dalam kelompok masyarakat Kerinci Rendah. Sungguhpun percampuran ini tidak membawa pengaruh terhadap adat istiadat setempat, namun dampak sosio kultural cukup positif terhadap kemajuan dan dinamika kehidupan masyarakat.

10. Melayu dan Kerinci: Naskah Melayu Tertua
(Uli Kozok, 2006)
Menyembah dan menghormati arwah lelu¬hur merupakan unsur terpenting dalam keper¬cayaan tradisional Indonesia. Tradisi tersebut tidak begitu saja hilang dengan masuknya agama baru seperti Islam atau Kristen, melainkan unsur tradisional sering dipadukan dengan agama baru sehingga terjadi sinkre¬tisme (berpadunya dua budaya agama). Keba¬nyakan masyarakat Indonesia sekarang meng¬anut agama Islam sehingga arwah leluhur tidak lagi disembah – hal mana bertentangan dengan agama Islam – tetapi masih tetap di¬hormati. Arwah leluhur dianggap dapat melin¬dungi dan memberkati keturunannya sehingga upacara yang berkaitan dengan penguburan yang dilakukan oleh kebanyakan orang Indo¬nesia lebih daripada sekedar memenuhi kewa¬jiban menurut agama Islam. Benda-benda yang pernah dimiliki oleh seorang leluhur sering dianggap sakral dan disimpan sebagai pusaka. Hal ini terutama penting bagi kaum elit tradisional seperti para depati di Kerinci. Pusaka Kerinci lazim dilihat sebagai wujud nyata kebesaran nenek moyang dan menjadi bukti basuk di dalam koleksi pusaka, dan tidak ada koleksi pusaka yang terdiri dari naskah meluka. Sebagapusaka yang disimpan sangat beragam. Seba¬gian pusaka menjadi bukti kekuasaan para leluhur seperti panji-panji, tombak, keris, dan perisai sementara pusaka lain melambangkan kekayaan dan wibawa leluhur seperti keramik antik, kain, atau naskah Alquran. Di samping itu termasuk beragam azimat dan malahan juga benda yang relatif modern, seperti kli¬ping dari surat kabar berbahasa Perancis, atau sebuah baju kaos dengan tulisan bahasa Inggris.
Kalau memang demikian mengapa naskah Tanjung Tanah dapat bertahan selama hampir tujuh ratus tahun di sebuah kampung kecil di pedalaman Sumatra?
Sebagaimana sudah disebut di atas, barang pusaka Kerinci selalu disimpan di loteng rumah, dan jarang sekali diturunkan. Penyim-panannya juga tidak sembarangan melainkan dilakukan dengan sangat seksama. Semua ba- rang pusaka pada umumnya dibalut dengan kain dan disimpan un jarang diturunkan sehingga terlindung dari si¬nar matahari, dan hanya dipamerkan pada acara penguburan ketua adat (Kahlenberg, 2003:86).
Masyarakat Kerinci sampai sekarang masih teguh berpegangan pada adat leluhur mereka dan benda-benda pusaka dianggap memiliki nilai yang luar biasa yang dapat melindungi mereka dari ancaman bahaya. Bila ada benda pusaka yang hilang akibatnya bisa fatal bukan saja untuk pemiliknya tetapi untuk seluruh masyarakatnya. Oleh sebab itulah maka sam¬pai sekarang maslu. Jenis pusaka yang disimpan sangat beragam. Seba¬gian pusaka menjadi bukti kekuasaan para leluhur seperti panji-panji, tombak, keris, dan perisai sementara pusaka lain melambangkan kekayaan dan wibawa leluhur seperti keramik antik, kain, atau naskah Alquran. Di samping itu termasuk beragam azimat dan malahan juga benda yang relatif modern, seperti kli¬ping dari surat kabar berbahasa Perancis, atau sebuah baju kaos dengan tulisan bahasa Inggris.
Kalau memang demikian mengapa naskah Tanjung Tanah dapat bertahan selama hampir tujuh ratus tahun di sebuah kampung kecil di pedalaman Sumatra?
Sebagaimana sudah disebut di atas, barang pusaka Kerinci selalu disimpan di loteng rumah, dan jarang sekali diturunkan. Penyim-panannya juga tidak sembarangan melainkan dilakukan dengan sangat seksama. Semua ba- rang pusaka pada umumnya dibalut dengan kain dan disimpan di sebuah peti kayu yang sangat kokoh. Bila disimpan dengan cara itu maka pusaka itu terlindung dari sinar matahari yang bersifat merusak. Pusaka yang dibalut kain dan disimpan dalam peti juga terlindungdari perubahan suhu secara mendadak yang juga bersifat merusak. Memang suhu di siang hari menjadi sangat panas di loteng rumah, akan tetapi suhu panas sendiri sifatnya tidak begitu merusak dibandingkan perubahan suhu yang terjadi secara mendadak. Faktor yang paling mendukung dari segi pelestarian ialah bahwa kelembaban udara di loteng relatif rendah. Selama atap tidak bocor barang pusaka yang disimpan di loteng dapat saja bertahan untuk sangat lama. Selain itu keada¬an alam Kerinci juga mendukung. Hawa di Kerinci sebetulnya tidak patut disebut sebagai iklim tropis karena letaknya Kerinci di pegunungan. Tanjung Tanah terletak 800m di atas permukaan laut dengan suhu tertinggi di siang hari sekitar rata-rata 27 derajat dan suhu terendah di malam hari rata-rata 20 derajat. Dibandingkan dengan daerah pesisir curah hujan juga lebih rendah.
Bila kita tanya mengapa pusaka disimpan di loteng maka jawabannya karena lotenglah tempat yang paling terhormat di rumah, dan juga karena alasan keamanan. Akan tetapi da - pat kita duga bahwa sebetulnya sudah ada pengetahuan tentang tempat mana yang paling sesuai dari segi pelestarian. Soalnya bukan di Kerinci saja pusaka disimpan di loteng. Pusaka di Kerinci itu pun jarang diturunkan sehingga terlindung dari si¬nar matahari, dan hanya dipamerkan pada acara penguburan ketua adat (Kahlenberg, 2003:86).
Masyarakat Kerinci sampai sekarang masih teguh berpegangan pada adat leluhur mereka dan benda-benda pusaka dianggap memiliki nilai yang luar biasa yang dapat melindungi mereka dari ancaman bahaya. Bila ada benda pusaka yang hilang akibatnya bisa fatal bukan saja untuk pemil jelas kuno digu¬nakan dalam kitab undang-undang Tanjung Tanah (no. 160) serta daih banyak pusaka di Kerinci yang selama berabad-abad tersimpan dengan aman.
Selain faktor mendukung yang sudah disebut di atas masih ada faktor lain yang barang¬kali tidak kalah penting. Naskah Tanjung Tanah ditulis di daluang, dan kertas kulit kayu itu dapat bertahan lama asal tidak dibubuhi kanji. Jika naskah daluang tidak diolesi kanji maka naskah itu memiliki sifat pelestarian yang sangat mendukung dan dapat bertahan selama ratusan tahun (Dr. Tim Behrend, korespondensi pribadi, 24 Desember 2003).

Aksara dan Media Tulis
Di dalam karya Tambo Kerintji Voorhoeve memuat transliterasi 261 naskah. Tiga naskah di antaranya, yaitu nomor 259, 260, dan 261, pada saat itu disimpan di Museum Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (cikal bakal Museum Nasio¬nal), dan kini tersimpan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Ke-258 naskah yang lain berasal dari 83 koleksi naskah/pusa¬ka di Kerinci. Hampir semua naskah Kerinci ditulis pada lima jenis media, yakni bambu, kulit kayu, daun lontar, tanduk, dan kertas dengan meng - gunakan tiga jenis aksara, yaitu surat incung, jawi, dan sejenis aksara yang oleh Voorhoeve disebut “Jawa Kuno”.
Empat naskah ditulis pada media yang tidak lazim ditemukan di Kerinci, yaitu nas¬kah Tanjung Tanah yang ditulis di daluang (TK 214), silsilah depati Saliman yang ditulis di tulang (TK 119), sebuah teks berhuruf jawi yang ditulis dengan tinta di kulit (TK 178), dan sebuah teks yang sangat pendek, dan tidak jelas isinya, yang ditulis di “tapak gajah” (TK 191). Tapak Gajah (Merremia [= Convolvulus] nymphaeifolia Hall.f.) merupakan sebuah tumbuhan yang digunakan sebagai obat, tetapi tidak jelas bagaimana “tapak gajah” tersebut dapat digunakan sebagai media tulis. Sayang naskah tersebut belum sempat dilihat oleh penulis. Daluang merupa¬kan media tulis yang lazim dipakai di Jawa dan Madura, sementara naskah tulang sering ditemukan di daerah Batak, tetapi kulit (apa¬kah itu kulit lembu, kambing atau kerbau tidak disebut) sangat jarang digunakan sebagai bahan tulis.
Aksara yang paling lazim digunakan ada¬lah surat incung serta jawi. Naskah lontar dan daluang ditulis dengan aksara “Jawa Lama”. Akan tetapi, pada sebuah artikel yang ditulis Voorhoeve di kemudian hari beliau sempat meralat asumsi tersebut:
“Ternyata saya salah dalam menyebut se¬mua naskah beraksara Jawa di Kerinci seba¬gai Jawa Kuna. Schrieke telah mencatat di tahun 1929 bahwa aksara Jawa yang digu¬nakan di Kerinci terdiri atas duajenis aksara yang berbeda. Aksara yangakan huruf jawi, melainkan memakai aksara pasca-Palawa yang masih serumpun degan aksara lam naskah yang berasal dari Hiang (no. 136). Kedua-duanya jelas dari zaman pra-Islam, dan aksara yang digunakan barangkali merupakan aksara yang berdiri di antara tulisan Jawa Kuna dan aksara rèncong.” (Voorhoeve, 1970)
Voorhoeve ternyata mengikuti kebiasaan pada masa itu yang cenderung menganggap semua aksara yang mirip dengan aksara Jawa Kuna sebagai aksara Jawa terlepas dari tempat asalnya. Akan tetapi menurut De Casparis terdapat kemungkinan bahwa aksara Jawa Kuna sebetulnya berasal dari Sumatra karena sebagian besar prasasti-prasasti yang tertua di¬temukan di Sumatra. Oleh karena sebab itu, dan karena kaitan antara aksara Jawa Kuna dengan aksara Sumatra Lama belum diketahui dengan sempurna, maka De Casparis (1975:57) memilih istilah aksara Malayu, yang khususnya ia gunakan untuk aksara pasca-Palawa yang terdapat di prasasti¬prasasti Adityawarman.
Dalam artikel yang dikutip di atas, Voorhoeve juga mengakui bahwa beberapa naskah yang semula ia sebut sebagai Jawa Kuna ternyata lebih muda:
“Surat lontar yang dikirim oleh pihak istana Jambi kepada para depati di Kerinci meru¬pakan contoh yang sangatjarang ditemukan. Surat tersebut ditulis pada daun lontar yang dipotong sehingga menjadi panjang tetapi kecil bidangnya. Ketika masih lentur daun lontar tersebut digulung dan ditutup dengan sebuah cap yang terbuat dari tanah liat. [...] DR. Poerbatjaraka berhasil untuk membaca beberapa kalimat yang ditulis dengan aksara Jawa dalam bahasa Jawa campur bahasa Melayu. [...] Menurut DR. Th. Pigeaud ak¬sara tersebut berasal dari sekitar abad ke-1 8 atau sesudahnya. Piagam yang berhuruf jawi juga ditulis dalam periode yang sama.” (Voorhoeve, 1970:388-389)
Voorhoeve tidak menyebut naskah lontar mana yang dimaksud, tetapi agaknya ia meru¬juk pada naskah TK 217-222: "Enam helai surat bertulisan Jawa Lama pada daun lontar, ada yang berbahasa Melayu ada yang berba¬hasa Jawa. Salinannya belum siap (lagi diperiksa oleh tuan Dr. Poerbatjarakan [sic] di Batawi)” .
Sebagaimana tampak dari tabel di atas (yang tidak termasuk naskah Tanjung Tanah) terdapat persesuaian yang nyata antara aksara dan media tulis. Semua nakah bambu dan hampir semua naskah tanduk menggunakan surat incung sementara kebanyakan naskah kulit kayu dan kertas berhuruf jawi, dan nas - kah lontar umumnya beraksara Jawa.
Korelasi antara media dan teks juga men ja¬di ciri-ciri khas dalam tradisi pernaskahan Batak (Kozok, 2000a) dan persesuaian terse-but ternyata bukan kebetulan.

Naskah Tanjung Tanah
Benda dengan kitab undang-undang lainnya, naskah Tanjung Tanah tidak ditulis dengan menggunrbahasa Melayu menyebut bahwa undang-undang disusun atas perintah maharaja Dharmasraya, Jawa Kuna. Aksaranya masih belum diteliti dengan sempurna, tetapi untuk sementara dapat disimpulkan bahwa aksara yang paling mirip adalah aksara yang diguna¬kan pada prasasti-prasasti Adityawarman yang bertuliskan aksara Malayu – istilah tersebut merupakan ciptaan De Casparis. Naskah Tanjung Tanah juga berbeda karena tidak ditulis pada kertas melainkan pada kertas daluang sementara naskah Melayu yang hing¬ga kini diketahui hampir semuanya menggu¬nakan kertas, baik kertas Arab maupun kertas Eropa.
Pada umumnya teks undang-undang menunjukkan pengaruh Islam, dan hampir selalu dibuka dengan formula Bismillahi ar-¬Rahmani ar-Rahim sedangkan naskah Tanjung Tanah dimulai dengan beberapa kalimat berbahasa Sansekerta yang juga mencantum¬kan tahun penulisan yang sayang sekali tidak terbaca. Naskah Tanjung Tanah juga ditutup dengan beberapa kalimat berbahasa Sansekerta yang menyebut nama raja, ialah Paduka Ari Maharaja Dharmasraya, dan juga bahwa kitab undang-undang dimaksud untuk seluruh tanah Kerinci (saisi bumi Kurinci).
Selain bahasa Sansekerta yang terbatas pada awal dan akhir, naskah Tanjung Tanah seluruhnya ditulis dalam bahasa Melayu. Mengingat teksnya berasal dari abad ke-14 maka bahasa yang digunakan sudah jauh berbeda dengan bahasa Melayu sekarang, dan hanya sebagian yang dapat dimengerti oleh seorang penutur bahasa Melayu zaman kini karena selama masa 600 tahun tentulah bahasa Melayu mengalami perubahan baik dari segi kosa kata maupun dari sintaks kalimat. Sifat kekunoan juga tam¬pak pada bentuk mamunuh (membunuh) yang konsonan awal luluh bila ditambah awalan mem-. Kekunoan bahasa juga nyata pada bilangan 8 yang ditulis dua lapan.


Isi Naskah Tanjung Tanah
Naskah Tanjung Tanah telah diterjemah¬kan dalam sebuah upaya terpadu sejumlah pakar bahasa Melayu, bahasa Sansekerta , dan bahasa Jawa Kuna yang berkumpul di kampus Universitas Indonesia pada tanggal 12-18 Desember 2004 dalam rangka lokakarya yang diadakan oleh Yayasan Naskah Nusantara.
Bagian teks yang berbahasa Sansekerta diterjemahkan oleh I Kuntara Wiryamartana dan Thomas Hunter. Disebut bahwa naskah ini merupakan “anugerah titah Sanghyang Kemitan kepada penguasa di Bumi Kerinci” dengan peringatan agar penduduknya ”jangan tidak taat kepada dipatinya masing-masing.” Tidak diketahui siapa yang dimaksud dengan Sanghyang Kemitan, namun tampaknya bahwa yang dimaksud dengan gelar tersebut adalah raja Malayu yang dianggap sebagai inkarnasi (penjelmaan) dari dewa. Kata pembukaan dalam bahasa Sansekerta sangat pendek, dan disusul teks undang-undang yang berbahasa Melayu yang isinya diuraikan di bawah.
Alinea terakhir teks beh Minangkabau? Mungkin saja kitab undang-undang ini diresmikan di Suruaso, ibu kota kedan bahwa “para pembesar Bumi Kerinci [...] memberi perhatian sepenuhnya.” Semua yang terjadi dalam sidang besar “ditulis dengan lengkap oleh Kuja Ali, Dipati, di balai kerapatan, di Palimbang, di hadapan paduka maharaja Dharmasraya.”
Besar kemungkinan bahwa yang dimaskud dengan palimbang bukan kota Palembang (yang di dahulu kala juga disebut Palimbang), melainkan “Tanah Emas” atau “Daerah Hilir.” Kedua kemungkinan tersebut akan diuraikan di sini.
Dasar kata palimbang ialah limbang, yang berarti “mencuci”, antara lain juga “mencuci emas”:
“The name Palembang is perhaps derived from the word limbang. This means panning for alluvial gold and, according to Van Rijn van Alkemade, during the latter half of the nineteenth century people still dived for gold in the Musi. However, the quantities found did not amount to much (Van Rijn van Alkemade 1883: 66).” (Nas, 1995)
Dengan demikian, yang dimaksud dengan palimbang ialah kawasan penghasil emas. Pertanyaan yang timbul di sini, daerah mana yang dimaksud? Daerah penghasil emas utama ialah Kerinci dan daerah Minangkabau. Apakah sidang yang menghasilkan kitab undang-undang Tanjung Tanah bertemu di daerah Minangkabau? Mungkin saja kitab undang-undang ini diresmikan di Suruaso, ibu kota kerajaan Malayu pada saat itu, dan bahwa sidang tersebut dihadiri oleh maharaja Dharmasraya selaku “gubernur” yang meme¬rintah kawasan hulu Batang Hari termasuk barangkali Kerinci.
Di samping interpretasi yang tadi, ada pula kemungkinan kedua, ialah bahwa palimbang berarti “tanah rendah” atau “ilir”.
Menurut Sejarah Melayu nama asli Palem¬bang ialah Perlembang:
“Kata sahibu'l-hikayat, ada sabuah negeri di tanah Andelas, Perlembang namanya. Demang Lebar Daun nama rajanya, asalnya daripada anak cucu Raja Sulan, Muara Tatang nama sungainya. Ada pun Negeri Perlembang itu, Palembang yang ada sekarang inilah. Maka di hulu Muara Tatang itu ada sabuah sungai, Melayu namanya. Di dalam sungai itu ada satu bukit yang bernama Bukit Siguntang, di hulunya Gunong Mahameru, di daratnya ada satu padang yang bernama padang Penjaringan” (Shellabear, 1967:20).
Limbang, selain “mencuci” juga memiliki arti “rendah” (dari tanah) (Wilkinson, 1959:693). Menurut Wilkinson yang merujuk pada kutipan Sejarah Melayu di atas, perlimbang berarti “tanah rendah” sementara “Mahameru” adalah “tanah tinggi”.
Interpretasi tersebut juga masuk akal karena di naskah Tanjung Tanah kita mene¬mukan palimbang di samping Kurinci, yang berarti “tanah tinggi”. Dengan demikian “di waseban, di Palimbang” dapat berarti “di balai kerapatan di tanah rendah” (arti waseban mungkin sama dengan paseban dalam bahasa Jawa yang berarti “tempat pertemuan”) sehingga palimbang merujuk pada kawasan ilir.
Akan tetapi kawasan ilir mana yang dimak¬sud? Hal ini tidak dapat dijawab dengan pasti, tetapi ada tiga kemungkinan. Pertama, yang dimaksud dengan palimbang adalah Dhar¬masraya sendiri, kedua, palimbang merujuk pada daerah hilir Batanghari, dan dengan demikian tempat yang dimaksud adalah Muara Jambi yang pernah menjadi ibu kota Malayu dan mungkin pada saat penulisan kitab undang-undang Tanjung Tanah masih memainkan peranan penting sebagai salah satu kota administrasi dan pusat perdagangan kerajaan Malayu. Kemungkinan ketiga, ialah yang dimaskud dengan palimbang memang kota Palembang. Kebanyakan ahli sejarah cenderung menganggap bahwa selama abad ke-14 Palembang, bekas ibu kota Sriwijaya, telah kehilangan pamor, dan disingkirkan oleh kerajaan Malayu sehingga interpretasi yang ketiga ini agak sulit diterima.
Kozok (2006) cenderung untuk menganggap bahwa tempat yang dimaksud dengan palimbang tidak lain daripada Dharmasraya karena tidak ada alasan mengapa balai kerapatan yang disebut terletak di tempat lain daripada di Dharmasraya sendiri.
Di samping ketiga interpretasi di atas masih ada pula interpretasi satu lagi, yaitu bahwa keharuman nama Palembang sebagai salah satu tempat yang paling berjaya selama sejarah Sumatra, masih dibawa-bawa dan digunakan sebagai epithet ibu kota di kemu¬dian hari.
Alinea terakhir teks undang-undang disusul oleh kata penutup yang, sebagaimana halnya dengan kata pembuka, juga ditulis dalam bahasa Sansekerta. Kata penutup diawali dengan persembahan kepada Sang Dewa Suci ialah sang raja yang disusul dengan sebuah seloka (puisi) yang memuja para dipati sebagai “sang pembela [negeri] terhadap aneka musuh, yang berkata tegas, pemimpin para kesatria.”
Selanjutnya, arti kata-kata yang digunakan dalam seloka dipati masih dijelaskan secara terperinci. Adanya daftar kata seperti itu merupakan kebiasaan para pakar bahasa Sanskerta di Nusantara. Dengan demikian penulis naskah, Dipati Kuja Ali, menunjukkan kemahirannya karena ternyata ia memahami konvensi-konvensi penulisan Sansekerta yang berlaku pada zamannya. Daftar kata tersebut juga sekaligus menekankan sekali lagi kedu¬dukan terhormat para dipati yang di sini dise¬but sebagai “yang unggul.”
Ternyata enam ratus lima puluh tahun yang lalu Kerinci sudah memiliki kitab undang¬undang yang komprehensif. Bahwa kitab undang-undang tersebut ditetapkan di Dharmasraya menunjukkan bahwa Kerinci pada saat itu menjadi bagian kerajaan Malayu Adityawarman. Hal tersebut juga menjadi jelas dari tingkatan gelar para penguasa. Penguasa tertinggi di dalam kerajaan Malayu menyandang gelar maharajadhiraja yang, setahu kita, hanya digunakan oleh Akarendra¬warman dan Adityawarman yang berkuasa di ibu kota Malayu di Suruaso. Penguasa terting¬gi di Dharmasraya memegang gelar sebagai maharaja, artinya dia masih mengakui raja yang lebih tinggi, yaitu raja Malayu di Suru¬aso. Sedangkan penguasa tertinggi di Kerinci hanya menyandang gelar sebagai raja sehing¬ga dapat disimpulkan bahwa raja tersebut tun¬duk pada sang maharaja di Dharmasraya.
Bagaimana bentuk ‘kerajaan’ Kerinci tidak dapat dipastikan, tetapi terdapat kemungkinan bahwa sang raja yang disebut itu merupakan seorang dari ilir yang mewakili kepentingan Malayu-Jambi di Kerinci. Namun Ja’far (2003), menerangkan bahwa pada abad ke 6 sampai 13 bentuk pemerintahan yang ada di Kerinci adalah Pemerintahan Negeri Sigindo. Sedangkan pemerintahan Kerinci mulai abad ke 14 dikenal dengan nama Pemerintahan Depati IV Alam Kerinci. Mungkin itu pula sebabnya bahwa penulis Naskah Tanjung Tanah bergelar depati, yaitu Dipati Kuya Ali. Salah satu kelembagaan depati dari kerajaan Depati IV Alam Kerinci adalah Depati Atur Bumi yang melingkupi wilayah Hyang dan sekitarnya termauk daerah Tanjung Tanah. Depati Atur Bumi dalam pemerintahan semasa itu berfungsi sebagai ‘menteri dalam negeri’-nya Kerajaan Depati IV Alam Kerinci. Mungkin saja Depati Kuya Ali adalah sekretaris (juru catat dan simpan) dari Depati Atur Bumi.
Hubungan Kerinci dengan pusat kerajaan pada saat itu kelihatan sangat erat, dan hal itu tidak mengherankan bila mengingat bahwa bagi kerajaan Malayu, Kerinci merupakan sebuah daerah yang penting karena sumber daya alam yang dikandungnya. Dari kitab undang-undang Tanjung Tanah tampak bahwa kerajaan pusat di Dharmasraya sangat meng¬hormati para dipati di Kerinci dan berupaya untuk menetapkan dasar hukum yang memungkinkan adanya hubungan yang saling bermanfaat bagi kedua belah pihak.
Menyimak naskah Tanjung Tanah timbul kesan bahwa di abad ke-14 penduduk Kerinci lebih rela menerima raja di ilir sebagai tuannya karena kedua belah pihak diuntung¬kan dari hubungan yang ada yang berazaskan kepastian hukum. Selain itu, kerajaan Malayu di abad ke-14 pasti dianggap lebih berwibawa karena Malayu pada saat itu berada di tengah¬ tengah kejayaannya, dan dapat menikmati kekayaan yang berlimpah. Kekayaan itu tentu berasal dari sumber daya alam, dan pada abad ke-14 hasil pertambangan, hasil hutan, dan hasil pertanian menjadi sumber kekayaan utama.
Akan tetapi adanya sumber daya alam belum cukup agar sebuah negeri menjadi makmur dan sentosa bila tidak ada kepastian hukum.
Dilihat dari sudut pandang itu maka dapat disimpulkan bahwa – secara relatif – Kerinci mungkin lebih makmur di abad ke-14 daripada di abad-abad sesudahnya, perlu kiranya direnungkan apakah kepastian hukum yang ada sudah cukup untuk menjamin bahwa kekayaan alam dieksplorasi sedemi¬kian sehingga “saisi bumi Kurinci si lunjur Kurinci” dapat memanfaatkan kekayaan sum¬ber daya alamnya secara maksimal.

Aksara Naskah Tanjung Tanah
Teks undang-undang ditulis dengan sejenis aksara pasca-Palawa yang mirip dengan aksara Malayu zaman Adityawarman. Aksara Malayu merupakan turunan dari aksara Palawa yang berasal dari India Selatan, dan digunakan di berbagai tempat di Nusantara. Dari zaman ke zaman aksara Palawa berubah bentuknya sehingga menjadi aksara Nusantara yang pertama yang, antara lain, digunakan dalam prasasti-prasasti Srivijaya yang kebanyakan berasal dari abad ketujuh. Karena jumlah prasasti di Sumatra dan juga di kawasan berbahasa Melayu sangat sedikit maka tidak jelas bagaimana sejarah perkem-bangan aksara Sumatra di antara zaman Srivijaya sampai pada prasasti Adityawarman di abad ke-14. Secara paralel aksara pasca- Palawa juga berkembang di Jawa, Sunda, Madura, dan Bali sehingga pada abad ke- 16 terdapat berbagai ragam aksara pasca-Palawa, yang, antara lain, mencakup aksara yang digu- nakan di Majapahit (Jawa), Pajajaran (Sunda), dan di dalam kerajaan Malayu di zaman Adi¬tyavarman. Pada tulisan yang digunakan di ketiga daerah ini masih tampak warisan Palawa sehingga Dr. Tim Behrend (Universitas Auckland) menganjurkan istilah “late Pallavo-Nusantaric”. Aksara Palawa- Nusantara ini selanjutnya mengalami per¬ubahan yang cukup berarti sehingga timbullah berbagai ragam tulisan di Nusantara yang hubungan satu dengan yang lain belum diteliti secara sempurna. Aksara ini mencakup aksara Jawa dan Bali, serta beberapa ragam aksara di Sumatra (surat Batak dan surat ulu), Sulawesi, dan di Filipina yang mengalami perubahan yang sangat radikal sehingga hubu¬ngannya dengan aksara induknya tidak lagi jelas.
Prasasti-prasasti Akarendrawarman dan Adityawarman, dan demikian juga naskah Tanjung Tanah, menggunakan aksara Malayu. Karena kebanyakan prasasti ditemukan di daerah Minangkabau, maka tidak salah kalau aksara tersebut disebut sebagai aksara asli Minangkabau-Malayu. Aksara Malayu ini masih jelas termasuk kelompok aksara pasca - Palawa yang berkembang di Nusantara mulai dari aksara Sriwijaya hingga pada aksara Jawa Kuno. Dengan demikian aksara tersebut jelas termasuk dalam keluarga tulisan pasca-Pala¬wa, tetapi berbeda dengan aksara yang diang¬gap lebih khas Sumatra seperti surat ulu atau surat Batak.
Tentu saja hal ini tidak menjawab perta¬nyaan mengapa naskah Tanjung Tanah ditulis di daluang dan tidak di bambu, atau di tanduk kerbau yang merupakan bahan tulis yang paling umum di Kerinci. Hal tersebut tentu berkaitan dengan pengaruh Jawa yang sudah sejak abad ke-13 atau malahan sebelumnya merembes ke Sumatra bagian selatan. Aditya-warman yang pernah menjadi mantri praudhataro di istana Majapahit pasti sangat terpengaruh dengan budaya Jawa dan ingin menerapkan gaya kerajaan seperti di Jawa di dalam kerajaannya. Hal ini tentu tidak berarti bahwa kerajaan Malayu semata-mata mencon¬toh Majapahit, tetapi memilih unsur-unsur yang dianggapnya sesuai dan yang dapat memperkuat kedudukan sang Maharajadhiraja sebagai penguasa mutlak. Kalau menulis di bambu dan tanduk kerbau sudah menjadi tradisi kerakyatan dengan menggunakan aksara setempat seperti aksara Kerinci maka sang raja dan para pegawai tinggi merasa perlu mem-bedakan dirinya dari rakyat biasa dengan menggunakan aksara dan bahan tulis yang berbeda.

Analisis Radiokarbon
Untuk membuktikan kebenaran asumsi Voorhoeve bahwa naskah Tanjung Tanah memang berasal dari zaman sebelum agama Islam tersebar di pelosok-pelosok alam Melayu di sekitar Bukit Barisan, maka sebuah sampel naskah ditentukan usianya dencan cara pengukuran umur dengan metode radiokar¬bon. Sampel kecil yang dengan izin pemilik naskah Tanjung Tanah diambil dari salah satu halaman yang kosong (tidak mengandung tulisan), dikirim ke Rafter Radiocarbon Labo¬ratory di Wellington, New Zealand untuk di¬analisis dengan menggunakan spektrometer pemercepat masa. Accelerator mass spectrometry (AMS) merupakan metode yang relatif baru yang pertama kali diperkenalkan pada tahun 1977.
Analisis sampel naskah Tanjung Tanah yang diadakan di Laboratorium Rafter meng¬hasilkan umur radiokarbon 553 ± 40 tahun before present (BP) yang sama dengan tahun 1397 M ± 40 tahun (1357 – 1437 M) karena tahun 1950 dianggap sebagai ‘present’ Ñ demikianlah memang kovensi yang berlaku. Akan tetapi umur yang ‘konvensional” terse-but tidak persis sama dengan umur yang sebenarnya karena waktu paruh karbon-14 adalah 5.730 tahun dan bukan 5.568 tahun sebagaimana dianggap semula. Waktu paruh ialah waktu yang dibutuhkan untuk meluruh¬kan setengah dari inti atom. Artinya apabila proses peluruhan dimulai pada satu kilogram material radioaktif, material tersebut akan luruh menjadi setengah kilogram dari unsur tersebut. Selanjutnya setengah kilogram mate¬rial tersebut akan menjadi setengahnya lagi setelah waktu paruhnya dan seterusnya.
Karbon-14 dihasilkan terus menerus di bagian atas atmosfer akibat tembakan sinar kosmis (partikel nuklir energi tinggi) di alam, sehingga semua organism mengandung kar¬bon-14. Kadar kandungan karbon-14 juga tergantung pada intensitas pancaran yang mengalami perubahan di sepanjang masa. Kedua faktor tersebut perlu diperhatikan untuk penanggalan yang tepat, dan penyesuaian dilakukan dengan menggunakan kalibrasi INTCAL98 (Stuiver et al., 1998). Setelah diadakan kalibrasi maka terdapat dua kemungkinan tentang umur naskah Tanjung Tanah: Dengan probabilitas 95,4% naskah Tanjung tanah jatuh pada kurun waktu 1304 dan 1370 M (44,3%), atau antara tahun 1380 dan 1436 M (5 1,7%). Persentase yang di kurung adalah distribusi probabilitas yang untuk kedua kurun waktu hampir sama sehingga kita harus menerima kenyataan bahwa penanggalan tidak dapat diadakan dengan sangat tepat. Namun demikian jelas bahwa pohon yang digunakan untuk menghasilkan kertas daluang ditebang antara tahun 1304 dan 1436 Masehi.
Dapat disimpulkan bahwa naskah Tanjung Tanah ditulis selama abad ke-14 atau pada awal abad ke-15. Bila hasil analisis karbon-14 dikaitkan dengan data-data sejarah sebagai¬mana dilakukan di atas, maka kemungkinan besar bahwa naskah Tanjung Tanah ditulis pada paruh kedua abad ke-14.
Kenyataan bahwa tidak pernah ditemukan naskah Melayu yang berasal dari zaman pra¬Islam malahan diinterpretasikan oleh sebagian pakar sebagai petunjuk bahwa – lain dengan orang Jawa atau orang Bali misalnya – orang Melayu tidak pernah memiliki tradisi pernaskahan pra-Islam dengan menggunakan daun lontar, buluh, atau kulit kayu sebagai media tulis.*** (bersambung)

Catatan: Mohon Masukan agar Lembaran Sejarah Jambi semakin lengkap dan terima kasih.