tag:blogger.com,1999:blog-27582801459524670662024-03-13T02:30:50.219-07:00Aulia TasmanProf. Aulia Tasman, Ph.Dhttp://www.blogger.com/profile/03879010985712892173noreply@blogger.comBlogger21125tag:blogger.com,1999:blog-2758280145952467066.post-33739376704804200692010-08-15T03:24:00.001-07:002010-08-15T03:25:33.233-07:00Kerajaan ManjutoSekilas Tentang<br />KERAJAAN PAMUNCAK NAN TIGO KAUM<br />(KERAJAAN MANJUTO)<br /><br />Prof. Aulia Tasman, Ph.D<br /><br /><br />Seiring perubahan yang terjadi dalam pemerintahan Sigindo, pengaruh asimilasi sebagian pasukan Ekspedisi Pamalayu yang tidak pulang ke Jawa sekitar abad ke 13 Masehi, membaur dengan masyarakat di Alam Kerinci. Sistem pemerintahan Sigindo berganti dengan sistem pemerintahan Pamuncak. Di wilayah Kerinci (Kerinci Tinggi dan Rendah) muncul pemerintahan Pamuncak yang menguasai wilayah tertentu. <br />Daerah pamuncak dulunya termasuk ke dalam wilayah Kerajaan Pagarruyung sampai ke perbatasan Palembang. Itulah sebabnya pemuka-pemuka adat yang ada di Alam Kerinci pada waktu itu dipengaruhui oleh sistem pemerintahan Kerajaan Pagarruyung. Demikian pula di pusat-pusat konsentrasi penduduk banyak sekali mereka yang berasal dari Alam Lekuk 50 Tumbi Lempurkabau, termasuk pemuka-pemuka adatnya.<br />Di wilayah Jerangkang Tinggi diperintah oleh Pamuncak Tuo dengan rajanya Sigindo Batinting, di wilayah Sigindo Balak diperintah Pamuncak Tengah dan di wilayah Sigindo Elok Misai diperintah oleh Pamuncak Bungsu. Masing-masing Pamuncak membentuk pemerintahan sendiri dengan mengangkat pelaksana pemerintahan sebagai kembang rekan (kemerkan) dari kewilayahan Pamuncak yang terbentuk. Ketiga wilayah depati dirobah menjadi wilayah pamuncak dan bergabung menjadi satu kerajaan yang bernama Kerajaan Manjuto atau Kerajaan Pamuncak Nan Tigo Kaum.<br />Pada sisi lain perubahan-perubahan yang terjadi di pemerintahan Sigindo, wilayah-wilayah sigindo lain juga membentuk pemerintahan sendiri dengan mengangkat perangkat pemerintahan menjadi pemimpin tanah Sigindo. Demikianlah di Alam Kerinci Tinggi terjadi perubahan-perubahan yang sangat mendasar dalam sistem pemerintahan, dari pemerintahan Sigindo menjadi sistem pemerintahan Pamuncak. <br />Untuk daerah Kerinci Rendah terdiri dari dua daerah Pamuncak, yaitu Pamuncak Pamerab – Pamenang dan Pamuncak Pulau Rengas.<br />Khusus untuk Kerajaan Manjuto dengan sebutan lain “Kerajaan Pemuncak Nan Tigo Kaum” mempunyai pusat kerajaan di Tanjung Kaseri yang terletak pada pedalaman jauh di tengah kawasan Bukit Barisan, dibawah kekuasaan Sagindo Balak. Pamuncak Nan Tiga Kaum terdiri dari:<br />1. Pamuncak Tuo, berkedudukan di Jerangkang Tinggi.<br />2. Pamuncak Tengah, berkedudukan di Tanjung Kaseri <br />3. Pamuncak Bungsu, berkedudukan di Koto Tapus <br />Dalam Buku Encydopaedie van Nederland Indie, tahun 1918 yang bahannya diambil dari Tambo Adat Kerajaan Manjuto di Renah Kemumu Srampas dengan dipimpin oleh Depati Pulang Jawa. Diterangkan bahwa Kerajaan Manjuto berwatas dengan Kerajaan Alam Lekuk 50 Tumbi Lempurkabau dan Jambi.<br />Luas daerah takluk Kerajaan Manjuto: Semenjak dari Pematang Tumbuk Tigo sampai Sebih Kuning Muaro Saliman sampai Semerap mendaki Gunung Raya turun ke Sungai Batang Selaut sampai Sungai Serik sampai ke Ombak nan Berdebur. Keselatan sampai ke daerah Rawas – Rupit, Lubuk Linggau dan berbatas dengan Bukit Siguntang-guntang.<br />Sebelah Utara, sebelah Timur dari Pematang Tumbuk Tigo mencakup wilayah Depati Muaro Langkap menuju kearah Peratin Tuo dengan Pembarab Tiang Pumpung terus ke Limun Batang Asai, ke Sungai Suo di Muara Aman sampai mengalir ke Batang Ketaun sampai ke Ombak nan Berdebur.<br /> <br />Menurut Abdul Kiram dan Yeyen Kiram (2003), bahwa pada waktu Sri Maharaja Sakti (Akarendrawarman) berkuasa pada tahun 1279 Masehi, Kerajaan Melayu di Darmasyraya menempatkan keluarga-keluarga kerajaan pada daerah-daerah rantau sebagai pemimpin (raja kecil) di tempat mereka berada. Sehingga beliau banyak sekali mengirim keluarga kerajaan seperti ke daerah Kampar (Kuantan), Palembang, Bengkulu, Johor, Jambi, Kerinci dan lain-lain. <br />Keluarga kerajaan yang dikirim misalnya ke daerah Bengkulu bagian utara, tepatnya di daerah Manjuto sampai ke Kerinci adalah (1) Datuk Rajo Magek menguasai dareah Manjuto bagian hulu, (2) Raja Bungsu menguasai daerah hilir Manjuto dan (3) Datuk Rajo Nan Sati megusasai daerah Manjuto bagian barat, ketiganya diberi wewenang dan hak untuk memimpin pemukiman baru tersebut. Daerah baru yang dimaksud adalah daerah yang berada pada kawasan Sungai Manjuto. <br />Jika dihubungan dengan Tambo Kerinci – Serampas, bahwa keluarga kerajaan Melayu Darmasyaraya yang ada di wilayah tersebut terdiri dari: (1) Sigindo Batinting dikenal di daerah ini sebagai Sigindo Siah Rao (menguasai daerah Kerinci), (2) Sigindo Balak (menguasai daerah Manjuto –Serampas); dan (3) Sigindo Ilok Misai (menguasai daerah Jangkat – Koto Tapus.<br />Kalau dihubungkan antara dua sumber tadi mungkin saja dapat ditarik kesimpulan bahwa pemimpin keluarga kerajaan yang dikirim tersebut adalah orang yang sama?, tetapi panggilan untuk masing-masing dearah berbeda-beda. Sebab wilayah yang dikuasai oleh masing-masingnya itu berada dalam lingkup batas wilayah Kerajaan Manjuto yang dikenal dengan nama Kerajaan Manjuto (Pamuncak Nan Tigo Kaum). Pamuncak Tuo (Sigindo Batinting) atau dikenal juga dengan nama Datuk Rajo Magek, sebagai raja di daerah Jerangkang Tinggi di Kerinci. Kemudian pewaris tahta kerajaan nantinya adalah Tuanku Magek Bagonjong. Pamuncak Tengah (Sigindo Balak) atau dikenal juga sebagai Rajo Bungsu. Beliau inilah sebagai rajo kerajaan Manjuto dan pusat kerajaan berada di daerah Renah Kemumu – Tanjung Kasri. Sedangkan Sigindo Ilok Misai merupakan Pamuncak Bungsu adalah sama orangnya dengan Datuk Rajo Nan Sati yang menguasai daerah Jangkat dan Kota Tapus. <br />Oleh karena anak raja Kerajaan Manjuto (pamuncak tengah) yang bernama Puti Dayang Ayu (anak Pamuncak Tuo) kawin dengan anak dari Pamuncak Tuo yang bernama Bujang Palembang Gelar Tuanku Magek Bagonjong, maka pusat pemerintahan Kerajaan Manjuto dipindahkan ke Jerangkang Tinggi – (pusat kerajaan di sekitar Danau Kerinci). Penobatan gelar Bujang Palembang (Raja Kerajaan Manjuto) sebagai Tuanku Magek Bagonjong dilakukan di Istana Pagarruyung dan sekali gus sebagai raja pada wilayah Pamuncak Tuo.***Prof. Aulia Tasman, Ph.Dhttp://www.blogger.com/profile/03879010985712892173noreply@blogger.com5tag:blogger.com,1999:blog-2758280145952467066.post-83682774472353899342010-08-14T14:51:00.000-07:002010-08-14T14:59:19.950-07:00Analysis Total Factor Productivity<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjK8nBb7ebt6LUrDY1lBE5RLm1YoGaZZCl09wwPDtxLPzH7chUD5PoViKXjegtelgNoXQo7YtqGEUffzIOI0rS-ovBuZ7Xj4YbW_FNyk6Abt5YKjhgx3-7iKPdt34ej-u9cUi-x2njWp-Y/s1600/image002.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 238px; height: 320px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjK8nBb7ebt6LUrDY1lBE5RLm1YoGaZZCl09wwPDtxLPzH7chUD5PoViKXjegtelgNoXQo7YtqGEUffzIOI0rS-ovBuZ7Xj4YbW_FNyk6Abt5YKjhgx3-7iKPdt34ej-u9cUi-x2njWp-Y/s320/image002.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5505388330270144834" /></a><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhssJ_WFMO2eXJ4eEZT9vUTjIlkin9XeJerJcQnZmdFv8f18iaNDeb-Dr7vEMBimbeyylhmwMRK7Kckt5ILzpTIbaX-8J0ML46rPhhlh2fC_H7IXrXtrQpp1oValChAoOkmHjGYAZPUHi8/s1600/image004.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 211px; height: 320px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhssJ_WFMO2eXJ4eEZT9vUTjIlkin9XeJerJcQnZmdFv8f18iaNDeb-Dr7vEMBimbeyylhmwMRK7Kckt5ILzpTIbaX-8J0ML46rPhhlh2fC_H7IXrXtrQpp1oValChAoOkmHjGYAZPUHi8/s320/image004.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5505388085488033922" /></a><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgh-7S1x6fQHxpyg60fsFBSHaSiLFDiCDd9mrN9cDWT6uL6pPHDIONOOJ4ImzLkDQ4cq1HjgwhBqkhTSpJx6P21mtHTo1OGsOsvOec-CyaeaFa0Bz314CdGrbwQC86-oScE4nBRGoMwnuo/s1600/image006.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 230px; height: 320px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgh-7S1x6fQHxpyg60fsFBSHaSiLFDiCDd9mrN9cDWT6uL6pPHDIONOOJ4ImzLkDQ4cq1HjgwhBqkhTSpJx6P21mtHTo1OGsOsvOec-CyaeaFa0Bz314CdGrbwQC86-oScE4nBRGoMwnuo/s320/image006.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5505388080523924690" /></a><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg0bwlmA3fG5YrCnA390RbRescl0dc2PkiP9uZ9NinSjqCIbZM05Y7XXbR63DjhMO3wzGvgGg9Lyl8bk1kRYcwfnjiqMC4Pp1OegPelCXiybm-Hbi5HEyFf0XJqn63HZiif7h3nwb84uAY/s1600/image008.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 244px; height: 320px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg0bwlmA3fG5YrCnA390RbRescl0dc2PkiP9uZ9NinSjqCIbZM05Y7XXbR63DjhMO3wzGvgGg9Lyl8bk1kRYcwfnjiqMC4Pp1OegPelCXiybm-Hbi5HEyFf0XJqn63HZiif7h3nwb84uAY/s320/image008.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5505388075723392418" /></a><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjdz-xr3vDmT48f9Ir1-BTWjGhdbmYCtsoyWSZN7UPDkPaZzXdAG5bBlgQiFsUzNkKjAC0vpna7ccLOHeAtXLkFpSOQASFsXR_vQZ5N0GDBSw_TZi1M9l92S1fWOrfiH5yFty8VpfYxh5o/s1600/image010.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 233px; height: 320px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjdz-xr3vDmT48f9Ir1-BTWjGhdbmYCtsoyWSZN7UPDkPaZzXdAG5bBlgQiFsUzNkKjAC0vpna7ccLOHeAtXLkFpSOQASFsXR_vQZ5N0GDBSw_TZi1M9l92S1fWOrfiH5yFty8VpfYxh5o/s320/image010.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5505388073512075986" /></a><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjUBgXcZAMmhxdycpFVv8fLkeWCLCq1phrDGstPxGcyNjDPT8-Jmv92hgtBrFWpRuyYovumKSFb13VgsEvnEbuWL6grJK_cq0h-pIGJBMP7EX8y1j09gxobaST44dSKzYqKN1jr0auR5rE/s1600/image012.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 236px; height: 320px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjUBgXcZAMmhxdycpFVv8fLkeWCLCq1phrDGstPxGcyNjDPT8-Jmv92hgtBrFWpRuyYovumKSFb13VgsEvnEbuWL6grJK_cq0h-pIGJBMP7EX8y1j09gxobaST44dSKzYqKN1jr0auR5rE/s320/image012.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5505387383875348786" /></a><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjQsx8Is2lWfmN2UFjbIp5p4iIQ_PGTdhqM4RYgQ2AYGumh2YezaVWRoq3hyv4ZHqJMjAx7VT1ZrMOFoDzAELa2qvBVSPGGtnxD5xfCuoet_XVEIS8ciD8NoBg98WLG5chibNZ7k9IxeiY/s1600/image014.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 229px; height: 320px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjQsx8Is2lWfmN2UFjbIp5p4iIQ_PGTdhqM4RYgQ2AYGumh2YezaVWRoq3hyv4ZHqJMjAx7VT1ZrMOFoDzAELa2qvBVSPGGtnxD5xfCuoet_XVEIS8ciD8NoBg98WLG5chibNZ7k9IxeiY/s320/image014.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5505387383078489330" /></a><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhhR2G3-wbvXl039kxbcJEEDvSbhSHvjov581B9rtQxsTRB-aktMDDN5aqiwYbOmLfr4a_iWLVE4mcWU3xf8g6I-auHz0yNg3c57bX9Jf77lrl33tBT-5iomMqD996m7JVi79-bcOx8og8/s1600/image016.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 229px; height: 320px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhhR2G3-wbvXl039kxbcJEEDvSbhSHvjov581B9rtQxsTRB-aktMDDN5aqiwYbOmLfr4a_iWLVE4mcWU3xf8g6I-auHz0yNg3c57bX9Jf77lrl33tBT-5iomMqD996m7JVi79-bcOx8og8/s320/image016.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5505387373704115810" /></a><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgbRj29Lhevy_KdmpfPhXml8vextuJR3PKbatb4L78yueQmJkRC4KoZeJ0lK3BTIY7iT7kNxM7EqZ8bo7RlAhRD9AgU0v2ALw80ShZEkBXYw1EDEZJl_zVPTu_GEjsGcHzIhyphenhyphenTdh4xC2oU/s1600/image018.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 253px; height: 320px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgbRj29Lhevy_KdmpfPhXml8vextuJR3PKbatb4L78yueQmJkRC4KoZeJ0lK3BTIY7iT7kNxM7EqZ8bo7RlAhRD9AgU0v2ALw80ShZEkBXYw1EDEZJl_zVPTu_GEjsGcHzIhyphenhyphenTdh4xC2oU/s320/image018.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5505387370246687810" /></a>Prof. Aulia Tasman, Ph.Dhttp://www.blogger.com/profile/03879010985712892173noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2758280145952467066.post-89486095942800995312010-08-14T03:57:00.000-07:002010-08-14T04:17:55.041-07:00Technological Change - Perennial Crops<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjp7_k-H8PNZRC3Il0eSFTtrtOuc9Uz6fg_iYVmTtUeoySqwY0AC5BPGmlOhPk9OCJN7Nn3C8CrmycBMMFd5R5_LsN3H1bHxE5jwmikonV9BU-RGaMVWRUNUh2y0j0ul6ScYfMnCx04dCI/s1600/image002.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 222px; height: 320px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjp7_k-H8PNZRC3Il0eSFTtrtOuc9Uz6fg_iYVmTtUeoySqwY0AC5BPGmlOhPk9OCJN7Nn3C8CrmycBMMFd5R5_LsN3H1bHxE5jwmikonV9BU-RGaMVWRUNUh2y0j0ul6ScYfMnCx04dCI/s320/image002.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5505223075629603618" /></a><br /><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg3EaDMZmDjqQ1ur_bxC5x9AY8nNcflI2irphovqGjdu6UCusHW22DwR7M9sKc0PMVbvxVlBuhJN53fahXQIPx2ZJhx0VxAE8O-BbUJR3V1h1Oh6t84UuOosge-KlH5BED63YtWmu3Z70A/s1600/image004.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 222px; height: 320px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg3EaDMZmDjqQ1ur_bxC5x9AY8nNcflI2irphovqGjdu6UCusHW22DwR7M9sKc0PMVbvxVlBuhJN53fahXQIPx2ZJhx0VxAE8O-BbUJR3V1h1Oh6t84UuOosge-KlH5BED63YtWmu3Z70A/s320/image004.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5505223073602779234" /></a><br /><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjs0FxpTp5gyUcjfOAQn0hAVopAAR8sXofHkyltSAKXNdQAIlcKt9c6zpjTiZmA8xWBrXE00B3HVq9dD_Spfjj_FMPR5Lji_bC7I1RitCn-VAN-oqLclkR_KbMbYbADfII5_kDWtcrbGOo/s1600/image006.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 230px; height: 320px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjs0FxpTp5gyUcjfOAQn0hAVopAAR8sXofHkyltSAKXNdQAIlcKt9c6zpjTiZmA8xWBrXE00B3HVq9dD_Spfjj_FMPR5Lji_bC7I1RitCn-VAN-oqLclkR_KbMbYbADfII5_kDWtcrbGOo/s320/image006.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5505223068467093298" /></a><br /><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjnjUF8EW4fBcq2MeMGH9GM1kV8EJKQixSM0BHi6JLc93XEsGTqbEgHHYoMJqZtQzIdiXheQ5OrojrU2rCa-I6DmuifGlQdhlUWE0TPUCdD1J4_odKBpP8EHfzQS8TzEUI0rUZFdAtkcT4/s1600/image008.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 221px; height: 320px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjnjUF8EW4fBcq2MeMGH9GM1kV8EJKQixSM0BHi6JLc93XEsGTqbEgHHYoMJqZtQzIdiXheQ5OrojrU2rCa-I6DmuifGlQdhlUWE0TPUCdD1J4_odKBpP8EHfzQS8TzEUI0rUZFdAtkcT4/s320/image008.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5505222649313978818" /></a><br /><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhDryTbgsQhv3S3jd53N46_SAwg0kBWqV2uqEPmzgvbaPZMdXDCqtUoPylLOUA29NNq4hPF8gbYkAdqym78GXnz9Wue7GRglnJC5y4GEj14e7o9aGdH7AnCb0fJ6x-WD8_n0UQ3gIkkYvc/s1600/image010.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 221px; height: 320px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhDryTbgsQhv3S3jd53N46_SAwg0kBWqV2uqEPmzgvbaPZMdXDCqtUoPylLOUA29NNq4hPF8gbYkAdqym78GXnz9Wue7GRglnJC5y4GEj14e7o9aGdH7AnCb0fJ6x-WD8_n0UQ3gIkkYvc/s320/image010.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5505222641698760818" /></a><br /><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhqSDx-P74uXQCdev57DDT727DjZHZmCuNssIAvL-MNBov7nEGxdwmtKYNtxqu9vKt3vQgPMBDOlcqYRJ52ScJ9WjtZJzpwp5M7SBS_IsuAp2MNv05cqPwMav6nIeOLzyezpAMoOu-JQ0g/s1600/image012.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 226px; height: 320px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhqSDx-P74uXQCdev57DDT727DjZHZmCuNssIAvL-MNBov7nEGxdwmtKYNtxqu9vKt3vQgPMBDOlcqYRJ52ScJ9WjtZJzpwp5M7SBS_IsuAp2MNv05cqPwMav6nIeOLzyezpAMoOu-JQ0g/s320/image012.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5505222639401217842" /></a><br /><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi3EpnkKLmhn84qU-kiHvTp2vr3wOkDWYrfNbESLGwX7CxQWKboaW4IKk_Djz_NH1Fvr1rJF8yQxWsVYLAgHvNx9fatXr6t-DFi6LWxKudEcNKaul9hbUeFWlElluvu3ITcYvUCm8YSe0s/s1600/image014.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 221px; height: 320px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi3EpnkKLmhn84qU-kiHvTp2vr3wOkDWYrfNbESLGwX7CxQWKboaW4IKk_Djz_NH1Fvr1rJF8yQxWsVYLAgHvNx9fatXr6t-DFi6LWxKudEcNKaul9hbUeFWlElluvu3ITcYvUCm8YSe0s/s320/image014.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5505222633469238690" /></a><br /><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiRbnZW4l0hvdNMNGc6J9MKOzSxBntVLLRRQbKz5c0eNcofg9Wu-j-0MW7-UZatxUByHkkxfU7INndhKGNY_F7S0AcruYl94rWH62Um-C71lvdqIKDpinBOJILRis3qCMXOrf5V4ziFbLA/s1600/image016.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 223px; height: 320px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiRbnZW4l0hvdNMNGc6J9MKOzSxBntVLLRRQbKz5c0eNcofg9Wu-j-0MW7-UZatxUByHkkxfU7INndhKGNY_F7S0AcruYl94rWH62Um-C71lvdqIKDpinBOJILRis3qCMXOrf5V4ziFbLA/s320/image016.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5505222085409582754" /></a><br /><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj0MfJ7NdAr54gGAda3VT4SCA7u_qBOES2T_ERK077gpLOq5rI0niBSAzSCWO4rinKWvHO8Tx4tTE_icX3Zgyfz95Pq5qxLORMDw-5ST4WxUVjr2WDvCVbm2GLAFRG0vQd_HApSNiu_hHs/s1600/image016.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 223px; height: 320px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj0MfJ7NdAr54gGAda3VT4SCA7u_qBOES2T_ERK077gpLOq5rI0niBSAzSCWO4rinKWvHO8Tx4tTE_icX3Zgyfz95Pq5qxLORMDw-5ST4WxUVjr2WDvCVbm2GLAFRG0vQd_HApSNiu_hHs/s320/image016.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5505222080483293794" /></a><br /><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhvuYhvB9unrJqdiEiAcj7VkeuZb4TB1ZWKEkDVAzuheeg-INZQIWrEipmtk4HllMm1ehRQz9Nm0M_vPsmCUa_aFBg5v-uV3dLLNdEErRX8HaxmuFtJCHaqSiafHBz968OF1_EKQZdpXbo/s1600/image018.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 221px; height: 320px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhvuYhvB9unrJqdiEiAcj7VkeuZb4TB1ZWKEkDVAzuheeg-INZQIWrEipmtk4HllMm1ehRQz9Nm0M_vPsmCUa_aFBg5v-uV3dLLNdEErRX8HaxmuFtJCHaqSiafHBz968OF1_EKQZdpXbo/s320/image018.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5505222077675818242" /></a><br /><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh4t5IxGcJ3_Mlu2IxnuOwmNxVe5n638JZN0gI7oxiMvyic4cECD2Xv-jlFCug9vOiJVIrTM5xEZ9QcHAJFXQ7Yp7HgszDZGgNl5m5P_XLhYHulqXPFUnsrb-DnpfE-HIC64TU_UtaNMUE/s1600/image020.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 225px; height: 320px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh4t5IxGcJ3_Mlu2IxnuOwmNxVe5n638JZN0gI7oxiMvyic4cECD2Xv-jlFCug9vOiJVIrTM5xEZ9QcHAJFXQ7Yp7HgszDZGgNl5m5P_XLhYHulqXPFUnsrb-DnpfE-HIC64TU_UtaNMUE/s320/image020.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5505222067280985746" /></a><br /><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEguOliZOEDaKQB0OCrPH2-vIkEWTswuuIBdl6dQeMojrTHXHxsq4LxiNOKpnfBrNCH3Sq7uis9yPGJbMCr-fxfDmIaFduxv6mC0el-vN8qL7Xgxnsjr0Yqs_mMo4-Eh3Fuk-8Jc9ywpp_c/s1600/image020.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 225px; height: 320px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEguOliZOEDaKQB0OCrPH2-vIkEWTswuuIBdl6dQeMojrTHXHxsq4LxiNOKpnfBrNCH3Sq7uis9yPGJbMCr-fxfDmIaFduxv6mC0el-vN8qL7Xgxnsjr0Yqs_mMo4-Eh3Fuk-8Jc9ywpp_c/s320/image020.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5505221338474171698" /></a><br /><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhC_7EQnfGgO1xs5rLoLGU8FEx8ZIggiILx8v_AVtAcWx8rGiZnraQ-VpXF8hGwKZXMsaTQpH9v6VPnS3zvRSMMFIfT4x7E1iF-i7hg-UbDtgHUBL_oDHEoALNCWU46uCMeHfsGbMlluuc/s1600/image022.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 221px; height: 320px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhC_7EQnfGgO1xs5rLoLGU8FEx8ZIggiILx8v_AVtAcWx8rGiZnraQ-VpXF8hGwKZXMsaTQpH9v6VPnS3zvRSMMFIfT4x7E1iF-i7hg-UbDtgHUBL_oDHEoALNCWU46uCMeHfsGbMlluuc/s320/image022.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5505221334569170322" /></a><br /><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg1tlB3zfMOyzZyhA_B6_bJyiwU56rwDwAzSBYuBLnSh26HiPLosxe2DivDyZ3wFrxCe-qf4ZBteITjgl_9VOeSo00UJKtRgN0CRWJScIQHnroOjejpj6QFZJ36uhdDRsl29sKguvFFpmU/s1600/image024.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 286px; height: 320px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg1tlB3zfMOyzZyhA_B6_bJyiwU56rwDwAzSBYuBLnSh26HiPLosxe2DivDyZ3wFrxCe-qf4ZBteITjgl_9VOeSo00UJKtRgN0CRWJScIQHnroOjejpj6QFZJ36uhdDRsl29sKguvFFpmU/s320/image024.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5505221321049172274" /></a><br /><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgnQMM0d01sqFZLR1M8InGwdiH000hmdGYCGpAQcgedm4bThkpZyXn8n_3gGP0dTZOokV5pXfGtIdY8FQPge_nxRN6YrP4BLrc14ce1qjyrRJ1Y-qJ515HEQXkHKaTlny5K3Yis0Fdhwk0/s1600/image026.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 252px; height: 320px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgnQMM0d01sqFZLR1M8InGwdiH000hmdGYCGpAQcgedm4bThkpZyXn8n_3gGP0dTZOokV5pXfGtIdY8FQPge_nxRN6YrP4BLrc14ce1qjyrRJ1Y-qJ515HEQXkHKaTlny5K3Yis0Fdhwk0/s320/image026.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5505221315899512562" /></a><br /><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgTpRKaBcHI61kHAma5vg-zu4bYC71xlWsdALsYlAJX78QfqUIikFuJg0g-ecsW5AGl9E5kQuJHgkmfteCkAJ_SHIFJGdigvfuloehyphenhyphenL-4-Z_qiofCa8b1Txp8ipdUtyE6tIxgzGE7hxy8/s1600/image028.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 234px; height: 320px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgTpRKaBcHI61kHAma5vg-zu4bYC71xlWsdALsYlAJX78QfqUIikFuJg0g-ecsW5AGl9E5kQuJHgkmfteCkAJ_SHIFJGdigvfuloehyphenhyphenL-4-Z_qiofCa8b1Txp8ipdUtyE6tIxgzGE7hxy8/s320/image028.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5505221311778581554" /></a>Prof. Aulia Tasman, Ph.Dhttp://www.blogger.com/profile/03879010985712892173noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2758280145952467066.post-31610450066667423442010-08-13T04:55:00.000-07:002010-08-13T04:56:31.269-07:00Kebutuhan Listrik JambiTahun 2010, Jambi Butuh Listrik 191 MW<br />Jambi, CyberNews. Pada 2010 Provinsi Jambi membutuhkan tambahan listrik sebesar 191 Mega Watt (MW) untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, baik rumah tangga maupun industri, kata Kepala Pertambangan dan Energi Provinsi Jambi Irmansyah Herman. <br /><br />Ketika dihubungi di Jambi, Senin, ia mengatakan, saat ini pada beban puncak Provinsi Jambi membutuhkan 150 MW listrik, 70 persen di antaranya masih dipasok dari provinsi tetangga seperti Sumatra Barat dan Sumatra Selatan lewat interkoneksi. <br /><br />"Belum mandirinya PLN di Provinsi Jambi menyebabkan Jambi masih harus mengandalkan pasokan dari provinsi tetangga, padahal potensi primer energi listrik di daerah itu sangat besar dan melimpah," katanya. <br /><br />Akibat kekurangan itu, pada 2010, Jambi masih harus meminta pasokan listrik sebesar 191 MW dari provinsi tetangga untuk mencukupi kebutuhan listrik di daerahnya. <br /><br />Potensi primer yang dimiliki Provinsi Jambi seperti panas bumi, air dan batu bara sangat besar, bahkan batu bara tersebar di tujuh kabupaten meliputi Sarolangun, Batanghari, Muarojambi, Bungo, Tebo, Merangin dan Tanjung Jabung Barat. <br /><br />Potensi batu bara terbesar terdapat di Kabupaten Bungo yang terdapat pada hamparan seluas 120.000 hektare, Sarolangun (94.121 Ha), Batanghari (89.315 Ha, Tebo (61.229 Ha), Merangin (16.557 Ha, Muarojambi (16.00 Ha) dan Kabupaten tanjung Jabung Barat seluas 13.281 Ha. <br /><br />Potensi energi primer lainnya seperti panas bumi terdapat di Kabupaten Kerinci, Sarolangun dan Merangin yang banyak terdapat air terjun dan sungai berair deras yang tenaganya bisa digunakan untuk Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA). <br /><br />Potensi itu jika dimanfaatkan secara optimal, diyakini Provinsi Jambi mampu menjadi daerah penghasil listrik terbesar di Sumatra, tidak saja untuk memenuhi kebutuhan lokal, namun juga bisa dijual untuk meningkatkan pendapatan daerah. <br /><br />"Untuk itu pihak PLN harus memanfaatkan potensi energi primer yang ada di daerah, dengan menjaring atau membuka peluang bagi investor untuk menggrap potensi tersebut," kata Irmansyah Herman. <br />(Ant /CN08)Prof. Aulia Tasman, Ph.Dhttp://www.blogger.com/profile/03879010985712892173noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-2758280145952467066.post-31321676467871425362010-08-13T04:03:00.000-07:002010-08-13T04:04:25.070-07:00Batas Wilayah Provinsi JambiBatas Wilayah Provinsi Jambi :<br /><br />Dari Durian di Takuk Rajo, Lepas ke Sialang Berlantak Besi <br />Melayang ke Tanjung Simalidu, Menepat di Beringin Nan Sebatang <br />Beringin Gedang Nan Sekali Dalam<br />Mendaki bukit ke Lirik Nan Basibak<br />Meniti Pematang Panjang<br />Menepat ke Singkil Tujuh Berlarik, ke Sepisak Pisau Hilang<br />Mendaki Bukit alum Babi, Meniti Pematang Panjang Menepat ke Bukit Cendaku <br />Laju ke Ulu Parit 9, Menuju ke Sungai Retih dan Sungai Enggang .<br />Meremah Tanjung Labuh, Terjun ke Laut Nan Mendidih .<br />Menempuh Ombak Nan Bedebur Merapat ke Pulau Nan Tigo<br />Sebelah Laut Pulau Berhala, Naik Ke Sekatak Air Hitam <br />Menuju ke Bukit Seguntang-guntang, Mendaki Bukit Tuo<br />Lepas Sungai Bayung Lincir, Laju ke Hulu Sungai Singkut<br />Dikurung Bergadeng Bukit Tigo, Mudik ke Serintik Hujan Panas <br />Meniti Bukit Barisan, Turun ke Renah Sungai Buntal<br />Menuju ke Sungai Air Dikit, Menepat ke Hulu Sungai Ketaun .<br />Mendaki Bukit Malin Dewa, Laju ke Sungai Ipuh<br />Mendaki Bukit Sitinjau Laut, Sayup-sayup Laut Lepas Menuju Gunung Berapi <br />Disitu Tertegak Gunung Kerinci, Menepat ke Muaro Danau Bento Menempuh Bukit Kaco, Meniti Pematang Lesung Teras <br />Menuju Batu Anggit dan Batu Kangkung, Teratak Tanjung Pisang <br />Siangkak-Siangkang Hilir Pulo ke Durian di Takuk Rajo, di Situ Mulai Berjalan <br />Balik Pulo ke Tempat Lamo, Berjalan Meniti Batas.<br /><br />Berjalan Sampai ke Batas, Menepat Janji Lampau, Sampai ke Pulau <br />Elok-Elok Berhumo Rimbo, Elok-Elok Membaco Tando Malang Capo Tumbuh di Reuah, <br />Hilang Tambo Hilang Tanah<br /><br /> (Buku Adat Melayu Jambi)Prof. Aulia Tasman, Ph.Dhttp://www.blogger.com/profile/03879010985712892173noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2758280145952467066.post-34860743025076614422010-08-11T15:22:00.000-07:002010-08-11T15:29:18.035-07:00Datuk Paduko BerhaloSIAPA DATUK PADUKO BERHALO?<br /><br /><br />A. Penggalan Sejarah Kerajaan Melayu<br /><br />Kerajaan Melayu mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Adityawarman. Adityawarman adalah anak Dara Jingga dan Adwayamarman yang dilahirkan di Siguntur. Kisah Adityawarman sampai memegang tampuk pimpinan di Pagarruyung memang berlaku-liku. Setelah meningkat dewasa dia dikirim oleh ayahnya ke Majapabit untuk mengabdi pada kerajaan. Tujuan ayahnya adalah agar putranya itu dapat menggantikan Raden Wijaya jadi Raja Majapahit. Namun, harpannya tidak terkabul, karena ada putra Raden Wijaya yang harus naik tahta.<br />Oleh karena kepintarannya, Adityawarman dapat kedudukan tinggi juga, sebagai Menteri Utama dalam kerajaan, yang disebut weddhamantri atau mantri praudhataro. Gelar tinggi di Istana Majapahit. Nama itu terkmaktub dalam prasasti di belakang sebuah patung Manjusri. Teks itu berbunyi ebagai berikut:<br />Rajya Srwirarajapathniwijite [h] tadhangsajah sudhadhih cakra Jahamahitale waregunai Adityawarmmapy= asau/mantri praudhataro jinalayapura prasdam atyadbhutam matatatasuhrjjanam samasukham netum bhawat tatparah// ...//i saka 1265//.<br />Oleh Bosch dikemukan juga bahwa tulisan dan ejaan prasasti itu, yang ditulis sisi belakang arna Manjusri yang diartikan:<br />Dalam kerajaan yang dikuasai oleh Ibu Yang Mulia Rajapatni maka Adityawarman itu, yang berasal dari keluarganya yang berakal murni dan bertindak selaku menteri wreddharaja, telab berbuat di pulau Jawa, di dalam Jinalayapura, sebuah candi yang ajaib.--- dengan harapan agar dapat membimbing ibunya, ayahnya dan sahabatnya ke kenikmatan Nirwana.<br />Dengan candi, yang dinamakan Jilanaya(pura) di sini, tentu dimaksudkan Candi Jago atau Tumpang yang sekarang, tempat asalnya patung Manjusri yang bertulisan itu. Candi tersebut mula-mula didirikan atas perintah raja Kertanagara guna menghormati ayahnya Wisnuwardana, yang mangkat tahun 1286 Maserhi. Candi yang sedemikian rupa pada umumnya didiirkan sesudah upacara sraddha yang dilangsungkan duabelas tahun sesudah kemangkatan, maka candi Jago didirikan pada tahun 1268+12 atau 1280 Masehi, menurut kiab Pararaton.<br />Sesuai dengan penafsiran Bosch diterangkan bahwa tulisan ini oleh Adityawarman didirikan candi tambahan di lapangan Candi Jago. Atau mungkin juga bahwa candidiari kira-kira tahun 1280 Masehi sudah runtuh dan digantikan denan candi baru. Menimbang bahwa tidak ada sisa-sisa bangunan besar di samping Candi Jago yang sekarang, maka penerangan yang kedua masuk akal. Itu pula sesudai dengan gambar-gambar timbul dan ukiran di candi tersebut. <br />Berdasarkan gaya tulisan dan ejaan prasasti Adityawarman apda patung Manjusri Bosch telah menarik kesimpulan bahwa keduanya dipengaruhi oleh gaya Sumatera. Maka itu membuktikan bahwa tulisan itu adalah dari tangan seorang Sumatra dan barangkali Adityawarman sendiri. Kebetulan di belakang batu bertulisan Ombilin dibaca kata-kara svahastena maya Adityawarmana, (ini ditulis) oleh saya, Adityawarman, dengantangan dirinya.<br />Jadi raja itu ternyata pandai menulis dalam bahasa Sangskerta. Meskipun hal itu tidak disebutkan pada prasasti Manjusri, namun kemungkinan ada pasasti itu ditulis Adityawarman sendiri, pada waktu itu belum raja, melainkan wreddhamantri. Kalau demikian halnya maka dapat disimpulkankan bahwa Adityawarman singgah di istana Majapahit sebagai seorang putera Sumatera. Sesuai dengan politik Gajah Mada terhadap ”Nusantara” para pembesar di berbagai dari di Indonesia diundang atau dipanggil ke istana guna memberi hormat keapa sang Ratu di Majapahit.<br />Maka tentang asal Adityawarman perlu disimpulkan bahwa: <br />(1) ia adalah seorang pembesar dari Sumatra, yang singgah beberapa lama di Jawa Timur di Istana Majapahit, <br />(2) ia dilahirkan di dalam keluarga Rajapatni; Puteri Kertanagara dan permaisuri Kertarajasa yang ke-empat. <br />Kalau dipandang dari sisi ini maka kemungkinan bahwa seorang puteri Melayu adalah anggota rajakula Singasari/Majahit, sehingga keturunannya pun dapat dianggap sebagai seorang putra Malayu yang sebangsa sengan ratu Tribhuwana. Maka dengan jalan demikian Kertanegara seakan-akan menciptkaan kekerabatan atar pulau di Indonesia, yang kemudian menjadi dasar nagara Majapahit.<br />Sebagai anak pembesar kerajaan Majapahit, Adityawarman sering pula ditugaskan menjadi utusan raja dan duta di kerajaan lain. Misalnya Ia juga pernah diutus sebagai duta kerajaan ke Tiongkok pada tahun 1325 dan 1329 M.<br />Sebagaimana sering terjadi dalam hubungan antarnegara maka persekutuan diperkuat dengan adanya perkawinan antara anggota-anggota kedua pemerintahan atau dinasti yang bersangkutan. Sehingga Adityawarman, yang dilahirkan dari hubungan yang sedemikian, oleh karena itu menjadi tokoh yang dipilih Majapahit, terutama Gajahmada, untuk melanjutkan dan mengembangkan hubungan persahabatan antara kekuasaan yang terpenting di Nusantara pada waktu itu. <br />Setelah sekian lama menjadi petinggi kerajaan Majapahit, kedudukan Adityawarman tidak memperoleh kesempatan untuk menjadi Raja Majapahit, maka karena tidak ada harapan lagi di Majapahit, Adityawarman kembali ke kerajaan Melayu, dan dia kawin dengan Puti Jamilan, anak dari Puti Dayang Bulan, yang merupakan juga adik dari Datuk Parpatih Nan Sabatang dan kemenakan Datuk Ketamanggungan.<br />Moens (1974) menyebutkan bahwa Matangini di dalam prasasti Amoghapasa itu adalah sebuah nama dewi yang dianggap menjelma sebagai permasisuri Adityawarman. Matangi dapat diartikan pula sebagai seorang gadis dari kasta rendah yang bertugas sebagai yogini dalam cakrapuja, dimana Adityawarman adalah suatu bhairawa dan istrinya dapat pula disebut sebagai bhairawi, tidak mempengaruhi pula pilihan nama bagi permaisuri Raja. Matingi dapat pula diartikan sebgai puteri dari Matanga yang Arief, mungkin ikut disokong oleh kenyataan bahwa permasiuri Aditya itu adalah puteri kepala suku Melayu, pendukung azas-azas adat-istiadat, jagi puteri dari seorang cedkiawan Melayu.<br />Lebih lanjut Moens (1974) menyebutkan bahwa perhatian tertarik pula oleh persamaan antara kelompok-tiga: Adityawarman (Matanginisa), permaisuri (Matangini) dan Dewa-Tuhan, Prapatih dari prasasti Amogahpasa, dan kelompok-tiga: Siwa (Wirabhadra, Sati (Bhadrakali) dan Daksa. Daksa Prajapait, dewa tua, dalam jalannya masa telah harus menyerahkan tahtanya kepada Siwa (dalam hal ini kepala suku Melayu yang harus menyerahkan kerajaannya kepada Adityawarman); sesudah Daksa dikalahkan oleh Siwa, maka setelah disadarkan kembali ia dijadikan kepada gana-gananya (dalam hali ini: sesudah Dewa Tuhan ditaklukkan, ia dijadikan prapatih atas suku-suku dalam nagari yang takluk oleh Adityawarman). Daksa termauk pariwara-dewata dari Subrammanya, suatu bentuk dri Agni, yang adalah menantunya (dalam hal ini: Dewa Tuhan adalah abdi yang dipercaya – patraya? – dari Aditya). Karena kutukan Siwa maka Daksa dilahrikan kembali sebgai ksatrya, sedangkan kepada Dewa Tuhan pun dalam prasasti itu diberikan kedudukan kasta ksatray, dan seterunya.<br />Maka dari itu sangat mungkinlah, bahwa di antara Dewa Tuhan – Daksa dan Adityawarman-Siwa terjadi suatu ikatan kekeluargaan tertentu, disebabkan oleh perkawinannya dengan Matangini: sangat mungkin ia tidak lain dari pada ayah atau mamak (paman dair pihak ibu Matangini, yang menurut adat Melayu berkuasa dalam segala-galanya terhadap anak-anak saudara perempuannya). Mungkinkah ia adalah ”Prapatih nan Sebatang” (”satu-satunya” patih) yang besar dari sejarah Minangkabau.<br />Moens (1974) lebih lanjut menerangkan bahwa sangatlah mungkin Dewa Tuhan itu, seperti dilakukan oleh Daksa, menyatakan penyesalannya terhadap puterinya (kemenakan permpuan), karena suaminya yang masuk golongan pemuja bharawa itu. Khas adalah pulah bahwa ia, yang disebut Matanginisa, Tuan dari seorang matangi, seorang wanita Melayu, demikian sangat menghormati ayah dan paman isterinya (bacalah: ia, yang sebagai Mahakala membiarkan ditaklukkan oleh Sati dalam Mahabhagawata), yang merupakan kepala suku Melayu yang palin kuasa dan mungkin paling kaya dalam wilayah kerajaan Aditya, dalam prasasti Amoghapasa hampir memberikan kehormatan yang sama seperti kepada dirinya. Kalau tidak demikian hanya tak dapatlah diterangkan, mengapa kepada seorang patih dalam prasasti yang sama, dieberikan hampir sama banyaknya perhatian seperti kepada Tuannya. Bukankah patih itu yang ”telah mengumpulkan kekayaaan dan emas” menurut prasasti ”dengan kebajikan-kebajikan yang sama (seperti Tuannya), amat mahir dalam penggunaan senjata-senjata, dalam ilmu-ilmu, suatu samudra kebajikan-kebajikan”.<br />Dari prasasti yang sama, di dlam mana ternyata pula diperingati perkawinannya, selanjutnya dapat disimpulkan bahwa Adityawarman mengadakan ”pertunjukan tarian” (secara India-Selatan), tetapi tidak menari dengan alam-semesta, melainkan dengan ”kedua permata’, yaitu matahari dan bulan, lambang-lambang dari ajaran keselamatan buddhis dan siwais.<br />Adityawarman diangkat jadi raja Kerajaan Melayu pada tahun 1347 M dengan gelar Adityawarmadaya Pratara Parakra Marajendra Mauliwarmadewa. Meskipun Adityawarman memperluas wilayah kerajaannya ke barat, namun ia tetap menyatakan dirinya sebagai raja Kerajaan Melayu, Werdahmantri di Keraton Majapahit. Perluasan daerah Kerajaan Melayu ke barat selanjutnya dijadikan inti Kerajaan Melayu. <br />Setelah jadi Raja Melayu, Adityawarman ingin menjauhkan diri dari kerajaan Majapahit. Untuk itu dia menindahkan pusat kerajaan ke daerah pedalaman di Sungai Tarab – Batu Sangkar. Oleh Aditywarman, kakak iparnya (Datuk Parpatih Nan Sabatang) dan paman istrinya (Datuk Katamanggungan) ini diangkat menjadi Menteri kerajaan Pagarruyung. Trio tokoh kerajaan inilah yang mengendalikan pemerintahan sampai mereka dapat menguasai Sumatera dan Malaka.<br />Pada prasasti Pagarruyung tahun 1357 tertulis bahwa Adityawarman disebut Maharaja Diraja, yang melanjutkan pemerintahan Sriwijawa Jambi dan Sriwijaya Palembang. Dari prasasti ini jelas bahwa Aditywarman dapat menguasai daerah bekas kerajaan dan jajahan Sriwijaya. <br />Semenjak Adityawarman berkuasa di Pulau Sumatera, pada masa agama Islam sudah mulai tersebar di bagian Barat Nusantara serta mendapat dukungan dari beberapa raja-raja di daerah itu. Menurut Casparis (1992) menyatakan tidak disangsikan bahwa sikap Adityawarman terhadap agama Budha yang dianutnya. Agama Budha, yang pada umumnya dianut oleh penduduk kerajaan, sehingga Adityawarman menjadi agresif, seakan-akan ingin membunuh lawannya. <br />Patung Bhairawa adalah patung terbesar yang pernah ada di Indonesia. Sifatnya demonis, Bhairawa itu setinggi 4,41 meter berdiri di atas mayat, sedangkan dasar patung itu dihiasi dengan tengkorak-tengkorak. Di tangan kanan dipegangnya pisau besar dengan sikap ingin memakainya. Dapat diduga bawah fungsi patung itu diak terbatas kepada agama dalam arti sempit, melainkan merupakan pengancaman terhadap bahaya yang mungkin datang dari sebelah timur (de Casparis 1937). <br />Adapun latar belakang pengancaman itu ada berapa kemungkinan: Perama dapat dipertimbangkan apa Adityawarman, meskipun bersahabat dengan Majapahit, berangkali mencurigai rencana-rencana Gajah Mada yang dalam sumpah ‘palapa’nya sebelum sekalian pulau Nusanara adlah dibawah kewibawaan Majapahit. Memang benar bahwa Adityawarman, sesudah berkuasa di Sumatera, tidak pernah menyebut nama Majapahit atau pulau Jawa, apalagi menunjukkan bahwa patuh kepada Majapahit. Akan tetapi itu belum berati bahwa ia merasa dirinya aman terhadap bahaya adanya serangan Majapahit terhadap negaranya. Dari pihak Majapahit pun tidak ada pentunjuk bahwa negara itu bermaksud untuk menyerang Melayu.<br />Kemungkinan kedua mengenai negara Cina. Barang tentu Kubilai Khan pernah mengirim pasokan Cina ke Indonesia, yang tidah mau tunduk kepadanya. Tetapi pada zaman Adityawarman hubungan dengan Cina ternyata membaik.<br />Kemungkinan ketiga bahwa Adityawarman menginsyafi bahwa telah datang agama baru yang sedang berkembang tidak jauh dari Melayu. Tentu tantangan rohani tidak dapat dihadapi dengan kekuasan bala-tentara, melainkan dengan senjata keagamaan juga. Maka arca Bhairawa, yang memusnahkan segala musuhnya, dianggap pada tempatnya. Sikap Adityawarman itu dipahami jika diingat bahwa agama baru itu tidak hanya mengancam agama Budha yang dipeluknya, melainkan juga membahayakan kedudukan raja sendiri. Andaikata banyak penduduk di kerajaan yang memeluk agama Islam maka kedudukan sang prabu akan menjadi lemah, semakin sedikit orang yang mendewa-dewakan dan menyembah berhala Adityawarman. Kalau demikian halnya, maka arca Bhairawa itu dapat dipandang sebagai lambang yang harus melindungi negara Adityawarman terhadap penyebaran agama Islam.<br />Oleh sebab itu dengan pemindahan pusat kerajaan ke arah barat yang selanjutnya dijadikan inti Kerajaan Melayu, dengan mendirikan Kerajaan Pagarruyung pada tahun 1349 Masehi dan langsung menjadi Raja Kerajaan itu yang pertama.<br />Dalam naskah tulisan encong Kerinci, tidak ditulis siapa Paduka Berhala, namun yang jelas beliau berasal dari Minangkabau. Sedangkan raja melayu dalam kerajaan Pagarruyung pada waktu itu adalah Adityawarman (A. Jafar 1989). Dalam kajiannya menyatakan pakah Adityawaman yang diberi gelar Paduka Berhala? Mungkin saja, karena dia selaku pemeluk agama Budha tentu disembah dan dihormati oleh penduduknya. Selaku raja Adityawarman dibuatkan patungnya oleh mereka yang panatik, dan disembah-sembah. Sekarang patung tersebut disimpan sebagai benda purbakala dan bersejarah di Museum Jakarta. A. Jafar (1989), dalam kajiannya yakin bahwa yang meberi gelar Paduka Berhala itu bukan yang menganut agama Budha, tetapi adalah penganut agama Islam yang masuk ke sana. Patung-patung umumnya disebut berhala, karena patung-parung yang disembah oleh orang zaman dulu disebut berhala. Sehingga patung Adityawarman disebut berhala Adityawarman, Patung Datuk Paduka Berhala Adityawaraman, dan akhirnya menjadi kebiasaan dipanggil dengan disebut Datuk Paduka Berhala?Prof. Aulia Tasman, Ph.Dhttp://www.blogger.com/profile/03879010985712892173noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-2758280145952467066.post-76531624824383753772010-08-11T15:07:00.000-07:002010-08-11T15:08:26.821-07:00Wilayah Alam KerinciSekilas Perkembangan<br />WILAYAH “ALAM KERINCI”<br />Prof. Aulia Tasman, SE, MSc, Ph.D<br /><br /><br />Alam Kerinci merupakan bagian dari Alam Melayu yang wilayahnya terletak di tengah Pulau Sumatera. Wilayahnya mencakup daerah di sepanjang aliran sungai Batang Merangin, mulai dari daerah hulu di kaki Gunung Kerinci sampai ke muaranya di Kecamatan Pemenang sekarang dan daerah di sekitar hulu Sungai Batang Tembesi. Wilayah ini merupakan daerah pergunungan Bukit Barisan yang permukaan wilayahnya bergelombang, bergunung dan berbukit, terditi atas dataran tinggi dan dataran rendah. Pada daerah ini banyak terdapat hulu sungai yang bermuara ke sungai Batang harir dan selanjutnya mengari menuju Laut Cina Selatan, seperti Batang Jujuhan, Batang Bungo, Batang Tebo, Batang Pelepat, Batang Senemat, Batang Tantan, Batang Tabir, Batang Masumai, dll. Selain itu terdapat pula hulu-hulu sungai yang airnya mengalir ke daerah Bengkulu Utara pada pantai barat Pulau Sumatera dan bermuara di Lautan Hindia, seperti Sungai Tenang, Sngai Pekan, Sungai Menjuto, Sungai Riang, Sungai Dikit, Sungai Selagan, Air Ipuh, Air Seblat, dll.<br /><br />Kondisi topografi alamiah tersebut menyebabkan Alam Kerinci dikelompokkan atas dua bagian wilayah, yang disebut dengan Kerinci Tinggi dan Kerinci Rendah. Wilayah Kerinci Tinggi merupakan daerah-daerah yang berada pada bagian barat Bukit Barisan, sedangkan Wilayah Kerinci Rendah adalah daerah-daerah yang letaknya lebih rendah dari wilayah barat dan berada pada bagian timur pergunungan Bukit Barisan. Pada saat itu batas wilayah masih dinyatakan dalam bentuk batas alam. Di daerah Kerinci Tinggi dan Kerinci rendah inilah berdiam suku Bangas Kerinci. Meurut satatan sejarah yang dibuat oleh K’an dan Wan-che dari Wangsa Wu (222-280), dalam ensiklopedi Tung-tien yang ditulis Tu-yu (375), Wen-hsien t’ung-k’ao (Wolters 1967:51) tentang negeri Koying (abat 3), maka berdasarkan ciri wilayah yang dikemukan daerahnya yang berada di dataran tinggi, terdapat banyak gunung api dan aliran sungai yang mengalir ke teluk ‘Wen’ (pantai timur Sumatera) besar dugaan negeri yang dimaksud adalah wilayah yang didiami suku bangsa Kerinci yaitu Alam Kerinci. Menurut catatan Cina negeri ini telah aktif mengadakan perdagangan dengan berbagai daerah di bagian barat dan timur Sumatera. Disebutkan negeri ini penduduknya sangat banyak dan menghasilkan mutiara, emas, perak, batu kristal dan pinang.<br /><br />Dari berbagai catatan sejarah dinyatakan bahwa dalam wilayah Alam Kerinci pernah terdapat pemerintahan yang berdaulat dari masyarakat yang mendiami daerah ini, yaitu pemerintahan Koying, Sigindo, Pamuncak Nan Tigo kaum dan Depati Empat. Pada masa pemerintahan Koying gambaran tentang lingkup kekuasaanya belum kelihatan secara jelas, haya disebutkan sebatas wilayah Alam Kerinci dengan ciri-ciri sebagaimana diterangkan sebelumnya. Baru pada pemerintahan Sigindo penguasaan terhadap wilayah Alam Kerinci mulai tampak dengan adanya daerah tanah Sigindo. Dalam beberapa catatan naskah kuno yang ditulis dengan Tulisan Rencong disebutkan baha di daerah Kerinci Tinggi terdapat beberapa tanah Sigindo yang terkenal, antara lain: <br />1. tanah Sigindo Elok Masai di daerah dusun Sungai Tenang (Koto Tapus)<br />2. tanah Sigindo Balak di Tanjung Kasari, <br />3. tanah Sigindo Panjang di dusun Rawang<br />4. tanah Sigindo Kuning di dusun Seleman<br />5. tanah Sigindo Bauk di dusun Tamiai, <br />6. tanah Sigindo Batinting di Jerangkang Tinggi,<br />7. tanah Sigindo Sakti di Ujung Tanjung Muara Sekiau.<br /><br />Sedangkan tanah Sigindo pada daerah Kerinci Rendah antara lain:<br />1. tanah Sigindo Sigilintang di dusun Sungai Lintang dekat Pemenang<br />2. tanah Sigindo Dusun Purba Timben di Tanah Renah<br />3. tanah Sigindo Dusun Purba Muara Semukin di Lubuk Gaung.<br /><br />Penguasaan terhadap wilayah Alam Kerinci dinyatakan lebih tegas lagi sejak pada masa pemerintahan Depati Empat. Disebutkan bahwa kekuasaan pemerintahan Depati Empat wilayah Alam Kerinci dinyatakan meliputi daerah Kerinci Tinggi dan Kerinci Rendah. Bila dilihat sekarang daerah tersebut mencakup luas wilayah yang terdiri dari Kabupaten Kerinci, Kabupaten Merangin semuanya dalam Wilayah Provinsi Jambi.<br /><br />Pada daerah Kerinci Tinggi terdapat 4 (empat) buah tanah depati itu adalah:<br />1. tanah Depati Atur Bumi<br />2. tanah Depati Biang Sari<br />3. tanah Depati Rencong Telang<br />4. tanah Deapti Muara Langkap Tanjung Sekiau.<br /><br />Ketinggian letak geografis ke empat tanah depati tersebut, menyebabkan dataran itu disebut dengan Empat di Ateh (daerah empat di atas), yang sekarang telah menjadi Kabupaten Kerinci, Kecamatan Muara Siau dan Jangkat. Kedua kecamatan yang disebutkan, termasuk dalam wilayah Kabupaten Merangin.<br /><br />Daerah Kerinci Rendah adalah wilayah yang berada di sebelah timur Kerinci Tinggi pada kaki pergunungan Bukit Barisan. Topografi daerahnya berbukit-bukit dan disini mengalir banyak sungai denan arus air yang tenang, tidak berbatu dan permukaannya lebar, shinga dapat dilayari kapal kecil. Kondisi sungai tersebut sangat berbeda dengan sungai-sungai yang terdapat di Kerinci Tinggi yang pada umumnya berarus deras, beriam, berair terjun (telun), berbatu dan berpermukaan sempit. Sekarang wilayah ini berada dalam daerah Kabupaten Merangin yaitu kecamatan Sungai Manau, Bangko, Pemenang dan Tabir (Rantau Panjang).<br /><br />Pada wilayah Kerinci Rendah terdapat tiga Tanah Dapati dan dua daerah khusus dari Pemerintahan Depati Empat Alam Kerinci. Tanah depati dimaksud adalah:<br />1. tanah Depati Setio Nyato,<br />2. tanah Depati Setio Rajo<br />3. tanah Depati Setio Beti (bhakti).<br /><br />Sedangkan daerah khususnya adalah:<br />1. tanah Pemuncak Pulau Rengas<br />2. tanah Pemuncak Pemerap Pemenang.<br /><br />Ketiga tanah depati dan dua daerah khusus itu, karena letaknya berada pada ketinggian jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan daerah Kerinci Tinggi maka disebut dengan daerah Tigo di Baruh atau daerah tiga di bawah.<br /><br />Dalam pepatah adat yang menyebutkan tentang kekuasaan pemerintahan Depati Empat Alam Kerinci dikatakan lingkupnya mencakup daerah Empat di Ateh, Tigo di Baruh, Pemuncak Pulau Rengas dan Pemerap Pemenang. Kesembilan daerah kekuasaan pemerintahan Depati Empat inilah yang disebut orang-orang pada zaman Kerajaan Jambi menurut sepanjang adat dengan nama: Pucuk Jambi Sembilan Lurah, yaitu wilayah yang berada di daerah atas atau daerah bagian hulu dari Kerajaan Jambi.<br /><br />Pada zaman pemerintahan Hindia Belanda sekitar tahun 1903 – 1906 wilayah Kerinci Tinggi yang terdiri atas daerah Kabupaten Kerinci, Kecamatan Muara Siau dan Kecamatan Jangkat sekarang, dijadikan Belanda daerah Landschap Kerinci yang berada di bawah Keresidenan Sumatera Barat. Sedangkan daerah Kerinci Rendah terdiri atas Kecamatan Bangko, Pemenang, Tabir dan Sungai Manau dijadikan Ondrafdeeling Bangko yang tergabung dalam Afdeeling Jambi.<br /><br />Pada tahun 1906 Belanda membentuk keresidenan baru yaitu Keresidenan Jambi. Afdeeling Jambi dikeluarkan dari Keresidenan Palembang dan Landschap Kerinci dari Keresidenan Sumatera Barat. Landschap Kerinci dijadikan daerah Afdeeling Kerinci dengan mengeluarkan daerah Muara Siau dan Jangkat, dan kedua wilayah tersebut dimasukan kedalam Keresiden Jambi. Untuk daerah Muara Siau dan Jangka digabungkan ke dalam Onderafdeeling Bangko termasuk didalamnya daerah Bangko, Tabir, Sungai Manau dan Pemenang.<br />Setelah melalui masa transisi, perubahan struktur pemerintahan baru efektif berjalan ada tahun 1908. Mulai sejah tahun 1908 -1921 Afdeeling Kerinci merupakan bagian dari Keresidenan Jambi. Selain Afdeeling Kerinci dalam Keresidenan Jambi terdapat Afdeeling Djambische Bovenlanden dan Afdeeling Djambische Benedenlanden. Untuk Afdeeling Djambische Bovenlanden tergabung didalamnya Onderafdeeling Bangko, Sarolangun, Muaro Bungo, Muara Tebo. Sedangkan Afdeeling Djambische Benedenlanden terdiri dari Onderafdeeling Djambi, Onderafdeeling Muara Tembesei, dan Stad Gunieente Djambi. Dalam perkembangan selanjutnya pada tahun 1922-1957 Afdeeling Kerinci ditarik dari Keresidedan Jambi digabungkan kembali ke dalam Keresidean Sumatera Barat dan dimasukan ke dalam Afdeeling Zuid Beneden Landen (Pesisir Selatan).Prof. Aulia Tasman, Ph.Dhttp://www.blogger.com/profile/03879010985712892173noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2758280145952467066.post-1937939114941030202010-08-11T14:30:00.001-07:002010-08-11T14:34:21.054-07:00Bab 9<br />KERAJAAN MELAYU DAN KERAJAAN INDOJATI (INDRAPURA)<br />Periode Abad XII-XIV<br /><br />Suntingan dari Buku "Menelusuri Sejarah Kerajaan Melayu Jambi"<br />oleh: Prof. Aulia Tasman, SE, MSc, Ph.D<br /><br /><br />.......................................<br />Sejak kerajaan rum terbelah menjadi dua bagian yaitu rum barat dan rum timur dimana rum timur berpusat diangkara turki. Adapun raja rum timur ke 21 yang berkuasa tahun 1122 - 1143 ialah raja Zulkarnain dan mempunyai dua orang putra yaitu Zatullah Syah dan adiknya Hidayatullah.<br /><br />1. Zatullah Syah<br />Atas ilham dari ayahnya supaya zatullah menuntut ilmu sarnpai ke negeri cina. Pedoman untuk menuju negeri cina, yaitu jika bertemu dengan sebuah benue putarkan haluan cung ( perahu ) ke selatan bile bertemu air jernih ikan jinak dan terdapat batu menikam berhentilah disitu,-<br />Disaat Zatullah berumur 17 tanun dia mencoba menuju dunia timur yaitu pada tahun 1124 masehi . Zatullah beserta dengan 40 orang catri ( orang pandai ) pada umumnya berfsal dari afrika. Dimana mereka dengan memakai tiga buah cung (sejenis perahu layar) dimana Zatullah Syah dengan catri tersebut berlayar dari negeri rum timur, menuju negeri di sebelah timur terutama cina dan selama diperjalanan mereka pernah singgah di hadramaut yaman selatan Gujarat dan Pulau Langka Puri (Srilangka).<br />Waktu berlayar mereka sampai pada tanah tenting kra antara Burma dan Malaysia yang sangkanya adalah benua. Mereka memutar cungnya ke selatan sampai ke Aceh Timur. Karana tidak menemui tanda - tanda tersebut diatas dengan gerak allah haluan diarahkan kepantai barat laut sumatera. Pantai barat sumatera waktu itu belum dihuni oleh manusia yang berbudaya karena daerahnya berbukit - bukit (bukit barisan) dan ombaknya besar dan tinggi - tinggi tidak sesuai dengan ukuran kapal waktu itu, sedangkan dipantai timur Sumatra ditunggu oleh armada laut Kerajaan Sriwijaya.<br />Dalam berlayar menyisir pantai Sumatera bagian barat mereka menemui jurang dan pantainya ditumbuhi oleh pohon nipah dan bakau, tetapi mulai dari Muaro Gedang dan terus ke Muaro Samungo mereka melihat deretan pohon yang berjejer batangnya memutih bagaikan pohon kelapa tersusun rapi menemui air jernih ikannya jinak dan banyak batu manikam dan diduganya di balik pohon yang memutih dan berjejer itu kemungkinan ada perkampungan manusia disana. Maka mereka berbalik ke belakang dan masuk di muaro gedang dan menuju ke hulu. Di kala sore hari mereka sampai di Muaro Talaut yaitu antra pertemuan Muara Air Lunang, Kumbung dan Tapan.<br />Dari Muaro Gedang sampai Muaro Talaut di sepanjang perjalananya dipenuhi oleh pohon ruyung (bahkan sampai hari ini) masih bisa dilhat keberadaan ruyung tersebut, dekat Danau Limbek Pinang sebatang rombongan Zatullah menemui 5 orang bunian yang disangkanya orang biasa, mereka diajak oleh bunian mengikutinya yaitu ke kampung bunian. Dua puluh orang catri mengikuti Zatullah Syah semuanya laki - laki dan menuju kampung bunian di Renah Pandan ulu Air Lunang, dan sisanya yaitu 20 catri menunggu di cung (kapal) di lokasi limbek pinang sabatang di muara talaut.<br />Setelah lama diperjalanan robongan Zatullah Syah tiba di Renah Pandan. Kemudian satulah kawin dengan putri yang bernama Jining Indo Malayu dan dinikahkanya secara Islam yang dilakukan oleh 20 orang catri pengikutnya tadi. Istri Zatullah Syah sering juga disebut oleh anak cucunya Indo Malayu atau Gindo Layu.<br />Selama pembaurannya di Renah Pandan Zatullah Syah diangkatlah menjadi junjungan (pemimipin), serbagai raja pertama di kerajaan tersebut, 20 orang dari pengikut Zatullah Syah di Renah Pandan, 2 orang diantaranya disuruh oleh Zatullah Syah menemui 20 orang catri yang telah lama menunggu dan menjaga cung di muara talaut. Sesuai petunjuk Zatullah Zyah 2 orang tadi ditambah 20 orang catri yang menunggu cung kembali ke rum timur.<br />Awal kepemimpinan Zatullah Syah dia mengeluarkan hukum yang pertama yaitu " luko nan bapapeh mati nan babangun". Hal ini dikeluarkan oleh Zatullah Syah guna untuk melindungi 18 catri dan masyarakatnya di Renah Pandan,<br />Raja Rum Timur ke 21 yaitu Zukranain menyerahkan kekuasaan raja kepada anaknya yang ke 2 yang bernama Hidayatullah tahun 1143 masehi, maka Hidayatullah menjadi raja di negeri Rum Timur ke 22. Hidayatullah mempunyai 3 putra dan 1 putri adapun ke tiga putra Hidayatullah ialah Maharaja Depang, Maharaja Diraja dan Maharaja Alif, dan setelah remaja ketiga putra Hidayatullah bertanya kepada ayahandanya adakah saudara dari ayahnya di dunia ini. Maka setelah mendapat jawaban dari Hidayatullah, mereka bertiga berangkat menuju timur sesuai dengan keterangan dari catri yang telah kembali ke rum timur dari renah pandan dahulu yaitu 22 orang catri.<br />Tahun 1167 masehi mereka berangkat menuju lokasi pak tuanya dengan membawa 5 buah cung dan 60 orang catri termasuk catri lama beserta mahkota kerajaan Rum dan stempel emas dan perak. Berlambangkan tulisan nama Zulkarnain,<br />Mereka berangkat dengan memakai rute yang sama sesuai petunjuk dari catri yang dahulu. Karena omhak besar di perjalanan antara pulau langka puri dan teluk Benggala mahkota yang dibawanya tadi terjatuh sampai ke dasar laut dan pernah dicoba diselami oleh catri. Tetapi tidak pernah dapat, maka oleh catri dibuat kembali mahkota di atas kapal sesuai seperti mahkota asli. <br />Pada tahun 1168 masehi mereka sampai di Renah Pandan bertemu dengan Zatullah Syah dan untuk membuktikan kebenaran bahwa mereka memang benar anak Hidayatullah maka diserahkanlah stempel dan mahkota tadi kepada Zatullah Syah sebab waktu ia berangkat orang tua meraka Hidayatullah masih remaja.<br />Rombongan Maharaja Depang mendapati Zatullah syah di lembah Renah Pandan dan telah mempunyai anak 3 wanita dan 1 pria yaitu bernama Latinjing, Guluni, Kalum dan Iskandar dan 15 catri, karena 3 diantara catri yang tinggal direnah pandan telah meninggal dunia.<br /><br />2. Iskandar Johan Syah<br />Setelah beberapa lama di renah pandan maka maharaja depang dan ditambah dengan 15 catri lama beserta 60 catri yang baru beserta masyarakat menganjurkan kepada zatullah syah agar Iskandar yang masih muda belia dapat dianggkat menjadi raja yang berhak memakai gelar syah, maka dinobatkan dia menjadi raja dengan gelar Iskandar Johan syah sebagai raja (bertempat di daerah Aceh) dan berhak memakai mahkota yang dibuat catri tadi.<br />Hal ini terjadi tahun 1159 masehi dimana Iskandar waktu itu baru berumur 14 tahun. Tahun 1170 masehi Maharaja Depang kembali ke Moghol Hairat atau Rum Timur (negeri Ruhum), setelah selesai pelantikan Iskandar Johan Syah mereka kembali ke Rum Timur dengan 35 catri yang lama dan yang baru berta membawa 3 buah cung. Maka tinggallah Maharaja Diraja dan Maharaja Alif beserta 40 catri yang baru dan 2 buah cung.<br />Karena Maharaja Depang sudah kembali ke Rum Timur sebab dia bakal calon pengganti ayahnya hidayatullah menjadi raja rum timur ke 23. Pada tahun 1172 masehi maharaja berangkat pula meninggalkan renah pandan lunang beserta dengan 20 catri dan membawa 1 buah cung (kapal) rencananya untuk kembali ke rum timur atau untuk mencari wilayah baru.<br />Sampai di laut bayang pada waktu subuh melihat matahari terbit di timur, maka timbul keinginannya meninjau rimba belantara. Cung ditinggalkanya di sungai bayang dan mereka terus menuju ke hulu sungai dan terus ke pulut- pulut kemudian terus ke danau di baruh kemudian menyisir gunung talang dan mengikuti arah sungai menyisir ke sukit belantik dan terus ke gunung singgalang, dan dilanjutkan perjalanan ke sekitar gunung berapi dan akhirnya ber,mukim dibukit gombak Batu Sangkar sekarang.<br />Maharaja Diraja kawin dengan wanita yang bernama Kagiluh, dua tahun kemudian dia ingin menobatkan diri sebagai raja di Darek (nantinya menjadi luak nan tiga = tanah datar, agam dan 50 kota). Karena bingung siapa yang harus melantiknya sedangkan catri pengikutnya tidak bisa melantiknya karena mereka adalah pesuruhnya dari Maharaja.<br />Maka kembali dia meminta gelar kepada Zatullah Syah di Lunang (renah pandan ). Maka oleh Zatullah Syah diberilah gelar Diraja bukan raja dan tidak berhak memakai gelar syah. Karena gelar syah sudah diserahkan kepada anaknya yaitu Iskandar Johan Syah maka dia diberi gelar oleh Zatullah Syah yaitu memakai pangkal nama mereka " Sri " yang maknanya sama dengan sah. Maka dia bergelar Sri Maharaja Diraja. Justru itulah seluruh raja yang ada di darek tetap memakai gelar Sri di pangkal namanya. Adapun raja darek yang terakhir bernama Sri Jelito atau Indo Jelito (raja perempuan) yaitu ibu dari Datuk Perpatih dan Datuk Ketamangungan. Sri Indo Jelito adalah raja terakhir di darek kemudian setelah Sri Jelita kekuasaan di darek dipegang oleh Tuanku Lareh dan opersonil sanak keponakan dipegang oleh datuk.<br />Mulai dari Sri Maharaja Diraja sampai raja terakhir Sri Indo Jelito di luak tanah datar, agam dan 50 kota disebut orang kerajaan darek berkedudukan di bukit gombak batu sangkar sedangkan di lunang (Renah Pandan) disebut Kerajaan Indojati dan istananya disebut istana pagar ruyung karena di Indojati tumbuh - tumbuhan ruyung sangat banyak. Luas arealnya di indojati pada zaman itu yang terdiri kerajaan 2 bersaudara tersebut yaitu: darek - pagaruyung (renah pandan). Di pagaruyung duduk raja bergelar Syah dan di darek duduk diraja dengan memakai gelar Sri.<br /><br />3. Maharaja Alif<br />Di saat zatullah syah sudah tua untuk menjalankan kepemimpinannya diserahkan kepada Maharaja Mlif karena Maharaja Depang sudah kembali ke rum timur sedang Sri mahadiraja berkuasa di darek dan raja Iskandar Johan Syah masih muda belia.<br />Entah kenapa pada tahun 1189 masehi Iskandar Johan Syah beserta dengan 20 orang catri dan 1 buah cung yang masih tinggal di muara talaut dibawanya berangkat menyisir pantai barat sumatera arah ke utara, untuk mencari wilayah baru, karena untuk pendamping ayahnya dipercayakan kepada Maharaja Alif.<br />Iskandar Johan Syah dengan pengikutnya membuat kerajaan di Dayak Aceh tahun 1189 - 1207 masehi itulah kerajaan pertama di aceh yang dinamakan kerajaan Samudra Pasai, dan Iskandar Johan Syah meninggal di Dayak Aceh. Banyak sejarawan mengatakan Iskandar Johan Syah adalah saudagar asal Arab dari Gujarat sebenarnya dia iahir di lunang ( renah pandan)<br />Sebanyak 10 dari 20 catri yang dibawa oleh Iskandar Johan Syah kembali lagi ke Renah Pandan atau Lunang bersama cungnya. Raja maharaja alif berkuasa tahun 1198 masehi, setahun setelah meninggal zatullah syah raja alif berangkat pula dengan 1 cung tadi dan membawa 10 orang catri yang dibawa oleh raja iskandar johan sah mereka menuju pantai selatan sumatera terus ke jawa dan sampailah ke gersik dan demak.<br /><br />4. Raja Tuo<br />Maka di renah pandan (lunang) pada tahun itu kekuasaan dipegang oleh raja tua keponakan dari Iskandar Johan Syah atau anak dari gulumi cucu zatullah syah. Raja tua juga beristrikan orang dan mempunyai 3 orang anak dan anaknya ke 2 adalah laki - laki yang bernama Ramadun.<br /><br />5. Ramadun Syah = raja indojati ke 1<br />Raja alif ( samambing bidai kato tamo ) kabarnya kembali dari jawa ke Renah Pandan dan dia sempat melantik Ramadun menjadi syah (raja) dan kerjaaan yang dipimpinya diberi nama Kerajaan Indo Jati yang berarti indo adalah nama neneknya yaitu istri zatullah syah dan jati adalah sifat manusia ( yang telah mempunyai 2 sifat yaitu baik dan buruk ),<br />Ramadun Syah kawin dengan penduduk setempat tujuh bersaudara yang bernama Luhsi atau Puti yang bungsu tujuh bersaudara di talang arah. Ramadun Syah mempunyai anak pertama dan kedua wanita dan anak ke tiga laki-laki yang bernama Bahrun.<br /><br />6. Bahrun Syah <br />Dia diangkat oleh ayahnya menjadi raja tahun 1282 masehi dan berhak memakai gelar syah dia dipanggil Bahrun Syah dan merupakan syah yang ke tiga dan raja kedua di kerajaan Indojati. Bahrun Syah mempunyai istri 3 orang yaitu: Sari Mekah tinggal di Ipuh dan tidak mendapat anak, istrinya yang ke 2 bernama Andam Dewi di Indrapura dan mempunyai 3 orang anak di mana anak yang ke 2 adalah laki - laki yang bernama Trapal, dan istrinya yang ke 3 bernama Nilam Sari di dapatnya di Batang Kapas pesisir.<br />Bahrun Syah pernah berperang dengan sipatokah (portugis) di laut batang kapas selama 11 bulan, dengan dalih portugis untuk merebut Nilam Sari - istri ke tiga dari barun syah. Pasukan Bahrun Syah dihajar oleh portugis dengan mariam sumbu dan pelurunya sering diartikan dengan cindung permayo tujuh ambin anak.<br />Pasukan Bahrun Syah dibantu oleh orang dari darek waktu itu raja di darek adalah sri maharaja diraja, Bahrun Syah kalah dan dia beserta pengikutnya menyingkir ke Darek dan kemudian mereka meng-hilir sungai yaitu sungai batang sangir dan membuat perkampungan dan perkampungan mereka tersebut di namakan Tanah Tumbuh, itulah sebabnya Tanah Tumbuh merupakan negeri yang tertua di kabupaten Tebo - propinsi jambi.<br />Karena Bahrun Syah telah meninggalkan Indojati maka penduduk lndojati kebingungan karena tidak ada lagi raja di indojati, maka rakyat banyak yang menyisir bandar 10 menuju darek dan tidak lewat laut karena takut dengan sipatokah (portugis). Orang - orang kerajaan Indojati menyisir bandar 10 (melewati sepuluh buah sungai besar dan panjang ) dari air haji sampai ke bayang pulut - pulut dan mendaki terus cermin alam dan sampai luak nan tigo ( darek ).<br />Karena sering dilewati menyisir bandar itu maka jalan yang ditempuh mereka berobah menjadi pesisir bandar sepuluh, kemudian berobah lagi menjadi pesisir. Jadi yang disebut pesisir adalah air haji ( bukan negeri air haji ) sampai ke bayang pulut - pulut.<br />Bahrun Syah dengan istrinya yang tertua bernama sari mekah tidak mempunyai anak dan di Indrapura dia merdapat 3 orang anak yaitu 2 wanita dan 1 laki - laki yang bernama Trapal.<br /><br /><br />7. Trapal Bahil Syah<br />Adapun yang laki - laki bernama Trapal, orang mengangkat Trapal menjadi raja (syah) tetapi trapal bukan anak dari istri Bahrun Syah yang pertama, maka gelar syah-nya disamakan dengan batil ( batal) dan diperhalus ucapanya setelah dia berkuasa yaitu Batil menjadi Bahil sehingga nama kebesarannya ialah Trapal Bahil Syah menjadi raja Indojati 1305 – 1323 masehi.<br />Trapal Bahil Syah kawin dengan cina islam asal Lowksawe Aceh dan tidak mempunyal anak, jika keponakannya diangkat tidak dapat memakai gelar syah maka anak Reno Sati anak kakak Trapal Bahil Syah yang bernama lumi (anak kerajaan Indojati) dikawin dengan Sri Jelita anak raja Sri Mat Diraja di darek kawin dengan Luhmi, suami ke dua dari Sri Jelita, karena suami pertamanya bernama Sapurba asal turki. Karena itulah Datuk Parpatih Nan Sabatang sering disebut orang anak Indojati.<br />Kemudian adiknya Lumi (suami Sri Indo Jelito) yang bernama Tuno Suli akan dikawinkan dengan adik Sri Indo Jelito yang bernama Reno Gemilan yang tinggal di darek. Dia bisa kawin dengan tuno suli asal Indojati lunang dengan catatan mohon dibuat istana.<br />Karena dia anak raja (anak-sri mat diraja ) hal itu dipenuhi orang dan dibuatkanlah istananya ditepi sungai kecil yang menghubungkan batang silaut menuju muaro samungo karena dahulu bating air silaut yang bermuara ke muara sakai indrapura, dari batang air silaut adalah sungai kecil bermuara ke semungo adapun istana dibuat orang berada ditepi sungai kecil tersebut terletak di areal padang tumbuh- tumbuhan ruyung. Kemudian istana tersebut dinamakan istana pagar ruyung. Karena sungai kecil tersebut makin lama makin besar akhirnya batang silaut bermuara ke samungo dan istana tadi hanyut oleh air dan usianya sudah lama.<br />Waktu pembangunan istana ruyung - ruyung yang ada disekitar istana diatur penebangannya agar yang tertinggal menjadi pagar pekarangan istana sekaligus bisa menghambat musuh yang ingin masuk karena setiap batang ruyung penuh dengan duri yang panjang.<br />Waktu itu kerajaan Jawa (Majapahit) mulai diwaspadakan. Kalau sempat tahu ada kerajaan Indojati dia akan menyerang kerjaan Indojati. Bahkan pasukan Gajah Mada telah menjelajah mencari kerajaan indojati sudah sampai ke ipuh, tetapi mendengar berita kerajaan Indojati tidak mempunyai raja yang aktif dan pemerintahan kerajaan sudah di pindah ke darek maka pasukan gajah mada tersebut kembali ke Jawa barulah kemudian dikirim Aditywarman diutus ke Sumatera dan untuk mencapai darek harus lewat pantai timur sumatera (jambi dan bukan pantai barat sumatera). Adapun lokasinya istana itu disebut orang rantau suli atau lubuk suli atau tanjung suli atau sungai ngiang di silaut itulah sebenarnya. Sedangkan yang disebut istana pagar ruyung yang terdapat di areal ruyung yang luas, jadi nama yang populer waktu itu ialah kerajaan darek - paga ruyung di darek diperintah oleh raja. Sri Indo Jelito, kakaknya Reno Gemilan dan di Indojati yang beristana di pagar ruyung dlperintah oleh (Reno Gemilan) yang sering disebut orang kerajaan darek - pagar ruyung.<br /><br />8. Tengku Dusi (Reno Gemilan) <br />Reno gemilan adalah raja kerajaan Indojati (Silaut) yang memerintah di kerajaan indojati disebut orang tengku dusi. Hasil perkawinanya dengan tuno suli menghasilkan 5 orang anak 4 wanita dan 1 laki - laki adapun anak yang laki - laki bernama Mansur dan anak Reno Gemilan yang bungsu bernama Gadih Jamilan. Anaknya yang tertua berkembang di pariaman dan anak yang ke 2 berkembang di bengkulu dan anak yang ke 3 berkembang di darek sedangkan gadih Jemilan (si bungsu) saat itu belum berkeluarga.<br /><br />9. Mansur Syah <br />Anaknya yang laki - laki bernama mansur syah baru diangkat menjadi raja di Kerjaan Indojati (Silau). Adityawarman yang beragama hindu diutus oleh gajah mada sebagai perwakilan raja majapahit untuk sumatra pada tahun 1348 masehi di mana majapahit telah menundukkan kerajaan Sriwijaya dan para dubalang sriwijaya yang tidak mau tunduk kepada kerajaan majapahit pindah ke hulu batang musi ke hulu musi rawas yang disebut muaro ropit yang terkenal dengan nama bukit tambun tulangnya.<br />Aditiawarman tahun 1348 masehi dia masuk dari jambi menuju darek. Sebelum tiba di darek, datuk ketemangunggan dan adiknya datuk parpatih nan sabatang telah mencari jalan bagalmana menangkis kehendak aditiawarman untuk kerajaan memasukkan kerajaan darek supaya tunduk kepada kerajaan majapahit dengan dalih adityawarman untuk melindungi darek dari serangan cina yang akan datang.<br />Datuk Ketemangunggan dan adiknya datuk parpatih nan sabatang merasa cemas menghadapi raja jawa yang besar tersebut. Kemudian teringat adiknya yang se ibu dengan Datuk Parpatih di darek seluruhnya sudah menikah dan teringat anak makciknya (anak eteknya) yaitu reno gemilan di istana paga ruyung kerajaan indojati yang bungsu belum berumah tangga dan masih gadis maka timbul niat untuknya untuk dibawa ke darek.<br />Utusan Datuk Parpatih memohon kepada Reno Gemilan di Silaut (Sungai Ngiang) dengan segala bujukan dan janjinya memohon agar Gadis Jemilan dapat dibawa ke darek, dan akan didirikan istana di darek setelah Geno Gemilan dengan anaknya mansur syah berunding maka gadis jemilan diizinkanya untuk dibawa ke darek, gadis jemilan tiba di darek tahun 1349 masehi.<br />Awal 1350 masehi Adityawarman utusan raja jawa majapahit tersebut sampai di darek. Adityawarman disambut secara permai oleh orang darek dibawah pimpinan Datuk Ketemanggungan dan Datuk Parpatih nary sabatang seperti menyambut raja besar. Seolah - olah ingin kerjasama dan tunduk kepada majapahit dari jawa. Sebagai bukti tunduk dia menawarkan adiknya Gadis Jemilan anak dari Reno Gemilan di silaut yang masih berumur 16 tahun untuk dikawinkan dengan adityawarman pada tahun 1350 masehi.<br />Setelah beberapa bulan mereka kawin, datuk parpatih mengeluarkan peraturan adat yang berlaku di darek yaitu Adityawarman selaku sumando turun setangkik tanggo dan datuk parpatih selaku basumando naik setangkik tanggo. Maka menurut adat yang berlaku di darek Adityawarman tidak bisa berkuasa di darek. Jadi yang berkuasa di darek adalah datuk parpatih nan sabatang (Sutan Balun). Perkawinan mereka berlangsung selama 11 bulan.<br />Karena malu dikungkung oleh sistem adat di darek maka adityawarman kerbau jantan gedang ) dari jawa bercerai dengan gadis jemilan kerbau betina gadis kecil ).<br />Adityawarman kembali ke jawa lewat jambi, dengan hati yang hancur dan kalah. Hal ini diwujudkan oleh orang darek melalui kiasan kerbau jantan besar dari jawa kalah oleh kerbau kecil dari silaut yang dibawa ke darek dalam adu kerbau (perkawinan). Itulah awal mulanya kerjaaan darek menjadi minang kabau pada tahun 1350 masehi.<br />Akibat bujuk rayu utusan datuk perpatih yang telah membawa gadis jemilan ke darek. Adapun janjinya yang tidak sesuai dengan kenyataanya yaitu dimana datuk parpatih mengawinkan gadis jemilan dengan orang yang beragama hindu dari jawa yang bernama adityawarman sangat tersinggung reno gemilan dan mansur syah. Pernikahanya tidak dihadiri oleh ibunya dan kakaknya mansur syah. Selanjutnya Mansur syah tersinggung kepada datuk parpatih dan juga kepada ibunya yang telah mengizinkan Gadis Jemilan untuk dibawa ke darek oleh Datuk Parpatih Nan Sabatang.<br />Akibat hal itu Mansur Syah berangkat meninggalkan Indojati lunang dan menetap di lowksamawe aceh dan beristrikan orang aceh, kemudian beristri lagi dengan orang cina asal yunan di kedah malaysia dan membuat kerajaan di sana. Dia bergelar Mansur syah atau kata orang cina muan - saw - tir - sha dia mempunyai 2 orang putra yang tertua bernama ahmad. Sampai matinya mansur syah tetap di malaysia, dan tidak pernah kembali ke Indojati. Mansur syah adalah merupakan cikal bakal kerajaan malayu di malaysia dan tidak pernah kembali ke indojati.<br />Seiring dengan kepergian Mansyur Syah dari Karajaan Indojati, beliau juga menyerahkan stempel kerajaan dan sebilah keris pusaka untuk diantar kepada Gadis Jemilan di daerah Darek sebagai bukti kelak di kemudian hari Gadis Jemilan masih sangat dimulyakan dan kepadanya harus dikuatkan dengan benda berharga kerajaan. Barang-barang kerajaan yang diantar dan dikuasai oleh Gadis Jemilan adalah stempel kerajaan dan keris pusaka, dengan demikian sewaktu-waktu dia dapat kembali ke Silaut dengan keturunannya untuk diangkut menjadi raja.<br /> <br /> <br /> <br /> <br />Gambar 1. Stempel dan Keris Kerajaan Indojati<br /><br />Catatan: Menurut sejarah, stempel dan keris inilah yang dibawa ke Jambi oleh petinggi kerajaan untuk membuktikan bahwa Puti Salaro Pinang Masak adalah keturunan raja Melayu Pagarruyung sehingga dapat diterima oleh rakyat Jambi sebagai raja.<br />Stempel dan keris ini juga yang dibawa ke Kerinci sewaktu menobatkan Tuanku Magek Bagonjong anak dari Puti Sarunduk Pinang Masak sebagai raja Kerajaan Pamuncak Nan Tiga Kaum di Alam Kerinci-Serampas. Kedua benda ini masih dikeramatkan dan sebagai benda pusaka tersimpan di rumah adat Pulau Sangkar (Kerinci).<br /><br />----------------------------------------<br />Ibu dari Gadis Jemilan yaitu Reno Gemilan akibat bujuk rayu utusan datuk parpatih dia sangat kecewa sampai mati juga dia tidak mau kembali ke darek dan meninggal di silaut dimakamkan di rantau suli dekat istananya di mudik perkuburan lubuk bunta orang kepercayaanya dimakamkan di lubuk peta tepi sungai silaut dimana bekas kerajaan tersebut sudah dilewati oleh batang sikai silaut sedangkan dahulu disitu sungai kecil menuju muaro samungo. Sedangkan sungai silaut yang besar dahulunya masih bermuara ke muara sakai.<br />Bercerai dengan adityawarman gadis jemilan kawin lagi dengan cina yang bernama La - la - tun, untuk menebus janjinya maka Datuk Parpatih dan Datuk Ketamanggungan membuat istana untuk gadis jemilan di darek yang disebutnya istana paga ruyung mengambil nama istana di selaut tempat Gadis Jemilan lahir.<br />Atau istana yang didiami oleh ibunya Reno Gemilan (walaupun tidak ada ruyung di darek karena ruyung tumbuh pada air asin). Gadis jemilan diangkat menjadi Bundo Kandung setingkat raja di darek oleh Datuk Parpatih nan Sabatang. Namun hati Reno Gemilan dan Mansur Syah tidak dapat terobati oleh keberadaan istana tersebut.<br />Kemudian jabatan bundo kandung di darek tersebut Gadis Jemilan diserahkan kepada anaknya yang pertama dan disetujui oleh datuk parpatih yaitu kepada ibu Romandung anak gadis jemilan yang tertua dan anak gadis jemilan yang kedua diangkat menjadi rajo mudo dan anaknya yang bungsu sikembang diangkat menjadi bendahara sering disebut si kembang bendahari karena dia wanita. Si kembang bendahari itulah ibu dari harullah dan bapak hairullah ialah slamet panjang gombak (cina).<br />Di kerajaan indojati reno gemilan menyerahkan kekuasaan raja kepada anaknya yang laki - laki 1347 masehi yaitu kepada mansur dan berhak memakai gelar syah ( raja).<br />Dia meninggalkan kerajaan indojati 1351 masehi sehingga pada tahun 1351 - 1357 masehi kerajaan indojati tidak ada syah atau raja, karena sesuatu dan lain hal maka rajo mudo di darek kembali ke silaut dan dialah yang dianggap orang sebagai raja, sedangkan darek dengan pagar ruyung (indojati) sudah renggang. Karena tidak adanya raja lagi di indojati maka masyarakat indojati banyak menyisir bandar 10 air haji sampai bayang pulut - pulut jalan menuju darek yang kelak berobah menjadi pesisir bandar sepuluh.<br /><br />10. Ginayat Syah <br />Maka tahun 1357 masehi sepakat orang indojati mengangkat Ginayat cucu Reno Gemi!an ) anak kakak perempuan dari Mansur Syah atau keponakan Mansur Syah yaitu anak Reno Tuo dengan suaminya yang bernama Hasan asal darek yang berkembang di pariaman untuk menjadi sah (raja) di Indojati maka berhak dia memakai gelar ginayat sah. Dimana ginayat syah selama menjadi raja pernah berperang dengan sipatukah (portugis) dan si unggarai (ingris). Dizaman panglima laut magek jabang, terakhir ginayat sah berperang dengan pasukan tiang bungkuk atau kaum hulu balang sriwijaya yang lari ke muara rupit karena sriwijaya telah ditundukan oleh majapahit.<br />Perperangan pasukan Ginayat Syah dan pasukan Tiang Bungkuk terjadi bertempat di Indrapura, muko - muko, ipuh dan malepang dan kemenangan di pihak Ginayat Syah sehingga banyaklah jasat manusia yang diikat ampu jari tangannya yang hanyut menuju muaro sakai. Ginayat sah raja terlama di indojati sampai 1403 dan dia juga melidungi Bundo Kandung, Tuan Romandung, Sikembang Bendahari, Puti bungsu dan Slamet Panjang Gombak di Lunang,<br />Sejak tahun tersebut berakhirlah keberadaan raja di darek dan kekuasan dipegang oleh tuan lareh dan dibantu oleh datuk.<br />Ginayat sah meninggal dunia karena sakit dan sudah tua dan tidak mempunyai anak dan dia minta dikuburkan di polikan mudik berdekatan dengan kuburan tentara Ropit (sisa Sriwijaya ) supaya tahu oleh anak cucunya di kemudian hari sebagai bukti sejarah kepahlawananya. Tempatnya makam Ginayat sah dekat somil sabral sekarang.<br /><br />11. Hairullah Syah <br />Sepeniggalnya Ginayat Syah terjadi kekosongan raja tidak begitu lama di kerajaan Indojati, karena pada tahun 1404 munculah Hairullah anak si Kembang Bendahari di Indojati setelah ditawan oleh Tiang Bungkuk dan dia telah juga membunuh Tiang Bungkuk di muaro ropit ulu sungai rawas (ulu sungai musi). Sebelum dia ditawan oleh Tiang Bungkuk, Hairullah telah beristri dengan Lenggo geni keponakan datuk Mandaro di darek dan telah mempunyai satu orang anak yang bernama Iskandar yang ditinggalkannya pada umur 1 tahun karena menjadi tawanan Tiang Bungkuk.<br />Setelah Tiang Bungkuk meninggal dia juga mempunyai anak dengan Reno Bulan (1 orang) yang bernama Temenggung Kabur di Bukit. Karena permintaan Tiang Bungkuk sebelum dia dibunuh oleh Hairullah agar mengawinkan Reno Bulan, karena kakaknya Imbang Jayo juga sudah meninggal dibunuh oleh kali bayan nunlah (Cindur Mato). Dengan siapa dia harus hidup sedangkan Tiang Bungkuk calon akan dibunuh oleh Hairullah. Secara jiwa besar itulah sebabnya dia kawin dengan Reno Bulan dan melahirkan anak laki - laki yang bernama Temenggung Kabur di Bukit (cucu tiang bungkuk ) inilah cakal bakal rajo jambi bagian barat.<br />Hirullah sah karena sakti dia diangkat menjadi raja di indojati karena dia juga garis raja. Hairullah sah adalah cucu reno gemilan yaitu anak dari sekembang bendahari, dengan slamet panjang gombak saat itu itulah adat matrilinial mulai masuk ke indojati dan belum begitu diterima oleh orang indojati.<br />Adapun sistim matrilinial ini oleh bundo kandung diterapkan darek untuk melindung romandung dan hairullah karena garis ke atas itu sangat penting apalagi romandung anak dari bundo kandung yang bapaknya adalah adityawarman (annasha anabrang). Sejak itu istilah sarak mendaki ke darek adat menurun ke indojati<br />Hairullah diangkat orang menjadi raja dilunang dan berhak memakai gelar syah.yaitu bergelar hairullah syah dia memegang jabatan selama 11 tahun yaitu sampai tahun 1415 dia menderita sakit hampir 1 tahun menjelang kematianya dia berpesan kepada rangkayo, penghulu dan datuk dua selo, lunang silaut terutama kepada rajo nan panjang yang memegang kendali kerajaan waktu itu merangkap sebagai panglima laut. Dimana jika seandainya kelak dia meninggal dunia. Maka dia minta pengganti dirinya untuk menjadi syah (raja) di indojati agar dapat diangkat orang yang mempunyai darahnya berwarna putih .<br />Waktu hairullah sah sakit dan sampai meninggalnya kekuasaan sementara dipegang oleh panglima laut rajo nan panjang, dan sebelum hairullah sah -meninggal dia minta dikuburkan di lunang dekat istananya (rumah gedang lunang ).<br />Setelah Hairullah syah meninggal dunia tarjadi kekosongan raja selama 2 tahun di ke rajaan indojati. Adapun Hairullah sah selama hidupnya 2 kali dia menikah dan mendapat dua orang putra, putra yang tertua adalah hasil perkawinanya dengan istrinya di darek yaitu dengan keponakan datuk bandaro yang bernama lenggo geni, adapun putranya yang di darek tersebut bernama Iskandar dan di tinggalkanya waktu umur 1 tahun karena dia di tawan oleh tiang bungkuk dan dibawa ke ropit, Lenago geni sendiri tidak pernah diceraikan oleh Hairullah sah begitu juga Reno Bulan,<br />Setelah Iskandar menginjak remaja berurnur sekitar 16 tahun mencari orang tuanya Hairullah ke daerah selatan karena ditawan oleh Tiang bungkuk. Karena dia tidak pernah tahu dengan wajah ayahnya. Iskandar diserahkan oleh ibunya Lenggo geni satu botol air sebelum berangkat. Jika kelak bertemu dengan air yang berat nya sama dengan air dalam botol yang dibawanya itulah tempat hairullah syah bapaknya berada. Terakhir perjalanannya dari darek ke daerah selatan. Di lokasi daerah di kuala air dikit (kabupaten muko - muko) setelah terjadi sesuatu akhirnya Iskandar diantar orang ke rumah rajo nan panjang di Indrapura selaku pemegang kekuasan diwaktu itu.<br /><br />12. Sultan Iskandar Bagagar Alam Syah <br />Setelah dia mencoba membuat bingkai lukah akibatnya luka ditangan waktu meraut rotan, hal itu membawa hikmah tersendiri bagi iskandar, dimana rajo nan panjang menghimbau seluruh rang kayo datuk dua selo lunang silaut bahwasanya pengganti hairullah syah telah berada di indrapura yaitu di rumah rajo nan panjang. Setelah beberapa hari dan didapat kesepakatan Iskandar diarak dan dinobatkan orang sebagai syah (raja) walaupun dia anak pisang indojati, karena dia adalah anak raja yaitu anak hairullah sah, dia diangkat sebagai raja bergelar sultan iskandar bagagar alam syah sejak itulah raja memakai pangkal nama sultan ( st ) setahun setelah dia menjadi raja dia dikawinkan dengan anak gordan gonto sori dari kaum rajo melayu indrapura yang bernama ratna nandewa yaitu pada tahun 1418 di kampung empat lenggam indrapura dekat muaro gedang, iskandar bagagar alam syah sangat bertanggung jawab dan melindungi wilayah kerajaanya dari air bangis sampai ketaun (ombak yang berdebur) dia berkali - kali, berperang dengan portogis dan ingris, ketika peperangan dia sendiri memimpinya. <br />Kerajaan indojati dirobahnya menjadikerajaan air pura berkedudukan di kampung empat lenggam di istananya di ambacang manis dekat muaro gedang sultan iskandar bagagar alam syah berkuasa kerajaan dirobah namanya dari indojati menjadi air pura dan sejak inilah kerjaan dari lunang pindah ke indrapura.<br />Iskandar bagagar alam sah pernah berperang dan adu sakti dengan, temegung kabur di bukit raja jambi bertempat di kerinci mempertahankan kerinci dan berkelahi selama 3 hari tanpa ada pemenangnya, dia dilerai oleh seseorang yang mengerti seluk beluk raja yang sedang berkelahi tali dimana dia mengatakan bahwa kedua tuanku raja sedang berkelahi adalah satu bapak dan berlainan ibu.<br />Dimana mereka yaitu sama - sama anak hairullah setelah sadar maka dibuatlah perjanjian di bukit sitinjau laut dan memotong kerbau satu setengah ekor dan darah kedua raja tersebut dicampur dalam mangkuk karang setio dan diminum bersama - sama dengan janji yaitii :<br />1. Tengkuluk latuh serindit lepas adat teliti, balik ke jambi <br />2. Undang - undang dan rumah beratap ijuk balik ke minang kabau <br />3. Mas nan se emas serta rumah beratap sikai kembali ke indrapura ( tanah tiga lurah negeri 4 jurai 20 kaum muko-muko selingkup alam kerinci )<br />Iskandar bagagar alam sah adalah orang ke tiga yang memakai darah syah yang berdarah darek yang beristana diwilayah pagar ruyung indrapura ).<br />Iskandar bagagar alam syah adalah jabatan raja yang ke 11 dan merupakan raja ke 8 yang memakai gelar syah dan merupakan raja yang pertama yang memakai gelar sultan di kerajaan indojati indrapura ).<br />Selama dia berkuasa adat darek semakin dipopulerkan di daerah indojati yaitu di tanah tiga lurah negeri empat jurai 20 kaum muko -muko serta alam kurinci. Di zaman hairullah sah dan iskandar bagagar alam syah orang indojati yang dulu banyak ke darek sekarang berangsur - angsur kemabali ke indojati dan terpusat di dusun dobi dan dusun batu muko - muko sebab raja tidak ada lagi di darek sedangkan darek diperintah oleh tuanku lareh dan datuk.<br />Selama perkawinan iskandar bagagar alam sah dengan permaisurinya ratna mandewa menghasilkan 3 orang anak yaitu puan leha, pirman dan gumbalo intan, dan gumbalo intan dikawinkan dengan anak raja aceh. Iskandar bagagar alam sah meninggal sewaktu melawan ingris untuk mempertahankan wilayahnya bengkulu.<br />Dia meninggal diwilayah bengkulu utara, karena kecintaan rakyat kepadanya sangat tinggi maka mayatnya dipikul orang pakai tandu dalam gardo cermin menuju indrapura dan tidak diangkut dengan perahu, dia sangat dicintai dan mencintai rakyat dan sangat ditakuti oleh lawan dia merupakan raja besar dan gagah berani karena disepuh oleh perjalanan hidupnya sejak ditinggal ayahnya sampai masa berkelana mencari ayahnya. Dia mati umur separoh baya dan masih gagah.<br />Kabar setengah orang mengatakan dia mikrat ditengah jalan dan sebagian lagi orang mengatakan mayatnya iskandar bagagar alam sah tidak sampai ke indarapura. Tetapi yang jelas sekarang diakui mayat iskandar bagagar alam syah terbujur kaku dimakamnya di tanjung batang kapeh indrapura. Iskandar bagagar alam sah berkuasa memimpin kerajaan airpura selama 21 tahun.<br /> <br />Gambar 2. Stempel Kerajaan<br />Sultan Iskandar Bagagar Alam Syah<br /><br />13. Sultan firman sah = raja kerajaan air pura<br />Iskandar bagagar alam syah diganti oleh anaknya firman dia diangkat menjadi syah dan bergelar kebesaran yaitu sultan firman syah, dia mempunyai istri asal muko - muko yang masih berdarah darek dalam kaum sanguno dirojo. Kegiatan kerjaan airpura ke selatan, firman syah orangnya gagah tanpan dan berani tetapi belum bisa menyamai keberanian bapaknya.<br />Firmansah mempunyai anak 5 orang tiga wanita dua orang laki -laki yaitu anak yang laki - laki bernama nurman dan usman. Firmansyah menderita sakit sejak tahun 1458m dan meninggal tahun 1462m dan dikuburkan di lalang panjang, dia memerintah selama 23 tahun, dan selama pemerintahanya kerjaan airpura tidak begitu banyak mendapat tantangan.<br /><br />13. Sultan Nurman syah, = raja kerajaan air pura<br />Semasa firmansyah sakit dia menyerahkan kekuasan kepada anaknya nurman sedangkan nurman baru berumur 10 tahun dia diangkat menjadi sah dan bergelar sultan nurman syah. Dia mempunyai putra 3 orang yaitu 2 wanita 1 pria dia memegang gelar sah selama 14 tahun. Dia meninggal dalam usia muda berumur 24 tahun dan meninggal 3 orang anak yaitu seorang pria yang bernama nardu alam.<br /><br />14. Sultan Usman sah<br />Nurman syah digantikan oleh adiknya yang terkecil bernama usman tahun 1471 dalam usianya 20 tahun dan berhak memaki gelar raja syah yaitu sultan usman syah.<br />Sultan usman syah adalah raja yang terkenal yang sangat arif dan bijaksana manajemen dan kerja samanya denga pihak lain sangat baik , wilayah kerajaannya sangat luas yaitu mulai dari biha krol dan liwa lampung barat sampai ke air bangis terus ke singkil pulau tengku aceh barat dimasa beliau inilah kerjaaan dirobah namanya menjadi kerajaan jaya pura.<br />Dan suami kakaknya yang bernama jamilah diberinya memegang wilayah aceh sampai ke riau, dan beristana di kampung indrapuri pidi sigli aceh. Semasa beliau hidup seluruh pembesar kerajaan jayapura memanggil raja aceh dengan sebutan uia atau gata (kamu atau saya) tidak perlu pakai petik atau hamba<br />Usman sah mempunyai anak 5 orang seluruhnya wanita tertua bernama hartini, tidartun dan yang terkecil bernama saripah, kakaknya jamilah yang kawin dengan orang makudum dalam 6 kaum dmidik indrapura diberikan kekuasaan di pidi dan lowksamawe dan dibuat perkampungan bernama indrapura karena jamilah putri raja indrapura anaknya bernama ibrahim.<br />Dimana ibrahim tidak bersama dengar ibunya di pidi tetapi banyak, hidup di indrapura bersama pamanya usman sah. Setelah dia besar ibrahim dikawinkan oleh usman sah dengan putrinya yang bernama tidartun anak usman syah yang tertua dan diberinya wilayah kekuasaan di daerah pidi lowksamawe dan aceh timur dimana orang tuanya berada.<br />Ibrahim diberi gelar oleh usman sah yaitu mohayat syah dan berkuasan 1506 - 1524. Dimana istri mohayat sah tidartun bersaudara kandung dengan saripah ibu musapar sah. Dan usman sah lah yang merobah nama kerajaan airpura menjadi kerajaan jayapura. Dia memerintah di jayapura selama 32 tahun dan usman sah meninggal dunia setelah tua dirumah keponakanya dan anaknya jamilah atau menantunya vaitu di tempat mohayat sah di pidi aceh dia akan dibawa ke indrapura karena sesuatu dan lain hal terpaksa dikuburkan di pulau tongku singkil aceh barat.<br /><br />16. Sultan Muhamad Syah (merdu alam. Raja kerajaan jaya pura)<br />Karena usman sah tidak mempunyai anak laki -laki orang menyerahkan kekuasan kepada anak kakaknya yaitu anak nurman soar yang bernama mardu alam untuk menjadi raja ( sah ) dan dia diangkat menjadi raja dan bergelar sultan mohamad sah dan permaisurinya bernama puan nur nir nala asal aceh. Mardu alam orangnya juga sangat gagah dan berani dar berjiwa sem, aril dan bijaksana.<br /><br />17. Sultan muhamad syah ( ngoh - ngoh raja kerajaan ujung indrapura<br />Merdu alam digantikan oleh cucu usman sah anak dari hartini yang sering dipanggil ngoh - ngoh yang bergelar sultan mohammat sah, ngoh - ngoh menikah dengan wanita pariaman dan mendapat anak 2 orang pria 4 orang wanita.<br />Ngoh - ngoh senang dipuji dan wilayahnya kurang terjaga sehingga ujung ke ujung pindah ke kerajaan lain seperti biha, kroi dan lain - lain sudah masuk ke banten natal sam,dal singkil sudah masuk ke aru ( batak ) dan sebagian ke aceh. Ngoh - ngoh asik bersenang lena di istananya dijayapura dan juga di pariaman. Metri sating bertingkah akibat saliro mengambil muka kepada raja, istri dan keluarga istrinya ikut mengatur istana hukum kurang berjalan sebagaimana mestinya perlidungan kerjaaan kepada rakyat sangat kurang bahkan panglima laut ikut mengambil muka dia sering bolak batik indrapura pariaman sehingga kerajaan dirobah namanya dari jayapura menjadi ujung indrapura perobahan ini atas permintaan istrinya.<br /><br />18. Sultan Musapar = pain kerajaan indrapura<br />Kerajaan sudah mulai miring pusaka dan wilayah berangsur angsur kurang. Adat dan agama semakin renggang melihat hat yang demikian orang kerajaan sepakat seluruhnya mrnyarankan agar ngoh -ngoh meletakan jabatan dan mengangkat musapar anak dari saripah yang juga cucu dari usman sah menjadi raja dan berhak memakai gelar sah yaitu sultan mospar sah.<br />Ngoh - ngoh beserta istri dan keluarga istrinya kecewa berat dia kembali ke Pariaman setelah 20 tahun berkuasa memimpin kerjaan ujung indrapura setelah itu jarang dia kembali ke indrapura sampai meninggal di pariaman.<br />Ucapannya indah didengar dan istrinya orang aceh dia meninggal dan dimakam di aceh setelah memerintah selama 23 tahun di kerajaan jaya pura. *** (bersambung)<br /><br />Catatan: Silakan komentari dan beri masukan, terima kasih.Prof. Aulia Tasman, Ph.Dhttp://www.blogger.com/profile/03879010985712892173noreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-2758280145952467066.post-3613319796185378482010-08-10T11:37:00.000-07:002010-08-11T14:15:19.002-07:00Kerajaan SigindoBab 7<br />KERAJAAN MELAYU DAN<br />NEGERI SIGINDO<br />(Suntingan dari Buku "Menelusuri Sejarah Kerajaan Melayu Jambi"<br />Karangan: Prof. Aulia Tasman, SE, MSc, Ph.D<br /><br />1. Asal-usul Sigindo<br />Diperkirakan bahwa sekitar abad ke 6 M di wilayah Alam Kerinci, telah terbentuk negeri-negeri yang secara terpisah mempunyai pemerintahan sendiri. Sebuah komunitas masyarakat sudah barang tentu mencari pemimpin dari orang-orang yang mempunyai pengaruh dan disegani dalam kelompoknya. Biasanya mereka juga merupakan orang yang diyakini memiliki kesaktian sehingga diharapkan dapat melindungi negeri dari berbagai mara bahaya yang ditimbulan manusia, alam, binatang, maupun roh-roh jahat. Munculnya pemimpin-pemimbin negeri baru ini diperkiranan seiring dengan pertumbuhan negeri-negeri di Alam Kerinci yaitu sekitar abad ke 6 M. Para pemimpin negeri itu, dikenal dengan sebutan Sigindo atau kepala kaum/kelompok darisuatu komunitas keturunan dari kelompok masyarakat yang mendiami suatu daerah tertentu, dimana sekaligus merangkap sebagai kepala pemerintahan dari suatu wilayah negeri.<br />Sebuah negeri Sigindo teridiri atas beberapa buah dusun, dimana di dalam sebuah dusun terdapat kelompok kekarabatan masyarakat seketurunan. Pada kelompok kekarabatan ini masih terdapat lagi kelompok yang lebih kecil kaitu kumpulan dari kelompok-kelompok kekeluargaan, sedangkan strata masyarakat yang paling kecil adalah keluarga. Masing-masing strata kekarabatan mulai dari unit yang terkecil dipimpin oleh seorang kelompk yang ditunjuk dan dipilih menurut ketentuan adat yang berlaku.<br />Dalam perkembangan selanjutnya, untuk unit keluarga terkecil disebut denan Tumbi oleh kepala Tumbi atau kepala keluarga. Kempulan dari beberapa unit keluarga kecil (tumbi) dalamlingkup kekarabatan seketurunan disebut dengan istilah Perut, dan dipimpin oleh Tengganai. Lapisan berikutnya merupakan dari beberapa Perut disbeut dengan istilah Kelebu dan dipimpin oleh kepala Kelebu yang lazim disebut sekarang dengan istilah Ninik Mamak. Sedangkan kumpulan dari kekerabatan Kelebu disebut dengan ‘luhak; atau lurah yang dipimpin oleh seorang kepala lurah yang lazim disebut dengan Depati. Masing-masing strata di atas mempunyai tugas dan tanggung jawab sendiri-sendiri yang pada intinya menuntun dan membimbing masyarakat untuk dapat mentaati norma dan kententuan adat negeri.<br />Melalui strata kemasyarakatan di atas, segala bentuk kebijakan pemerintah negeri disampaikan secara beranting ke bawah. Melalui alir system ini dilakukan pengendalian terhadap komponen masyarakat atau warga yang terhimpun dalam sebuah negeri Sigindo. Masing-masing pemimpin pada strata masyarakat yang terbentuk memikul tugas dan tanggung jawab membina dan mengurus anak negeri atau kaum kerabatnya.<br />Bila sebuah negeri Sigindo hanya merupakan sebuah dusun, maka berarti Sigindo yang memerintah hanya memeritnah strata kelompok masyarakat yagn berada alam lingkup dusun itu saja. Namun apabila sebuah negeri Sigindo terdiri atas banyak dusun dibawahnya, maka Sigindo yang berkuasa berarti memerintah dan mengatur seluruh strata kemasyarakatan yang terdapat pada beberapa dusun. Makin banyak dusun-dusun yang berada di bawah sebuah pemerintahan Sigindo menunjukkan besarnya kekuasaan seorang Sigindo.<br />Pada pemerintahan para Sigindo dikisahkan bahwa kehidupan masyarakat di Alam Kerinci berjalan dengan baik. Masyarakat dapat hidup aman, tentram dan makmur. Pemerintahan Sigindo semakin meluas sehingga di Alam Kerinci terdapat banyak negeri yang dibawah kepemimpinan Sigindo. Banyak diantara negeri Sigindo tersebut berasal dari induk Sigindo yang sama atau negeri tersebut berasal dari induk negeri yang serumpun, namun secara otonom masing-masing menjalankan pemerintahan secara terpisah.<br />Masing-masing mengurus dan mengatur kepentingan penduduk negerinya tanpa ikut sampur Sigindo asalnya. Tidak ada Sigindo yan gberada dibawah kekuasaan Sigindo yang lain, atau satu Sigindo takluk pada kekuasaan sebuah pemerintahan Sigindo lainnya. Walaupun tidak terdapat hubungan secara hirarki dengan pemerintahan Sigindo negeri asal, namun pemerintahan Sigindo yang berumur lebih tua (Sigindo asal) selalu dihormati oleh Sigindo yang lebih baru. Negeri Sigindo yang keberadaanya lebih muda sunggupun tidak berada dibawah kekuasaan atau pengaruh Sigindo asal, akan tetapi mereka selalu mengikuti langkah kebijakan pendahulunya dalam meminpin negeri. Perselisihan antara negeri Sigindo jarang diceritakan, karenanya boleh dikatakan jarang terjadi. Kalaupun ada, itupun hanya terjadi antara Sigindo pada tingkatan lapisan di bawah atau antara negeri Sigindo yang berbeda asal. Perselisihan biasanya akan dapat diselesaikan melalui peran Sigindo-Sigindo asalnya. Indilah diantara kekhasan dari pemerintahan Sigindo di Alam Kerinci.<br /><br />2. Wilayah Sigindo-Sigindo<br />Dalam pertumbuhannya, sebagaimana kebanyakan pemerintahan negeri-negeri pada masa lalu, ada negeri yang kuat dan berkembang, sebaliknya adapula yang tidak mampu bertahan dan akhirnya tenggelam atau lenyap. Hal tersebut juga berlaku terhadap negeri-negeri Sigindo di Alam Kerinci, dimana tidak semua negeri Sigindo dapat tumbuh menjadi negeri yang makmur dan kuat. Bagi negeri yang tidak mampu berkembang, maka secara alamiah lenyap dengan sendirinya. Bilamana suatu negeri Sigindo tidak dapat bertahan lagi, maka biasanya rakyat negeri tersebut akan memilih bergabung dengan negeri Sigindo lain, yaitu dengan negeri Sigindo yang lebih kuat dan makmur. Kondisi ini merupakan seleksi alamiah yang terjadi terhadap kemapanan dari suatu pemerintahan Sigindo yang tersebar di Alam Kerinci. Sehingga pada akhirnya pemerintahan Sigindo yang bertahan, memang benar-benar pemerintahan Sigindo yang telah terusji kemapanannya.<br />Dari sekian banyak negeri Sigindo di Alam Kerinci, diantaranya yang sering disebut orang untuk Kerinci Tinggi adalah:<br />1. Sigindo Batinting (Segerinting atau Keninting) terletak di wilayah Selatan Danau Kerinci. Wilayah ini diduga merupakan lokasi bekas dusun purba Jerangkang Tinggi. Di wilayah ini terdapat beberapa dusun yang dulunya berkembang pesat dan maju.<br />2. Sigindo Sakti yang lokasinya diperkirakan terletak dibagian timur dusun Lempur. Negeri dalam wilayah tanah Sigindo ini adalah dusun-dusun yang berasal dari dusun purba Tanjung Muara Sekiau.<br />3. Sigindo Balak wilayahnya memayungi negeri-negeri yang berasa dari bekas dusun pubra Renah Punti. Daerah tanah Sigindo ini diperkirakan disekitar dusun Serampas sekarang.<br />4. Sigindo Elok Misai yang diperkirakan berada disekitar dusun Jangkat (Muara Maderas). Negeri tanah Sigindo ini berasal dari dusun purba Koto Mutun.<br />5. Sigindo Bauk diperkirakan berada dekat dusun Tamiai sekarang. Negeri dari tanah Sigindo ini berasa dari dusun purba Muara Sekiau berlokasi di tepi Batang Merangin.<br />6. Sigindo Teras diperkirakan berlokasi disekitar dusun Pengasi, yang berasal dari dusun purba Jerangkang Tinggi.<br />7. Sigindo Kumbang diperkirakan berlokasi di daerah Jujun di pinggir Danau Kerinci. Wilayah Sigindo ini berasal dari dusun purba Jerangkang Tinggi.<br />8. Sigindo Kerau diperkirakan berlokasi di dusun Selemean sekarang. Negeri dibawah tanah Sigindo ini berasal dari dusun purba Koto Jelatang.<br />9. Sigindo Keramat diperkirakan berlokasi di luar dusun Hiang sekarang. Negeri yang tercakup disini berasal dari dusun purba Koto Jelatang.<br />10. Sigindo Kecik diperkirakan berlokasi di luar dusun Tanah Kampung sekarang. Negeri yang terlingkup dalam wilayah kekuasaan Sigindo Kecik berasal dari dusun purba Koto Beringin.<br />11. Sigindo Siung diperkirakan berlokasi di daerah perbukitan di sekitar dusun Kumun sekarang. Negeri yang berada di bawah tanah Sigindo ini beradal dari dusnu purba Talang Betung.<br />12. Sigindo Panjang Rambut diperkirakan berlokasi di atgas bukit dekat dusun Sungai Liuk sekarang. Negeri yang berada dibawah tanah Sigindo ini berasal dari dusun purba Koto Beringin.<br />13. Sigindo Merak diperkirakan berlokasi di atas perbukitandekat dusun Tebat Ijuk sekarang. Negeri yang masuk wilayah ini berasal daeri dusun purba Koto Limau Sering.<br />14. Sigindo Junjung diperkirakan berlokasi di Tanjung Kerbau Jatuh (Sanggaran Agung) sekarang. Negeri yang berada dibawah tanah Sigindo ini berasal dari pemekaran dusun purba Jerangkang Tinggi.<br />15. Sigindo Siah tanah Sigindo Rawo, tanah Sigindo Batinting dan tanah Sigindo Bujang diperkirakan berlokasi di sekitar dusun Pulau Sangkar sekarang. Negeri yang ini berasal dari dusun purba Jerangkang Tinggi.<br />16. Sigindo Kuning berlokasi di daerah Pratin Tuo (dusun Tuo). Negeri yang berada di bawah Sigindo ini berasal dari dusun purba Lapai Tuo. Daerah ini disebelah Timur Serampas.<br />Sedangkan untuk daerah Kerinci Rendah tanah Sigindo yang sering dituturkan adalam perbincangan tetua masyarakat adalah:<br />1. Sigindo Segilintang berada disekitar daerah Pamenang sekarang. Negeri yang berada dalam lingkup tanah Sigindo ini berasal dari dusun purba Sungai Lintang.<br />2. Sigindo Timben berada pada daerah sekitar dusun Sungai Manau sekarang. Negeri yang berada dalam lingkup wilayah ini berasal dari dusun purba Timben.<br />3. Sigindo Pengantung wilayahnya berada pada daerah sekitar Pangkalan Jambu sekarang. Sigindo ini menerintah negeri yang berasal dari dusun purba Pengantung.<br />4. Sigindo Malgan wilayahnya juga berada pada daerah sekitar Pangkalan Jambu. Negeri yang berada dalam lingkup tanah Sigindo ini berasa dari dusun purba Malgan.<br />5. Sigindo Simukun wilayahnya berada disekitar Nalo dan Tantan sekarang. Negeri yang berada dalam lingkup wilayah ini beradal dari dusun purba Muaro Simukun.<br />6. Sigindo Demahu wilayahnya juga berada pada daerah sekitar Nalo dan Tantan sekarang. Seang negeri yang berada dalam lingkup tana seginda oni beradal dari dusun purba Demahu.<br />7. Sigindo Buluh wilayah berada pada daerah sekitar Nalo dan Tantan. Negeri yang berada dalam lingkup tanah Sigindo ini berasal dari dusun purbah Lubuk Buluh.<br />Pada masa kejayaannya, keberadaan negeri Sigindo di Alam Kerinci telah menjadi pembicaraan dari banyak kerajaan atau pemerintahan pada waktu itu. Perkembangan ini berpengaruh cukup besar terhadap eksistensi pemerintahan negeri-negeri Sigindo. Kekawatiran akan terjadi perselisihan di antara negeri Sigindo yang disebabkan perebutan pengaruh dari kerajan luar mungkin saja terjadi. Para Sigindo menyadari akan potensi komplik ini, maka untuk itu para Sigindo yang berpengaruh di Alam Kerinci lalu memprakarsai langkah-langkah konsolidasi ke arah persatuan dan kesatuan negeri-negeri Sigindo.<br />Prakarsa ke arah terbentuknya persatuan ini telah melahirkan Negara Sigindo Alam Kerinci yang bernaung dalam satu payung pemerintahan yang terkoordinasi pdaa tahun 644 M. Pusat pemerintahan kolektif ini berkedudukan di Jerangkang Tinggi sengan Sigindo rumpun kerabat tertua yaitu Sigindo Batinting dari Jerangkang Tinggi dituungai Musi. Kepindahan pusat kerajaan diduga karena posisi Muara Takus sebagai pusat pengendalian kekuasaan kurang strategis bagi perkembangan masa depan kerajaan. Dalam Prasasti Kedukan Bukit tahun 683 M disebutkan mereka pindah denan membawa tentara sebanyak 20.000 orang menggunakan perahun dan 1.312 orang berjalan kaki. Mengendalikan kekuatan besar itu, mereka lalu membangun Kedukan Bukitdiantaranya, negara Sigindo menjalin persahabatan dengan kerajaan tetangga yaitu kerajaan Malayu. Hubungan baik ini telah dibina cukup lama dan kedua belah pihak mendapat manfaat yang saling menguntungkan terutama dalam perniagaan diantara penduduk negeri. Namun h Samwau magalap sidhayatra di saptami cuklapakan<br />4. Wulan Jyestha dapunta hyang marlepas dari minanga<br />5. Tamwa (r) mamawa yang wala dua laksa ko<br />6. Dua ratus saradisamwau dengan jalan gariwu<br />7. Tlu ratus sapulu dua wanyaknya datang dari matada (nau)<br />8. Sukhacitta di pancami suklapaksa wula(n) (asada)<br />9. Laghu mudita datang marwuat wanua<br />10. Criwijaya jaya siddhayatra subhiksa…<br /><br />Terjemahan (Mulyana, 1981)<br />1. Bahagia ! pada tahun saka 605 hari kesebelasan<br />2. Dari bulan terang bulan waisaka dapunda hyang naik di<br />3. Perahu melalukan perjalanan. Pada hari ketujuh dari bulan terang<br />4. Bulan Jyestha dapunta hyang berangkat dari minanga<br />5. Tamwa (r) membawa tern perdagangan yang dipasok dari negeri-negeri pedalaman Sumatera, termasuk dari negeri-negeri Sigindo. Posisiang di matada (nn Melayu menjadi penting artinya bagi kerajaan Sriwijaya. Oleh sebab itu kerajaan Melayu perlu segera dikuasai agar tidak menjadi batu sandungan di kemudian hari.<br />Untuk menaklukkan kerajaan Melayu, maka kerajaan Sriwijaya mempersiapkan strategi penyerangan seca menjadi ibukota kerajaan. Lokasi Kedukan Bukit diperkirakan terletak di sungai Musi atau sekitar kota Palembang sekarang.<br /><br />PRASASTI KEDUKAN BUKIT<br />1. Swasti Cri Cakawareatita 605 Ekadaci cu<br />2. Klapaksa wulan waickha dapunta hyang nayik di<br />3. Samwau magalap sidhayatra di saptami cuklapakan<br />4. Wulan Jyestha dapunta hyang marlepas dari minanga<br />5. Tamwa (r) mamawa yang wala dua laksa ko<br />6. Dua ratus saradisamwau dengan jalan gariwu<br />7. Tlu ratus sapulu dua wanyaknya datang dari matada (nau)<br />8. Sukhacitta di pancami suklapaksa wula(n) (asada)<br />9. Laghu mudita datang marwuat wanua<br />10. Criwijaya jaya siddhayatra subhiksa…<br /><br />Terjemahan (Mulyana, 1981)<br />1. Bahagia ! pada tahun saka 605 hari kesebelasan<br />2. Dari bulan terang bulan waisaka dapunda hyang naik di<br />3. Perahu melalukan perjalanan. Pada hari ketujuh dari bulan terang<br />4. Bulan Jyestha dapunta hyang berangkat dari minanga<br />5. Tamwa (r) membawa terntara dua laksa orang<br />6. Dua ratus orang diperahu, yang berjalan seribu<br />7. Tiga ratus dua belas datang di matada (nau)<br />8. Dengan senang hati, pada hari kelima bulan terang bulan (Asada)<br />9. Dengan lega gembira datang membuat wanua….<br />10. Sriwijaya melakukan perjalanan jaya denga lengkap’<br />Versi lain dari H. Boedenani (1970: 19-22) mengatakan kerajaan Sriwijaya berasa dari kaki Gunung Dempo di pergunungan Bukit Barisan di tengah pulau Sumatera bagian selatan. Dari sini mereka turun mengikuti aliran sungai Musi dan pada tahun 682 M mereka membuat ibukota di Kedukan Bukit. Kepindahan ini diperkuat oleh prasasti Talang Tuo tahun 684 M yang ditemukan tidak berapa jauh dari Kedukan Bukit. Sebagaimana disebutkan dalam prasasti Kedukan Bukit, dengan kekuatan bala tentara yang besar mereka membangun kerajaan dan kemudian menaklukkan daerah sekitarnya.<br />Kerajaan Sriwijaya yang berambisi untuk mengukuhkan pengaruh da kekuasaannya atas bumi nusantara terus melakukan ekspansi ke daerah-daerah disekitarnya dengan mengirim pasokan dan armada perang yang tangguh. Salah satu daerah terdekat yang menjadi sasrajaan Melayu, pengaruh kerajaan Sriwijaya juga sampai ke daratan Asia Tenggara, seperti Malaysia (Tanjung Kra), Birma, Kamboja, Annam dan kepulauan Filipina. Daerah-daerah itu sebelumnya berada dibawah pengaruh kekuasaan kerjaan Melayu.<br />Masih dalam abad ke 7 M ekspansi kerajaan Sriwijaya juga dilakukan ke daerah Selatan dengan menaklukkan kerajaan Tulang Bawang di daerah Lampung. Setelah itu, kerajaan Sriwijaya mengukuhkan pula kekuasaannya ata pulau Bangka (Prasasti Kota Kapur tahun 686 M). Ekspansi tidak terhenti di sini karena diteruskan ke pulau Jawa. Berbarengan dengan ekspansi ke pulau Jawa, kerajaan Sriwijaya ra matang. Persiapan dilakukan mengingat posisi kerajaan Melayu merupakan satu kerajaan terkuat di Sumatera. Setelah segala sesuatu dipersiapkan dengan baik, maka penyerangan lalu dilaksanakan baik melalui darat maupun laut terhadapdaerah-daerah pusat kekuatan kerajaan Melayu. Gempuran yang dilakukan berkali-kali dari berbagai penjur wilayah menyebabkan kerajaan menjadi amat kewalahan. Upaya yang melelahkan dan memakan banyak korban jiwa mapun materi itu, akhirnya membuahkan hasil dengan takluknya kerajaan Melayu. Diperkirakan pada sekitar pertengahan abad ke 6 M kerajaan Sriwijaya dapat menguasai hampir sebagian besar wilayah kerajaan Melayu. Kekalahan kerahaan Melayu telah menempatkan kerajaan Sriwijaya tumbuh dan berkembang dengan cepat. Sama halnya dengan kerajaan Melayu, pengaruh kerajaan Sriwijaya juga sampai ke daratan Asia Tenggara, seperti Malaysia (Tanjung Kra), Birma, Kamboja, Annam dan kepulauan Filipina. Daerah-daerah itu sebelumnya berada dibawah pengaruh kekuasaan kerjaan Melayu.<br />Masih dalam abad ke 7 M ekspansi kerajaan Sriwijaya juga dilakukan ke daerah Selatan dengan menaklukkan kerajaan Tulang Bawang di daerah Lampung. Setelah itu, kerajaan Sriwijaya mengukuhkan pula kekuasaannya ata pulau Bangka (Prasasti Kota Kapur tahun 686 M). Ekspansi tidak terhenti di sini karena diteruskan ke pulau Jawa. Berbarengan dengan ekspansi ke pulau Jawa, kerajaan Sriwijaya melakukan pula penyerangan ke daerah-daerah pedalaman pulau Sumatera. Salah satu daerah yang menjadi sasaran adalah negara Sigindo Alam Kerinci. Kerajaan Sriwijaya kelihatan sangat berkepentingan terhadap negeri-negeri Sigindo, karena wilayah Alam Kerinci di bawah pemerintahan para Sigindo selama ini diketahui sebagai daerah pemasok berbagai komoditi dagang untuk pasar manca negara.<br /><br />4. Kerinci Rendah Dikuasai Sriwijaya<br /> (Idris Ja’far, 2003)<br />Selama terjadi komplit antara kerajaan Sriwijaya dengan kerajaan Melayu pasokan komoditi perdagangan dari daerah Alam Kerinci terasa sangat menurun. Demikian juga setelah kerajaan Sriwijaya menaklukkan kerajaan Melayu arus barang-barang melalui daerah Jambi dan Alam Kerinci volumenya terus berkurang. Menurunnya pasokan komoditi dagang yang berasal dari daerah Alam Kerinci ke jalur perdagangan pantai timur Jambi dikaeranakan negeri-negeri Sigindo telah mulai mengalihkan jalur perdagangan ekspornya ke pelabuhan-pelabuhan pantai Barat Sumatera yang kebetulan lagi berkembang. Perubahan jalur perniagaan ini dilakukan para pedagang negeri Sigindo atas pertimbangan keamanan yang sulit untuk diatasi. Selain itu, kebetulanpula pelabuhan samudra di pantai Barat mulai banyak digunakan armada dagang manca negara dari daratan India dan Asia Tenggara. Perubahan situasi ini memberikan prospek yang cukup baik bagi negeri-negeri disekitar pantai Barat dalam perniagaan, mengingat perairan Selat Malaka semakin tidak kondusif untuk dilayani.<br />Akan tetapi kerajaan Sriwijaya beranggapan bahwa negeri-negeri Sigindo Alam Kerinci sengaja melakukan pembangkangan. Sebenarnya apa yang dikemukakan kerajaan Sriwijaya hanya merupakan alasan semata. Pada hal sebenarnya kerajaan Sriwijaya berambisi menaklukkan seluruh pemerintahan atau kerajaan-kerajaan yang terdapat disekitarnya. Kecongkakan yang tidak bias dibendung lagi, lalu mereka wujudkan dengan mengerang negeri-negeri Segindo pada wilayah Kerinci Rendah. Daerah ini merupakan wilayah yang dulunya berbatasan langsung dengan kerajaan Melayu.<br />Untuk menyerang Kerinci, Rendah, kerajaan Sriwijaya mengerahkan kekuatan darat dan armada lautnya. Pasukan darat didatangkan melalui Jambi dan Rawas, sedangkan armada laut didatangkan dengan melewati jalur sungai Batanghari, terus menelusuri sungai Batang Tembesi dan kemudianmasuk ke daerah Kerinci Rendah melalui sungai Batang Merangin. Mengingat perahu-perahu pengangkut pasokan sulit untuk berlayar jauh lebih ke hulu lagi menelusuri Batang Merangin dan Matang Masumai yang dangkal dan berbatu, maka pasokan didaeratkan diujung Muara Mesumai (Bangko). Tempat ini lalu dijadikan sebagai basis penyerangan ke daerah-daerah Kerinci Rendah.<br />Dari Muara Mesumai seranan pertama dilakukan terhadap tanah Sigindo Sungai Lintang yaitu daerah di sekitar anak Sungai Batang Lintang yang bermuara ke Batang Merangin. Wilayah ini sekarang berapa pada sekitar daerah Kecamtan daerah Sigindo Sungai Lintang dengan mudah dapat dikuasai. Dari sini pasokan melanjutkan penyeranganke daerah tanah Sigindo Timben, Pengantungan, Malgan, Semukun, Lubuk Buluh dan tanah Sigindo Damahu. Penyerangan tahap ke dua mendapat perlawanan yang keras dari rakyat Kerinci Rendah. Namun karena pasukan Sriwijaya dengan kekuatan yang besar dan peralatan perang yang lengkap. Perlawanan rakyat Kerinci Rendah dapat dipatahkan.<br /><br />5. Prasasti Karang Birahi<br />Setelah menaklukkan Daerah Kerinci Rendah, pemerintahan Sriwijaya membuat sebuah prasasti yang berupa peringatan kepada daerah pendudukan Sriwijaya untuk selalu tunduk kepada Kerajaan Sriwijaya. Bagi penduduk yang berniat untuk melawan pemerintahan kerajaan Sriwijaya atau penduduk yang melakukan kejahatan akan dikutuk oleh dewa penguasa alam. Prasasti ini dikenal dengan nama Prasasti Karang Birahi. Prasasti Karang Birahi ditemukan di pinggir Sungai Batang Merangin di Dusun Karang Birahi di wilayah Kerinci Rendah tepatnya di Kecamatan Pemenang Kabupaten Merangin sekarang. Tempat prasasti ini berada berjarak lebih kurang 25 km dari Bangko ibukota Kabupaten Merangin. Prasasti ini bertan (7) di dalanan bhumi ajnana kadatuan<br />10. ini parawis o dhrohaka wanun o samawuddhi la (8) wan<br />11. drohaka o manBahasa Melayu Kuno yang dipakai tersebut besar dugaaan adalah bahasa Kerinci Kuno, mengingat bahasa Kerinci merupakan bagian dari bahasa Melayu. <br />Menurut J.G. de Casparis seorang ahli sejarah dan purbakala Belanda yang telah membaca tulisan ini berpendapat bahwa isi dari Prasasti Karang Birahi bermakna permohonan kepada para dewa untuk melindungi kekuasaan Kerajaan Sriwijaya dan menghukum setiap orang yang bermaksud jahat dan durhaka kepada kerajaan, serta melindungi keselamatan orang yang taat dan setia keamwal o saramwat o kasi (13) han o wasika rana<br />20. iyewamad o janan muah ya siddha o pulan ke yah muah yan dosa (14) na wuatna jaha inan o<br />21. –<br />22. –<br />23. –<br />24. –<br />25. –<br />26. ini gran kadaci iya bhakti tatwarjjawa di<br />27. yaku o dnan di yan ni (15) galarkuasanyasa datua o<br />28. santi muah kawuatana o dnan gotra santanaa o<br />29. samddha (16) swastha o nirogo o nirupadrawa subhiksa <br />30. muah yan wanuana parawis //<br /><br />Terjemahan (Sumber Museum Negeri Jambi, 1992) :<br />1. Tercapailah sudah maksud kita sampai tanda ini, tandrun kayet<br />2. Yang melakukan pemberontakan, bertemu tanding melawan tandrua-dosa<br />14. orang yang tabianya jahat, namun apabila mereka berbhakti dan setia kepada mereka yang<br />15. sudah kuangkat menjabat daujari drohaka o niujari drohaka tahu din<br />12. drohaka o tida (9) ya marpphadah tidy a bhakti o<br />13. tatwarjjawa diyaku o dnan di iyan nigalarku ganyasa<br />14. datua o niwunuh (10) ya sumpah<br />15. nisuruh tapik ya mulan o parwwandan datu sriwijaya o<br />16. talu muah ya dnan (11) gora santanana o tathapi<br />17. sawanakna yan wuatna jaha o maka lanit uran o<br />18. maka sa (120 kit o maka gila o matragada o wisaprayoga o upah<br />19. tuwa o tamwal o saramwat o kasi (13) han o wasika rana<br />20. iyewamad o janan muah ya siddha o pulan ke yah muah yan dosa (14) na wuatna jaha inan o<br />21. –<br />22. –<br />23. –<br />24. –<br />25. –<br />26. ini gran kadaci iya bhakti tatwarjjawa di<br />27. yaku o dnan di yan ni (15) galarkuasanyasa datua o<br />28. santi muah kawuatana o dnan gotra santanaa o<br />29. samddha (16) swastha o nirogo o nirupadrawa subhiksa <br />30. muah yan wanuana parawis //<br /><br />Terjemahan (Sumber Museum Negeri Jambi, 1992) :<br />1. Tercapailah sudah maksud kita sampai tanda ini, tandrun kayet<br />2. Yang melakukan pemberontakan, bertemu tanding melawan tandrun lua (raja sungai), matilah dia oleh<br />3. tandrun luah, dibunuhla si pemberontak itu. Jangan terjadi lagi pemberontakan si kayet.<br />4. itu sudah tenang (padam). Haturkan bhaktimu kepada ku. Itu sudah (menjadikan) tenang. (hai) kamu semua<br />5. para dewa yang berkuasa dan hadir (disini), yang menjaga kedatuan Sriwijaya. Demikian pula kamu tandrun luah.<br />6. dan semua dewa yang menjadi asal mula mantra kutukan ini jika orang<br />7. di dalam seluruh kekuasaanku ada yang memberontak atau yang bersekongkol de-<br />8. ngan pemberontakkan, berbicara dengan pemberontak. Mendengarkan (rencana) pemberontakan. Mengetahu pemberontakan tidak <br />9. menghormati dan tidak berbhakti dan setia kepadaku, dan mereka yang sudah kuangkat menjabat datrah dan perkembangan dari satu kaum yang akhirnya membentuk suatu daerah kekuasaan atas kaum tertentu dan untuk wilayah kekuasaan tertentu. Wilayah kekuasaan Sigindo Sigarinting terletak di wilayah Kerinci Tinggi yang berpusat di Jerangkang Tinggi (sekitar daerah Desa Muak sekarang, di pinggir Danau Kerinci).<br />Sungguhpun telah berhasil menaklukkan negeri Sigindo di daerah Kerinci Rendah dengan susah payah kemudian menguasainya dalam waktu yang cukup lama (lebih dari 3 abad alamnya). Kemudian timbul keinginan untuk menaklukkan seluruh negeri Sigindo Alam Kerinci tidaklah surut. Selama ini wilayah Kerinci Tinggi belum pernah mereka taklukkan karena untuk menyerang daerah tersebut tidak sulit dan harus membelah hutan belantara yang sangat ganas. <br />Pasukatu, mereka akan mendapat berkah beserta suku dan keluarganya. (Semoga) berhasil <br />16. (mendapat) kesehatan jauh dari penyakit, jauh dari malapetaka dan (menjadi) makmur seluruh negeri. <br /><br /><br />6. Sigindo Sigarinting dan Sriwijaya<br /> (Idris Ja’far, 2003)<br />Wilayah Kerinci Tinggi dikomandoi oleh Sigindo Sigarinting. Pemerintahan Sigindo Sigarinting berlangsung dalam kurun waktu yang cukup lama mulai dari abad ke 6 Masehi sampai dengan terbentuknya Pemerintahaan Depati Empat Alam Kerinci. Pemerintahan Sigindo Sigarinting seperti juga dengan sigindo-sigindo lainnya terlahir dari pertalian darah dan perkembangan dari satu kaum yang akhirnya membentuk suatu daerah kekuasaan atas kaum tertentu dan untuk wilayah kekuasaan tertentu. Wilayah kekuasaan Sigindo Sigarinting terletak di wilayah Kerinci Tinggi yang berpusat di Jerangkang Tinggi (sekitar daerah Desa Muak sekarang, di pinggir Danau Kerinci).<br />Sungguhpun telah berhasil menaklukkan negeri Sigindo di daerah Kerinci Rendah dengan susah payah kemudian menguasainya dalam waktu yang cukup lama (lebih dari 3 abad alamnya). Kemudian timbul keinginan untuk menaklukkan seluruh negeri Sigindo Alam Kerinci tidaklah surut. Selama ini wilayah Kerinci Tinggi belum pernah mereka taklukkan karena untuk menyerang daerah tersebut tidak sulit dan harus membelah hutan belantara yang sangat ganas. <br />Pasukan Sriwijaya ingin masuk ke daerah Kerinci Tinggi yang kaya dengan produk perdagangan yang sangat diminati oleh negara luar, disamping itu daerah ini juga merupakan basis kekuasaan pemerintahan negeri-negeri Sigindo. Akan tetapi menyerang Kerinci Tinggi bukanlah hal yang mudah. Pasukan Sriwijaya menyadari bahwa mereka akan dihadapkan dengan tentangan yang lebih berat. Perlawanan dari pasokan dan rakyat negeri-negri Sigindo di Kerinci Tinggi tentu akan lebih sengit. Negeri-negeri Sigindo di Kerinci Tinggi telah siaga menyongsong kedatangan mereka. Selain itu, pasukan Sriwijaya menyadari pula bahwa mereka akan berhadapaan dengan kondisi alamangat membara dari pasukan negeri Sigindo beserta rakyat disekitarnya dalam menghadapi pasukan Sriwijaya menyebabkan pasukan Sriwijaya dapat dipumpas. Tak seorangpun dibiarkan meloloskan diri, semuanya mati dalam pertempuran. Sebagai peringatan atas kejadian tersebut, maka tempat dimana berlangsungnya pertempuran sengit itu, lalu diberi nama dengan Telaga Darah. Walaupun peristiwa peperangan terjadi ratusan tahun yang silam, namun sampai kini lokasi Telaga Darah di Bukit Melegan selalu dikenang rakyat Kerinci sebagai tempat kemenangan pasukan Sigindo atas pasukan Kerajaan Sriwijaya.<br />Berita kekalahan pasukan Sriwijaya di Kerinci Tinggi, kemudian diterima induk pasukan yang bermarkas di Kerinci Rendah. Sudah barang tentu hal ini amat menyakitkan, karena tnan tertinggi Negara Sigindo Alam Kerinci. Koordinasi dilakukan para pemimpin negeri Sigindo di seluruh Kerinci Tinggi untuk menghadapi kedatangan pasukan Sriwijaya yang akan menduduki daerah Kerinci Tinggi.<br />Setelah segala sesuatu dipersiapkan mulai dari perbekalan, taktik dan strategi perang, maka pasukan negeri-negeri Sigindo lalu diberangkatkan untuk menghadang musuh. Pada suatu tempat di Bukit Malegan dekat dusun Pulau Sangkar sekarang, kedua pasukan bertemu dan terjadilah pertempuran sengit. Pasukan Sriwijaya karena tidak menguasai medan perang dan telah lelah melawan keganasan alam dengan mudah dapat diporak-porandakan. Semangat membara dari pasukan negeri Sigindo beserta rakyat disekitarnya dalam menghadapi pasukan Sriwijaya menyebabkan pasukan Sriwijaya dapat dipumpas. Tak seorangpun dibiarkan meloloskan diri, semuanya mati dalam pertempuran. Sebagai peringatan atas kejadian tersebut, maka tempat dimana berlangsungnya pertempuran sengit itu, lalu diberi nama dengan Telaga Darah. Walaupun peristiwa peperangan terjadi ratusan tahun yang silam, namun sampai kini lokasi Telaga Darah di Bukit Melegan selalu dikenang rakyat Kerinci sebagai tempat kemenangan pasukan Sigindo atas pasukan Kerajaan Sriwijaya.<br />Berita kekalahan pasukan Sriwijaya di Kerinci Tinggi, kemudian diterima induk pasukan yang bermarkas di Kerinci Rendah. Sudah barang tentu hal ini amat menyakitkan, karena tidak seorangpun di antara mereka yang dapat kembali. Kekalahan di Telaga Darah merupakan tamparan yang amat berat bagi kelanjutan ekspedisi pasukan Sriwijaya. Akhirnya, mereka lau mengurungkan niatnya untuk menyerang kembali Kerinci Tinggi. Keputusan diambil atas pertimbangan medan yang sangat berat di wilayah Kerinci Tinggi dan kekuatan pasukan Sigindo Sigarinting dan sigindo-sigindo lain yang telah bersatu berjuang mempertahankan wilayah Kerinci Tinggi tida bisa diremehkan.<br />Sungguhpun keinginan menyerang daerah Kerinci Tinggi tidak dilanjutkan, akan tetapi pendudukan atas wilayah Kerinci Rendah tetap dipertahankan. Kerajaan Sriwijaya sangat berkepentingan terhadap Kerinci Rendah, karena daerah ini sangat potensial dalam pertambangan emas. Dalam mengukuhkaajaan Sriwijaya, daerah Kerinci Tinggi tidak pernah dapat ditundukkan, sehingga daerah Kerinci Tinggi adalah satu-satunya wilayah di Sumatera yang tidak pernah takluk oleh kerajaan Sriwijaya (sampai abad ke 9 Masehi, Kerajaan Sriwijaya berakhir). Semenjak itu Kerinci Tinggi secara turun temurun diperintah oleh siapa saja yang diangkat oleh masyarakat adat untuk silih berganti menyandang gelar Sigindo Sigarinting sampai pada abad ke 13 Masehi.<br />7. Sigindo Sigarinting & Tuanku Siah Rao<br /> (Abad ke 13 Masehi)<br />Tuanku Siah Rao adalah salah seorang keluarga Kerajaan Malayu di Pagarruyung yang pergi mengasingkan diri dan. Prasasti sengaja ditempatkan di sini karena dusun Karang Birahi merupakan tempat persinggahan orang-orang yang keluar masuk Kerinci Renluarga dan pengawal lainnya dari Negeri Selampaung sebagai teman dalam perjalanan.<br />Beliau ini mempunyai semangat juang dan kekuatan batin yang sangat kuat sehingga dapat memenangkan setiap pertempuran di perjalanan, sehingga akhirnya sampai di suatu daerah yang disebut Jerangkang Tinggi. Di Jerangkang Tinggi terdapat tiga orang penguasa yang cukup disegani, yakni:<br />1. Kerenggo Bungkuk.<br />2. Lemutung Hitam<br />3. Tebun Tandang<br />Dalam perebutan kekuasaan terjadilah perkelahian yang sangat sengit. Alhasil adalam perkalian ini ”meninting-balui”, artinya tidak ada yang kalah dan yang menang, sehingga akhirnya diadakan perundingan damai dengan cara: menyabung ayam. Setelah taji dibuang timbal-balik ayam telah dilepas berlaga dengan sengitnya. Masing-maisng menghimbau tuah. Tuanku Siah Rao menghimbau tuah sambil menghentakkan tongkatnya yang mana diujung tongkatnya tersebut berisi tanah dari Pagarruyung. <br />Tuah dihimbau: ”Kalau tidak ujung tanah Pagarruyung Hitam, diberi wilayah kekuasaan tetap di Jerangkang Tinggi (Muak) dan bergelar Rio.<br />3. Tebun Tandang, diberi wilayah kekuasaan berdampingan dengan wilayah Pulau Sangkar yaitu Dusun Pondok dan diberi gelar Mangku.<br />4. Sedangkan orang-orang yang ikut ben mencari wilayah baru karena adanya perselisihan keluarga dalam kerajaan Pagarruyung, beliau berangkat dengan beberapa orang anggota keluarga dan pengawal lainnya dari Negeri Selampaung sebagai teman dalam perjalanan.<br />Beliau ini mempunyai semangat juang dan kekuatan batin yang sangat kuat sehingga dapat memenangkan setiap pertempuran di perjalanan, sehingga akhirnya sampai di suatu daerah yang disebut Jerangkang Tinggi. Di Jerangkang Tinggi terdapat tiga orang penguasa yang cukup disegani, yakni:<br />1. Kerenggo Bungkuk.<br />2. Lemutung Hitam<br />3. Tebun Tandang<br />Dalam perebutan kekuasaan terjadilah perkelahian yang sangat sengit. Alhasil adalam perkalian ini ”meninting-balui”, artinya tidak ada yang kalah dan yang menang, sehingga akhirnya diadakan perundingan damai dengan cara: menyabung ayam. Setelah taji dibuang timbal-balik ayam telah dilepas berlaga dengan sengitnya. Masing-maisng menghimbau tuah. Tuanku Siah Rao menghimbau tuah sambil menghentakkan tongkatnya yang mana diujung tongkatnya tersebut berisi tanah dari Pagarruyung. <br />Tuah dihimbau: ”Kalau tidak ujung tanah Pagarruyung tentang ini kalahlah saya, kalau ada ujung tanah Pagarruyung tentang ini, maka menanglah saya”. Pertandingan akhinya Tuanku Siah Rao memenangkan pertandingan. Setelah menang beliau diangkat secara adat menguasai wilayah Sigindo Segerinting dan namun masyarakatnya juga memanggil beliau dengan gelar Sigindo Batinting. Batinting dalam bahasa Kerinci Kuno berarti seseorang yang tahan tinting, tahan terhadap pukulan, tahan terhadap bantingan dan segala senjata tajam dalam perkelahian tiga lawan satu ketika melawan penguasa di sekitar Jerangkang tinggi yaitu Kerenggo Bungkuk, Lemutung Hitam dan Tebun Tandang.<br />Semenjak itu Sigindo Batinting mengatur Pemerintahan di wilayah Kerinci Tinggi (wilayah Sigindo Sigarinting). Karena Jerangkang Tinggi terletak di atas bukit (dekat desa Muak dan Pondok sekarang), transportasi untuk mengatur pemerintahan cukup sulit karena sebagian dusun dan permukiman penduduk berada dipinggir sungai dan danau. Oleh sebab itu beliau memindahkan pusat pemerintahaan ke daerah pinggiran sungai yang strategis yaitu di atas sebuah pulau dipinggir Batang Merangin. Tempat ini beliau beri nama ”Pulau Sangkar”, demi untuk mendekatkan nama dengan daerah yang ditinggal beliau yaitu Batu Sangkar. Orang-orang yang telah kalah dalam pertandingan diangkat menjdai sabahat yang menguasai wilayah tertentu.<br />1. Karenggo Bungkuk, diberi kekuasaan untuk memerintah dan menguasai daerah Lubuk Paku dan diberi gelar Menggung.<br />2. Lemutung Hitam, diberi wilayah kekuasaan tetap di Jerangkang Tinggi (Muak) dan bergelar Rio.<br />3. Tebun Tandang, diberi wilayah kekuasaan berdampingan dengan wilayah Pulau Sangkar yaitu Dusun Pondok dan diberi gelar Mangku.<br />4. Sedangkan orang-orang yang ikut bersama beliau dari Selampaung Pagarruyung dianggap sebagai keluarga sendidi diberi kekuasaan disatu wilayah di daerah selatan pusat pemerintahan dengan nama yang sama dengan daerah yang ditinggalkan yaitu Dusun Selampaung.<br />Dengan adanya pembagian wilayah kekuasaan tersebut maka Sigindo Batinting memerintah dengan aman, setiap penguasa wilayah yang ditunjuk tunduk pada pemerintahan Pulau Sangkar dan selalu melaporkan setiap perkembangan pada Sigindo Batinting.<br /><br /><br />8. Restrukturisasi Kerinci Rendah<br /> (Idris Ja’far, 2003)<br />Lama kondisi di daerah Kerinci Rendah sepeninggalan kerajaan Sriwijaya berada dalam keadaan tidak menentu. Akhirnya secara alamiah dan perlahan-lahan kondisi masyarakat berangsur baik. Rakyat sudah dapat membenahi dan membangun negeri tempat tinggal. Situasi yang mulai kondusif memberikan kesempatan untuk menata kehidupan kembali secara lebih baik. Para cerdik pandai dan tokoh masyarakat mulai memikirkan upaya ke arah pengembangan negeri dan rakyatnya. Pemerintahan Negara Sigindo di Alam di Kerinci Tinggi dalam hal ini tidak mau ikut mencampuri urusan negeri-negeri Kerinci Rendah walaupun sebelumnya daerah Kerinci Rendah berada dalam suatu kesatuan pemerintahan. Raykat Kerinci Rendah diberikan kebebasan sepenuhnya dalam menata dan menentukan sendiri apa yang sebaiknya mereka lakukan. Sikap ini diambil mengingat negeri –negeri Kerinci Rendah sudah sangat lama lepas dari kesatuan Negara Sigindo Alam Kerinci. Rakyat Kerinci Rendah bisa menentukan peilihannya sendiri, apakah ingin membentuk pemerintahan sendiri atau bergabung kembali dalam kesatuan Negara Sigindo Alam Kerinci dengan menghidupkan kembali pemerintahan Sigindo di Kerinci Rendah.<br />Dalam arah yang masih tidak jelas, negeri-negeri di Kerinci Rendah secara perlahan-lahan mulai melakukan berbagai upaya untuk meroposisi ulang tata pemerintahan negeri tanpa terpengaruh oleh berbagai kemungkinan pilihan yang mungkin saja bisa terjadi di kemudian hari. Namun gambaran sistem pemerintahan negeri pada masa lalu yang pernah ada tetap menjadi bahan pertimbangan utama. Langkah awal yang dilakukan banyak negeri adalah menyatukan kelompok-kelompok kekerabatan satu keturunan darah (genealogisch) yang telah terpecah-pecah ke dalam suatu himpunan territorial genealogisch tertentu. Faktor kekerabatan genealogisch semasa kekuasaan Sriwijaya telah diabaikan, karena masyarakat digiring dalam bentuk kelompok teritorial saja. Pada hal faktor genealogisch merupakan perekat persatuan rakyat di Alam Kerinci, dan melalui hirarki genealogisch pula pemerintahan Sigindo dibangun. Untuk itu di banyak negeri di Kerinci Rendah persekutuan kekerabatan ditata kemba.<br />Dalam suasana pengembangan integritas kehidupan masyarakat, diceitakan bahwa pada waktu itu menetap pula di Kerinci Rendah seorang 8DAS) Batang Pangkalan Jambi dan DAS Batang Seringat yang keduanya bermuara memasuki DAS Batang Masumai berdiam banyak penduduk yang berasal dari dusun purba Timben, Pengantungan dan Malagan. Pada wilayah ini lalu berkembang menjadi banyak kampung. Selanjutnya di daerah ini kemudian terbentuk persekutuan masyarakat adat Alam Pangkalan Jambu. Persekutan masyarakat ini dipimpin oleh seorang yang bergelar pemangku.<br />Demikian pula halnya di sepanjang DAS Masumai dan anak-anak sungainya terdapat beberapa kampun dii Lubuk Gaung bersama istrinya. Karenggo Bungkuk Timpang Dado berperan banyak dalam penataan pemerintahan negeri pada masa itu. Mereka mempunyai tiga anak laki-laki kembar, diberi nama Setio Nyato, Setio Rajo dan Setio Beti. Setelah tumbuh dewasa lalu Setio Nyato kawin dengan gadis di Tanah Renah, Setio Rajo kawin dengan gadis di Lubuk Gaung, dan Setio Beti kawin dengan gadis di Nalo. Berkat didikan orang tuanya ketiganya juga menguasai bidang pemerintahan dan adat. Sebagai anak batino mereka kemudian lalu diangkat menjadi pemuka adat. Ketiganya juga mempunyai peran yang besar dalam penataan pemerintahan negeri di Kerinci Rendah.<br />Pembenahan tata pemerintahan negeri dilakukan mengacu pada kenyataan bahwa pertumbuhan negeri berlangsung tidak merata. Ada negeri yang makumr dan penduduknya semakin banyak, sebaliknya banyak pula negeri yang tidak berkembang. Untuk itu kampuari Pulau Saalih ketatanegaraan adat bernama Karenggo Bungkuk Timpang Dado yang berasal dari Pulau Sangkar. Menurut penuturan orang adat Kerinci Rendah dia datang dari Jambi setelah memenuhi panggilan raja Jambi. Kecerdasan dan kepribadiannya yang baik telah menimbulkan simpati dari Raja Jambi pada waktu itu. Lalu raja menikahkan dengan anak angkatnya bernama Puti Lelo Beruji. Ketika pulang dari Jambi Keranggo Bungkuk singgah di Kerinci Rendah dan kemudian dimunta untuk tinggal di sana. Dia tidak keberatan dan akhirnya menetap di Lubuk Gaung bersama istrinya. Karenggo Bungkuk Timpang Dado berperan banyak dalam penataan pemerintahan negeri pada masa itu. Mereka mempunyai tiga anak laki-laki kembar, diberi nama Setio Nyato, Setio Rajo dan Setio Beti. Setelah tumbuh dewasa lalu Setio Nyato kawin dengan gadis di Tanah Renah, Setio Rajo kawin dengan gadis di Lubuk Gaung, dan Setio Beti kawin dengan gadis di Nalo. Berkat didikan orang tuanya ketiganya juga menguasai bidang pemerintahan dan adat. Sebagai anak batino mereka kemudian lalu diangkat menjadi pemuka adat. Ketiganya juga mempunyai peran yang besar dalam penataan pemerintahan negeri di Kerinci Rendah.<br />Pembenahan tata pemerintahan negeri dilakukan mengacu pada kenyataan bahwa pertumbuhan negeri berlangsung tidak merata. Ada negeri yang makumr dan penduduknya semakin banyak, sebaliknya banyak pula negeri yang tidak berkembang. Untuk itu kampung yang berkembang perlu dinaikkan statusnya menjadi dusun, sedangkan kampung yang tidak berkembang diintegrasikan dengan dusun yang berkembang. Pada sisi lain kedudukan orang adat statusnya diperkuat, dan fungsinya diperjelas.<br />Penataan negeri pada tanah Pemangku Pangkalan Jambu dengan merubah status kampung menjadi dusun dan mengintegrasikan beberapa kampung ke dalam dusun induk.<br />Pada Tanah Pemangku Masumai dengan kondisi perkembangan negeri yang lebih baik, maka kampung yang terdapat disini statusnya sudah dapat disamakan dengan dusun. Adapun dusun yang berada dalam naungan Tanah Pemangku Alam Masumai.<br />Pembenahan berlangsung pula pada negeri yang terletak di sepanjang DAS Merangin dalam wilayah Kerinci Rendah yaitu di sekitar daerah Pulau Rengas dan Pemenang. Dalam perkembangannya kampung-kampung yang terletak disekitar kedua daerah tersebut berhasil tumbuh menjadi dusun. Dusun-dusun tersebut lalu membuat payung pemerintahan sebagaimana yang terjadi pada wilayah negeri Masumai, Pangkalan Jambu dan Tantan. Untuk dusun-dusung di sekitar negeri Pulau Rengas mereka menamakannya daerah Pamuncak Pulau Rengas dan berpusat di Pulau Rengas. Dusun yang berada dalam wilayah negeri Pamuncah Pulau Rengas antara lain: Biuku Tanjung, Kunkai, Bangko Rendah, Bangko Tinggi dan Dusun Mudo. Daerah ini juga seing disebkemudian luluh dalam kelompok masyarakat Kerinci Rendah. Sungguhpun percampuran ini tidak ngkar dan Lunang.<br />Untuk dusun-dusun di sekitar negeri Pemenang yang penduduknya berasal dari negeri Pemerab di Sungai Tenang mereka menamakannya dengan daerah Pemerap – Pemenang, mengambil nama negeri asalnya. <br /><br />9. Kerinci dan Migrasi dari Minangkabau<br />Dalam perkembangan selanjutnya, pada sekitar tahun 1343 Masehi daerah Kerinci Rendah pernah pula kedatangan migrasi dari Minangkabau. Mereka datang secara berkelompok dan umumnya terdiri dari kaum laki-laki. Mereka meninggalkan negerinya kerena tidak sudi dijajah, serta tidak menyukai pemerintahan Adityawarman dan pemindahan pusat kerajaan dari Siguntur dekat Sijunjung ke Pagarruyung. Kedatangan mereka di Kerinci Rendah tidak lain hanya untuk mencari tempat kehidupan baru dalam suasana bebas dari perasaan dijajah. Mereka datang dengan memegang prinsip sesuai dengan pepatah adat: dimana batang terguling disana cendawan tumbuh, dimana tanah dipijak disana langit dijunjung, dimana negeri dihuni disana adat dipakai.<br />Daerah yang didatangi para migrasi dari Minangkabau diantaranya, Nibung, Pangkalan Jambu, Saringat dan Ulu Tabir. Setelah itu, mereka lalu menyebar ke kampung yang terdapat disekelilingnya. Dalam perkembangannya, para migran ini berasimilasi dan bergabung dengan penduduk asli. Orang Minangkabau yang minoritas kemudian luluh dalam kelompok masyarakat Kerinci Rendah. Sungguhpun percampuran ini tidak membawa pengaruh terhadap adat istiadat setempat, namun dampak sosio kultural cukup positif terhadap kemajuan dan dinamika kehidupan masyarakat.<br /><br />10. Melayu dan Kerinci: Naskah Melayu Tertua<br /> (Uli Kozok, 2006)<br />Menyembah dan menghormati arwah lelu¬hur merupakan unsur terpenting dalam keper¬cayaan tradisional Indonesia. Tradisi tersebut tidak begitu saja hilang dengan masuknya agama baru seperti Islam atau Kristen, melainkan unsur tradisional sering dipadukan dengan agama baru sehingga terjadi sinkre¬tisme (berpadunya dua budaya agama). Keba¬nyakan masyarakat Indonesia sekarang meng¬anut agama Islam sehingga arwah leluhur tidak lagi disembah – hal mana bertentangan dengan agama Islam – tetapi masih tetap di¬hormati. Arwah leluhur dianggap dapat melin¬dungi dan memberkati keturunannya sehingga upacara yang berkaitan dengan penguburan yang dilakukan oleh kebanyakan orang Indo¬nesia lebih daripada sekedar memenuhi kewa¬jiban menurut agama Islam. Benda-benda yang pernah dimiliki oleh seorang leluhur sering dianggap sakral dan disimpan sebagai pusaka. Hal ini terutama penting bagi kaum elit tradisional seperti para depati di Kerinci. Pusaka Kerinci lazim dilihat sebagai wujud nyata kebesaran nenek moyang dan menjadi bukti basuk di dalam koleksi pusaka, dan tidak ada koleksi pusaka yang terdiri dari naskah meluka. Sebagapusaka yang disimpan sangat beragam. Seba¬gian pusaka menjadi bukti kekuasaan para leluhur seperti panji-panji, tombak, keris, dan perisai sementara pusaka lain melambangkan kekayaan dan wibawa leluhur seperti keramik antik, kain, atau naskah Alquran. Di samping itu termasuk beragam azimat dan malahan juga benda yang relatif modern, seperti kli¬ping dari surat kabar berbahasa Perancis, atau sebuah baju kaos dengan tulisan bahasa Inggris.<br />Kalau memang demikian mengapa naskah Tanjung Tanah dapat bertahan selama hampir tujuh ratus tahun di sebuah kampung kecil di pedalaman Sumatra?<br />Sebagaimana sudah disebut di atas, barang pusaka Kerinci selalu disimpan di loteng rumah, dan jarang sekali diturunkan. Penyim-panannya juga tidak sembarangan melainkan dilakukan dengan sangat seksama. Semua ba- rang pusaka pada umumnya dibalut dengan kain dan disimpan un jarang diturunkan sehingga terlindung dari si¬nar matahari, dan hanya dipamerkan pada acara penguburan ketua adat (Kahlenberg, 2003:86).<br />Masyarakat Kerinci sampai sekarang masih teguh berpegangan pada adat leluhur mereka dan benda-benda pusaka dianggap memiliki nilai yang luar biasa yang dapat melindungi mereka dari ancaman bahaya. Bila ada benda pusaka yang hilang akibatnya bisa fatal bukan saja untuk pemiliknya tetapi untuk seluruh masyarakatnya. Oleh sebab itulah maka sam¬pai sekarang maslu. Jenis pusaka yang disimpan sangat beragam. Seba¬gian pusaka menjadi bukti kekuasaan para leluhur seperti panji-panji, tombak, keris, dan perisai sementara pusaka lain melambangkan kekayaan dan wibawa leluhur seperti keramik antik, kain, atau naskah Alquran. Di samping itu termasuk beragam azimat dan malahan juga benda yang relatif modern, seperti kli¬ping dari surat kabar berbahasa Perancis, atau sebuah baju kaos dengan tulisan bahasa Inggris.<br />Kalau memang demikian mengapa naskah Tanjung Tanah dapat bertahan selama hampir tujuh ratus tahun di sebuah kampung kecil di pedalaman Sumatra?<br />Sebagaimana sudah disebut di atas, barang pusaka Kerinci selalu disimpan di loteng rumah, dan jarang sekali diturunkan. Penyim-panannya juga tidak sembarangan melainkan dilakukan dengan sangat seksama. Semua ba- rang pusaka pada umumnya dibalut dengan kain dan disimpan di sebuah peti kayu yang sangat kokoh. Bila disimpan dengan cara itu maka pusaka itu terlindung dari sinar matahari yang bersifat merusak. Pusaka yang dibalut kain dan disimpan dalam peti juga terlindungdari perubahan suhu secara mendadak yang juga bersifat merusak. Memang suhu di siang hari menjadi sangat panas di loteng rumah, akan tetapi suhu panas sendiri sifatnya tidak begitu merusak dibandingkan perubahan suhu yang terjadi secara mendadak. Faktor yang paling mendukung dari segi pelestarian ialah bahwa kelembaban udara di loteng relatif rendah. Selama atap tidak bocor barang pusaka yang disimpan di loteng dapat saja bertahan untuk sangat lama. Selain itu keada¬an alam Kerinci juga mendukung. Hawa di Kerinci sebetulnya tidak patut disebut sebagai iklim tropis karena letaknya Kerinci di pegunungan. Tanjung Tanah terletak 800m di atas permukaan laut dengan suhu tertinggi di siang hari sekitar rata-rata 27 derajat dan suhu terendah di malam hari rata-rata 20 derajat. Dibandingkan dengan daerah pesisir curah hujan juga lebih rendah.<br />Bila kita tanya mengapa pusaka disimpan di loteng maka jawabannya karena lotenglah tempat yang paling terhormat di rumah, dan juga karena alasan keamanan. Akan tetapi da - pat kita duga bahwa sebetulnya sudah ada pengetahuan tentang tempat mana yang paling sesuai dari segi pelestarian. Soalnya bukan di Kerinci saja pusaka disimpan di loteng. Pusaka di Kerinci itu pun jarang diturunkan sehingga terlindung dari si¬nar matahari, dan hanya dipamerkan pada acara penguburan ketua adat (Kahlenberg, 2003:86).<br />Masyarakat Kerinci sampai sekarang masih teguh berpegangan pada adat leluhur mereka dan benda-benda pusaka dianggap memiliki nilai yang luar biasa yang dapat melindungi mereka dari ancaman bahaya. Bila ada benda pusaka yang hilang akibatnya bisa fatal bukan saja untuk pemil jelas kuno digu¬nakan dalam kitab undang-undang Tanjung Tanah (no. 160) serta daih banyak pusaka di Kerinci yang selama berabad-abad tersimpan dengan aman.<br />Selain faktor mendukung yang sudah disebut di atas masih ada faktor lain yang barang¬kali tidak kalah penting. Naskah Tanjung Tanah ditulis di daluang, dan kertas kulit kayu itu dapat bertahan lama asal tidak dibubuhi kanji. Jika naskah daluang tidak diolesi kanji maka naskah itu memiliki sifat pelestarian yang sangat mendukung dan dapat bertahan selama ratusan tahun (Dr. Tim Behrend, korespondensi pribadi, 24 Desember 2003).<br /><br />Aksara dan Media Tulis<br />Di dalam karya Tambo Kerintji Voorhoeve memuat transliterasi 261 naskah. Tiga naskah di antaranya, yaitu nomor 259, 260, dan 261, pada saat itu disimpan di Museum Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (cikal bakal Museum Nasio¬nal), dan kini tersimpan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Ke-258 naskah yang lain berasal dari 83 koleksi naskah/pusa¬ka di Kerinci. Hampir semua naskah Kerinci ditulis pada lima jenis media, yakni bambu, kulit kayu, daun lontar, tanduk, dan kertas dengan meng - gunakan tiga jenis aksara, yaitu surat incung, jawi, dan sejenis aksara yang oleh Voorhoeve disebut “Jawa Kuno”. <br />Empat naskah ditulis pada media yang tidak lazim ditemukan di Kerinci, yaitu nas¬kah Tanjung Tanah yang ditulis di daluang (TK 214), silsilah depati Saliman yang ditulis di tulang (TK 119), sebuah teks berhuruf jawi yang ditulis dengan tinta di kulit (TK 178), dan sebuah teks yang sangat pendek, dan tidak jelas isinya, yang ditulis di “tapak gajah” (TK 191). Tapak Gajah (Merremia [= Convolvulus] nymphaeifolia Hall.f.) merupakan sebuah tumbuhan yang digunakan sebagai obat, tetapi tidak jelas bagaimana “tapak gajah” tersebut dapat digunakan sebagai media tulis. Sayang naskah tersebut belum sempat dilihat oleh penulis. Daluang merupa¬kan media tulis yang lazim dipakai di Jawa dan Madura, sementara naskah tulang sering ditemukan di daerah Batak, tetapi kulit (apa¬kah itu kulit lembu, kambing atau kerbau tidak disebut) sangat jarang digunakan sebagai bahan tulis.<br />Aksara yang paling lazim digunakan ada¬lah surat incung serta jawi. Naskah lontar dan daluang ditulis dengan aksara “Jawa Lama”. Akan tetapi, pada sebuah artikel yang ditulis Voorhoeve di kemudian hari beliau sempat meralat asumsi tersebut:<br />“Ternyata saya salah dalam menyebut se¬mua naskah beraksara Jawa di Kerinci seba¬gai Jawa Kuna. Schrieke telah mencatat di tahun 1929 bahwa aksara Jawa yang digu¬nakan di Kerinci terdiri atas duajenis aksara yang berbeda. Aksara yangakan huruf jawi, melainkan memakai aksara pasca-Palawa yang masih serumpun degan aksara lam naskah yang berasal dari Hiang (no. 136). Kedua-duanya jelas dari zaman pra-Islam, dan aksara yang digunakan barangkali merupakan aksara yang berdiri di antara tulisan Jawa Kuna dan aksara rèncong.” (Voorhoeve, 1970)<br />Voorhoeve ternyata mengikuti kebiasaan pada masa itu yang cenderung menganggap semua aksara yang mirip dengan aksara Jawa Kuna sebagai aksara Jawa terlepas dari tempat asalnya. Akan tetapi menurut De Casparis terdapat kemungkinan bahwa aksara Jawa Kuna sebetulnya berasal dari Sumatra karena sebagian besar prasasti-prasasti yang tertua di¬temukan di Sumatra. Oleh karena sebab itu, dan karena kaitan antara aksara Jawa Kuna dengan aksara Sumatra Lama belum diketahui dengan sempurna, maka De Casparis (1975:57) memilih istilah aksara Malayu, yang khususnya ia gunakan untuk aksara pasca-Palawa yang terdapat di prasasti¬prasasti Adityawarman.<br />Dalam artikel yang dikutip di atas, Voorhoeve juga mengakui bahwa beberapa naskah yang semula ia sebut sebagai Jawa Kuna ternyata lebih muda:<br />“Surat lontar yang dikirim oleh pihak istana Jambi kepada para depati di Kerinci meru¬pakan contoh yang sangatjarang ditemukan. Surat tersebut ditulis pada daun lontar yang dipotong sehingga menjadi panjang tetapi kecil bidangnya. Ketika masih lentur daun lontar tersebut digulung dan ditutup dengan sebuah cap yang terbuat dari tanah liat. [...] DR. Poerbatjaraka berhasil untuk membaca beberapa kalimat yang ditulis dengan aksara Jawa dalam bahasa Jawa campur bahasa Melayu. [...] Menurut DR. Th. Pigeaud ak¬sara tersebut berasal dari sekitar abad ke-1 8 atau sesudahnya. Piagam yang berhuruf jawi juga ditulis dalam periode yang sama.” (Voorhoeve, 1970:388-389)<br />Voorhoeve tidak menyebut naskah lontar mana yang dimaksud, tetapi agaknya ia meru¬juk pada naskah TK 217-222: "Enam helai surat bertulisan Jawa Lama pada daun lontar, ada yang berbahasa Melayu ada yang berba¬hasa Jawa. Salinannya belum siap (lagi diperiksa oleh tuan Dr. Poerbatjarakan [sic] di Batawi)” .<br />Sebagaimana tampak dari tabel di atas (yang tidak termasuk naskah Tanjung Tanah) terdapat persesuaian yang nyata antara aksara dan media tulis. Semua nakah bambu dan hampir semua naskah tanduk menggunakan surat incung sementara kebanyakan naskah kulit kayu dan kertas berhuruf jawi, dan nas - kah lontar umumnya beraksara Jawa.<br />Korelasi antara media dan teks juga men ja¬di ciri-ciri khas dalam tradisi pernaskahan Batak (Kozok, 2000a) dan persesuaian terse-but ternyata bukan kebetulan.<br /><br />Naskah Tanjung Tanah<br />Benda dengan kitab undang-undang lainnya, naskah Tanjung Tanah tidak ditulis dengan menggunrbahasa Melayu menyebut bahwa undang-undang disusun atas perintah maharaja Dharmasraya, Jawa Kuna. Aksaranya masih belum diteliti dengan sempurna, tetapi untuk sementara dapat disimpulkan bahwa aksara yang paling mirip adalah aksara yang diguna¬kan pada prasasti-prasasti Adityawarman yang bertuliskan aksara Malayu – istilah tersebut merupakan ciptaan De Casparis. Naskah Tanjung Tanah juga berbeda karena tidak ditulis pada kertas melainkan pada kertas daluang sementara naskah Melayu yang hing¬ga kini diketahui hampir semuanya menggu¬nakan kertas, baik kertas Arab maupun kertas Eropa.<br />Pada umumnya teks undang-undang menunjukkan pengaruh Islam, dan hampir selalu dibuka dengan formula Bismillahi ar-¬Rahmani ar-Rahim sedangkan naskah Tanjung Tanah dimulai dengan beberapa kalimat berbahasa Sansekerta yang juga mencantum¬kan tahun penulisan yang sayang sekali tidak terbaca. Naskah Tanjung Tanah juga ditutup dengan beberapa kalimat berbahasa Sansekerta yang menyebut nama raja, ialah Paduka Ari Maharaja Dharmasraya, dan juga bahwa kitab undang-undang dimaksud untuk seluruh tanah Kerinci (saisi bumi Kurinci).<br />Selain bahasa Sansekerta yang terbatas pada awal dan akhir, naskah Tanjung Tanah seluruhnya ditulis dalam bahasa Melayu. Mengingat teksnya berasal dari abad ke-14 maka bahasa yang digunakan sudah jauh berbeda dengan bahasa Melayu sekarang, dan hanya sebagian yang dapat dimengerti oleh seorang penutur bahasa Melayu zaman kini karena selama masa 600 tahun tentulah bahasa Melayu mengalami perubahan baik dari segi kosa kata maupun dari sintaks kalimat. Sifat kekunoan juga tam¬pak pada bentuk mamunuh (membunuh) yang konsonan awal luluh bila ditambah awalan mem-. Kekunoan bahasa juga nyata pada bilangan 8 yang ditulis dua lapan. <br /><br /><br />Isi Naskah Tanjung Tanah<br />Naskah Tanjung Tanah telah diterjemah¬kan dalam sebuah upaya terpadu sejumlah pakar bahasa Melayu, bahasa Sansekerta , dan bahasa Jawa Kuna yang berkumpul di kampus Universitas Indonesia pada tanggal 12-18 Desember 2004 dalam rangka lokakarya yang diadakan oleh Yayasan Naskah Nusantara.<br />Bagian teks yang berbahasa Sansekerta diterjemahkan oleh I Kuntara Wiryamartana dan Thomas Hunter. Disebut bahwa naskah ini merupakan “anugerah titah Sanghyang Kemitan kepada penguasa di Bumi Kerinci” dengan peringatan agar penduduknya ”jangan tidak taat kepada dipatinya masing-masing.” Tidak diketahui siapa yang dimaksud dengan Sanghyang Kemitan, namun tampaknya bahwa yang dimaksud dengan gelar tersebut adalah raja Malayu yang dianggap sebagai inkarnasi (penjelmaan) dari dewa. Kata pembukaan dalam bahasa Sansekerta sangat pendek, dan disusul teks undang-undang yang berbahasa Melayu yang isinya diuraikan di bawah.<br />Alinea terakhir teks beh Minangkabau? Mungkin saja kitab undang-undang ini diresmikan di Suruaso, ibu kota kedan bahwa “para pembesar Bumi Kerinci [...] memberi perhatian sepenuhnya.” Semua yang terjadi dalam sidang besar “ditulis dengan lengkap oleh Kuja Ali, Dipati, di balai kerapatan, di Palimbang, di hadapan paduka maharaja Dharmasraya.”<br />Besar kemungkinan bahwa yang dimaskud dengan palimbang bukan kota Palembang (yang di dahulu kala juga disebut Palimbang), melainkan “Tanah Emas” atau “Daerah Hilir.” Kedua kemungkinan tersebut akan diuraikan di sini.<br />Dasar kata palimbang ialah limbang, yang berarti “mencuci”, antara lain juga “mencuci emas”:<br />“The name Palembang is perhaps derived from the word limbang. This means panning for alluvial gold and, according to Van Rijn van Alkemade, during the latter half of the nineteenth century people still dived for gold in the Musi. However, the quantities found did not amount to much (Van Rijn van Alkemade 1883: 66).” (Nas, 1995)<br />Dengan demikian, yang dimaksud dengan palimbang ialah kawasan penghasil emas. Pertanyaan yang timbul di sini, daerah mana yang dimaksud? Daerah penghasil emas utama ialah Kerinci dan daerah Minangkabau. Apakah sidang yang menghasilkan kitab undang-undang Tanjung Tanah bertemu di daerah Minangkabau? Mungkin saja kitab undang-undang ini diresmikan di Suruaso, ibu kota kerajaan Malayu pada saat itu, dan bahwa sidang tersebut dihadiri oleh maharaja Dharmasraya selaku “gubernur” yang meme¬rintah kawasan hulu Batang Hari termasuk barangkali Kerinci.<br />Di samping interpretasi yang tadi, ada pula kemungkinan kedua, ialah bahwa palimbang berarti “tanah rendah” atau “ilir”.<br />Menurut Sejarah Melayu nama asli Palem¬bang ialah Perlembang:<br />“Kata sahibu'l-hikayat, ada sabuah negeri di tanah Andelas, Perlembang namanya. Demang Lebar Daun nama rajanya, asalnya daripada anak cucu Raja Sulan, Muara Tatang nama sungainya. Ada pun Negeri Perlembang itu, Palembang yang ada sekarang inilah. Maka di hulu Muara Tatang itu ada sabuah sungai, Melayu namanya. Di dalam sungai itu ada satu bukit yang bernama Bukit Siguntang, di hulunya Gunong Mahameru, di daratnya ada satu padang yang bernama padang Penjaringan” (Shellabear, 1967:20).<br />Limbang, selain “mencuci” juga memiliki arti “rendah” (dari tanah) (Wilkinson, 1959:693). Menurut Wilkinson yang merujuk pada kutipan Sejarah Melayu di atas, perlimbang berarti “tanah rendah” sementara “Mahameru” adalah “tanah tinggi”.<br />Interpretasi tersebut juga masuk akal karena di naskah Tanjung Tanah kita mene¬mukan palimbang di samping Kurinci, yang berarti “tanah tinggi”. Dengan demikian “di waseban, di Palimbang” dapat berarti “di balai kerapatan di tanah rendah” (arti waseban mungkin sama dengan paseban dalam bahasa Jawa yang berarti “tempat pertemuan”) sehingga palimbang merujuk pada kawasan ilir.<br />Akan tetapi kawasan ilir mana yang dimak¬sud? Hal ini tidak dapat dijawab dengan pasti, tetapi ada tiga kemungkinan. Pertama, yang dimaksud dengan palimbang adalah Dhar¬masraya sendiri, kedua, palimbang merujuk pada daerah hilir Batanghari, dan dengan demikian tempat yang dimaksud adalah Muara Jambi yang pernah menjadi ibu kota Malayu dan mungkin pada saat penulisan kitab undang-undang Tanjung Tanah masih memainkan peranan penting sebagai salah satu kota administrasi dan pusat perdagangan kerajaan Malayu. Kemungkinan ketiga, ialah yang dimaskud dengan palimbang memang kota Palembang. Kebanyakan ahli sejarah cenderung menganggap bahwa selama abad ke-14 Palembang, bekas ibu kota Sriwijaya, telah kehilangan pamor, dan disingkirkan oleh kerajaan Malayu sehingga interpretasi yang ketiga ini agak sulit diterima.<br />Kozok (2006) cenderung untuk menganggap bahwa tempat yang dimaksud dengan palimbang tidak lain daripada Dharmasraya karena tidak ada alasan mengapa balai kerapatan yang disebut terletak di tempat lain daripada di Dharmasraya sendiri.<br />Di samping ketiga interpretasi di atas masih ada pula interpretasi satu lagi, yaitu bahwa keharuman nama Palembang sebagai salah satu tempat yang paling berjaya selama sejarah Sumatra, masih dibawa-bawa dan digunakan sebagai epithet ibu kota di kemu¬dian hari.<br />Alinea terakhir teks undang-undang disusul oleh kata penutup yang, sebagaimana halnya dengan kata pembuka, juga ditulis dalam bahasa Sansekerta. Kata penutup diawali dengan persembahan kepada Sang Dewa Suci ialah sang raja yang disusul dengan sebuah seloka (puisi) yang memuja para dipati sebagai “sang pembela [negeri] terhadap aneka musuh, yang berkata tegas, pemimpin para kesatria.”<br />Selanjutnya, arti kata-kata yang digunakan dalam seloka dipati masih dijelaskan secara terperinci. Adanya daftar kata seperti itu merupakan kebiasaan para pakar bahasa Sanskerta di Nusantara. Dengan demikian penulis naskah, Dipati Kuja Ali, menunjukkan kemahirannya karena ternyata ia memahami konvensi-konvensi penulisan Sansekerta yang berlaku pada zamannya. Daftar kata tersebut juga sekaligus menekankan sekali lagi kedu¬dukan terhormat para dipati yang di sini dise¬but sebagai “yang unggul.”<br />Ternyata enam ratus lima puluh tahun yang lalu Kerinci sudah memiliki kitab undang¬undang yang komprehensif. Bahwa kitab undang-undang tersebut ditetapkan di Dharmasraya menunjukkan bahwa Kerinci pada saat itu menjadi bagian kerajaan Malayu Adityawarman. Hal tersebut juga menjadi jelas dari tingkatan gelar para penguasa. Penguasa tertinggi di dalam kerajaan Malayu menyandang gelar maharajadhiraja yang, setahu kita, hanya digunakan oleh Akarendra¬warman dan Adityawarman yang berkuasa di ibu kota Malayu di Suruaso. Penguasa terting¬gi di Dharmasraya memegang gelar sebagai maharaja, artinya dia masih mengakui raja yang lebih tinggi, yaitu raja Malayu di Suru¬aso. Sedangkan penguasa tertinggi di Kerinci hanya menyandang gelar sebagai raja sehing¬ga dapat disimpulkan bahwa raja tersebut tun¬duk pada sang maharaja di Dharmasraya.<br />Bagaimana bentuk ‘kerajaan’ Kerinci tidak dapat dipastikan, tetapi terdapat kemungkinan bahwa sang raja yang disebut itu merupakan seorang dari ilir yang mewakili kepentingan Malayu-Jambi di Kerinci. Namun Ja’far (2003), menerangkan bahwa pada abad ke 6 sampai 13 bentuk pemerintahan yang ada di Kerinci adalah Pemerintahan Negeri Sigindo. Sedangkan pemerintahan Kerinci mulai abad ke 14 dikenal dengan nama Pemerintahan Depati IV Alam Kerinci. Mungkin itu pula sebabnya bahwa penulis Naskah Tanjung Tanah bergelar depati, yaitu Dipati Kuya Ali. Salah satu kelembagaan depati dari kerajaan Depati IV Alam Kerinci adalah Depati Atur Bumi yang melingkupi wilayah Hyang dan sekitarnya termauk daerah Tanjung Tanah. Depati Atur Bumi dalam pemerintahan semasa itu berfungsi sebagai ‘menteri dalam negeri’-nya Kerajaan Depati IV Alam Kerinci. Mungkin saja Depati Kuya Ali adalah sekretaris (juru catat dan simpan) dari Depati Atur Bumi.<br />Hubungan Kerinci dengan pusat kerajaan pada saat itu kelihatan sangat erat, dan hal itu tidak mengherankan bila mengingat bahwa bagi kerajaan Malayu, Kerinci merupakan sebuah daerah yang penting karena sumber daya alam yang dikandungnya. Dari kitab undang-undang Tanjung Tanah tampak bahwa kerajaan pusat di Dharmasraya sangat meng¬hormati para dipati di Kerinci dan berupaya untuk menetapkan dasar hukum yang memungkinkan adanya hubungan yang saling bermanfaat bagi kedua belah pihak.<br />Menyimak naskah Tanjung Tanah timbul kesan bahwa di abad ke-14 penduduk Kerinci lebih rela menerima raja di ilir sebagai tuannya karena kedua belah pihak diuntung¬kan dari hubungan yang ada yang berazaskan kepastian hukum. Selain itu, kerajaan Malayu di abad ke-14 pasti dianggap lebih berwibawa karena Malayu pada saat itu berada di tengah¬ tengah kejayaannya, dan dapat menikmati kekayaan yang berlimpah. Kekayaan itu tentu berasal dari sumber daya alam, dan pada abad ke-14 hasil pertambangan, hasil hutan, dan hasil pertanian menjadi sumber kekayaan utama.<br />Akan tetapi adanya sumber daya alam belum cukup agar sebuah negeri menjadi makmur dan sentosa bila tidak ada kepastian hukum.<br />Dilihat dari sudut pandang itu maka dapat disimpulkan bahwa – secara relatif – Kerinci mungkin lebih makmur di abad ke-14 daripada di abad-abad sesudahnya, perlu kiranya direnungkan apakah kepastian hukum yang ada sudah cukup untuk menjamin bahwa kekayaan alam dieksplorasi sedemi¬kian sehingga “saisi bumi Kurinci si lunjur Kurinci” dapat memanfaatkan kekayaan sum¬ber daya alamnya secara maksimal.<br /><br />Aksara Naskah Tanjung Tanah<br />Teks undang-undang ditulis dengan sejenis aksara pasca-Palawa yang mirip dengan aksara Malayu zaman Adityawarman. Aksara Malayu merupakan turunan dari aksara Palawa yang berasal dari India Selatan, dan digunakan di berbagai tempat di Nusantara. Dari zaman ke zaman aksara Palawa berubah bentuknya sehingga menjadi aksara Nusantara yang pertama yang, antara lain, digunakan dalam prasasti-prasasti Srivijaya yang kebanyakan berasal dari abad ketujuh. Karena jumlah prasasti di Sumatra dan juga di kawasan berbahasa Melayu sangat sedikit maka tidak jelas bagaimana sejarah perkem-bangan aksara Sumatra di antara zaman Srivijaya sampai pada prasasti Adityawarman di abad ke-14. Secara paralel aksara pasca- Palawa juga berkembang di Jawa, Sunda, Madura, dan Bali sehingga pada abad ke- 16 terdapat berbagai ragam aksara pasca-Palawa, yang, antara lain, mencakup aksara yang digu- nakan di Majapahit (Jawa), Pajajaran (Sunda), dan di dalam kerajaan Malayu di zaman Adi¬tyavarman. Pada tulisan yang digunakan di ketiga daerah ini masih tampak warisan Palawa sehingga Dr. Tim Behrend (Universitas Auckland) menganjurkan istilah “late Pallavo-Nusantaric”. Aksara Palawa- Nusantara ini selanjutnya mengalami per¬ubahan yang cukup berarti sehingga timbullah berbagai ragam tulisan di Nusantara yang hubungan satu dengan yang lain belum diteliti secara sempurna. Aksara ini mencakup aksara Jawa dan Bali, serta beberapa ragam aksara di Sumatra (surat Batak dan surat ulu), Sulawesi, dan di Filipina yang mengalami perubahan yang sangat radikal sehingga hubu¬ngannya dengan aksara induknya tidak lagi jelas.<br />Prasasti-prasasti Akarendrawarman dan Adityawarman, dan demikian juga naskah Tanjung Tanah, menggunakan aksara Malayu. Karena kebanyakan prasasti ditemukan di daerah Minangkabau, maka tidak salah kalau aksara tersebut disebut sebagai aksara asli Minangkabau-Malayu. Aksara Malayu ini masih jelas termasuk kelompok aksara pasca - Palawa yang berkembang di Nusantara mulai dari aksara Sriwijaya hingga pada aksara Jawa Kuno. Dengan demikian aksara tersebut jelas termasuk dalam keluarga tulisan pasca-Pala¬wa, tetapi berbeda dengan aksara yang diang¬gap lebih khas Sumatra seperti surat ulu atau surat Batak.<br />Tentu saja hal ini tidak menjawab perta¬nyaan mengapa naskah Tanjung Tanah ditulis di daluang dan tidak di bambu, atau di tanduk kerbau yang merupakan bahan tulis yang paling umum di Kerinci. Hal tersebut tentu berkaitan dengan pengaruh Jawa yang sudah sejak abad ke-13 atau malahan sebelumnya merembes ke Sumatra bagian selatan. Aditya-warman yang pernah menjadi mantri praudhataro di istana Majapahit pasti sangat terpengaruh dengan budaya Jawa dan ingin menerapkan gaya kerajaan seperti di Jawa di dalam kerajaannya. Hal ini tentu tidak berarti bahwa kerajaan Malayu semata-mata mencon¬toh Majapahit, tetapi memilih unsur-unsur yang dianggapnya sesuai dan yang dapat memperkuat kedudukan sang Maharajadhiraja sebagai penguasa mutlak. Kalau menulis di bambu dan tanduk kerbau sudah menjadi tradisi kerakyatan dengan menggunakan aksara setempat seperti aksara Kerinci maka sang raja dan para pegawai tinggi merasa perlu mem-bedakan dirinya dari rakyat biasa dengan menggunakan aksara dan bahan tulis yang berbeda.<br /><br />Analisis Radiokarbon<br />Untuk membuktikan kebenaran asumsi Voorhoeve bahwa naskah Tanjung Tanah memang berasal dari zaman sebelum agama Islam tersebar di pelosok-pelosok alam Melayu di sekitar Bukit Barisan, maka sebuah sampel naskah ditentukan usianya dencan cara pengukuran umur dengan metode radiokar¬bon. Sampel kecil yang dengan izin pemilik naskah Tanjung Tanah diambil dari salah satu halaman yang kosong (tidak mengandung tulisan), dikirim ke Rafter Radiocarbon Labo¬ratory di Wellington, New Zealand untuk di¬analisis dengan menggunakan spektrometer pemercepat masa. Accelerator mass spectrometry (AMS) merupakan metode yang relatif baru yang pertama kali diperkenalkan pada tahun 1977.<br />Analisis sampel naskah Tanjung Tanah yang diadakan di Laboratorium Rafter meng¬hasilkan umur radiokarbon 553 ± 40 tahun before present (BP) yang sama dengan tahun 1397 M ± 40 tahun (1357 – 1437 M) karena tahun 1950 dianggap sebagai ‘present’ Ñ demikianlah memang kovensi yang berlaku. Akan tetapi umur yang ‘konvensional” terse-but tidak persis sama dengan umur yang sebenarnya karena waktu paruh karbon-14 adalah 5.730 tahun dan bukan 5.568 tahun sebagaimana dianggap semula. Waktu paruh ialah waktu yang dibutuhkan untuk meluruh¬kan setengah dari inti atom. Artinya apabila proses peluruhan dimulai pada satu kilogram material radioaktif, material tersebut akan luruh menjadi setengah kilogram dari unsur tersebut. Selanjutnya setengah kilogram mate¬rial tersebut akan menjadi setengahnya lagi setelah waktu paruhnya dan seterusnya.<br />Karbon-14 dihasilkan terus menerus di bagian atas atmosfer akibat tembakan sinar kosmis (partikel nuklir energi tinggi) di alam, sehingga semua organism mengandung kar¬bon-14. Kadar kandungan karbon-14 juga tergantung pada intensitas pancaran yang mengalami perubahan di sepanjang masa. Kedua faktor tersebut perlu diperhatikan untuk penanggalan yang tepat, dan penyesuaian dilakukan dengan menggunakan kalibrasi INTCAL98 (Stuiver et al., 1998). Setelah diadakan kalibrasi maka terdapat dua kemungkinan tentang umur naskah Tanjung Tanah: Dengan probabilitas 95,4% naskah Tanjung tanah jatuh pada kurun waktu 1304 dan 1370 M (44,3%), atau antara tahun 1380 dan 1436 M (5 1,7%). Persentase yang di kurung adalah distribusi probabilitas yang untuk kedua kurun waktu hampir sama sehingga kita harus menerima kenyataan bahwa penanggalan tidak dapat diadakan dengan sangat tepat. Namun demikian jelas bahwa pohon yang digunakan untuk menghasilkan kertas daluang ditebang antara tahun 1304 dan 1436 Masehi.<br />Dapat disimpulkan bahwa naskah Tanjung Tanah ditulis selama abad ke-14 atau pada awal abad ke-15. Bila hasil analisis karbon-14 dikaitkan dengan data-data sejarah sebagai¬mana dilakukan di atas, maka kemungkinan besar bahwa naskah Tanjung Tanah ditulis pada paruh kedua abad ke-14.<br />Kenyataan bahwa tidak pernah ditemukan naskah Melayu yang berasal dari zaman pra¬Islam malahan diinterpretasikan oleh sebagian pakar sebagai petunjuk bahwa – lain dengan orang Jawa atau orang Bali misalnya – orang Melayu tidak pernah memiliki tradisi pernaskahan pra-Islam dengan menggunakan daun lontar, buluh, atau kulit kayu sebagai media tulis.*** (bersambung)<br /><br />Catatan: Mohon Masukan agar Lembaran Sejarah Jambi semakin lengkap dan terima kasih.Prof. Aulia Tasman, Ph.Dhttp://www.blogger.com/profile/03879010985712892173noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-2758280145952467066.post-65027831324708590862010-01-17T15:15:00.001-08:002010-01-17T15:15:56.987-08:00PLTP Lempur - KerinciPERTAMINA EKSPOSE PEMBANGUNAN PLTP KERINCI <br />Written by Rollit Saturday, 09 January 2010 06:57 <br /> <br />PT Pertamina melaksanakan ekspose terakhir pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) atau geothermal di daerah Lempur, Kecamatan Gunung Raya, Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi dengan kapasitas 55 megawatt (MW). <br /><br />Jambi, 8/1 (Antara/FINROLL Automotive) - PT Pertamina melaksanakan ekspose terakhir pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) atau geothermal di daerah Lempur, Kecamatan Gunung Raya, Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi dengan kapasitas 55 megawatt (MW). <br /><br />Ekspose terakhir ini sebagai langkah awal akan dilaksanakan pembangunan infrastruktur seperti jalan menuju arah lokasi pembangunan PLTP dan untuk mendapatkan izin prinsip dari Pemkab Kerinci, kata Wakil Direksi PT Pertamina Adi Atma didampingi Pelaksana Lapangan Eben di Jambi, Jumat. <br /><br />"Kita berharap setelah ekpose terakhir ini paling tidak satu minggu kemudian izin sudah kita miliki, sehingga bisa dilaksanakan pembangunan infrastruktur jalan menuju lokasi pembangunan PLTP atau Geothermal itu," katanya. <br /><br />Eben menjelaskan, infrastruktur jalan menuju lokasi pembangunan PLTP itu diperkirakan panjangnya sembilan KM dari jalan raya Lempur, dan lahan atau lokasi pembangunan PLTP yang sudah diserahkan oleh masyarakat setempat kepada PT Pertamina sekitar 30 hektare. <br /><br />Dalam ekpose ini, pihaknya juga memaparkan keunggulan daya saing dari energi geothermal di antaranya terbuka dan berkelanjutan, gas emisi sangat rendah dan potensi mendapatkan karbon, pemanfaatan lahan pengembangan sempit, memungkinkan sebagai energi pedesaan atau terpencil, mendorong pertumbuhan perekonomian daerah, tidak menimbulkan limbah cair/ramah lingkungan dan penghematan pemakaian BBM (diversifikasi energi). <br /><br />Belum lama ini pihaknya juga telah mengajak para Depati Nenik Mamak (tokoh masyarakat) Lempur untuk melihat langsung PLTP di Kamojang Garut, Jawa Barat. <br /><br />Masyarakat menyaksikan dampak positif yang ditimbulkan dengan dibangunnya PLTP atau geothermal ini. Di Kamojang pihaknya membantu usaha kulit domba, akar wangi, sutera dan termasuk jalan. <br /><br />Di Lempur nantinya juga seperti itu, PT Pertamina akan mendatangkan pakar dari IPB untuk meneliti apa yang cocok menjadi usaha masyarakat setempat. <br /><br />Camat Gunung Raya, Kerinci, Bazar Ibrahim menyampaikan permintaan masyarakat setempat kepada pemerintah daerah untuk tidak menghambat jalannya pembangunan PLTP ini. <br /><br />"Masyarakat minta agar PLTP segera dibangun dan Pemkab tidak mempersulit urusan izin birokrasinya," kata Bazar Ibrahim. <br /><br />Asisten Pemkab Kerinci Drs Damhar meminta kepada PT Pertamina tetap melanjutkan pekerjaannya, sebab selama ini Pemkab Kerinci sering diiming-imingi pihak luar yang akan berinvestasi, terutama dalam hal pembangunan pembangkit listrik tenaga air. <br /><br />"Pemkab Kerinci berharap kepada PT Pertamina untuk membuktikan pekerjaannya dan menyangkut izin akan segera diselesaikan," tambahnya. (T.M037)Prof. Aulia Tasman, Ph.Dhttp://www.blogger.com/profile/03879010985712892173noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-2758280145952467066.post-39279438497550770092009-08-20T20:11:00.000-07:002009-08-20T20:14:37.764-07:00Ruwetnya Pengurusan SIUP + TDP:<br />Saran Untuk Pemerintah Kota/Kabupaten <br /><br />Oleh. DR. Aulia Tasman, SE, M.Sc <br /><br />Pemerintah Daerah berkewajiban sekali dalam menata adminstrasi pemerintahan agar pelayanan prima yang selalu didengungkan untuk mencapai pemerintah yang efektif dan efisien dalam menata pembangunan dan kehidupan bermasyarakat, namun sering sekali kebijakan yang diambil sangat bias dengan kenyataan. Kemudahan yang seharusnya diberikan aparat pemerintah sebagai abdi negara dan masyarakat kadang kala menjadi beban yang terlalu berat bagi masyarakat untuk mengikutinya. Kalau terjadi ketidakcocokan antara yang diharapkan dengan kenyataan sering pula pihak masyarakat yang dipersalahkan padahal ‘membangkangnya’ masyarakat terhadap aturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah disebabkan oleh kelemahan dari sistem pemerintahan itu sendiri. Rantai birokrasi yang panjang, biaya pengurusan yang tidak jelas dan tidak transparan, waktu pengurusan yang cukup lama, dan tumpang tindih kepengurusan izin (misalnya) menyebabkan sebagian besar masyarakat enggan berhubungan dengan pemerintah kecuali kalau sudah sangat terpaksa.<br />Permasalahan yang sedang hangat-hangatnya dibicarakan oleh kalangan pemerintahan kota sekarang ini antara lain bahwa sebagian SPBU dan Pangkalan Minyak Tanah dan banyak sekali unit usaha komersial di Kota Jambi yang tidak mempunyai SIUP dan Tanda Daftar Perusahaan (TDP) padahal sudah sering kali dianjurkan untuk dibuat, malah sampai dengan ancaman penutupan usaha kalau tidak diurus. Himbauan dan ancaman ini tampaknya tidak efektif dalam membujuk masyarakat mengurus izin yang telah disyaratkan oleh pemerintah daerah.<br />Kita perlu bertanya dan mencari sebab kenapa itu terjadi? Pemerintah Kabupaten/Kota harus mengkolidasi dan koreksi terhadap mekanisme perizinan yang ada pada dinas-dinas yang berkaitan dengan perizinan agar permasalahan yang terus menghambat efektivitas kerja dinas-dinas yang bersangkutan. Kalau tidak demikian pelayanan prima yang diharapkan terjadi dalam masa Otonomi Daerah tidak pernah tercapai.<br />Sebagai bahan kajian dan masukan bagi pemerintahan kabupaten/kota, khususnya untuk pemerintah Kota Jambi. Berikut ini akan diuraikan pengalaman nyata sebagai konsultan dalam mengurus SIUP dan TDP untuk beberapa perusahaan yang ada di Kota Jambi. Perlu saya garis bawahi bahwa uraian ini bukan untuk menjelekkan kinerja pemerintahan Kota Jambi dan pemerintahan Kabupaten lainnya, melainkan sebagai bahan masukan dalam mempermudah masyarakat mengurus perizinan yang disyaratkan oleh pemerintah. Mungkin saja suka duka pengurusan izin ini tidak disadari oleh pemerintah bagaimana sulit, dan panjang dan ruwetnya pengurusan SIUP dan TDP. Malah ada yang lebih ceroboh bahwa ada satu kabupaten di Provinsi Jambi mewajibkan seluruh perusahaan mengurus SIUP padahal tidak semua perusahaan harus mendapatkan SIUP dari pemerintah kabupaten/kota. <br />Tidak banyak orang mengetahui bahwa kegiatan investasi terdiri dari dua macam : (1) investasi berfasilitas – misal fasilitas bea masuk, tax holiday, impor bahan baku, penggunaan tenaga kerja asing dan sebagainya, maka izin yang disyaratkan adalah Izin Usaha Sementara (IUS) dan Tetap (IUT-untuk yang sudah komersial) melalui Kantor BKPM dan perpanjangan tangannya Kantor BAPEMPRODA untuk Provinsi Jambi. Perusahaan yang tergolong dalam kelompok seperti Petro Cina, Indosawit Subur, Asiatic Persada, WKS, Lontar Papirus, dan banyak yang lainnya. tidak wajib mendapatkan SIUP karena dalam IUT sudah termasuk izin usaha tetap (IUT), izin ekspor, izin pengolahan dan izin-izin lainnya. Pernah satu kabupaten di Provinsi Jambi mewajibkan perusahaan kelompok ini mengurus SIUP, ini kan teledor namanya ; (2) kegiatan investasi non-fasilitas – seperti pendirian CV, PT dan perusahaan perorangan lainnya ini yang harus memerlukan SIUP dan TDP, sedangkan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) izinnya dari Bank Indonesia Pusat, tidak perlu SIUP dan yang dibutuhkan adalah TDP dari Kantor Walikota dan Bupati setempat. <br />Berikut ini adalah uraian pengalaman nyata mengurus SIUP dan TDP (kasus untuk Kota Jambi mungkin juga sama dengan kasus di kabupaten), bahwa untuk mengurus SIUP dan TDP memerlukan syarat-syarat (masing-masing dinas/instansi ada yang sama dan ada yang berbeda) sebagai berikut : (1). Izin/advis kelurahan, (2). Akta Notaris Perusahaan, (3). Izin dari Kelurahaan, (4). IMB, (5). Rekening Listrik, Air dan Telepon, (6). Pas Photo pengurus, (7). KTP Pengurus (direksi), (8). Lunas PBB, (9). Izin/advis dari Kecamatan, (10). NPWP, (11) Gambar/denah Bangunan, (12). Rekomendasi Damkar, (13). Retribusi Kebersihan dan Pajak Reklame, (14). IPB, (15). SITU, (16). SIUP<br />Perusahan tidak untuk kepentingan umum, seperti izin ruko, swalayan, industri batu bata, toko dan lainnya harus melalui 8 (delapan) meja birokrasi, urutannya birokrasi yang harus dilewati sebagai berikut :<br /><br />No.Dinas/Instansi Izin yang Dikeluarkan Syarat No.<br />1.Kantor Kelurahan Izin/advis Kelurahan 2, 3, 4, 5, <br />2.Kantor Pajak No. Pokok Wajib Pajak (NPWP) 1, 2, 4, 6, dan 7<br />3.Kantor Camat Izin/advis Kecamatan 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, dan 8<br />4.Bapedalda Izin HO/UU Gangguan 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, dan 8<br />5.Dispenda Pajak Reklame dan Retrb. Kebersihan 1, 2, 3, 4, 5, 7, dan 8<br />6.Dinas Tata Kota SITU 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, dan 13<br />7.Dinas Perindagkop SIUP 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 13 dan 14<br />8.Kantor Walikota Surat Tanda Daftar Perusahaan (TDP) 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 13, 14, 15, dan 16<br />Sedangkan untuk perusahaan yang berhubungan dengan kepentingan umum, seperti rumah sakit, bank, SPBU, Koperasi dan lainnya harus melalui 11 (sebelas) meja birokrasi, urutan pengurusan yang harus dilewati adalah :<br /><br />No.Dinas/Instansi Izin yang Dikeluarkan Syarat No.<br />1.Kantor Kelurahan Izin/advis Kelurahan 2, 3, 4, 5, <br />2.Kantor Pajak No. Pokok Wajib Pajak (NPWP) 1, 2, 4, 6, dan 7<br />3.Kantor Camat Izin/advis Kecamatan 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, dan 8<br />4.Bapedalda Izin HO/UU Gangguan 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, dan 8<br />5.Dispenda Pajak Reklame dan Retrb. Kebersihan 1, 2, 3, 4, 5, 7, dan 8<br />6.Dinas Tata Kota Surat mendapatkan rekomendasi Damkar Tidak pakai syarat<br />7.Dinas Damkar Surat Rekomendasi Kebakaran 2, 3, 4, 8, 9, dan 11<br />8.Dinas Tata Kota Surat IPB 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 12, dan 13<br />9.Dinas Tata Kota SITU 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, dan 14<br />10.Dinas Perindagkop SIUP 1, 2, 3, 4, 5, 7, 8, 9, 10, dan 15<br />11. Kantor Walikota Surat TDP 1, 2, 3, 4, 5, 7, 8, 9, 10, 15 dan 16<br /><br />Belum lagi kalau gedung yang dipakai belum mempunyai IMB, maka perusahaan yang bersangkutan harus mengurusnya terlebih dahulu, kalau tidak maka tahapan di atas tidak dapat dilalui. Syarat-syarat untuk pengurusan IMB juga cukup banyak dan harus mengalami liku-liku birokrasi yang berbelit pula. Ditambah wajib AMDAL bagi perusahaan besar seperti Mall, Bank dan lainnya atau paling kurang harus mempunyai RPL (rencana pengolahan limbah) yang akan berhadapan pula dengan instansi Bapedalda dan Tata Kota kembali.<br />Mekanisme pengurusan ini hampir berlaku pada semua daerah kabupaten/kota di Provinsi Jambi. Terlihat disini tidak ada koordinasi sama sekali antar dinas/instansi, masing-masing membuat persyaratan tersendiri, dan bagi perusahaan yang ingin mengurus izin-izin tersebut terpaksa dan harus melalui urutan meja birokrasi di atas. Banyak perusahaan yang harus memenuhi syarat-syarat tumpang tindih dan dicopy berkali-kali, tetapi diminta kembali dan kembali. Belum lagi masing-masing dinas/instansi mengklaim bahwa izin melalui kantornya berkisar antara seminggu sampai sebulan. Coba bayangkan berapa bulan yang harus dilewati oleh perusahaan yang ingin mengurus izin sampai TDP, belum lagi kepala dinas/instansi yang tidak berada di tempat yang tidak dapat diwakili oleh bawahannya, kadang kala membutuhkan waktu yang lebih lama lagi, paling cepat mencapai waktu yang harus dikorbankan sampai selesai TDP adalah 4 bulan. Yang lebih menyakitkan lagi ada dalam satu dinas bergeraknya bahan kepengurusan harus dibawa sendiri oleh pemohon yang bersangkutan kalau tidak maka bahan kita akan mentok hanya sampai di meja yang bersangkutan. Misal kalau bahan kita sudah sampai pada bidang kepengurusan IPB setelah kita mengurus rekomendasi Damkar kita harus minta surat untuk membayar pajak reklame dan retribusi kebersihan pada Dispenda, kemudian dibawa kembali ke Dinas Tata Kota, yang saya alami seharusnya selesai IPB, dapat langsung bergerak ke bidang pengurusan SITU dalam mekanisme kantor itu sendiri, namun sempat lama tertahan karena yang ‘mendap’ dibagian IPB. Kita harus ambil bahannya kembali lalu kita antar ke bagian SITU, disini terasa sekali betapa tidak efisiennya mekanisme kerja suatu instansi. Bagi kita yang sebagai pemohon merasa bosan dan lelah menghadapi hal yang demikian.<br />Pada sisi lain, birokrasi yang sangat ruwet dan bertele-tele, waktu yang digunakan cukup lama, malah biaya yang dibebankan sangat tidak transparan, mulai yang dibebankan antara Rp. 250.000 sampai jutaan rupiah untuk satu surat izin. Memang ada yang menetapkan secara resmi, namun pasti ada biaya tambahan yang harus dibayar perusahaan yang jumlahnya tidak menentu, dan kadang-kadang tergantung pula pada jenis usahanya apakah merupakan ‘lahan kering atau lahan basah’. Kalau ‘lahannya berair’ maka beban biaya tambahan pasti akan lebih banyak. Kadang kala sering pula ditemui bahwa besarnya biaya ditentukan pula oleh siapa pemilik perusahaan, maaf, untuk teman kita yang warga keturunan atau untuk kelompok etnis tertentu sering pula diminta dibayar lebih dengan berbagai dalih, walaupun tidak semua dinas/instansi bertindak sama.<br />Inilah sabagian liku-liku yang pernah saya alami sebagai konsultan dalam penyusunan studi kelayakan dan pendirian badan usaha yang notabene memang waktu sudah disediakannya untuk kepengurusan izin tersebut. Sangat tidak terbayangkan oleh kita kalau yang mengurus tersebut adalah pemilik perusahaan yang harus memikirkan kelancaran usahanya sekaligus ketakutan diperiksa oleh instansi pemerintah mengenai perizinan. Ketakutan sebagian ‘kelompok keturunan’ mengurus sendiri merupakan bagian yang paling sulit yang harus mereka lalui. Tetapi yang pasti, saya tidak yakin kalau perusahaan tidak ingin mengurus perizinan yang diperlukan kalau tidak karena keruwetan prosedur kepengurusan yang disyaratkan oleh instansi pemerintah itulah yang menjadi momok bagi mereka.<br />Berdasarkan informasi dan pengalaman aktual tersebut, saya rasa pemerintah daerah perlu melakukan reposisi terhadap prosedur pengurusan izin, konsolidasi antar instansi perlu dilakukan secara cepat agar prosedur dan proses pengurusan dapat dipermudah dan dipercepat. Kalau tidak jangan disalahkan pengusaha yang tidak ingin menguruskan SIUPnya, alangkah tidak adilnya kalau kita menyalahkan mereka pada hal pelayanan dari dinas/instansi pemerintah yang menyebabkan mereka enggan untuk mengurus izin yang diperlukan. Sangatlah ironis pada satu sisi kepala daerah ‘berkoak-koak’ kami siap menerima sebesar-besarnya bagi para investor untuk menanamkan modalnya di daerah masing-masing, namun disadari atau tanpa disadari ternyata perngkat yang dimiliki tidak mendukung, hanya untuk pengurusan izin mereka harus mengalahi hal-hal yang sangat menghambat masuknya kegiatan investasi. Kata ahli-ahli ekonomi ”pembanguan suatu daerah tidak akan pernah maju kalau peran swasta tidak diberdayakan , pemerintah pasti tidakkan mampu untuk menggerakkannya sendiri”. Oleh sebab itu ada beberapa langkah yang disarankan untuk mengatasi permasalahan di atas: (1). pemerintah daerah harus melakukan konsolidasi antar instansi agar dapat dibentuk pelayanan satu atap atau yang lebih sederhana, (2). bagian-bagian yang ada dalam satu dinas/instansi yang berhubungan dengan salah satu syarat di atas dapat saja menyerahkan sebagian wewenangnya pada dinas yang ditunjuk atau dibentuk sendiri, (3) biaya-biaya harus transparan sehingga PAD dapat ditingkatkan, (4). syarat-syarat yang perlu dipenuhi oleh pengusaha cukup untuk meja birokrasi yang lebih awal, sedangkan berikutnya jangan diminta lagi syarat-syarat yang sama, (5). melakukan pemutihan untuk hal-hal tertentu, (6). demi untuk meningkatkan PAD dapat saja tarif izin yang diperlukan disesuaikan dengan letak strategis perusahaan tapi harus jelas ada Perda yang mengaturnya, dan (7). membedakan jenis SIUP berdasarkan besar kecilnya perusahaan, kadang tidak logis SIUP untuk Mall sama dengan SIUP untuk toko manisan kecil, biaya, beban dan waktu yang disediakan juga sama.***Prof. Aulia Tasman, Ph.Dhttp://www.blogger.com/profile/03879010985712892173noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2758280145952467066.post-64261488046943467872009-08-05T22:24:00.001-07:002009-08-05T22:29:33.012-07:00Dikutip dari Buku "Menelusuri Sejarah Kerajaan Melayu Jambi"<br />oleh; Dr. Aulia Tasman, SE, M.Sc<br /><br />Bab 14<br />PEMERINTAHAN DEPATI IV ALAM KERINCI<br />Periode Abad ke 13 dan 14<br /><br />1. Kerinci Pasca Sriwijaya<br />Menurut sejarah Kerajaan Sriwijaya mulai berdirinya dari abad ke 7 samapai ke abad 13 tidak sampai masuk (menduduki) wilayah Kerinci Tinggi. Walaupun setelah kerajaan ini dapat menaklukkan wilayah Kerinci Rendah sesuai dengan bunyi Prasasti Karang Berahi tahun 686 M, kerajaan Sriwijaya tercatat tiga kali menyerang wilayah Kerinci Tinggi, namun dapat dicegat oleh pasukan Sigindo Sigarinting (pemimpin Alam Kerinci waktu itu). Pertempuran terdahsyat terjadi di daerah Telaga Darah (Bukit Malagan)di Kecamatan Merangin sekarang, pasukan Sriwijaya terpaksa angkat kaki meninggalkan pertempuran, dan semenjak gagalnya serangan ketiga kalinya tersebut kerajaan Sriwijaya tidak pernah lagi masuk sampai kepedalam Bukit Barisan. <br />Penataan kelembagaan di Alam Kerinci dimulai lagi semenjak abad ke 9 Masehi membuat Wilayah Kerinci Tingi dan Kerinci Rendah semakin kondusif, karena pengawan kerajaan Sriwijaya tidak begitu ketat lagi dan negeri-negeri di Kerinci Tinggi menunjukkan perkembangan yang pesat membuat pemuka negeri Kerinci Rendah berusaha pula untuk membenah diri. Situasi negeri-negeri di Kerinci Rendah, kehidupan masyarakat mengalami kemajuan yang berari dan semakin tertata dengan baik. Kehidupan ekonomi rakyat yang lebih telah menciptakan suasana kehidupan bermasyarakat yang tentram dan damai. Dlam suasana yang kondusif ini, para pemimpin negeri dan tetua masyarakat dapat sedikit leluasa memikirkan perkembangan dan pertumbuhan negeri bagi kepentingan rakyatnya.<br />Proses penataan kelembagaan rakyat di Kerinci Rendah sesudah berakhirnya pendudukan Sriwijaya sudah mulai ditata kembali. Pimpinan negeri sudah dapat dipilih secara demokratis berdasarkan ketentuan adat yang disepakai dan pemerintahan negeri telah dapat berjalan dengan baik. Negeri-negeri di daerah Kerinci Rendah telah dapat dikelompokkan dalam payung kesatuan komunitas yang lebih besar. Proses penataan<br />kelembagaan rakyat Kerinci Rendah berlangsung secaa alamiah, dimana samapai pada kesepakatan untuk mengsngkronkannya dengan kondisi tata kelmebagaan mayarakat di Kerinci Tinggi. Kesepakatan itu ditempuh erdasarkan pada keinginan mayoritas<br />rakyat untuk kembali bersatu dalam satu wada sebagai mana pernah terjadi sebelumnya.<br />Pada masa ini diperkirakan sudah terdapat kurang lebih 100 dusun di bagian utara dan 100 dusun di bagian selatan dari Danau Kerinci. Masing-masing dusun telah tertata dengan mempertimbangkan aspek geografis dan genologis. Salah satu ciri khas dari dusun di sini adalah terdapatnya pembatas dengan menggali parit bersudut 4 disekelilingnya dan 2 buah pintu untuk masuk dan keluar yang pada umumnya searah. Parit digali dengan lebar kurang lebih 2 meper dengan keladalaman 2,5 meter,<br />sehingga binatang buas atau orang yang bukan penduduk dusun sulit untuk masuk kecuali melalui pintu yang ada. Bentuk penataan ini disebut dengan dusun berparit empat berlawang dua. Pada masa ini, antara sebuah dusun dengan banyak dusun lainnya telah dihubungan denganlintasan jalan kecil yan gpermanan dan lintasan jalan setapa yang setiap waktu dapa tdilalui. Bisa dikatakan tiak ada dusun yang terisolir yang tidak bida dihubungi.<br />Mengenai keberadaan jalan-jalan penghubung yang telah ada sebelum abad ke 14 sebagaimana diutarakan di atas dicata oleh E.A. Klerks (1987:7-8). Boleh dikatakan mulai abad ke 10 Masehi lintas jalan permanen yang menghubungkan Kerinci dengan daerah luar dan lintasan jalan permanent yang menghubungkan antar negeri dan antar<br />dusun di wilayah Alam Kerinci sugah sangat banyak. Banyaknya lintasan jalan ini jelas menunjukkan mobilitas penduduk cukup tinggi pada waktu itu. Hal ini berarti pula bahwa interaksi penduduk antar negeri, antar desa dan antar negara berlangsung<br />dengan baik. Adanya interaksi antar penduduk tentunya mendatangkan berbagai perubahan baik secara fisik (pembangunan) maupun nonfisik (sikap dan budaya) yang<br />mendatangkan berbagai perubahan.<br />Dalam pengaturan kehidupan baik secara publik maupun individu berkembang pula dengan baik. Perkembangan dapat dilihat mulai tertatanya berbagai ketentuan hukum adat tentang negeri, pengaturan perkawinan, pengaturan tentang waris dan harta pusaka, dan kententuan mengenai perjanjian. Peranan tetua adat, pemuka masyarakat dan cerdik pandai pada saat itu turut memberikan sumbangan yang besar terhadap anak negeri. Pada<br />saat itu berkembang pula seni budaya masyarakat seperti menari, menyanyi dan musik. Pada saat-saat tertentu dilakukan pertunjukan seni budaya seperti kenduri Sko, kenduri setelah panen, dan kenduri adat lainnya. Perayaan kenduri sekaligus<br />merupakan ajang silaturahmi di antara penduduk negeri di Alam Kerinci dan dengan negeri-negeri tetangga.<br /><br />2. Kerinci dan Kedatangan Islam<br />Perkembangan lain yang mendatang perubahan besar dalam masyarakat di sekitar abak ke 12 M dan 13 M adalah masuknya agama Islam ke Alam Kerinci. Agama Islam masuk ke Kerinci dari Barus sebuah daerah Islam di Selatan serta dari Gujarat (India). Barus sudah dikenal semenjak abad 11 Masehi berdasarkan pemberitaan Ptolemaeus yang menyebutkan dengan nama Baroussai. Salah satu perkampungan Islam yang dikenal di<br />Barus terletak di atas sebuah bukit kecil di tepi pantai bernama Mahligai. Di sini ditemukan makam bernisan bertuliskan Siti Tuhar Amisuri (612 H atau 1206 Masehi). Selain itu terdapat prasasti berbahasa Tamil di Lobu Tuo (abad 11 Masehi) yang<br />menyebutkan terdapatnya pemukiman pedagang Tamil di daerah ini.<br />Penyebaran Islam ke Kerinci dilakukan pedagang Arab dan Tamil yang berniaga dengan orang Kerinci yang sering mengunjungi bandar Pelabuhan Muko-Muko, Air Dikit, Ipuh,<br />Seblatm, Bantan, Ketaun dll. Selain itu, pedagang Arab dan Tamiai banyak pula yang mengunjungi negeri-negeri orang Kerinci terutama yang berdekatan dengan negeri-negeri di sekitar pantai Barat. Siar agama Islam di Kerinci diyakini pada abad ke<br />13 M sebagain dari penduduk Kerinci sudah memeluk agama Islam. Oleh sebab itu, diyakini paa abad ke 13 Masehi sebagian besar dari penduduk Alam Kerinci sudah memeluk Islam.<br />Masuknya Islam telah memberikan warna tersendiri dalam perkembangan kehidupan masyarakat. Di mana-mana sudah berdiri surau-suratu dan mesjid, kegiatan keagamaan tampak dalam kehidupan sehari-hari seperti membaca Al Qur’an, sholat berjemaah, sholat-sholat lain. Adanya agama Islam lahu hadir ditengah masyarakat para pemuka agama, kadhi, imam, khatib, bilal dan garim. Keadatangan Islam telah mengukuhkan pegangan hidup masyarakat Kerinci. Masyarakat mempunyai dua pegangan dalam mengatur tata kehidupan mereka yaitu adat istiadat yang mereka warisi dari nenek moyang dan agama Islam sebagai tuntutan dari Allah. Panduan ini menjadi pegangan hidup<br />masyarakat di Alam Kerinci yang sering disebut dalam seluko (pepatah) adat berbunyi: Adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah (Al Qur’an), syarak mengato, adat memakai.<br /><br />3. Asal Daerah Kedepatian<br />Sebelum penduduk Kerinci menganut agama Islam pengaturan masyarakat dengan hukum adat. Sebagai acuan berlaku tata krama adat bersendi patut, patut bersendi benar. Setelah masyarakat Kerinci menganut agama Islam (Syiah) yang dikembangkan pertama kali oleh Syekh Samilullah yang datang dari pantai barat Minangkabau pada abad ke-13 M. (Tambo Incung Kerinci). Mulailah berlaku pengaturan adat dan agama dengan dasar adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah. Aliran Syiah ini mengingat pada waktu itu masa jayanya pemerintahan Khalifatul Fatimiyah pada abad ke-12 di Mesir<br />sebagai pelindung Islam Syiah, kerajaan ini memiliki hubungan dagang dengan Pulau Sumatera. Tentu sudah ada penduduk Sumatera yang terpanggil dan menganut agama Islam terutama penduduk pantai.<br />Seiring dengan terjadinya berbagai perubahan dalam kedhiupan masyarakat, penataan kelembagaan masyarakat di Kerinci Rendah berlangsung terus. Sementara itu, di daerah Kerinci Tinggi pada sekitar akhir abad ke 15 telah terjadi perubahan besar dalam sistem kelembagaan masyarakatnya. Daerah Kerinci Tinggi sebelumnya terdiri atas beberapa tanah Pamuncak yang dulu sekarang berubah pemerintahan Depati. Pada abad ke-16 kemudian baru muncul depati-depati yang mendaulatkan diri sebagai akibat dari konstelasi politik antara kerajaan Jambi dan Minangkabau yang intinya ingin memasukan Kerinci kedalam salah satu kerajaan tersebut. Raja Minangkabau waktu itu ialah Yang Dipertuan Berdarah Putih yang bergelar Sultan Mardu Alam Kalifatullah Syah dan Raja Jambi ialah Pangeran Temenggung Kabul Dibukit. Dari keadaan inilah timbulnya kelompok-kelompok yang disebut Depati Empat Delapan Helai Kain dan Depati Empat Tiga Helai Kain yang berdaulat di atas kesatuan geneologis teritorialnya masing-masing.<br />Depati adalah gelaran kepala daerah yang menguasai beberapa dusun dan oleh rakyat dianggap sama dengan raja-raja juga. Putra Tuangku Magek Bagonjong yang tua adalah Sultan Maharajo Aro dengan gelar Depati Talago (mulai jadi). Wilayah kekuasaan<br />beliau meliputi daerah bagian utara termasuk disekitar Danau Kerinci (sekarang). Makanya danau Kerinci dulunya bernama Danau Depati Rencong Telang. Sedangkan anak kedua beliau bernama Sultan Maharajo Gerah memakai gelar Depati Sangkar (mulai jadi). Daerah kesuasaan beliau adalah dibagian hilir sampai ombak nan badebur di Muko-Muko.Dalam kelembagaan pemerintahan Depati sebagai pewaris kerajaan Pamuncak, setiap depati yang mengemban tugas-tugas pemerintahan keluar wilayah maka pemangku adat itu menyandang gelar Depati Rencong Telang.<br />Tanah Kerinci terbagai atas dua bagian. Yang pertama: “Negeri Delapan Helai Kain” namanya berwatas dengan Kerajaan Indrapura dan Muko-muko. Yang kedua: “Negeri Tiga Helai Kain” namanya. Rakyat Kerinci berpendapat bahwa negeri itu terbagi atas empat buah negeri saja. Negeri Tiga Helai Kain dianggap tiga negeri yang mempunayi status kenegerian masingmasing dan Negeri Delapan Helai Kain dianggap hanya satu<br />negeri saja.<br />Dari bagian negeri-negeri di atas ini dinamakan wilayah Depati Empat Helai Kain diatas dan yang lainnya Tiga Helai kain dibawah. Watasnya ke sebelah timur ialah dari Batang Merangin yang keluar dari Sungai Tembesi masuk ke sungai Batanghari<br />dalam bahagian tanah Jambi. Apa sebabnya daerah-daerah di Kerinci ini mempunyai nama<br />yang agak aneh itu? Berikut inilah kisahnya: Di zaman dahulu semasa Kerinci dibawah kekuasaan Jambi. Untuk wakil-wakil raja di daerah ini dikirm seorang wakil atau<br />penguasa yang digelari: Pangeran Tumanggung Kebaruh Di bukit, namanya. Konon kabarnya Pangeran in berasal dari seorang pembesar Majapahit di Jawa. Ia didudukkan di Muara Mesumai bagian Merangin. Sebenarnya pangeran itu didudukkan disini ialah dengan alasan politis supaya mudah memungut pajak. Pajak di daerah ini tidak disebut dengan ”emas mana” seperti di Minangkabau tetapi disni dinamakan ’Jajaj’, yang berasal dari kata daerah Jambi atau Kerinci.<br />Sebelum kedatangan pangeran ini pemungutan pajak atau jajah ini kurang lancar di darah Kerinci. Tetapi sesudah adanya Pangeran ini pemungutan pajak ini berjalan lancar. Dan raja-raja Jambi ini dahulunya berasal dari Minangkabau seorang puteri<br />bernama Puti Salaras Pinang Masak. Pemerintahan yang teratur dari kerajaan Jambi dimulai kira-kira pada permulaan tahun 1460 Masehi. Pangeran Tumanggung ini pandai dan bijaksana. Dengan manis dan ramah tamah dibujuknya kepala-kepala adat di Kerinci dan tak segan-sgan ia memberi hadiah-hadiah yang mahal kepada kepala-kepala adat itu. Kebijaksanaan perama dalam memberi hadiah ini dilakukan di : Tamiai, Pulau Sangkar dan Pangasih.<br />Kepala yang tiga buah negeri ini diberinya hadia sejenis kain sutera yang bernama ’Sabulluki-luki’. Semenjak itulah ketia negeri ini bernama Negeri Tiga Helai Kain, dan sebagai halusnya kain sutera dan licinnya kain sabulluki-luki itu Pangeran<br />semenjak itu daapat memungut jajah dengan lancar. Kepala dari Tamiah bernama Raden Serdang yang berasal dari Jawa. Gelaran ini kemudian diganti oleh Raja Jambi dengan namaDepati Muara Langkap Tanjung Sakiau. Kepala dari Pulau Sangkar bergelar Depati Rantau atau Rencong Telang. Kepala dari Pengasih bergelar Depati Biang Sari dan gelar turuntemurun bagi mereka. Depati Muara Langkap daerahnya sampai ke Pangkalan Jambu dan sebenarnya daerah ini termasuk wilayah Kerajaan Pagarruyung. Dibagian ini orang gedangnya tidak bergelar depati hanay dijalankan oleh ”Datuk yang Berempat” dibantuoleh ”Manti yang Bertiga”.<br />Bagian utara tanah Kerinci bernama ”Tahan Hiang” dan kepala tertingginya dahulu bergelar ”Indera Jati” karena menurut keterangannya ialah daerah berasal dari ”Dewa Atas Kayangan”/Sewaktu Pangeran Tumanggung datang ke dareah ini dengan membawa kain-kain hadianya barulah diketahuinya bahwa ada lagi tuju orang kepala suku yang patut diberi hadiah. Setelah timbang menimbang sejenak maka Pangeran memutuskan membagi dua kain itu. Yang separo dihadiakannya kepada Depati yang dari ’langit’ (Hiang) dan yang separo lagi dibagi tujuh dan dibagi-bagikannya kepada kepala suku yang tujuh itu.<br />Semenjak itu pulalah daerah itu dinamakan ”Delapan Helai Kain”. Raja Jambi memberi gelaran kepada Depati Indra Jati dengan Depati Batu Hampar dan digelari juga ” Depati Tiang Tungal”. Dari kepala-kepala yang bertujuh itu yaitu dua orang dari<br />Rawang bergelar ”Depati Muda Manggala Batarawang Lido’ dan Depati Cahaya Negeri. Dari Kerapatan dijadikan Raja Muda Pangeran. Dari Semurup dinamakan Depati Kepala Sembah. Panawar dan Seleman diangkat Depati Kuning, di daerah sekitar Sekungkung diangkat Depati Tujuh, Depati Penawar dan Depati Taroh Bumi.<br />Di negeri-negeri Tiga Helai Kain pelaksana pemerintahannya dibawah depati disebut Mangku atau Depati Empat. Pemangku Kelima yaitu menjadi kepala dusun-dusun di Kerinci. Penghulu-penghulu Datuk Keempat Suku dan Tungganai tidak dikenal di daerah Kerinci. Dalam dusun yang didiami oleh beberapa kaum dinamakan Kalebu yang dikepalai oleh Tua Kampung dan dipanggil mamak atau ninik mamak.<br />Kalau ada rapat dengan negeri Delapan Helai Kain di adakan di Tanah Hiang. Dan jika membicarakan hal-hal yang mengenai negeri Tiga Helai Kain diadakan di Sanggaran Agung yang dijuluki juga ”Tanah Pertemuan Raja”.<br />Darah disekitar Sungai Penuh dan Pondok Tinggi diperintah oleh pemuka adat yang bergelar: Datuk Cahaya Depati Singarapi yatiu menjabat mangku bumi sebagai cerminan raja. Dan dibawahnya itu ada lagi yang bernama Pegawai Raja atau Pegawai Jamah.<br />Meskipung Kerinci berada dibawah kekuasaan Raja Jambi tetapi Raja Jambi tidak langsung ikut campur dalam struktur pemerintahan dalam daerah Kerinci seperti yang dilakukan oleh Raja Pagarruyung. Segala urusan dalam negeri diselesaikan oleh<br />Rakyat Kerinci sendiri. Mereka kurang senang kalau hal-hal semacam itu ikut dicampuri oleh Raja Jambi. Sebab itu ada pepatah adat Kerinci yang mengatakan: ”Orang Kerinci Semboh be Rajo”. Mereka tidak suka Raja ikut campur dalam mengurus soal-soal dalam negeri mereka tetapi mereka mau membayar pajak yang seperti emas manah bagi rakyat Minangkabau itu dan pada mereka dinamakan: ”sembah raja” atau jajah.<br />Sebagai mana juga di Minangkabau jajah ini dibayar sekali tiga tahun dan dibayar kalau raja sendiri yang datang memungutnya. Kalau raja berhalangan datang maka dikirimkan raja wakilnya yang bernama ”Jenang”. Tetapi Jenang yang datang sebagai wakil raja dengan membawa tanda-tanda yang resmi dan kalau tidak jajah tidak akan keluar. Jenang itu harus membawa tanda kerajaan yang bernama ”Pandiko” atau kebesaran raja. Kebesaran atau pandiko inilah berupa sebilah keris ksati yang bernama ”Siginjai” dan ”Kalkati Bergombak Emas” yaitu kacip pinang yang berombak emas. Kebesaran raja inilah yang diperlihatkan kepada raja Kerinci yang hanya diperlihatkan kepada Depati saja. Jadi Jenang itu datang harus membawa keris Siginjai itu, menurut kepercayaan rakyat Kerinci karena keramat dan tuah keris itulah<br />rakyat mau saja membayar uang jajah itu.<br />Besarnya uang jajah itu ialah kira-kira setenah tahil emas dari tiap-tiap dusun yang kalau dibawa kepada uang Belanda kira-kira sama dengan f 30 (tiga puluh rupiah). Ini berarit sama dengan hagara seekor kerbau yang sudah besar atau sama dengan 10 @<br />12 pikul beras. Pembayaran yang lebih besar setahil separo yaitu kira-kira f 75. Pembayaran ini boleh juga berupa bahan natura seperti beras atau padi.<br />Di sebelah Timur Kerinci dibagian hilian Batang Merangin yang membujur dari barat ke timur disanalah dareah Tiga Helai Kain. Nageri ini dikepalai oleh tiga orang Depati yang pertama bergelar Depati Setio Beti yang kedua Depati Setiyo Rajo dan yang ketiga<br />Depati Setiyo Nyato. Daerah yang diperintahnya terletah masing-masing dari Tantan sampai ke bawah dari Mesumai. Seterusnya ada pula kampung Raja Muara Masumai dan Taluk Bandaro yang dinamakan Batin Sembilan yang terletak di Muara Sungai Tantan yang masuk ke Merangin dan akan bermuara di Sungai Tembesi. Di hiliran sebelah selatan dari sungai Tembesiyaitu dari barat ke timur adalah negeri Luak Batin Enam Belasdan Batin Selapan da kedua negeri Batin ini dikuasai Datuk nan Bertiga dan Batin Lima.<br />Sepanjang Batang Asai terletak negeri Batin Pangembang yang dikepalai oleh Datuk nan Berempat Suku menjadi cemin dan Gedang sampai ke limun di Bukit Bulan. Di daeah-daerah inirakyatnya berasal dari Minangkabau, Tanah Datar, Solok dan Limo Koto.<br />Sebelah timur negeri Jambi yang terletak di sebelah hilir sungaiTembesi sesudah Merangin yang sudah hampir ke muara Batanghari adalah negeri Batin Empat Likur Dihulu, terletak diantara Batin yang diperintah oleh tiga orang Depati. Negeri Pangkalan Jambu dikuasai oleh Datuk nan Berempat dan Manti nan Bertiga termasuk ke dalam wilayah Depati Muara Langkap.<br /><br />4. Pemerintahan Depati IV Alam Kerinci<br />Perubahan yang terjadi di Kerinci Tinggi sangat mempengaruhi arah dari penataan sistem kelembagaan di Kerinci Rendah setelah pengaruh Kerajaan Sriwijaya berakhir di daerah ini dan sumpah setia Karang Brahi tidak perlu diikuti lagi. Perkembangan ini erat kaitannya dengan keinginan dari sebagian besar rakyat Kerinci Rendah untuk bersatu kembali dengan rakyat Kerinci Tinggi dalam satu payung pemerintahan sebagaimana sebelumnya, mengingat mereka adalah masyarakat serumun. Semangat untuk<br />menyatukan kembali Kerinci Rendah dan Kerinci Tinggi disepakati para tetua adat dan pemuka masyarakat di ke dua daerah. Untuk itu, melalui bebeapa kali perundingan dalam<br />mengkonsolidasikan sistem pemerintahan negeri agar tidak terdapat perbedaan yang dapat menyebabkan timbulnya kesulitan dalam penyelenggaraan pemerintahan, maka akhirnya diperoleh kata sepakat untuk menjadikan daeah Kerinci Rendah atas 3 (tiga)<br />tanah depati dan 2 (dua) daerah khusus. Nama tanah depati diambil dari nama tiga pemangku adat anak dari Kerenggo Bungkuk Timpang Dado yaitu: Setio Nyato, Setio<br />Rajo dan Setio Beti yang telah berjasa mengabdikan diri dalam melakukan pembenahan negeri-negeri di Kerinci Rendah semasa hidupnya. Adapun ke tiga tanah depati di Kerinci Rendah adalah: Tanah Depati Setio Nyato, Tanah Depati Setio Rajo, dan Tanah<br />Depati Setio Beti. Sedangkan dua daerah khusus adalah: Tanah Pamuncak Pulau Rengas dan Tanah Pamuncak Pemenang. Pada tahun 1525 Masehi dalam pertemuan di dusun Salambuku tak jadi dari Ujung Tanjung Muara Masumai, disepakati kelima tanah<br />pemerintahan di Kerinci Rendah bergabung dengan Negari Depati Empat Alam Kerinci.<br />Perkembangan dari proses restrukturisasi sistem kelembagaan pemerintahan rakyat di Kerinci Tinggi lalu menghasilkan sistem pemerintahan baru yang lebih realistis dan demokratis.<br />Pemerintahan Pamuncak lalu dihapus dan diganti dengan Sistem Pemerintahan Depati. Berdasarkan pertimbangan geografis dusun dan genealogis komunitas seketurunan maka<br />tanah Segindo ditata ulang dan kemudian dikelompokkan menjadi tanah depati. Maka terbentuklah Lembaga Pemerintahan Tertinggi di Alam Kerinci dengan nama Depati Empat Alam Kerinci, yaitu Tanah Depati Atur Bumi, Tanah Depati Biang Sari, Tanah Depati Rencong Telang dan Tanah Depati Muara Langkap Tanjung Sekiau. Ke empat tanah depati ini lalu membentuk suatu dewan pemerintahan sebagai mana yang pernah ada pada masa<br />pemerintahan Segindo Berdirinya Daulat Depati IV Alam Kerinci barulah disebut Depati<br />IV Alam Kerinci, yaitu lembaga pemerintahan tertinggi dengan mengambil tempat untuk Balai Permusyawaratan di Sanggaran Agung, yang dikatakan ”Hamparan Besar Alam Kerinci”. Di wilayah kekuasaannya diikuti oleh saluko adat yang berbunyi ”Ke Atas Sepucuk ke Bawah Seurat, Sedekum Bedilnya Sealun Suraknya, Ke Hilir Serangkuh Dayung ke Mudik Serentak Satang”. Ini merupakan suatu negara kesatuan yang berdaulat penuh, mempunyai Undang-undang sendiri dan hukum sendiri, tidak berunding ke Minangkabau dan tidak berteliti ke Tanah Jambi. Dalam tingkat lembaga hukum disebut Lembaga Alam.<br />Dalam permusyawaratan tiap depati membawa kembar-rekan masing-masing sebagai anggota Dewan Permusyawaratan Alam Kerinci di masa itu.<br />Depati IV Alam Kerinci dibagi dalam bentuk 4 (empat) besar pembagian tanah depati dan fungsi kelembagaan di Kerinci Tinggi yaitu:<br />1. Tanah Depati Atur Bumi (sama fungsinya sebagai Menteri Dalam Negeri).<br />2. Tanah Depati Biang Sari (sama fungsinya sebagai Menteri Kehakiman).<br />3. Tanah Depati Rencong Telang (sama fungsinya sebagai pemegang bedil, kepala pemerintahan).<br />4. Tanah Depati Muara Langkap Tanjung Sekiau (sama fungsinya sebagai Menteri Keuangan).<br />Ke empat tanah depati ini lalu membentuk satu dewan pemerintahan sebagai mana pernah ada pada masa pemerintahan Segindo. Pada akhir abad ke 13 sekitar tahun 1292 s/d 1296<br />Masehi pemerintahan Segindo di Kerinci Tinggi telah berubah menjadi Pemerintahan Depati Empat Alam Kerinci. Wilayah Alam Kerinci kembali menjadi satu kesatuan kekita<br />disepakatinya wilayah Kerinci Rendah menjadi bagian dari Negara Depati Empat Alam Kerinci melalui Persetujuan Salambuku pada tahun 1525 Masehi.<br /><br />5. Wilayah Pemerintahan Depati IV<br />Penguasaan terhadap wilayah Alam Kerinci dinyatakan lebih tegas lagi sejarah pada masa pemerintahan Depati Empat. Disebutkan bahwa kekuasaan pemerintahan Depati Empat<br />wilayah Alam Kerinci dinyatakan meliputi daerah Kerinci Tinggi dan Kerinci Rendah. Bila dilihat sekarang daerah tersebut mencakup luas wilayah yang terdiri dari Kabupaten Kerinci, Kabupaten Merangin semuanya dalam Wilayah Provinsi Jambi. Pada daerah Kerinci Tinggi terdapat 4 buah tanah dengan ke empat tanah depati itu adalah:<br />1. tanah Depati Atur Bumi. Berwatas dengan Kerajaan Manjuto dan Dapati Biang Sari. Daerah Takluknya Kerinci Hulu VIII Helai Kain, sampai Siulak Tanah Sekudung.<br />2. tanah Depati Biang Sari. Wilayah takluknya Pematang Tumbuk Tigo Sungai Tabir, Rantau Panjang, Pelepat, sampai Pulau Musang, Tanung Simalidu (lihat Tambo “Raden Syari,Jambi).<br />3. tanah Depati Rencong Telang. Berwatas dengan Dapati Biang Sari di Pengasi. Sejak dari Sebih Kuning Muaro Saleman sampai Alam Pamuncak Nan Tigo Kaum (Kerajaan Manjuto).<br />4. tanah Depati Muara Langkap Tanjung Sekiau. Berwatas dengan dengan wilayah Depati Rencong Telang sampai Sungai Bujur – Perentak – Pangkalan Jambu.<br />Ketinggian letak geografis ke empat tanah depati tersebut,menyebabkan dataran itu disebut dengan Empat di Ateh (daerah empat di atas), yang sekarang telah menjadi Kabupaten Kerinci,Kecamatan Muara Siau dan Jangkat. Kedua kecamatan yang disebutkan, termasuk dalam wilayah Kabupaten Merangin.<br />Daerah Kerinci Rendah adalah wilayah yang berada di sebelah timur Kerinci Tinggi pada kaki pergunungan Bukit Barisan. Topografi daerahnya berbukit-bukit dan disini mengalir banyak sungai denan arus air yang tenang, tidak berbatu dan permukaannya lebar, shinga dapat dilayari kapal kecil. Kondisi sungai tersebut sangat berbeda dengan sungai-sungai yang terdapat di Kerinci Tinggi yang pada umumnya berarus deras,<br />beriam, berair terjun (telun), berbatu dan berpermukaan sempit.Sekarang wilayah ini berada dalam daerah Kabupaten Merangin yaitu kecamatan Sungai Manau, Bangko, Pemenang dan Tabir (Rantau Panjang).<br />Pada wilayah Kerinci Rendah terdapat tiga Tanah Dapati dan dua daerah khusus dari Pemerintahan Depati Empat Alam Kerinci.Tanah depati dimaksud adalah:<br />1. tanah Depati Setio Nyato, - Tanah Renah<br />2. tanah Depati Setio Rajo, - Lubuk Gaung<br />3. tanah Depati Setio Beti (Bhakti), - Nalo.<br />Ketiga Depati ini waris depatinya dari Pulau Sangkar, anak Puti Lelo Baruji, sehingga sampai sekarang disebut: Tigo Dibaruh Anak Batino Pulau Sangkar”.<br />Sedangkan daerah khususnya adalah:<br />1. tanah Pemuncak Pulau Rengas<br />2. tanah Pemuncak Pemerap Pemenang.<br />Ketiga tanah depati dan dua daerah khusus itu, karena letaknya berada pada ketinggian jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan daerah Kerinci Tinggi maka disebut dengan daerah Tigo di Baruh atau daerah tiga di bawah. Dalam pepatah adat yang menyebutkan tentang kekuasaan pemerintahan Depati Empat Alam Kerinci dikatakan lingkupnya mencakup daerah Empat di Ateh, Tigo di Baruh, duo Pemuncak Pulau<br />Rengas dan Pemerap Pemenang. Kesembilan daerah kekuasaan pemerintahan Depati Empat inilah yang disebut orang-orang pada zaman Kerajaan Jambi menurut sepanjang adat dengan nama: Pucuk Jambi Sembilan Lurah, yaitu wilayah yang berada di daerah atas atau daerah bagian hulu dari Kerajaan Jambi.<br />Setelah Undang dibalik ke Minangkabau, teliti balik ke Tanah Jambi, Dapati IV Alam Kerinci menyusun undang-undang sendiri. “Lembaga mupakat mulai siap mengatur Alam Kerinci”. Persatuan dibuat dengan mufakat, berdirilah Daulat Depati IV Alam Kerinci.<br />Penguasaan terhadap wilayah Alam Kerinci dinyatakan lebih tegas lagi sejarah pada masa pemerintahan Depati Empat. Disebutkan bahwa kekuasaan pemerintahan Depati Empat<br />wilayah Alam Kerinci dinyatakan meliputi daerah Kerinci Tinggi dan Kerinci Rendah. Bila dilihat sekarang daerah tersebut mencakup luas wilayah yang terdiri dari Kabupaten Kerinci, Kabupaten Merangin, Kabupaten Tebo, Kabupaten Bungo, Kabupaten Sarolangun, Daerah Rupit, Daerah Bengkulu Utara.***Prof. Aulia Tasman, Ph.Dhttp://www.blogger.com/profile/03879010985712892173noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2758280145952467066.post-7395559143333110242009-08-05T22:09:00.001-07:002010-08-11T14:12:36.737-07:00Bab 14 (Buku "Menelusuri Sejarah Kerajaan Melayu Jambi"<br /><br />PEMERINTAHAN DEPATI IV ALAM KERINCI<br />Periode Abad ke 13 dan 14<br /><br />1. Kerinci Pasca Sriwijaya<br />Menurut sejarah Kerajaan Sriwijaya mulai berdirinya dari abad ke 7 samapai ke abad 13 tidak sampai masuk (menduduki) wilayah Kerinci Tinggi. Walaupun setelah kerajaan ini dapat menaklukkan wilayah Kerinci Rendah sesuai dengan bunyi Prasasti Karang Berahi tahun 686 M, kerajaan Sriwijaya tercatat tiga kali menyerang wilayah Kerinci Tinggi, namun dapat dicegat oleh pasukan Sigindo Sigarinting (pemimpin Alam Kerinci waktu itu). Pertempuran terdahsyat terjadi di daerah Telaga Darah (Bukit Malagan)di Kecamatan Merangin sekarang, pasukan Sriwijaya terpaksa angkat kaki meninggalkan pertempuran, dan semenjak gagalnya serangan ketiga kalinya tersebut kerajaan Sriwijaya tidak pernah lagi masuk sampai kepedalam Bukit Barisan. <br />Penataan kelembagaan di Alam Kerinci dimulai lagi semenjak abad ke 9 Masehi membuat Wilayah Kerinci Tingi dan Kerinci Rendah semakin kondusif, karena pengawan kerajaan Sriwijaya tidak begitu ketat lagi dan negeri-negeri di Kerinci Tinggi menunjukkan perkembangan yang pesat membuat pemuka negeri Kerinci Rendah berusaha pula untuk membenah diri. Situasi negeri-negeri di Kerinci Rendah, kehidupan masyarakat mengalami kemajuan yang berari dan semakin tertata dengan baik. Kehidupan ekonomi rakyat yang lebih telah menciptakan suasana kehidupan bermasyarakat yang tentram dan damai. Dlam suasana yang kondusif ini, para pemimpin negeri dan tetua masyarakat dapat sedikit leluasa memikirkan perkembangan dan pertumbuhan negeri bagi kepentingan rakyatnya.<br />Proses penataan kelembagaan rakyat di Kerinci Rendah sesudah berakhirnya pendudukan Sriwijaya sudah mulai ditata kembali. Pimpinan negeri sudah dapat dipilih secara demokratis berdasarkan ketentuan adat yang disepakai dan pemerintahan negeri telah dapat berjalan dengan baik. Negeri-negeri di daerah Kerinci Rendah telah dapat dikelompokkan dalam payung kesatuan komunitas yang lebih besar. Proses penataan<br />kelembagaan rakyat Kerinci Rendah berlangsung secaa alamiah, dimana samapai pada kesepakatan untuk mengsngkronkannya dengan kondisi tata kelmebagaan mayarakat di Kerinci Tinggi. Kesepakatan itu ditempuh erdasarkan pada keinginan mayoritas<br />rakyat untuk kembali bersatu dalam satu wada sebagai mana pernah terjadi sebelumnya.<br />Pada masa ini diperkirakan sudah terdapat kurang lebih 100 dusun di bagian utara dan 100 dusun di bagian selatan dari Danau Kerinci. Masing-masing dusun telah tertata dengan mempertimbangkan aspek geografis dan genologis. Salah satu ciri khas dari dusun di sini adalah terdapatnya pembatas dengan menggali parit bersudut 4 disekelilingnya dan 2 buah pintu untuk masuk dan keluar yang pada umumnya searah. Parit digali dengan lebar kurang lebih 2 meper dengan keladalaman 2,5 meter,<br />sehingga binatang buas atau orang yang bukan penduduk dusun sulit untuk masuk kecuali melalui pintu yang ada. Bentuk penataan ini disebut dengan dusun berparit empat berlawang dua. Pada masa ini, antara sebuah dusun dengan banyak dusun lainnya telah dihubungan denganlintasan jalan kecil yan gpermanan dan lintasan jalan setapa yang setiap waktu dapa tdilalui. Bisa dikatakan tiak ada dusun yang terisolir yang tidak bida dihubungi.<br />Mengenai keberadaan jalan-jalan penghubung yang telah ada sebelum abad ke 14 sebagaimana diutarakan di atas dicata oleh E.A. Klerks (1987:7-8). Boleh dikatakan mulai abad ke 10 Masehi lintas jalan permanen yang menghubungkan Kerinci dengan daerah luar dan lintasan jalan permanent yang menghubungkan antar negeri dan antar<br />dusun di wilayah Alam Kerinci sugah sangat banyak. Banyaknya lintasan jalan ini jelas menunjukkan mobilitas penduduk cukup tinggi pada waktu itu. Hal ini berarti pula bahwa interaksi penduduk antar negeri, antar desa dan antar negara berlangsung<br />dengan baik. Adanya interaksi antar penduduk tentunya mendatangkan berbagai perubahan baik secara fisik (pembangunan) maupun nonfisik (sikap dan budaya) yang<br />mendatangkan berbagai perubahan.<br />Dalam pengaturan kehidupan baik secara publik maupun individu berkembang pula dengan baik. Perkembangan dapat dilihat mulai tertatanya berbagai ketentuan hukum adat tentang negeri, pengaturan perkawinan, pengaturan tentang waris dan harta pusaka, dan kententuan mengenai perjanjian. Peranan tetua adat, pemuka masyarakat dan cerdik pandai pada saat itu turut memberikan sumbangan yang besar terhadap anak negeri. Pada<br />saat itu berkembang pula seni budaya masyarakat seperti menari, menyanyi dan musik. Pada saat-saat tertentu dilakukan pertunjukan seni budaya seperti kenduri Sko, kenduri setelah panen, dan kenduri adat lainnya. Perayaan kenduri sekaligus<br />merupakan ajang silaturahmi di antara penduduk negeri di Alam Kerinci dan dengan negeri-negeri tetangga.<br /><br />2. Kerinci dan Kedatangan Islam<br />Perkembangan lain yang mendatang perubahan besar dalam masyarakat di sekitar abak ke 12 M dan 13 M adalah masuknya agama Islam ke Alam Kerinci. Agama Islam masuk ke Kerinci dari Barus sebuah daerah Islam di Selatan serta dari Gujarat (India). Barus sudah dikenal semenjak abad 11 Masehi berdasarkan pemberitaan Ptolemaeus yang menyebutkan dengan nama Baroussai. Salah satu perkampungan Islam yang dikenal di<br />Barus terletak di atas sebuah bukit kecil di tepi pantai bernama Mahligai. Di sini ditemukan makam bernisan bertuliskan Siti Tuhar Amisuri (612 H atau 1206 Masehi). Selain itu terdapat prasasti berbahasa Tamil di Lobu Tuo (abad 11 Masehi) yang<br />menyebutkan terdapatnya pemukiman pedagang Tamil di daerah ini.<br />Penyebaran Islam ke Kerinci dilakukan pedagang Arab dan Tamil yang berniaga dengan orang Kerinci yang sering mengunjungi bandar Pelabuhan Muko-Muko, Air Dikit, Ipuh,<br />Seblatm, Bantan, Ketaun dll. Selain itu, pedagang Arab dan Tamiai banyak pula yang mengunjungi negeri-negeri orang Kerinci terutama yang berdekatan dengan negeri-negeri di sekitar pantai Barat. Siar agama Islam di Kerinci diyakini pada abad ke<br />13 M sebagain dari penduduk Kerinci sudah memeluk agama Islam. Oleh sebab itu, diyakini paa abad ke 13 Masehi sebagian besar dari penduduk Alam Kerinci sudah memeluk Islam.<br />Masuknya Islam telah memberikan warna tersendiri dalam perkembangan kehidupan masyarakat. Di mana-mana sudah berdiri surau-suratu dan mesjid, kegiatan keagamaan tampak dalam kehidupan sehari-hari seperti membaca Al Qur’an, sholat berjemaah, sholat-sholat lain. Adanya agama Islam lahu hadir ditengah masyarakat para pemuka agama, kadhi, imam, khatib, bilal dan garim. Keadatangan Islam telah mengukuhkan pegangan hidup masyarakat Kerinci. Masyarakat mempunyai dua pegangan dalam mengatur tata kehidupan mereka yaitu adat istiadat yang mereka warisi dari nenek moyang dan agama Islam sebagai tuntutan dari Allah. Panduan ini menjadi pegangan hidup<br />masyarakat di Alam Kerinci yang sering disebut dalam seluko (pepatah) adat berbunyi: Adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah (Al Qur’an), syarak mengato, adat memakai.<br /><br />3. Asal Daerah Kedepatian<br />Sebelum penduduk Kerinci menganut agama Islam pengaturan masyarakat dengan hukum adat. Sebagai acuan berlaku tata krama adat bersendi patut, patut bersendi benar. Setelah masyarakat Kerinci menganut agama Islam (Syiah) yang dikembangkan pertama kali oleh Syekh Samilullah yang datang dari pantai barat Minangkabau pada abad ke-13 M. (Tambo Incung Kerinci). Mulailah berlaku pengaturan adat dan agama dengan dasar adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah. Aliran Syiah ini mengingat pada waktu itu masa jayanya pemerintahan Khalifatul Fatimiyah pada abad ke-12 di Mesir<br />sebagai pelindung Islam Syiah, kerajaan ini memiliki hubungan dagang dengan Pulau Sumatera. Tentu sudah ada penduduk Sumatera yang terpanggil dan menganut agama Islam terutama penduduk pantai.<br />Seiring dengan terjadinya berbagai perubahan dalam kedhiupan masyarakat, penataan kelembagaan masyarakat di Kerinci Rendah berlangsung terus. Sementara itu, di daerah Kerinci Tinggi pada sekitar akhir abad ke 15 telah terjadi perubahan besar dalam sistem kelembagaan masyarakatnya. Daerah Kerinci Tinggi sebelumnya terdiri atas beberapa tanah Pamuncak yang dulu sekarang berubah pemerintahan Depati. Pada abad ke-16 kemudian baru muncul depati-depati yang mendaulatkan diri sebagai akibat dari konstelasi politik antara kerajaan Jambi dan Minangkabau yang intinya ingin memasukan Kerinci kedalam salah satu kerajaan tersebut. Raja Minangkabau waktu itu ialah Yang Dipertuan Berdarah Putih yang bergelar Sultan Mardu Alam Kalifatullah Syah dan Raja Jambi ialah Pangeran Temenggung Kabul Dibukit. Dari keadaan inilah timbulnya kelompok-kelompok yang disebut Depati Empat Delapan Helai Kain dan Depati Empat Tiga Helai Kain yang berdaulat di atas kesatuan geneologis teritorialnya masing-masing.<br />Depati adalah gelaran kepala daerah yang menguasai beberapa dusun dan oleh rakyat dianggap sama dengan raja-raja juga. Putra Tuangku Magek Bagonjong yang tua adalah Sultan Maharajo Aro dengan gelar Depati Talago (mulai jadi). Wilayah kekuasaan<br />beliau meliputi daerah bagian utara termasuk disekitar Danau Kerinci (sekarang). Makanya danau Kerinci dulunya bernama Danau Depati Rencong Telang. Sedangkan anak kedua beliau bernama Sultan Maharajo Gerah memakai gelar Depati Sangkar (mulai jadi). Daerah kesuasaan beliau adalah dibagian hilir sampai ombak nan badebur di Muko-Muko.Dalam kelembagaan pemerintahan Depati sebagai pewaris kerajaan Pamuncak, setiap depati yang mengemban tugas-tugas pemerintahan keluar wilayah maka pemangku adat itu menyandang gelar Depati Rencong Telang.<br />Tanah Kerinci terbagai atas dua bagian. Yang pertama: “Negeri Delapan Helai Kain” namanya berwatas dengan Kerajaan Indrapura dan Muko-muko. Yang kedua: “Negeri Tiga Helai Kain” namanya. Rakyat Kerinci berpendapat bahwa negeri itu terbagi atas empat buah negeri saja. Negeri Tiga Helai Kain dianggap tiga negeri yang mempunayi status kenegerian masingmasing dan Negeri Delapan Helai Kain dianggap hanya satu<br />negeri saja.<br />Dari bagian negeri-negeri di atas ini dinamakan wilayah Depati Empat Helai Kain diatas dan yang lainnya Tiga Helai kain dibawah. Watasnya ke sebelah timur ialah dari Batang Merangin yang keluar dari Sungai Tembesi masuk ke sungai Batanghari<br />dalam bahagian tanah Jambi. Apa sebabnya daerah-daerah di Kerinci ini mempunyai nama<br />yang agak aneh itu? Berikut inilah kisahnya: Di zaman dahulu semasa Kerinci dibawah kekuasaan Jambi. Untuk wakil-wakil raja di daerah ini dikirm seorang wakil atau<br />penguasa yang digelari: Pangeran Tumanggung Kebaruh Di bukit, namanya. Konon kabarnya Pangeran in berasal dari seorang pembesar Majapahit di Jawa. Ia didudukkan di Muara Mesumai bagian Merangin. Sebenarnya pangeran itSakiau. Kepala dari Pulau Sangkar bergelar Depati Rantau atau Rencong Telang. Kepala dari Pengasih bergelar Depati Biang Sari dan gelar turuntemurun bagi mereka. Depati Muara Langkap daerahnya sampai ke Pangkalan Jambu dan sebenarnya daerah ini termasuk wilayah Kerajaan Pagarruyung. Dibagian ini orang gedangnya tidak bergelar depati hanay dijalankan oleh ”Datuk yang Berempat” deran ini pemungutan pajak ini berjalan lancar. Dan raja-raja Jambi ini dahulunya berasal dari Minangkabau seorang puteri<br />bernama Puti Salaras Pinang Masak. Pemerintahan yang teratur dari kerajaan Jambi dimulai kira-kira pada permulaan tahun 1460 Masehi. Pangeran Tumanggung ini pandai dan bijaksana. Dengan manis dan ramah tamah dibujuknya kepala-kepala adat di Kerinci dan tak segan-sgan da lagi tuju orang kepala suku yang patut diberi hadiah. Setelah timbang menimbang sejenak maka Pangeran memutuskan membagi dua kain itu. Yang separo dihadiakannya kepada Depati yang dari ’langit’ (Hiang) dan yang separo lagi dibagi tujuh dan dibagi-bagikannya kepada kepala suku yang tujuh itu.<br />Semenjak itu pulalah daerah itu dinamakan ”Delapan Helai Kain”. Raja Jambi memberi gelaran kepada Depati Indra Jati dengan Depati Batu Hampar dan digelari juga ” Depati Tiang Tungal”. Dari kepala-kepala yang bertujuh itu yaitu dua orang dari<br />Rawang bergelar ”Depati Muda Manggala Batarawang Lido’ dan Depati Cahaya Negeri. Dari Kerapatan dijadikan Raja Muda Pangeran. Dari Semurup dinamakan Depkan: ”Orang Kerinci Semboh be Rajo”. Mereka tidak suka Raja ikut campur dalam mengurus soal-soal dalam negeri mereka tetapi mereka mau membayar pajak yang seperti emas manah bagi rakyat Minangkabau itu dan pada mereka dinamakan: ”sembah rajibantuoleh ”Manti yang Bertiga”.<br />Bagian utara tanah Kerinci bernama ”Tahan Hiang” dan kepala tertingginya dahulu bergelar ”Indera Jati” karena menurut keterangannya ialah daerah berasal dari ”Dewa Atas Kayangan”/Sewaktu Pangeran Tumanggung datang ke dareah ini dengan membawa kain-kain hadianya barulah diketahuinya bahwa ada lagi tuju orang kepala suku yang patut diberi hadiah. Setelah timbang menimbang sejenak maka Pangeran memutuskan membagi dua kain itu. Yang separo dihadiakannya kepada Depati yang dari ’langit’ (Hiang) dan yang separo lagi dibagi tujuh dan dibagi-bagikannya kepada kepala suku yang tujuh itu.<br />Semenjak itu pulalah daerah itu dinamakan ”Delapan Helai Kain”. Raja Jambi memberi gelaran kepada Depati Indra Jati dengan Depati Batu Hampar dan digelari juga ” Depati Tiang Tungal”. Dari kepala-kepala yang bertujuh itu yaitu dua orang dari<br />Rawang bergelar ”Depati Muda Manggala Batarawang Lido’ dan Depati Cahaya Negeri. Dari Kerapatan dijadikan Raja Muda Pangeran. Dari Semurup dinamakan Depati Kepala Sembah. Panawar dan Seleman diangkat Depati Kuning, di daerah sekitar Sekungkung diangkat Depati Tujuh, Depati Penawar dan Depati Taroh Bumi.<br />Di negeri-negeri Tiga Helai Kain pelaksana pemerintahannya dibawah depati disebut Mangku atau Depati Empat. Pemangku Kelima yaitu menjadi kepala dusun-dusun di Kerinci. Penghulu-penghulu Datuk Keempat Suku dan Tungganai tidak dikenal di daerah Kerinci. Dalam dusun yang didiami oleh beberapa kaum dinamakan Kalebu yang dikepalai oleh Tua Kampung dan dipanggil mamak atau ninik mamak.<br />Kalau ada rapat dengan negeri Delapan Helai Kain di adakan di Tanah Hiang. Dan jika membicarakan hal-hal yang mengenai negeri Tiga Helai Kain diadakan di Sanggaran Agung yang dijuluki juga ”Tanah Pertemuan Raja”.<br />Darah disekitar Sungai Penuh dan Pondok Tinggi diperintah oleh pemuka adat yang bergelar: Datuk Cahaya Depati Singarapi yatiu menjabat mangku bumi sebagai cerminan raja. Dan dibawahnya itu ada lagi yang bernama Pegawai Raja atau Pegawai Jamah.<br />Meskipung Kerinci berada dibawah kekuasaan Raja Jambi tetapi Raja Jambi tidak langsung ikut campur dalam struktur pemerintahan dalam daerah Kerinci seperti yang dilakukan oleh Raja Pagarruyung. Segala urusan dalam negeri diselesaikan oleh<br />Rakyat Kerinci sendiri. Mereka kurang senang kalau hal-hal semacam itu ikut dicampuri oleh Raja Jambi. Sebab itu ada pepatah adat Kerinci yang mengatang sudah besar atau sama dengan 10 @<br />12 pikul beras. Pembayaran yang lebih besar setahil separo yaitu kira-kira f 75. Pembayaran ini boleh juga berupa bahan natura seperti beras atau padi.<br />Di sebelah Timur Kerinci dibagian hilian Batang Merangin yang membujua” atau jajah.<br />Sebagai mana juga di Minangkabau jajah ini dibayar sekali tiga tahun dan dibayar kalau raja sendiri yang datang memungutnya. Kalau raja berhalangan datang maka dikirimkan raja wakilnya yang bernama ”Jenang”. Tetapi Jenang yang datang sebagai wakil raja dengan membawa tanda-tanda yang resmi dan kalau tidak jajah tidak akan keluar. Jenang itu harus membawa tanda kerajaan yang bernama ”Pandiko” atau kebesaran raja. Kebesaran atau pandiko inilah berupa sebilah keris ksati yang bernama ”Siginjai” dan ”Kalkati Bergombak Emas” yaitu kacip pinang yang berombak emas. Kebesaran raja inilah yang diperlihatkan kepada raja Kerinci yang hanya diperlihatkan kepada Depati saja. Jadi Jenang itu datang harus membawa keris Siginjai itu, menurut kepercayaan rakyat Kerinci karena keramat dan tuah keris itulah<br />rakyat mau saja membayar uang jajah itu.<br />Besarnya uang jajah itu ialah kira-kira setenah tahil emas dari tiap-tiap dusun yang kalau dibawa kepada uang Belanda kira-kira sama dengan f 30 (tiga puluh rupiah). Ini berarit sama dengan hagara seekor kerbau yang sudah besar atau sama dengan 10 @<br />12 pikul beras. Pembayaran yang lebih besar setahil separo yaitu kira-kira f 75. Pembayaran ini boleh juga berupa bahan natura seperti beras atau padi.<br />Di sebelah Timur Kerinci dibagian hilian Batang Merangin yang membujur dari barat ke timur disanalah dareah Tiga Helai Kain. Nageri ini dikepalai oleh tiga orang Depati yang pertama bergelar Depati Setio Beti yang kedua Depati Setiyo Rajo dan yang ketiga<br />Depati Setiyo Nyato. Daerah yang diperintahnya terletah masing-masing dari Tantan sampai ke bawah dari Mesumai. Seterusnya ada pula kampung Raja Muara Masumai dan Taluk Bandaro yang dinamakan Batin Sembilan yang terletak di Muara Sungai Tantan yang masuk ke Merangin dan akan bermuara di Sungai Tembesi. Di hiliran sebelah selatan dari sungai Tembesiyaitu dari barat ke timur adalah negeri Luak Batin Enam Belasdan Batin Selapan da kedua negeri Batin ini dikuasai Datuk nan Bertiga dan Batin Lima.<br />Sepanjang Batang Asai terletak negeri Batin Pangembang yang dikepalai oleh Datuk nan Berempat Suku menjadi cemin dan Gedang sampai ke limun di Bukit Bulan. Di daeah-daerah inirakyatnya berasal dari Minangkabau, Tanah Datar, Solok dan Limo Koto.<br />Sebelah timur negeri Jambi yang terletak di sebelah hilir sungaiTembesi sesudah Merangin yang sudah hampir ke muara Batanghari adalah negeri Batin Empat Likur Dihulu, terletak diantara Batin yang diperintah oleh tiga orang Depati. Negeri Pangkalan Jambu dikuasai oleh Datuk nan Berempat dan Manti nan Bertiga termasuk ke dalam wilayah Depati Muara Langkap.<br /><br />4. Pemerintahan Depati IV Alam Kerinci<br />Perubahan yang terjadi di Kerinci Tinggi sangat mempengaruhi arah dari penataan sistem kelembagaan di Kerinci Rendah setelah pengaruh Kerajaan Sriwijaya berakhir di daerah ini dan sumpah setia Karang Brahi tidak perlu diikuti lagi. Perkembangan ini erat kaitannya dengan keinginan dari sebagian besar rakyat Kerinci Rendah untuk bersatu kembali dengan rakyat Kerinci Tinggi dalam satu payung pemerintahan sebagaimana sebelumnya, mengingat mereka adalah masyarakat serumun. Semangat untuk<br />menyatukan kembali Kerinci Rendah dan Kerinci Tinggi disepakati para tetua adat dan pemuka masyarakat di ke dua daerah. Untuk itu, melalui bebeapa kali perundingan dalam<br />mengkonsolidasikan sistem pemerintahan negeri agar tidak terdapat perbedaan yang dapat menyebabkan timbulnya kesulitan dalam penyelenggaraan pemerintahan, maka akhirnya diperoleh kata sepakat untuk menjadikan daeah Kerinci Rendah atas 3 (tiga)<br />tanah depati dan 2 (dua) daerah khusus. Nama tanah depati diambil dari nama tiga pemangku adat anak dari Kerenggo Bungkuk Timpang Dado yaitu: Setio Nyato, Setio<br />Rajo dan Setio Beti yang telah berjasa mengabdikan diri dalam melakukan pembenahan negeri-negeri di Kerinci Rendah semasa hidupnya. Adapun ke tiga tanah depati di Kerinci Rendah adalah: Tanah Depati Setio Nyato, Tanah Depati Setio Rajo, dan Tanah<br />Depati Setio Beti. Sedangkan dua daerah khusus adalah: Tanah Pamuncak Pulau Rengas dan Tanah Pamuncak Pemenang. Pada tahun 1525 Masehi dalam pertemuan di dusun Salambuku tak jadi dari Ujung Tanjung Muara Masumai, disepakati kelima tanah<br />pemerintahan di Kerinci Rendah bergabung dengan Negari Depati Empat Alam Kerinci.<br />Perkembangan dari proses restrukturisasi sistem kelembagaan pemerintahan rakyat di Kerinci Tinggi lalu menghasilkan sistem pemerintahan baru yang lebih realistis dan demokratis.<br />Pemerintahan Pamuncak lalu dihapus dan diganti dengan Sistem Pemerintahan Depati. Berdasarkan pertimbangan geografis dusun dan genealogis komunitas seketurunan maka<br />tanah Segindo ditata ulang dan kemudian dikelompokkan menjadi tanah depati. Maka terbentuklah Lembaga Pemerintahan Tertinggi di Alam Kerinci dengan nama Depati Empat Alam Kerinci, yaitu Tanah Depati Atur Bumi, Tanah Depati Biang Sari, Tanah Depati Rencong Telang dan Tanah Depati Muara Langkap Tanjung Sekiau. Ke empat tanah depati ini lalu membentuk suatu dewan pemerintahan sebagai mana yang pernah ada pada masa<br />pemerintahan Segindo Berdirinya Daulat Depati IV Alam Kerinci barulah disebut Depati<br />IV Alam Kerinci, yaitu lembaga pemerintahan tertinggi dengan mengambil tempat untuk Balai Permusyawaratan di Sanggaran Agung, yang dikatakan ”Hamparan Besar Alam Kerinci”. Di wilayah kekuasaannya diikuti oleh menjadi bagian dari Negara Depati Empat Alam Kerinci melalui Persetujuan Salambuku pada tahun 1525 Masehi.<br /><br />5. Wilayah Pemerintaik Serentak Satang”. Ini merupakan suatu negara kesatuan yang berdaulat penuh, mempunyai Undang-undang sendiri dan hukum sendiri, tidak berunding ke Minangkabau dan tidak berteliti ke Tanah Jambi. Dalam tingkat lembaga hukum disebut Lembaga Alam.<br />Dalam permusyawaratan tiap depati membawa kembar-rekan masing-masing sebagai anggota Dewan Permusyawaratan Alam Kerinci di masa itu.<br />Depati IV Alam Kerinci dibagi dalam bentuk 4 (empat) besar pembagian tanah depati dan fungsi kelembagaan di Kerinci <br />1. tanah Depati Atur Bumi. Berwatas dengan Kerajaan Manjuto dan Dapati Biang Sari. Daerah Takluknya Kerinci Hulu VIII Helai Kain, sampai Siulak Tanah Sekudung.<br />2. tanah Depati Biang Sari. Wilayah takluknya Pematang Tumbuk Tigo Sungai Tabir, Rantau Panjang, Pelepat, sampai Pulau Musang, Tanung Simalidu (lihat Tambo “Raden Syari,Jambi).<br />3. tanah Depati Rencong Telang. Berwatas dengan Dapati Biang Sari di Pengasi. Sejak dari Sebih Kuning Muaro Saleman sampai Alam Pamuncak Nan Tigo Kaum (Kerajaan Manjuto).<br />4. tanah Depati Muara Langkap Tanjung Sekiau. Berwatas dengan dengan wilayah Depati Rencong Telang sampai Sungai Bujur – Perentak – Pangkalan Jambu.<br />Ketinggian letak geografis ke empat tanah depati tersebut,menyebabkan dataran itu disebut dengan Empat di Ateh (daerah empat di atas), yang sekarang telah menjad, karena lhan Depati IV<br />Penguasaan terhadap wilayah Alam Kerinci dinyatakan lebih tegas lagi sejarah pada masa pemerintahan Depati Empat. Disebutkan bahwa kekuasaan pemerintahan Depati Empat<br />wilayah Alam Kerinci dinyatakan meliputi daerah Kerinci Tinggi dan Kerinci Rendah. Bila dilihat sekarang daerah tersebut mencakup luas wilayah yang terdiri dari Kabupaten Kerinci, Kabupaten Merangin semuanya dalam Wilayah Provinsi Jambi. Pada daerah Kerinci Tinggi terdapat 4 buah tanah dengan ke empat tanah depati itu adalah:<br />1. tanah Depati Atur Bumi. Berwatas dengan Kerajaan Manjuto dan Dapati Biang Sari. Daerah Takluknya Kerinci Hulu VIII Helai Kain, sampai Siulak Tanah Sekudung.<br />2. tanah Depati Biang Sari. Wilayah takluknya Pematang Tumbuk Tigo Sungai Tabir, Rantau Panjang, Pelepat, sampai Pulau Musang, Tanung Simalidu (lihat Tambo “Raden Syari,Jambi).<br />3. tanah Depati Rencong Telang. Berwatas dengan Dapati Biang Sari di Pengasi. Sejak dari Sebih Kuning Muaro Saleman sampai Alam Pamuncak Nan Tigo Kaum (Kerajaan Manjuto).<br />4. tanah Depati Muara Langkap Tanjung Sekiau. Berwatas dengan dengan wilayah Depati Rencong Telang sampai Sungai Bujur – Perentak – Pangkalan Jambu.<br />Ketinggian letak geografis ke empat tanah depati tersebut,menyebabkan dataran itu disebut dengan Empat di Ateh (daerah empat di atas), yang sekarang telah menjadi Kabupaten Kerinci,Kecamatan Muara Siau dan Jangkat. Kedua kecamatan yang disebutkan, termasuk dalam wilayah Kabupaten Merangin.<br />Daerah Kerinci Rendah adalah wilayah yang berada di sebelah timur Kerinci Tinggi pada kaki pergunungan Bukit Barisan. Topografi daerahnya berbukit-bukit dan disini mengalir banyak sungai denan arus air yang tenang, tidak berbatu dan permukaannya lebar, shinga dapat dilayari kapal kecil. Kondisi sungai tersebut sangat berbeda dengan sungai-sungai yang terdapat di Kerinci Tinggi yang pada umumnya berarus deras,<br />beriam, berair terjun (telun), berbatu dan berpermukaan sempit.Sekarang wilayah ini berada 0ASetelah Undang dibalik ke Minangkabau, teliti balik ke Tanah Jambi, Dapati IV Alam Kerinci menyusun undang-undang sendiri. “Lembaga mupakat mulai siap mengatur Alam Kerinci”. Persatuan dibuat dengan mufakat, berdirilah Daulat Depati IV Alam Kerinci.<br />Penguasaan terhadap wilayah Alam Kerinci dinyatakan lebih tegas lagi sejarah pada masa pemerintahan Depati Empat. Disebutkan bahwa kekuasaan pemerintahan Depati Empat<br />wilayah Alam Kerinci dinyatakan meliputi daerah Kerinci Tinggi dan Kerinci Rendah. Bila dilihat sekarang daerah tersebut mencakup luas wilayah yang terdiri dari Kabupaten Kerinci, Kabupaten Merangin semuanya dalam Wilayah Provinsi Jambi***Prof. Aulia Tasman, Ph.Dhttp://www.blogger.com/profile/03879010985712892173noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2758280145952467066.post-11369754888173938442009-08-05T21:06:00.000-07:002009-08-05T21:07:44.943-07:00Ruwetnya Pengurusan SIUP + TDP:<br />Saran Untuk Pemerintah Kota/Kabupaten<br />1<br />Oleh. DR. Aulia Tasman, SE, M.Sc<br />2<br />Pemerintah Daerah berkewajiban sekali dalam menata adminstrasi pemerintahan<br />agar pelayanan prima yang selalu didengungkan untuk mencapai pemerintah yang<br />efektif dan efisien dalam menata pembangunan dan kehidupan bermasyarakat,<br />namun sering sekali kebijakan yang diambil sangat bias dengan kenyataan.<br />Kemudahan yang seharusnya diberikan aparat pemerintah sebagai abdi negara dan<br />masyarakat kadang kala menjadi beban yang terlalu berat bagi masyarakat untuk<br />mengikutinya. Kalau terjadi ketidakcocokan antara yang diharapkan dengan<br />kenyataan sering pula pihak masyarakat yang dipersalahkan padahal<br />‘membangkangnya’ masyarakat terhadap aturan yang telah ditetapkan oleh<br />pemerintah disebabkan oleh kelemahan dari sistem pemerintahan itu sendiri. Rantai<br />birokrasi yang panjang, biaya pengurusan yang tidak jelas dan tidak transparan,<br />waktu pengurusan yang cukup lama, dan tumpang tindih kepengurusan izin<br />(misalnya) menyebabkan sebagian besar masyarakat enggan berhubungan dengan<br />pemerintah kecuali kalau sudah sangat terpaksa.<br />Permasalahan yang sedang hangat-hangatnya dibicarakan oleh kalangan<br />pemerintahan kota sekarang ini antara lain bahwa sebagian SPBU dan Pangkalan<br />Minyak Tanah dan banyak sekali unit usaha komersial di Kota Jambi yang tidak<br />mempunyai SIUP dan Tanda Daftar Perusahaan (TDP) padahal sudah sering kali<br />dianjurkan untuk dibuat, malah sampai dengan ancaman penutupan usaha kalau tidak<br />diurus. Himbauan dan ancaman ini tampaknya tidak efektif dalam membujuk<br />masyarakat mengurus izin yang telah disyaratkan oleh pemerintah daerah.<br />Kita perlu bertanya dan mencari sebab kenapa itu terjadi? Pemerintah<br />Kabupaten/Kota harus mengkolidasi dan koreksi terhadap mekanisme perizinan yang<br />ada pada dinas-dinas yang berkaitan dengan perizinan agar permasalahan yang terus<br />menghambat efektivitas kerja dinas-dinas yang bersangkutan. Kalau tidak demikian<br />pelayanan prima yang diharapkan terjadi dalam masa Otonomi Daerah tidak pernah<br />tercapai.<br />Sebagai bahan kajian dan masukan bagi pemerintahan kabupaten/kota,<br />khususnya untuk pemerintah Kota Jambi. Berikut ini akan diuraikan pengalaman<br />nyata sebagai konsultan dalam mengurus SIUP dan TDP untuk beberapa perusahaan<br />yang ada di Kota Jambi. Perlu saya garis bawahi bahwa uraian ini bukan untuk<br />menjelekkan kinerja pemerintahan Kota Jambi dan pemerintahan Kabupaten lainnya,<br />melainkan sebagai bahan masukan dalam mempermudah masyarakat mengurus<br />perizinan yang disyaratkan oleh pemerintah. Mungkin saja suka duka pengurusan izin<br />ini tidak disadari oleh pemerintah bagaimana sulit, dan panjang dan ruwetnya<br />pengurusan SIUP dan TDP. Malah ada yang lebih ceroboh bahwa ada satu<br />kabupaten di Provinsi Jambi mewajibkan seluruh perusahaan mengurus SIUP<br />padahal tidak semua perusahaan harus mendapatkan SIUP dari pemerintah<br />kabupaten/kota.<br />1<br />Bahan Diskusi dengan Pemda Kota Jambi tentang Mekanisme Perizinan Satu Atap, September 2007.<br />2<br />Dosen Fakultas Ekonomi Unversitas Jambi<br />1<br />Tidak banyak orang mengetahui bahwa kegiatan investasi terdiri dari dua macam :<br />(1) investasi berfasilitas – misal fasilitas bea masuk, tax holiday, impor bahan baku,<br />penggunaan tenaga kerja asing dan sebagainya, maka izin yang disyaratkan adalah<br />Izin Usaha Sementara (IUS) dan Tetap (IUT-untuk yang sudah komersial) melalui<br />Kantor BKPM dan perpanjangan tangannya Kantor BAPEMPRODA untuk Provinsi<br />Jambi. Perusahaan yang tergolong dalam kelompok seperti Petro Cina, Indosawit<br />Subur, Asiatic Persada, WKS, Lontar Papirus, dan banyak yang lainnya. tidak wajib<br />mendapatkan SIUP karena dalam IUT sudah termasuk izin usaha tetap (IUT), izin<br />ekspor, izin pengolahan dan izin-izin lainnya. Pernah satu kabupaten di Provinsi<br />Jambi mewajibkan perusahaan kelompok ini mengurus SIUP, ini kan teledor<br />namanya ; (2) kegiatan investasi non-fasilitas – seperti pendirian CV, PT dan<br />perusahaan perorangan lainnya ini yang harus memerlukan SIUP dan TDP,<br />sedangkan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) izinnya dari Bank Indonesia Pusat, tidak<br />perlu SIUP dan yang dibutuhkan adalah TDP dari Kantor Walikota dan Bupati<br />setempat.<br />Berikut ini adalah uraian pengalaman nyata mengurus SIUP dan TDP (kasus<br />untuk Kota Jambi mungkin juga sama dengan kasus di kabupaten), bahwa untuk<br />mengurus SIUP dan TDP memerlukan syarat-syarat (masing-masing dinas/instansi<br />ada yang sama dan ada yang berbeda) sebagai berikut : (1). Izin/advis kelurahan, (2).<br />Akta Notaris Perusahaan, (3). Izin dari Kelurahaan, (4). IMB, (5). Rekening Listrik, Air<br />dan Telepon, (6). Pas Photo pengurus, (7). KTP Pengurus (direksi), (8). Lunas PBB,<br />(9). Izin/advis dari Kecamatan, (10). NPWP, (11) Gambar/denah Bangunan, (12).<br />Rekomendasi Damkar, (13). Retribusi Kebersihan dan Pajak Reklame, (14). IPB, (15).<br />SITU, (16). SIUP<br />Perusahan tidak untuk kepentingan umum, seperti izin ruko, swalayan, industri<br />batu bata, toko dan lainnya harus melalui 8 (delapan) meja birokrasi, urutannya<br />birokrasi yang harus dilewati sebagai berikut :<br />No. Dinas/Instansi Izin yang Dikeluarkan Syarat No.<br />1. Kantor Kelurahan Izin/advis Kelurahan 2, 3, 4, 5,<br />2. Kantor Pajak No. Pokok Wajib Pajak (NPWP) 1, 2, 4, 6, dan 7<br />3. Kantor Camat Izin/advis Kecamatan 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, dan 8<br />4. Bapedalda Izin HO/UU Gangguan 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, dan 8<br />5. Dispenda Pajak Reklame dan Retrb. Kebersihan 1, 2, 3, 4, 5, 7, dan 8<br />6. Dinas Tata Kota Surat Izin Tempat Usaha – SITU 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, dan 13<br />7. Dinas Perindagkop SIUP 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 13 dan 14<br />8. Kantor Walikota Surat Tanda Daftar Perusahaan (TDP) 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 13, 14, 15,<br />dan 16<br />Sedangkan untuk perusahaan yang berhubungan dengan kepentingan umum,<br />seperti rumah sakit, bank, SPBU, Koperasi dan lainnya harus melalui 11 (sebelas)<br />meja birokrasi, urutan pengurusan yang harus dilewati adalah :<br />No. Dinas/Instansi Izin yang Dikeluarkan Syarat No.<br />1. Kantor Kelurahan Izin/advis Kelurahan 2, 3, 4, 5,<br />2. Kantor Pajak No. Pokok Wajib Pajak (NPWP) 1, 2, 4, 6, dan 7<br />3. Kantor Camat Izin/advis Kecamatan 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, dan 8<br />4. Bapedalda Izin HO/UU Gangguan 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, dan 8<br />5. Dispenda Pajak Reklame dan Retrb. Kebersihan 1, 2, 3, 4, 5, 7, dan 8<br />6. Dinas Tata Kota Surat mendapatkan rekomendasi Damkar Tidak pakai syarat<br />7. Dinas Damkar Surat Rekomendasi Kebakaran 2, 3, 4, 8, 9, dan 11<br />2<br />8. Dinas Tata Kota Surat Izin Penggunaan Bangunan (IPB) 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 12, dan 13<br />9. Dinas Tata Kota Surat Izin Tempat Usaha (SITU) 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, dan 14<br />10. Dinas Perindagkop Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) 1, 2, 3, 4, 5, 7, 8, 9, 10, dan 15<br />11. Kantor Walikota Surat Tanda Daftar Perusahaan (TDP) 1, 2, 3, 4, 5, 7, 8, 9, 10, 15 dan 16<br />Belum lagi kalau gedung yang dipakai belum mempunyai IMB, maka perusahaan<br />yang bersangkutan harus mengurusnya terlebih dahulu, kalau tidak maka tahapan di<br />atas tidak dapat dilalui. Syarat-syarat untuk pengurusan IMB juga cukup banyak dan<br />harus mengalami liku-liku birokrasi yang berbelit pula. Ditambah wajib AMDAL bagi<br />perusahaan besar seperti Mall, Bank dan lainnya atau paling kurang harus<br />mempunyai RPL (rencana pengolahan limbah) yang akan berhadapan pula dengan<br />instansi Bapedalda dan Tata Kota kembali.<br />Mekanisme pengurusan ini hampir berlaku pada semua daerah kabupaten/kota di<br />Provinsi Jambi. Terlihat disini tidak ada koordinasi sama sekali antar dinas/instansi,<br />masing-masing membuat persyaratan tersendiri, dan bagi perusahaan yang ingin<br />mengurus izin-izin tersebut terpaksa dan harus melalui urutan meja birokrasi di atas.<br />Banyak perusahaan yang harus memenuhi syarat-syarat tumpang tindih dan dicopy<br />berkali-kali, tetapi diminta kembali dan kembali. Belum lagi masing-masing<br />dinas/instansi mengklaim bahwa izin melalui kantornya berkisar antara seminggu<br />sampai sebulan. Coba bayangkan berapa bulan yang harus dilewati oleh perusahaan<br />yang ingin mengurus izin sampai TDP, belum lagi kepala dinas/instansi yang tidak<br />berada di tempat yang tidak dapat diwakili oleh bawahannya, kadang kala<br />membutuhkan waktu yang lebih lama lagi, paling cepat mencapai waktu yang harus<br />dikorbankan sampai selesai TDP adalah 4 bulan. Yang lebih menyakitkan lagi ada<br />dalam satu dinas bergeraknya bahan kepengurusan harus dibawa sendiri oleh<br />pemohon yang bersangkutan kalau tidak maka bahan kita akan mentok hanya sampai<br />di meja yang bersangkutan. Misal kalau bahan kita sudah sampai pada bidang<br />kepengurusan IPB setelah kita mengurus rekomendasi Damkar kita harus minta surat<br />untuk membayar pajak reklame dan retribusi kebersihan pada Dispenda, kemudian<br />dibawa kembali ke Dinas Tata Kota, yang saya alami seharusnya selesai IPB, dapat<br />langsung bergerak ke bidang pengurusan SITU dalam mekanisme kantor itu sendiri,<br />namun sempat lama tertahan karena yang ‘mendap’ dibagian IPB. Kita harus ambil<br />bahannya kembali lalu kita antar ke bagian SITU, disini terasa sekali betapa tidak<br />efisiennya mekanisme kerja suatu instansi. Bagi kita yang sebagai pemohon merasa<br />bosan dan lelah menghadapi hal yang demikian.<br />Pada sisi lain, birokrasi yang sangat ruwet dan bertele-tele, waktu yang digunakan<br />cukup lama, malah biaya yang dibebankan sangat tidak transparan, mulai yang<br />dibebankan antara Rp. 250.000 sampai jutaan rupiah untuk satu surat izin. Memang<br />ada yang menetapkan secara resmi, namun pasti ada biaya tambahan yang harus<br />dibayar perusahaan yang jumlahnya tidak menentu, dan kadang-kadang tergantung<br />pula pada jenis usahanya apakah merupakan ‘lahan kering atau lahan basah’. Kalau<br />‘lahannya berair’ maka beban biaya tambahan pasti akan lebih banyak. Kadang kala<br />sering pula ditemui bahwa besarnya biaya ditentukan pula oleh siapa pemilik<br />perusahaan, maaf, untuk teman kita yang warga keturunan atau untuk kelompok etnis<br />tertentu sering pula diminta dibayar lebih dengan berbagai dalih, walaupun tidak<br />semua dinas/instansi bertindak sama.<br />Inilah sabagian liku-liku yang pernah saya alami sebagai konsultan dalam<br />penyusunan studi kelayakan dan pendirian badan usaha yang notabene memang<br />3<br />waktu sudah disediakannya untuk kepengurusan izin tersebut. Sangat tidak<br />terbayangkan oleh kita kalau yang mengurus tersebut adalah pemilik perusahaan<br />yang harus memikirkan kelancaran usahanya sekaligus ketakutan diperiksa oleh<br />instansi pemerintah mengenai perizinan. Ketakutan sebagian ‘kelompok keturunan’<br />mengurus sendiri merupakan bagian yang paling sulit yang harus mereka lalui. Tetapi<br />yang pasti, saya tidak yakin kalau perusahaan tidak ingin mengurus perizinan yang<br />diperlukan kalau tidak karena keruwetan prosedur kepengurusan yang disyaratkan<br />oleh instansi pemerintah itulah yang menjadi momok bagi mereka.<br />Berdasarkan informasi dan pengalaman aktual tersebut, saya rasa pemerintah<br />daerah perlu melakukan reposisi terhadap prosedur pengurusan izin, konsolidasi<br />antar instansi perlu dilakukan secara cepat agar prosedur dan proses pengurusan<br />dapat dipermudah dan dipercepat. Kalau tidak jangan disalahkan pengusaha yang<br />tidak ingin menguruskan SIUPnya, alangkah tidak adilnya kalau kita menyalahkan<br />mereka pada hal pelayanan dari dinas/instansi pemerintah yang menyebabkan<br />mereka enggan untuk mengurus izin yang diperlukan. Sangatlah ironis pada satu sisi<br />kepala daerah ‘berkoak-koak’ kami siap menerima sebesar-besarnya bagi para<br />investor untuk menanamkan modalnya di daerah masing-masing, namun disadari<br />atau tanpa disadari ternyata perngkat yang dimiliki tidak mendukung, hanya untuk<br />pengurusan izin mereka harus mengalahi hal-hal yang sangat menghambat<br />masuknya kegiatan investasi. Kata ahli-ahli ekonomi ”pembanguan suatu daerah tidak<br />akan pernah maju kalau peran swasta tidak diberdayakan , pemerintah pasti tidakkan<br />mampu untuk menggerakkannya sendiri”. Oleh sebab itu ada beberapa langkah yang<br />disarankan untuk mengatasi permasalahan di atas: (1). pemerintah daerah harus<br />melakukan konsolidasi antar instansi agar dapat dibentuk pelayanan satu atap atau<br />yang lebih sederhana, (2). bagian-bagian yang ada dalam satu dinas/instansi yang<br />berhubungan dengan salah satu syarat di atas dapat saja menyerahkan sebagian<br />wewenangnya pada dinas yang ditunjuk atau dibentuk sendiri, (3) biaya-biaya harus<br />transparan sehingga PAD dapat ditingkatkan, (4). syarat-syarat yang perlu dipenuhi<br />oleh pengusaha cukup untuk meja birokrasi yang lebih awal, sedangkan berikutnya<br />jangan diminta lagi syarat-syarat yang sama, (5). melakukan pemutihan untuk hal-hal<br />tertentu, (6). demi untuk meningkatkan PAD dapat saja tarif izin yang diperlukan<br />disesuaikan dengan letak strategis perusahaan tapi harus jelas ada Perda yang<br />mengaturnya, dan (7). membedakan jenis SIUP berdasarkan besar kecilnya<br />perusahaan, kadang tidak logis SIUP untuk Mall sama dengan SIUP untuk toko<br />manisan kecil, biaya, beban dan waktu yang disediakan juga sama.***<br />4Prof. Aulia Tasman, Ph.Dhttp://www.blogger.com/profile/03879010985712892173noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2758280145952467066.post-43334390613268882752009-05-18T16:35:00.001-07:002009-05-18T16:36:27.698-07:00Lampiran: Kain Kebesaran DepatiLampiran 1:<br />Kain Kebesaran Depati (Adipati)<br />Kerajaan Melayu Jambi berusaha untuk mengukuhkan persatuan wilayah-wilayah dengan cara membagikan kain kebesaran kerajaan. Pangeran Temenggung atas nama kerajaan membawa dan membagi Kain Kebesaran Depati (Adipati) ke daerah Kerinci yaitu untuk masing-masing Depati 4 Alam Kerinci. Setelah sampai di daerah Kerinci, pertama kali di Tamia diberilah sehelai ”Kain Kebesaran Depati” kepada Depati Muaro Langkap, keturunan Sigindo Bauk.<br />Kemudian terus menyusuri ke mudik Batang Merangin di Pulau Sangkar, diserahkan pula sehelai Kain Kebesaran Depati kepada Depati Rencong Telang, keturunan Sigindo Batinting. Sampai di Pengasi, Kain Kebesaran Depati diserahkan kepada Depati Biang Sari, keturunan Sigindo Teras. Untuk seterusnya rombongan sampailah di Hiang, kain kebesaran diserahkan keapda Depati Atur Bumi, keturunan Sigindo Kuning.<br />Kain kebesaran yang dibawa sebanyak 4 helai, sudah dibagi-bagikan kepada yang berhak menerimanya. Sampai di Hiang, sedangkan masyarakat di hulu Sungai Batang Merangin belum mendapat bagian. Untuk itu atas perundingan dan mufakat, kain yang terakhir dibagi menjadi ”Delapan” Helai Kain. Dengan arti kata: 1 Helai kain dijadikan Delapan Helai Kain.<br />Hiang mendapat 1/8 (se per delapan) helai, selebihnya dibagikan kepada:<br />Untuk di Hilir:<br />a. Tanah Kampung = Depati Batu Hampar<br />b. Seleman = Depati Sirah Mato<br />c. Penawar = Depati Mudo<br />Untuk di Mudik:<br />a. Sekungkung = Depati Tujuh<br />b. Semurup = Depati Kepala Sembah<br />c. Kemantan = Depati Situo<br />Yang ke-7 helai terakhir diberikan untuk Rawang, sehingga menjadi sebutan sejak dulu sampai sekarang:<br />” Tiga di Hilir - Empat Tanah Rawang”<br />” Tiga di Hulu - Empat Tanah Rawang”<br />Sehingga jumlahnya menjadi = 3 (di Hulu) + 3 (di Hilir) + Rawang = 7 + Hiang = 8. ” Kerinci disebut dengan Depati IV Delapan Helai Kain.<br />Kain yang disampaikan kepada para depati oleh Pangeran Temenggung, dikatkan sebagai Tanda Persahabatan Kerajaan, yang hakekatnya adalah hendak memasukkan Kerinci ke dalam Wilayah Kerajaan Jambi. Hal ini tidak mungkin terjadi karena wilayah hukum Pamuncak Rencong Telang amat luas, tidak dapat dipengaruhi oleh Kerajaan Jambi. Wilayah hukum Pamuncak Rencong Telang di kala itu mencakup wilayah Kerajaan Manjuto, dalam Lingkungan Pamuncak Nan Tigo Kaum sampai ”Pantai yang 14 Muko-Muko dan yang Tigo di Baruh (disebut Kerinci Rendah).<br />Setelah para depati menerima Kain Kebesarannya masing-masing dan menentukan wilayah tanahnya, yaitu disebut: Tanah Mendapo, mempunyai batas dengan siring ”Ke air berpasang batu, ke darat berpasang lantak (kayu)” dengan Tanah Mendapo lainnya. Masing-masing telah membentuk Staf Pemerintahannya, yang terdiri dari depati-ninik mamak. Yang mada di kala Alam Kerinci terbagi atas 11 (sebelas) Tanah Mendapo, ”Undang Turun Dari Minangkabau – Teliti Mudik dari Tanah Jambi”.<br />Kerajaan Melayu Pagarruyung yang berpusat di Suruaso ingin memperluas daerah takluknya, sedangkan di kala itu para depati di Alam Kerinci belum mempunyai persatuan dan kesatuan, hanya depati-depati mementingkan daerah sendiri-sendiri, maka oleh Kerajaan Pagarruyung mencoba menurunkan undang-undang ke Alam Kerinci, yaitu Undang Sarak, ”Kalau salah tangan, tangan di kerat; salah kaki, kaki di potong”. Jika ”membunuh”, humum-bunuh. Undang yang demikian amat berat, sehingga ditolak balik ke Alam Minangkabau. Yang disebut menurut istilah Kerinci: ”tolak Rebou Tolak Rangkah”, dengan arti kata ”sama sekali tidak diterima”.<br />Untuk mengatasi undang yang berat ini, oleh Kerajaan Jambi mencoba pula memudikan ”Teliti” dari tanah Jambi, yaitu satu peraturan yang amat ringan pula. ”Kalau salah tangan, untuk imbalannya kerat kepak ayam, kalau salah kaki kerat kaki ayam, kalau mata bersalah, imbalannya cungkil mata kelapa”. Teliti yang demikian juga tidak ditolak, maka rentetan dari itu berdirilah Daulat Depati IV di Alam Kerinci yang mempunyai undang-undang adat sendiri.<br />Berdirinya Daulat Depati IV, barulah disebut Depati IV Alam Kerinci, yaitu Lembaga Pemerintahan Tertinggi di Alam Kerinci dengan mengambil tempat untuk Balai Permusyawaratan di Sanggaran Agung, yang dikatakan ”Hamparan Besar Alam Kerinci”, ”ke atas sepucuk ke bawah seurat, sedekum bedilnya sealun soraknya, ke hilir serangkuh dayung kemudi serentak satang”. Ini merupakan suatu negara kesatuan yang berdaulat penuh, mempunyai Undang-undang sendiri dan hukum sendiri, tidak berundig ke Minangkabau dan tidak berteliti ke Tanah Jambi.<br />Dalam tingkat lembaga hukum disebut Lembaga Alam. Dalam permusyawaratan tiap depati membawa kembar-rekan masing-masing sebagi anggota Dewan Permusyawaratan Alam Kerinci di masa itu, Depati Atur Bumi membawa rekannya yang disebut “Tiga di Hilir Empat Tanah Rawang, Tiga di Hulu Empat Tanah Rawang”, yang berarti 7 orang depati:<br />Untuk di Hilir:<br />a. Depati Batu Hampar di Tanah Kampung<br />b. Depati Sirah Mato di Seleman<br />c. Depati Mudo di Penawar<br />Untuk di Mudik:<br />a. Depati Tujuh di Sekungkung<br />b. Depati Kepala Sembah di Semurup<br />c. Depati Situo di Kemantan<br />Depati Rencong Telang membawa kembar-rekannya Depati Nan Berenam dari Pulau Sangkar.<br />Depati Biang Sari membawa kembar-rekannya Nan Berenam dari Pengasi.<br />Depati Muara Langkap mebawa kembar-rekannya Nan berenam dari Tamiai.<br />Untuk Hamparan Besar Depati VIII Helai Kain bertempat di Rawang, yang beranggotakan Tigo di Hilir Empat Tanah Rawang – Tigo di Hulu Empat Tanah Rawang, ditambah Sungai Penuh Pegawai Jenang Pegawai Rajo, Suluh Bindang Alam Kerinci, dibawah Pengawasan Depati Nan Batujuh, Pemangku nan Baduo, Pementi Nan Sepuluh.<br />Sebagai pucuk pimpinan di kala itu Depati Atur Bumi (dalam Hamparan Besar Nan VIII Helai Kain). Jadi di Kerinci di kala itu terdapat dua hamparan (Balai Permusyawaratan:<br />1. Hamparan Besar di Rawang, untuk Depati VIII Helai Kain.<br />2. Hamparan Besar di Sanggaran Agung, untuk Depati IV Alam Kerinci atau suatu Lembaga Tertinggi Pemerintahan di Alam Kerinci.<br /> Sedangkan tingkat Lembaga Hukum di Alam Kerinci diatur sebaik-baiknya melalui ”Seko Nan Tigo Takah – Lembago Nan Tigo Jinjing”, keempat Lembago Alam (Lembago Hukum Depati IV Alam Kerinci).Prof. Aulia Tasman, Ph.Dhttp://www.blogger.com/profile/03879010985712892173noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2758280145952467066.post-28866249352936593562009-05-18T16:29:00.000-07:002009-05-18T16:32:40.473-07:00Sejarah Kerajaan Melayu KunoBab 4<br />KERAJAAN MELAYU<br />Periode Abad VI-XI<br /><br />1. Letak Kerajaan Melayu<br />Keberadaan dan letak kerajaan Melayu dan Sriwijaya masih dalam perdebatan, dan ada sebagian ahli berkeberatan terhadap penggunaan berita-berita Cina sebagai sumber sejarah kerajaan Malayu, tidak jgua dapat pungkiri bahwa berita pertama yang dengan jelas menyebutkan nama “Malayu” adalah berita Cina juga. Dari kitab sejarah dinasti T’ang didapat keterangan bahwa datangnya utusan dari Mo-lo-you di Cina pada tahun 644 dan 645 M. Sudah barang tentu sulit dicarikan keberatan untuk mengidentifikasikan kata Cina ini dengan Malayu.<br />Kontak antara pedagang pendatang dengan penguasa setempat, seringkali sudah turun temurun, adakalanya arat sekali. Tanpa disadari kontak pribadi lama dan erat itu, membawa akibat kepada kedua belah pihak saling mengambil unsur-unsur kerajaan masing-masing. Kalau kontak dagang berasal dari Cina yang beragama Budha (Hinayana) maka agama itulah yang berkembang di bandar dagang tersebut, demikian pula kalau kontak dagang dari Persia (agama Islam) maka agama Islam-lah yang berkembang, dan lain-lainnya.<br />Kerajaan Budha (Hinayana) yang kemudian timbul dan berkembang di Minangkabau Timur, ialah pusat-pusat perniagaan lada. Melayu (Tua) dengan Muara Tembesi sebagai bandar utamanya dan Sriwijaya (Tua) dengan Muara Sabak (Jambi) sebagai bandar utamanya. Kerajaan –kerajaan Budha (Hinayana) inilah yang dikunjungi oleh I-tsing, pendeta Budha dari Cina, dalam perjalanannya ke India (671 Masehi) dan pulang kembali kenegerinya (685 Masehi).<br />Berita yang lebih menarik karena lebih jelas mengarah kepada apa yang dicari adalah kisah perjalanan I-tsing, seorang pedeta Budha dari Cina yang pernah tinggal di Sriwijaya cukup lama, dalam perjalanannya dari Kanto di Cina ke Negapattam di India dalam tahun 671/672 ia singgah dulu di She-li-fo-she untuk belajar bahasa Sanskerta selama enam bulan. Dari sini ia menuju Mo-lo-yeu, di mana ia tinggal selama dua bulan, untuk kemudian meneruskan perjalanannya ke Chieh-cha (Kedah) dan selanjutnya ke India. Dalam perjalanan pulangnya pada tahun 685 ia singgah lagi di Mo-lo-yeu, “yang telah menjadi She-li-fo-she”, selama 6 bulan.<br />Kisah perjalanaan I-tsing itu memberikan gambaran bahwa Melayu adalah tempat persinggahan yang cukup penting, karena tidak dilewati begitu saja, baik dalam pelayaran dari Cina ke India maupun sebaliknya. Adapun letak dari Bandar Malayu itu, kiranya dapat disimpulkan dari keterangan mengenai arah pelayaran yang diceritakan I-tsing. Pelayaran dari Sriwijaya ke Malayu memakan waktu 15 hari, dan demikianlah juga dari Malayu ke Kedah. Hanya saja, dari Malayu ke Kedah orang harus berganti arah.<br />Dengan berpedoman kepada lokasi Sriwijaya di Palembang dan Melayu di Jambi maka keterangan I-tsing itu tidak sesuai dengan kenyataan. Jarak Palembang – Jambi tidak sama dengan jarak Jambi – Kedah, padahal sama-sama memakan waktu 15 hari pelayaran. Demikian juga, arah pelayarannya, kiranya kedua jalur itu pada pokoknya sama-sama membujur dari tenggara ke barat laut, sehingga adanya perobahan arah dalam melayari jalur Jambi – Kedah menggoyahkan semua teori yang sudah tersusun rapi. Tidak mengherankan kalau Moens melontarkan pendapat lain lagi guna menopang teorinya tentang lokasi Sriwijaya. Dikatakannya bahwa pada waktu I-tsing belayar dari Cina ke India, Sriwijaya berpusat di Kelantan, pantai Timur Jazirah Malaka, sedangkan Malayu berada di Palembang. Oleh karena itu jarak pelayaran Sriwijaya – Malayu dan Malayu – Kedah adalah sama haluan sehingga arah Sriwijaya – Malayu dan arah Malayu – Kedah menjadi berlawanan dari timur laut – barat daya menjadai tenggara – barat laut. Selanjutnya dikatakan bahwa ketika I-tsing singgah lagi di Malayu dalam perjalannan pulangnya, Melayu telah dikuasai oleh Sriwijaya yang setelah itu memindahkan pusat pemerintahannya ke daerah Muara Takus.<br />Kisah pelayaran pulang pendeta Budha Cina bernama I-tsing dari India mencatat bahwa kerajaan Mo-lo-yue telah menjadi bagian dari Sriwijaya. Timbulnya perobahan politik di dalam kerajaan Melayu terjadi sekitar tahun 671-679 Masehi. Interpretasi atas peobahan di dalam kerajaan Melayu ini ada beda pendapat antara para ahli.<br />Sarjana Perancis berama Georges Coedes adalah ilmuan pertama yang menempatkan pusat kerajaan Sriwijaya di Palembang, melalui karangannya Le Royume d Crivijaya, BEFEQ No. XVIII tahun 1918. Garis besar pendapat Coedes adalah sebagai berikut;<br />a. Kerajaan Melayu berlokasi di Jambi<br />b. Mengidentifikasi kata Sriwijaya dengan kerajaan.<br />c. Kerajaan Melayu dicaplok oleh kerajaan Sriwijaya.<br />d. Menempatkan pusat kerajaan Sriwijaya di Palembang<br />Untuk mendukung hipotesisnya Coedes meneliti dengan seksama isi prasasti Kedukan Bukit, Talang Tuwo, Karang Berahi,dan Kota Kaput. Menurut Coedes prasasti ini adalah sebagai bukti otentik pencaplokan Melayu oleh Sriwijaya. Coedes dalam karyanya ini tidak atau belum menempatkan fakto arkeologis berupa situs purbakala, dengan geomorfologi pantai timur Sumatera. Tapi Coedes sangat berjasa dalam menempatkan istilah Sriwijaya sebagai suatu kerajaan.<br />Sarjana pertama yang menentang Palembang sebagai lokasi pusat kerajaan Sriwijaya adalah J.L. Moens. Inti hipotesis Moens adalah sebagai berikut:<br />a. Puat kerajaan Melayu adalah di Palembang.<br />b. Prasasti Kedukan Bukit adalah prasasti penundukan Melayu oleh Sriwijaya.<br />c. Antara tahun 683 dan 695 pusat pemerintah Sriwijaya pindah dari Semenanjung Muara Takus, Riau.<br />d. Pusat kerajaan Sriwijaya di Muara Takus, Riau.<br />Landasan teori Moens berdasarkan atas interpretasinya terhadap route perjalanan I-tsing. Moesn berpendapat bahwa perjalan I-tsing dari Sriwijaya ke Melayu sebagai pelayaran dari pantai timur Semenanjung Palembang. Dari Melayu I-tsing meneurskan pelayaran ke Kedah (chieh cha). Arah pelayaran dari Melayu ke Kedah ialah tari Tenggara ke barat-laut, maka arah pelayaran Melayu ke Kedah berbeda arah dari Sriwijaya ke Melayu. Kemudian akhirnya Moens mengambil kesimpulan arah pelayaran Sriwijaya ke Melayu dari arah barat ke Tenggara.<br />Pada bulan Juli dan Agustus 1974 sebuah team dari Amerika Serikat mengadakan ekskavasi di 4 (empat) situs di Palembang. Tim dibawah pimpinan Dr. Bernet Bronson danJan Wisseman kerjasama denan Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional Jakarta, mengeluarkan pendapat bahwa Sriwijaya tidak mungkin di Palembang, karena situs-situs di sekitar Palembang menunjukkan pemikiman abad ke 14 sampai 17 Masehi (Sholihat, 1982). H.G. Quaritch Wales, tahun 1935 menempatkan Chaiya (Thailand Selatan) sebagai lokasi pusat kerajaan Sriwijaya. Rolang Bradell menempatkan semenanjung Malaya sebagai lokasi pusat kerajaan Sriwijaya. Sedangkan M.C. Chand Chirayu Rajani tahun 1974 mendukung Thailand Selatan sebgai pusat kerajaan Sriwijaya.<br />Sarjana Belanda bernama F.M. Schnitger tahun 1926 menolak lokasi Palembang sebagai pusat kerajaan Sriwijaya, ia menempatkan Muara Jambi pusat kerajaan Sriwijaya. Seorang ahli arkeologi Indonesia, Soekmono tahun 1955, melalui pendekatan geomorfologi pantai timur Jambi, menolak penempatan pusat kerajaan Sriwijaya di Palembang, ia melokalisasi Jambi sebagai pusat kerajaan Sriwijaya. Begitupula Slamet Muljana, tahun 1981 menolak Palembang sebagai pusat kerajaan Sriwijaya, ia menempatkan Jambi sebagai lokalisasi yang tepat.<br />Kerajaan Malayu tercatat dalam sejarah sejak abad ketujuh. Mungkin kerajaan ini lebih dahulu berdiri dari Sriwijaya, karena namanya lebih dahulu tercatat dalam kronik Cina. Hsin-Tang-shu mencatat bhwa utusan Mo-lo-yu (Malayu) datan ke istana Cina pada tahun 644-645, sedangkan utusan Shih-li-fo-shih (Sriwijaya) baru datang untuk pertama kalinya pada tahun 670. DR. Wolters menduka bahwa pada mulanya negeri Sriwijaya merupakan negeri bawahan Malayu, kemudian Sriwijaya memerdekakan dirinya untuk bangkit sebagai kekuatan baru.<br />Pelabuhan Malayu merupakan tempat persinggahan yang utama dalam jalur pelayaran dan perdagangan antara India dan Cina. Pendta I-tsing sendiri pernah tinggal selama 2 bulan di Malayu, dalam perjalanannya dari Sriwijaya ke India.<br />Tidak dapat disangkal bahwa Negeri Malayu berlokasi di Jambi. Pelokasian ini ditunjang oleh prasasti dan mendapat dukungan dari hasil penelitian geomorfologi, yang membuktikan bahwa letak Jambi pada abad ketuju sangat strategis dalam penguasaan lalu linta di Selat Malaka. Itulah sebabnya Kerajaan Sriwijaya berusaha menaklukan Malayu-Jambi, agar Sriwijaya dapat menguasai Selat Malaka. Menurut Bambang Soemandio, ketika I-tsing pulang dari India pada tahun 685, ia mengatakan bahwa ”Malayu sekarang sudah menjadi bagian Sriwijaya” (Utomo, 2002:2). Namun kemudian nama Jambi identik dengan nama Melayu (Sartono, 1992:3). Pada berita Cina yang ditulis oleh Lingpiao Lui disebutkan bahwa Chan-pi atau jambi pada tahun 853 dan tahun 971 Masehi mengirim misi dagang ke Cina (Utomo. 1992: 182). Kemudian dalam Dinasti Song (960-1270) disebutkan sebuah kerajaan Sumatera bernama San-fo-tsi terletak di Laut Selatan dengan ibukotanya Chan-pi. Namun mengenai Melayu dapat ditelusuri pula tinggalan budaya yang banyak terdapat di sepanjang sungai Batanghari yang berhulu di Sumatera Barat dan bermuara ke Jambi.<br />Peninggalan tersebut berupa candi ditemukan di daerah Muara Jambi, Solok Sipin, Pematang Jering, Pematang Saung, Lubuk Ruso, Teluk Kuali. Cand yang berada di hilir Sungai Batanghari diperkirakan antara abat IX-XIII. Peninggalan ini berdasarkan penemuan batu bertulis yang ditemukan di situs Muara Jambi, diperkirakan abad ek 9-10 Masehi. Sedangkan Candi Kemiking diperkirakan dibangun pada abat ke 10-13 Masehi (Data Suaka PSP Jambi). Peninggalan budaya berbentuk arca ditemukan di Muara Jambi, Rantau Kapas Tuo, Betung Bedarah, Tanah Periuk, Kuala Tungkao, Rantau Limau Manis, Solok Sipin, dan Teluk Kuali. Arca tersebut adalah arca Awalokiteswara perunggu, acara Budha batu, potongan arca Budha, arca Budha perunggu, arca Padmapani, arca Ganesha batu, arca Dipalaksmi, arca Aksobya perunggu, arca Nadi, arca Makara batu, dan arca Prajnaparamita. Peninggalan arca yang ada di DAS Batanghari bagian hilir diperkirakan berasal dari abad ke-6 Masehi yang ditemukan di Solok Sipin dan arca paling muda ditemukan di Koto Kandis dan Muaro Jambi, yaitu arca Dipalaksmi dan Prajnaparamita. Menurut Setyawati Sulaiman, arca Prajnaparamita (tanpa lengan dan kepala) memiliki persamaan dengan arca yang ada di Singasari, sehingga diduga arca ini berasal dari abat ke 13-14 Masehi (Utomo, 1992:81).<br />Kemudian peninggalan kebudayaan berbentuk prasasti ditemukan di Karang Berahi, oleh L.M. Berkhout tahun 1904, berisikan kutukan-kutukan dan ancaman. Peninggalan berupa keramik pada umumnya berasal dari abad ke 10-13 Masehi. Peninggalan berbentuk lempengan emas bertulis diperkirakan dari abad ke 9-10 Masehi dan peninggalan budaya berupa perhiasan seperti alung emas seberat 98 gram dan ikat pinggang (sabuk) emas seberat 300 gram lebih ditemukan tahun 1995. Perhiasan ini juga berasal dari abad ke-7 Masehi (Suapa PSP Jambi, 1995). Hal ini dapat dihubungkan dengan berita Arab dan Cina yang menyatakan bahwa Melayu merupakan penghasil emas yang erbesar di kawasan Nusantara.<br />Berabad-abad lamanya negeri Malayu-Jambi menjadi bawahan Kerajaan Sriwijaya. Pada tahun 853 dan 871 Masehi negeri Malayu – Jambi sempat mengirimkan utusan ke negeri Cina. Rupanya pada saat itu Kerajaan Sriwijaya agak lalai menawasi Malayu, sehingga negeri bawahannya itu sempat mencuri kesempatan dua kali untuk mengirimkan utusan ke Cina. Tindakan Malayu itu sudah tentu dianggap tidak pantas oleh Raja Sriwijaya, karena yang berhak mengirimkan utusan hanyalah negeri yang merdeka, sedangkan Malayu adalah bawahan Sriwijaya. Itulah sebabnya raja Sriwijaya menegaskan kepaa istana Cina, melalui utusan yang datang tahun 905 Masehi, bahwa dia adalah ”raja Jambi”, artinya raya yang menguasai Jambi.<br />Selama kira-kira empat abad kawasan ini dikuasai oleh Kedatuan Sriwijaya, akan tetapi sejak abad XI dominasi Sriwijaya atat pelayaran di Selat Malaka mulai mendapat tantangan dari beberapa kekuasaan tandingan. Si sebelah timur telah muncul kekuata nbaru di bawah Airlangga, sedangkan di sebelah barat ada tantangan dari kerajaan Colamandala di India Selatan. Sekitar 1024 – 1025 Maseh armada Cola menyerang Sriwijaya, Masa kekacauan yang terjadi sesudahnya, memunculkan berbagai kekuatan baru di kawasan ini. (Lapian, 1992).<br />Rupanya kekuatan Sriwijaya yang tadinya berpusat di Palembang, kini beralih ke Jambi, namun kedudukannya sebagai kekuatan tunggal tidak lagi dapat dipulihkan seperti sedia kala, malahan beberapa tempat mulai munul kekuatan baru yang makin mandiri sehingga makin melemahkan kekuatan pusatnya (Lapian, 1992).<br />Ketika pertangahan abad kesebelas Kerajaan Sriwijaya mulai lemah akibat serbutan dahsyat Colamandala, negeri Malayu memanfaatkan kesempatan untuk bangkit kembali. Sebuah prasasti yang ditemukan di Srilanka menyebukan, bahwa pada zamanpemerintahan Vijayabahu di Srilangka (1055 – 1100), Pangeran Suryanarayana di Malayaprua (Sumatera). Hal ini menunjukkan bahwa pada pertengahan abad kesebelas, negeri Malayu – Jambi telah berhasil memerdekakan dirinya dari kekuasaan Sriwijaya. Pada patung makara bertarik 1064 Masehi dari daerah Solok Sipin, Jambi terpahan nama seorang pembesar, Dharmavira. Kronik Cina, Ling-wai-tai-ta, menyebutkan bahwa pada tahun 1079, 1082, dan 1088, negeri ­Chan-pi (Jambi) di San-fo-tsi (Sumatera) mengirimkan utusan ke negeri Cina. Perlu dicatat, bahwa negeri yang diakui utusannya oleh Kaisar Cina hanyalah negeri yang merdeka.<br />Lain lagi adalah pendapat Buchari, yang menyatakan bahwa sebelum tahun 683 Sriwijaya harus dicari di sekitar batang Kuantan di daerah ulu sungai Indragiri, dan Malayu di daerah Muara Sungai Asahan di Sumatera Utara. Dengan penentuan lokasi ini maka jarak Sriwijaya - Melayu dan Melayu – Kedah menjadi kira-kira sama, yaitu 15 hari perjalanan.<br />Demikianlah maka tidak dapat dipungkiri bahwa berita-berita Melayu itu hanya dapat menambah teori baru kepada sejumlah teori yang sudah ada sedangkan teori-teori yang lama masih juga bertahan. Namun demikian, dari semua keterangan, penafsiran dan kesimpulan yang serba kabur itu dapat sedikit titik terang, yaitu bahwa nampaknya para pakar dan peneliti sepakat untuk menempatkan Melayu di sekitar Jambi sekarang. Hanya saja, kalau dikaji lebih lanjut maka perlu juga kiranya dipertimbangkanapakah benar bahwa penentuan lokasi itu dikaitkan dengan adanya sungai di Muara Jambi yang dikenal dengan nama Sungai Melayu. Soalnya adalah, bahwa sampai sekarang tidak ada petunjuk lain yang memaksa kita mengarahkan pandangan ke Jambi.<br />Di dalam kitab Sejarah Dinasti T’ang (abad ke 7 -10 Masehi) untuk pertama kalinya disebutkan datangnya utusan dari Mo-lo-yeu pada tahun 644-645 Masehi. Toponim mo-lo-yeu dapat diidentifikasikan dengan Melayu yang letaknya di pantai timur Sumatera, dan pusatnya di sekitar Jambi. (Utomo, 1992). Sementara itu, di dalam berita Arab dari jaman Kekhalifahan Muawiyah (661-681 Masehi) disebut nama negeri Zabag sebagai bandar lada terbesar Sumatera Bagian Selatan.<br />Pada tahun 692 Masehi, ketika untuk kedua kalinya I’tsing dalam perjalanannya ke India singgah di Mo-lo-yeu negeri tersebut sudah menjadi Shih-li-fo-shih atau Sriwijaya (Bambang Sumadio 1974:53). Dengan arti kata kerajaan Mo-lo-yeu sudah ditaklukkan oleh Sriwijaya.<br />Dalam Catatan Ling Piau Lui yang ditulis tahun 889-904 Masehi, disebutkan Chan-pi (Jambi) menghasilkan sejenis kacang-kacangan yang bentuknya seperti bulan sabit. Orang-orang Hu mengumpulkannya dan diberikan kepada pegawai CIna sebagai curiosities (Wolters 1947: 144). Menurut Wolters, toponim Chan-pi dapat diidentifikasikan dengan Jambi sekarang. (besambung)Prof. Aulia Tasman, Ph.Dhttp://www.blogger.com/profile/03879010985712892173noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-2758280145952467066.post-34096942993815569382009-05-18T15:54:00.000-07:002009-05-18T15:55:25.840-07:00Ilmu Pengetahuan dan TeknologiNIKMATNYA ILMU PENGETAHUAN<br /><br />{Dan, Dia telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. Dan adalah karunia Allah itu sangat besar.}<br /><br />(QS. An-Nisa’: 113)<br /><br />Kebodohan merupakan tanda kematian jia, terbunuhnya kehidupan dan membusuknya umur.<br /><br />{Sesunguhnya Aku mengingatkan kepadamu suapay kamu tidak termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan.}<br /><br />(QS. Hud: 46)<br /><br />Sebaliknya, ilmu adalah cahaya bagi hati nurani, kehidupan bagi ruh dan bahan bakar bagi tabiat.<br /><br />{Dan, apakah oran gyang mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaanya berada alam gelap gulita yang berkali-kali tidak dapat keluar daripadanya.}<br /><br />(QS. Al-An’am: 122)<br /><br />Kebahagian, kedamaian, dan ketentraman hati senantias berawal dari ilmu pengetahuan. Itu, karena ilmu mampu menembus yang samar, menemukan sesuatu yang hilang, dan menyingkap yang tersembunyi. Selain itu, naluri dari jiwa manusia itu adalah selalu ingin mengetahui hal-hal yang baru dan ingin mengungkap sesuatu yang menarik.<br /><br />Kebodohan itu sangat membosankan dan menyedihkan. Pasalnya, ia tidak pernah memunculkan yang baru yang lebih menarik dan segar; yang kemarin seperti hari ini, dan yang hari ini pun akan sama dengan yang akan terjadi esok hari.<br /><br />Bila anda ingin senantiasa bahagia, tuntutlah ilmu, galilah pengetahuan, dan raihlah perlbagai manfaat, niscaya semua kesedian, kepedihan dan kecemasan itu akan sirna.<br /><br />{Dan, Katakanlah: “Ya Rabbku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan.}<br /><br />(QS. Thaha: 114)<br /><br />{Bacalah dengan nama Rabbmu Yang menciptakan.}<br /><br />(QS. Al-Alaq: 1)<br /><br />“Barang siapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya, maka Allah akan pandaikan ia dalam agama” (Al-Hadits)<br /><br />(QS. An-Nisa’: 113)<br /><br />Janganlah seseorang sombong dengan harta atau kedudukannya, kalau memang ia tak memiliki ilmu pengetahuan sedikit pun. Sebab, kehidupannya tiak akan sempurna.<br /><br />{Adakah orang yang mengatahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu itu benarsama dengan orang yang buta.}<br /><br />(QS. Al-Ra’d: 19)<br /><br /><br />Az-Zamakhsyari, dalam sebuah syairnya berkata:<br />Malam-malamku untuk merajut ilmu yang bisa dipetik,<br />Menjauhi wanit elok dan harumnya leher<br />Akum mondar-mandir untuk menyelesaikan masalah sulit,<br />Lebih menggoda dan manis dari berkepit betis nan panjang<br />Bunyi penaku yang menari di atas kertas-kertas<br />Lebih manis daripada berada di belaian wanita dan kekasih<br />Bagiku lebih inidah melemparkan pasir ke atas kertas<br />Daripada gadis-gadis yang menabuh dentum rabana<br />Hai orang yang berussaha mencapai kedudukanku lewat angannya,<br />Sungguh jauh jarak antara orang yang diam dan yang lain, naik<br />Apakah aku yang tidak tidur selama dua purnama dan engkau<br />Tidur nyenyak, setelah itu engkau ingin menyamai derajatku<br /><br />Alangkah muliahnya ilmu pengetahuan, alangkah gembiranya jiwa seseorang yang menguasainya, dan alangkah leganya perasaan orang yang menguasainya.<br /><br />{Maka apakah orang yang berpegang teguh pada keterangan yang datang dari Rabbnya sama dengan orang (syaitan) menjadikan dia memandang baik perbuatannya yang buruk dan mengikuti hawa nafsunya.}<br /><br />(QS. Muhammad: 14)Prof. Aulia Tasman, Ph.Dhttp://www.blogger.com/profile/03879010985712892173noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-2758280145952467066.post-55432378027330647422009-05-18T15:44:00.001-07:002009-05-18T15:53:31.586-07:00Analisis Efisiensi dan ProduktivitasMEASUREMENT OF TECHNOLOGICAL CHANGE IN PERENNIAL CROPS: Case in Rubber Farming in Batang Hari Regency - Jambi<br /><br />Aulia Tasman<br /><br />Keywords: technological change, total factor productivity, perennial crops, rubber farming.<br /><br />Abstract:<br />This study aimed to measure the technical efficiency and technological change in rubber farming. Data collection was done in Batang Hari regency, Jambi from farmers belonging to the traditional group and to government estates. This cross section data were used to simulate the behavior of the time series data, based on potential yield and age of tree.<br />The farmers are experiencing positive technological change in group age 1with values ranging from 13.9% to 15.1%, and 2.3% to 4.6% in group age 3. Any attempt to increase productivity should be geared more tothe introduction of new technology, i.e., HYVs more widely for all groups of farmers, and the training of farmers on the package of knowledge.<br /><br />INTRODUCTION<br /> <br /> In terms of production of Indonesian rubber, the smallholders registered an overall growth of 3.0% per year, from 714,500 tons in 1980 to about 1.0 million tons in 1993. On the overall, production of government estates slightly increased by an average of 1.1% per year during the same period, from 186,000 tons in 1980 to 211,600 tons in 1993. Production from the private estates had increased at higher rate during the last five years, averaging 7.0% per year, although on the overall, production increased by an average of 3.7% per year, increasing from 120,000 tons in 1980 to 183,000 tons in 1993.<br /> By type of producers, the government estates still had the highest average yield per hectare of 1,132 kilograms in 1993, reflecting a decline from 1989 to 1993 by around 2.0% per year. Yield of the private estates had stabilized at around 1,100 kilograms per hectare during the last five years. Yield of smallholder was the lowest at 639 kilograms, with slight improvement from its former level of 542 kilograms in 1980.<br /> Comparing the yields among three type of rubber farming practices, the smallholder estates have the lowest yield. Several questions can therefore be raised such as:<br />(1) Why is there a big difference between the yields of the smallholder compared to the yields of government and private estates?<br />(2) What are the dominant factor sources of lower yield of the smallholders?<br />(3) Could lower yields be caused by slow technological change?<br /> To answer these problem, the study will be focused in one particular regencies in Jambi province. The study will conduct a comparative analysis to the type of rubber farming between the smallholder and the government estates in Batang Hari regency, while the private estates is not included because the private estates for rubber plantation does not yet established in this regency.<br /> This study aims to provide information to policy makers to be used in formulating an appropriate policy.<br /> The general objective of this research is to assess the production models in rubber farming and based on the findings, develop the appropriate policy in improving farmer welfare, and to meet other government objectives such as to increase employment and farmer income. Specific objectives of this study are:<br />1. to analyze the nature of technological change.<br />2. to offer some appropriate policy implications relevance to the research findings.<br /><br />REVIEW OF LITERATURE AND METHODOLOGY<br />1. Construction of Life Time Matrix of Perennial Crops<br /><br /> Precise estimation of economic parameters necessitates availability of data on prices and quantities of inputs and outputs for the entire life span of perennial crops, which in some cases exceeds many decades. Moreover, Chand (1994) said that many inputs applied to perennial crops in one period affect the output in following periods also. Any data collected by conducting survey can cover only some years of the total lifetime of such crops and it is nearly impossible to get data on lifetime input use, output and corresponding prices from the farmers growing these crops, especially the farmers who do not keep farm records to supply such fast information. There are at least two main problems related to perennial crops. First, the consequences of inputs applied in the initial period cannot be seen directly for the next periods. Second, it is difficult to determine precisely the future inputs and outputs. <br /> Chand (1994) proposed other procedures/methodologies to study the economics of perennial crops by constructing a lifetime matrix for a given data. The data on quantity and value of inputs and output are obtained for each age year/group by dividing the total life of perennial crop in homogeneous periods. Based on these quantities, a single value of each parameter under study such as yield, return, profitability, etc. is obtained. The advantages of this approach are:<br />(1) It gives complete information of output and inputs, and the distribution for total life span of perennial crop for each producing unit rather than getting a single value for each variable.<br />(2) The implicit restrictive assumption of previous approach is that in the past and in future; the individual has the same value of variable and the restrictive assumptions can relaxed.<br />(3) The statistical tools which require data on individual observation can be applied. Similarly, the tools of production economics such as resource use efficiency, production function analysis, factor share can also be applied to analyze the production behavior.<br />(4) Estimates of expected cost of production, return and profit can be obtained for individual units based on total life span. Intuitively the estimates are expected to be more reliable sense compared to those obtained by using the previous approaches.<br /> The tools of economics as applicable in the case of annual crops cannot be applied directly as such in the case of perennial crops until these have been postulated into economic problems. Precise estimation of economic parameters necessitates availability of data on prices and quantities of inputs and output for the entire life span of the perennial crops of more than three years. Chand (1994) proposed an alternative methodology to estimate production parameters by including some additional variables in the production function. Let:<br />· N the total life of perennial crops<br />· n the units for each age year or age group<br />· Sj the average of sub-sample at the jth year<br />· Yji the value of variable at the ith sample unit which belongs to jth year<br />· Ki the index for the value of variable for individual i which is the unit of sub-sample in j the age year,<br />then the computation of the ratio (index) between the value of variable for the individual and sub-sample average is<br /> (1) <br />where Ki indicates that the value of variable Y for ith unit is Ki times the sample average. Thus it can be deduced that ith unit used Ki times more input or produced Ki times more output compared to the average of the sample. Based on this, the missing values of variable for ith unit in the past and the future life of the perennial crop can be obtained by multiplying the average value of each sub-sample by Ki.<br /><br />2. Technological Change<br /><br /> Technological change refers to the changes in a production process that comes about from the application of scientific knowledge. These changes in the production process can be realized in various ways at the firms levels; through improved methods of utilizing existing resources such that a higher output rate per unit of input is obtained, often referred to as disembodied technological changes; through changes in input quality, referred to as embodied technological change; or through the introduction of new processes and new inputs (Antle and Capalbo, 1988).<br /> Technology is a stock concept indicating the body of knowledge that can be applied in the production process. Brown (1968) defined technological change in terms of changes in the four characteristics of the abstract technology which a given production function embodies:<br />(1) Changes in the efficiency of a technology where the output is augmented for given set of inputs, but where the relationship between the inputs and the degree of returns to scale are altered;<br />(2) Changes in the returns to scale as the result of modifications in the technology; and<br />(3) Changes in the ratio of the elasticity of production with respect to different factors which alter the marginal rate of substitution between different factors.<br /> Conventionally, the change or improvement of a technology can be observed as a change in factor productivity index in terms of a certain input (Y/Xi), or a change in total productivity index in terms of output per unit of combined input (Y/X), regardless of the nature of technological change, neutral or non-neutral. Basically, both are average products. The earlier term can be expressed as APL = Y/L and APC = Y/C, indicating average product of labor and capital respectively, while the latter can be expressed as AP = (Y)/(hL + kC), where Y is output, L is labor, C is capital, and h and k are weights for labor and capital, respectively. For changes in these ratios, the comparison between any two periods is taken (Swastika, 1995). <br />If disembodied technological change occurs in an existing production process, then it can be modeled in terms of a shift in the production surface. Embodied technological change introduces other measurement problems such as the measurement of input and output quality changes. If technological change occurs through the introduction of new processes and inputs, then the production possibilities set are both multi-product and multi-factor. In some respects it is simpler to use the dual cost or profit function (given outputs and factor prices) or an increase in profits (given output an input prices). When the technological change involves the adoption of new inputs or production of new output, for example, firms may be observed at corner solutions, where some inputs are not used or some outputs are not produced. Since the dual cost and profit functions are based on the assumption for maximizing behavior, they provide measures of technological change at the firm's optimal input and output level (Antle et al., 1988).<br /> Many of the theoretical literature on technological change as well as most empirical research, are focused on the aggregate level of the industry or sector. In the aggregate approach, an aggregate production function is often postulated to be in the form Y = F(X, t), where Y is aggregate output and X = (X1, X2,., Xn) is the total amount of each type of input used, and t is the state of technology. Assume that F satisfies the neoclassical regularity conditions: F is a positive, increasing, concave function of X and is increasing and differentiable in t (Antle and Capalbo, 1988).<br /><br /><br />RESULTS AND DISCUSSION<br /><br /> The number of respondents is 310 farmers which are classified into the following: 50 are pure traditional farmers, 47 are partial traditional farmers, 53 are PRPTE farmers, 51 are NES -Durian Luncuk farmers, and 109 are NES - Bajubang farmers. <br />The estimated parameters of the modified translog production frontier function are highly significant different from zero. The coefficient of determination (R2) is 0.8631. It means that that 86.3% of the variations of output were determined by the behavior of changes in factor inputs and technology, while around 13.6% were determined by other factors outside the model. The F-ratio of the model is also highly significant from zero at 1% level, with an F-ratio value of 27.8644.<br />The presence of technical change can be identified from the estimation of stochastic frontier production function model using equation (6) by evaluation of the coefficients of group age 1, 2 and 3, and the interaction with variable inputs. These parameters can be positive, zero and negative in sign. If parameter bt is positive, then the production frontier will shift upward, indicating the improvement of technology. If bt is negative, then the production frontier will shift downward, indicating a decline of technology. Then if bt is zero, the production frontier will neither shift upward nor downward.<br />The magnitude of parameter btt (the square term of proxy time) indicates the rate of change of the production frontier, and the sign can be positive, zero or negative. If the sign of btt is positive, zero, or negative , then the rate of change of production frontier is increasing, constant, or decreasing, respectively.<br />The significance of the coefficients of Group age 1, 2 and 3, indicates that technological change has significantly changed the intercept of the frontier; otherwise, if it not significant, it means that they do not significantly alter the frontier intercept and only change the slope of the frontier.<br />The coefficient of T1 is not significant, which means that the presence of technological change in group age 1 only changes the slope of the frontier, not the intercept—the technology is the non-neutral type. In group age 2, the technological change exists and is significantly different from zero at 5% level, with value of 0.0052. It shows that the production frontier shifts upward with the improvement of technology and at the same time TFP also increases in group age 2. Coefficient of T3 is not significant, indicating that the technological change in group age 3 only changes the slope of the frontier, and not the intercept of the function – the technology again is the non-neutral type.<br />The coefficient of the square terms indicates the rate of change of the production frontier. The positive, negative or zero value of the coefficient means that the rate of shifting the production frontier is increasing, decreasing or constant, respectively. All the coefficients of squared terms, in periods Group age 1, 2 and 3, are not significant, that there will be no statistical significance in the rate of change of production frontier whether it is increasing, constant, or decreasing.<br />The change in elasticity of production over time can be derived by taking a second derivative of output with respect to time,-- parameter bit . If their values are positive, then there is an increase in the use of ith input, and thus the technological change is input-using. Otherwise, if the values are negative, then the technological change is input-saving.<br />The coefficients of LSIZT1, LHERT1, LTWKT1, and LNWDT1 are not significantly different from zero, however, its positive sign indicates that technological change is biased toward farm size, herbicide use, tapping week, and number of times of weeding in group age 1. The same pattern of biased technological change for these input is shown in group ages 2 and 3, with the coefficients of LSIZT2 & LSIZT3, LHERT2 & LHERT3, LTWKT2 & LTWKT3, and LNWDT2 & LNWDT3 showing a positive sign, which indicates that the technology is biased toward farm size, herbicide, tapping week, and number of times of weeding.<br />Using the same method of analysis, that the coefficient of LFERT1 has a positive sign indicates that technological change is input-using toward fertilizer in group age 1. The fertilizer-saving technological change is likely present in group ages 2 and 3, as indicated by the negative coefficients of LFERT2 and LFERT3, although they are not significantly different from zero.<br />The biased technological change toward stimulant is input-saving in group age 1, indicated by negative coefficient of LSTMT1. The behavior is toward biased technological change for stimulant in group ages 2 and 3 as shown by the negative sign of coefficient LSTMT2 and LSTMT3, respectively.<br />The coefficients of ltplt1 and LTPLT2 are negative in group age 1, and 2, respectively, which shows the biased technological change toward tapping labor is input-saving for both periods. However, in group age 3, the biased technological change toward tapping labor is input-using as indicated by positive coefficient of LTPLT3.<br />Equipment and number of trees show opposite directions of biased technological change for all periods. While the equipment in group age 1 is biased technological change of input-using, as indicated by positive coefficient of LEQUT1, there is input-saving of biased technological change toward number of trees with negative coefficient of LNTRT1. The same opposite directions for both inputs in group ages 2 and 3 are shown, with the coefficient of LEQUT2 negative and the coefficient of LNTRT2 positive in group age 2. The coefficient of LEQUT3 is positive in group age 3, but the coefficient of LNTRT3 is negative in the same period.<br />Table 2 shows the comparison of primal rate of technological change across types of farmers and across time. The primal rate of technological change is the rate of change in technology that determines both components bt and btt as the technological change, bit as the biased-technological change.<br />In general, the traditional farmers have high rates of technological change in group age 1, and 2 with range from an average of 13.9% to 15.1% in group age 1 and on average of 0.4% to 2.4% in group age 2. On the other hand, the farmers in the government estates have high average rates of technological change in group age 3 with a range of values from 4.4% to 4.7%. The lowest rate of technological change in group age 3 is the rate for farmers of traditional farming systems, indicating that the local variety used by traditional farmers are not good in the longer period because of the rapid decrease in potential yield compared to other varieties.<br /> The technological change in group age 1 for all type of farmers ranges from 13.78% to 15.07%, -0.05% to 2.49 for group age 2, and 2.28% to 4.63% in group age 3. Because the technological change in group ages 2 and 3 is less than in group age 1, the technological changes in group age 1-2 and 1-3 are negative. While the technological changes in group age 2-3 are all positive except for pure traditional farmers.<br /> Farmers of NES - Bajubang has the most set back of technological change with value of -14.28%, followed by partial traditional farmers by -14.04%, NES -Durian Luncuk farmers by -13.83%, PRPTE farmers by -13.48%, and pure traditional farmers by -11.64%. It indicates that there is a decreasing progress of technology in group age 1-2 and 1-3 because of low rate of progress in group age 2-3, respectively. In group age 1, farmers are continuously maintaining their fields and practicing the technology they got from the early stage of development under the coordination of government estates. Nevertheless, farmers cannot maintain their field properly during group age 2, causing a decreasing rate of technological change. At this period, the traditional and PRPTE farmers also have spill-over gain from the government estates farmer by learning and imitating what the farmers there are practicing.<br /> Realizing that the productivity of their rubber trees are continuously declining in group age 2, all types of farmers are increasing input use and practicing new technology in group age 3. There is little improvement in technology at this period. The highest value of technological change in group age 2-3 is 4.62% by farmers of NES - Bajubang, and the lowest is -0.21% by pure traditional farmers. There is increasing productivity of partial and PRPTE farmers in the late period due to several special programs for productivity improvement of traditional and PRPTE farmers such as STCPP - ADB and other programs. The pure traditional farmers, however, cannot have much benefit from the technological progress.<br /> The overall technological changes are negative in all periods except the group age 2-3. The magnitude of change is -13.60% in group age 1-2, increases to 3.80% in group age 2-3, and decreases to -10.40% in group age 1-3.<br /> There is no significantly different in mean technological change between the farmers of NES - Bajubang and NES - Durian Luncuk in all age groups. However, there are all significantly different in the level of mean technological change among the others at 10% to 1% level in group age 1-2, 1, 5% to 1% in group age 2-3, and all at 1% in group age 1-3. It means that the mean technological progress between both government estates is indifferent, but they differ to that of other type of farmers. Besides that there are highly significantly different of mean technological change among traditional and PRPTE farmers in all age groups.<br /><br /> <br />CONCLUSION<br /><br /> The study consists of two steps. Step one is the construction of the lifetime matrix of the perennial crop and Step two to derive technological change. All data on output and inputs are classified into three groups based on the potential yield of rubber for each variety, as follows: (1) group age 1 is the tree age range of 7 to 13 years with potential yield ranging from 0.5 to 1.9 ton per hectare, (2) group age 2, 14 to 17 years with peak potential yield of 2 ton per hectare, and (3) group age 3, 18 to 30 years with the decreasing potential yield 1.8 to 0.3kg/tree. The lifetime matrix presents all the three lifetime data of output and inputs of rubber farming so that it will provide the missing data in the early period of plantation and the future data till the end age of the tree.<br /> The farmers are experiencing positive technological change in group age 1with values ranging from 13.78% to 15.07%1, and 2.28% to 4.63% in group age 3. However, the level of technological change in group age 2 is much lower compared to that in group ages 1 and 3. Farmers of NES-Durian Luncuk are experiencing negative technological change, which is -0.05%. The highest technological change is that of partial traditional in group age 1, that of the pure traditional in group age 2, and the NES-Bajubang farmers in group age 3.<br /> The lower yield of the traditional farmers is mainly caused by improper maintenance of their field, especially underutilizing the necessary inputs such as fertilizers, herbicides, tapping labor, and equipment. There is an over-use of inputs such as tapping week and stimulant. Besides that, the level of technology is much lower in time of the peak season which results in lower yields.<br /><br /><br />LITERATURE CITED<br /><br /><br />AIGNER, C.D, and S.F. CHU. 1968. On Estimation the Industry Production Function. American Economic Review, 58(4): pp. 826-839.<br />ANTLE, J.M. and T. McGUCKIN. 1993. Technology Innovation, Agricultural Productivity and Environment Quality. In G.A. Carlson, D. Zilberman, and J.A. Miranowsky. Pp. 175-219.<br />CAPALBO, S.M. 1988. A Comparison of Econometric Models of U.S. Agricultural Productivity and Aggregate Technology", in J.M. Antle and S.M. Capalbo: Agricultural Productivity: Measurement and Explanation, Resource for The Future. Washington D.C.: pp, 159-188.<br />CHAND, R. 1994. Economics of Perennial Crops: Some Methodological Issues. Indian Journal of Agricultural Economics, 49(2): pp. 246-249.<br />FØRSUND, F.R. and L. HJALMARSSON. 1979. Frontier Production Functions and Technical Progress: A Study of General Milk Processing in Swedish Dairy Plants. Econometrica, 74(4): pp. 883-900.Prof. Aulia Tasman, Ph.Dhttp://www.blogger.com/profile/03879010985712892173noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-2758280145952467066.post-71891249638149886722009-05-18T15:21:00.001-07:002009-05-18T15:24:14.230-07:00Daulat Alam Lekuk 50 Tumbi LempurBab 13<br />PEMERINTAHAN DAULAT<br />LEKUK 50 TUMBI LEMPUR<br />PERIODE ABAD XVI – XVII<br /><br /><br />1. Asal-usul Lempur<br />Di waktu jayanya pemerintahan Pamuncak Nan Tigo Kaum (Kerajaan Manjuto) pada abad ke 15 terjadi peristiwa yang berkaitan erat dengan asal-usul Lempur sekarang. Pada waktu wilayah Lempur sekarang termasuk dalam wilayah Depati Rencong Telang sebagai Pamuncak Tuo masih bernama Genah Padang Buku dan Ujung Tanjung Muaro Danau, terjadi kisah sebagai berikut:<br />Pada suatu waktu dalam daerah Pamuncak Tuo (Pulau Sangkar) mengadakan Kenduri Seko (Kenduri Adat, yaitu suatu keramaian secara adat yang dilakukan turun temurun sebagai petanda sudah menuai padi dan sebagai petanda pula akan turun ke sawah).<br />Menurut adat lamo pusako udang, setiap satu Pamuncak akan mengadakan kenduri seko, Pamuncak yang dua lainnya harus diundang pula untuk turut menghadirinya, karena maksud kenduri seko tersebut termasuk juga kegiatan lain diantaranya ialah mengangkat seorang depati baru untuk menggantikan depati yang telah meninggal dunia atau meletakkan gelar.<br />Begitulah Pamuncak Tuo yang di Pulau Sangkat mengundang Pamuncak Tengah dan Pamuncak Bungsu untuk menghadiri kenduri sekot yang akan diadakan oleh Pamuncak Tuo. Maka Pamuncak Tuo mengundang Pamuncak Tengah dan Pamuncak Bungsu untuk dapat menghadirinya.<br />Setelah Pamuncak Tengah yang berkuasa di Daerah Tanjung Kasrie menerima undangan dari Pamuncak Tuo, beliau memanggil istrinya dan memberikan informasi bahwa beliau tidak dapat menghadiri kenduri seko yang akan diadakan oleh Pamuncak Tuo berhubung dengan kesehatannya tidak mengizinkan. Jadi sebagai gantinya beliau menyuruh dan mengutus istrinya dan anaknya yang bernama Puti Ayu Maryam untuk pergi ke Pulau Sangkat berserta dua orang ninik mamak untuk jadi pengawalnya di jalan. Utusan ini adalah sebagai tanda Pamuncak Tengah ikut bergembira atas kenduri seko di Pulau Sangkar beliau pun mengirim sebuah keris pusaka yang akan diserahkan oleh ninik mamaknya nanti apabila sampai di Pulau Sangkar.<br />Pada hari yang telah ditentukan berangkatlah istri Pamuncak Tengah beserta anaknya Puti Ayu Maryam dan dikawal oleh dua orang ninik mamak menuju ke Pulau Sangkar. Jalan yang mereka lalui adalah dari Tanjung Kaseri terus melalui Renak Kemumu kemudian terus menuju Ujung Tanjung Muaro Danau, Genah Padang Buku dan Dusun Lolo terus ke Pulau Sangkar.<br />Setibanya di Pulau Sangkar rombongan Isteri Pemuncak Tengah disambut di halaman panjang, dengan upacara adat yaitu dengan mengadakan pertunjukan pencak dan silat oleh pemuda-pemuda Pulau Sangkar. Setelah upacara di halaman panjang selesai, rombongan dipersilakan untuk naik ke rumah gedang dan beristirahat, agar kemudian dapat pula mengikuti acara-acara dalam kenduri seko selanjutnya.<br />Di rumah gedang ibu dari Puti Ayu Maryam dan dua orang ninik mamak dari Tanjung Kaseri menghadap Depati Rencong Telang dan ninik mamak menyerahkan sebilah keris pusaka dari Tanjung Kaseri sebagap tanda turut bergembira dan sebagai gandi badan diri Pamuncak Tengah di Tanjung Kaseri, yang beliau tidak dapat hadir di Pulau Sangkar berhubung dengan kesehatan beliau yang tidak memungkinkan untuk hadir di Pulau Sangkar.<br />Pada keesokan harinya diadakan keramaian sebagai puncak dari kenduri seko tersebut yaitu dengan mengadakan beberapa acara kesenian adat yang berupa tari-tarian dan nyanyian. Acara kesenian ini berlangsung dari jam 7 malam sampai pagi, dengan mempertunjukkan tarian seperti tari tauh, yang diiringi oleh dap dan gung.<br />Biasanya acara ini terbagai dua yaitu menjelang tengah malam banyak dihadiri oleh yang tua-tua, tetapi setelah itu hanya yang hadir pemuda-pemuda dan gadis-gadis saja. Dalam kesempatan inilah dipakai oleh muda-mudi untuk mencari pasangan mereka masing-masing.<br />Pda malam tersebut kebanyakan perhatian pemuda-pemuda yang hadir tertuju pada Puti Ayu Maryam dari Tanjung Kaseri yang berparas cantik. Kira-kira jam 3 malam ibu Ayu Maryam datang ke tempat keramaian dan anaknya sedang asik berbicara dengan pemuda-pemuda yang hadir pawa malam itu. Ibunya mengajak Puti Ayu Maryam untuk tidur karena hari telah larut malam. Puti Ayu Maryam tidak mengindahkan panggilan ibunya bahkan dianggap sepi saja. Waktu itu salah seorang bujang yang hadir bertanya kepada Puti Ayu Maryam: ”Siapakah orang tua yang memanggilnya tersebut”. Puti Ayu Maryam menjawab: ”Bahwa yang memanggil saya itu adalah inang pengasuhnya atau pesuruh ayahnya”. Mendengar jawaban dari anaknya Puti Ayu Maryam itu, bukan main terkejut ibunya dan sangat menyakiti hati ibunya. Namun karena ingin menjaga dan menghormati acara yang dilakukan oleh Pamuncak Tuo, maka perasaan marah dan sakit hati dengan terpaksa ditahannya saja. Begitulah acara muda-mudi itu berlangsung sampai pagi harinya.<br />Setelah beberapa hari selesainya upacara kenduri seko di Pulau Sangkar, rombongan istri Pamuncak Tengah mohon diri pada Depati Rencong Telang sebagai Pamuncak Tuo untuk segera kembali ke Tanjung Kaseri.<br />Keesokan harinya rombongan Puti Ayu Maryam berangkat menuju Tanjung Kaseri dengan mengambil jalan seperti yang mereka lalui sewaktu ke Pulau Sangkar, yaitu melalui dusun Lolo, Genah Padang Buku dan Ujung Tanjung Muaro Danau.<br />Dari Pulau Sangkat sampai ke Lolo, rombongan dari Puti Ayu Maryam diantar oleh bujang-bujang Lolo, Genah Padang Buku dan Pulau Sangkar. Di tengah jalan bila ada orang yang menanyakan siapa wanita yang bersama dengannya selalu saja Puti Ayu Maryam mengatakan baha orang tua tersebut adalah pesuruh dari ayahnya. Hati ibu Ayu Maryam makin lama makin bertambah sedih dan bercampur dengan marah karena mendengar jawaban dari Puti Ayu Maryam.<br />Dari Lolo ke Tanjung Kaseri tidak ada lagi bujang yang mengantarkan mereka berjalan, mereka hanya berjalan berempat saja. Begitulah kira-kira mereka hampir meninggalkan Genah Padang Buku (diantara Dusun Lempur Hilir dan Lempur Tengah sekarang), dengan takdir Yang Maha Kuasa dan tak disangka-sangka Puti Ayu Maryam terjerumus ke dalam paya (rawa) yang dalam, sehingga badan sampai kelehernya terbenam di dalam lumpur itu. Puti Ayu Maryam minta tolong pada ibunya dan berkata: ”Oh, ibu tolonglah aku”.<br />Ibu Puti Ayu Maryam menjawab” ”Aku ini bukan ibumu”. Ibu Puti Ayu Maryam tidak dapat menahan sedih dan marah sehingga tidak mau dia menolong anaknya, hanya dilihatnya saja. Kira-kira kepalanya hampir terbenam ke dalam lumpur, maka diambilnya gelang dan selendang saja, dan seterusnya Puti Ayu Maryam tenggelam disiut (yaitu kira-kira sebelah Barat Daya dari Lempur Hilir sekarang). Dari kejadian itulah mula daerah tersebut dalam bahasa Genah Padang Buku yaitu Terlumpur, kemudian Talempo dan seterunya menjadi Lempur.<br />Setelah badan Puti Ayu Maryam hilang ditelan lumpur, lalu diajaknyalah pengawalnya untuk segera meninggalkan tempat itu menuju ke Tanjung Kaseri. Di tengah jalan barulah ibu Puti Ayu Maryam sadar akan dirinya dan teringat kembali pada Puti Ayu Maryam, tetapi apa hendak dikata Puti Ayu Maryam sudah tidak ada lagi. Dengan rasa yang sangat sedih yang sangat dalam Ibu Puti Ayu Maryam meneruskan perjalanannya dan berhendi pada suatu Tebat (sungai kecil yang sudah di-dam sederhana sehingga air menjadi besar, biasanya digunakan untuk tempat permandian) untuk mencuci muka. Disitu ia teringat lagi pada Puti Ayu Maryam karena melihat barang-barang Ayu Maryam yang dibawanya. Untuk menghilangkan perasaan sedihnya itu maka dilemparkannyalah gelang Ayu Maryam ke dalam tebat itu, dan sekarang tebat tersebut dikenal dengan nama Tebat Gelang.<br />Setelah beristirahat sejenak Ibu Ayu Maryam yang berada dalam keadaan galau bercampur marah, sakit hati dan menyesal dan rombongan pun meneruskan perjalanannya. Tidak beberapa lama perjalanan rombongan tersebut berhenti pula pada satu tebat lagi. Dalam berhenti ini ibu Ayu Maryam teringat lagi kepada anaknya karena ia melihat selendang yang diambil dari anaknya yaitu selendang dari Jambi. Untuk menghilangkan perasaan sedih itu maka dilemparkannya selendang itu ke dalam tersebut. Sampai sekarang tebat itu dikenal dengan nama Tebat Jambi.<br />Demikianlah atas kejadian-kejadian tersebut, daerah ini diberi nama Lempur yang asal katanya dari Talempow atau Ter-lumpur dan terakhir menjadi Lempur. Sejak itu daerah Ujung Tanjung Muaro Danau dan Dusun Genah Padang Buku bernama Dusun LEMPUR.<br /><br /><br />2. Panggilan Raja Jambi<br />Sejarah dimulai dari Rio Kecik dengan nama kecilnya Sigitan dan Sirimbang adalah anak dari Rio Gedang Dita, yang se zaman dengan Pengeran Depati Anom Sultan Agung (Sultan Abdul Jalil), Raja Kerajaan Melayu Jambi sekitar 1643. Sebelum Sigitan dan Sirimbang tersebut di atas lahir, daerah ini selalui didatangi oleh gerombolan perampaok dan setelah mereka berdua dewasa, Sigitan dan Sirimbang dapat mempertahankan negeri ini dari serangan perampok-perampok. Karena gagahnya mereka melawan perampok-perampok tersebut, termasyhurlah nama mereka kemana-mana terutama di daerah Jambi dan sekitarnya.<br />Kira-kira pertengahan abat ke XVI, terjadilah perselisihan keluarga di kerajaan Jambi antara Sultan Abdul Jalil (Adipati Anom) yang memerintah antara tahun 1643 – 1665 Masehi. Sulthan ke II dengan adiknya sehubungan dengan perebutan kekuasaan di dalam kerajaan. Adik sultan tersebut merasa berhak untuk menjadi raja, namun kenyataannya dia hanya sebagai putra mahkota yang belum berhak menyandang gelar sultan. Perselisihan ini memuncak dengan ditawanya Permaisuri Sultan Abdul Jalil yang bernama Putri Marmat Sari beserta dengan harta-kekayaan kerajaan dengan dibantu oleh Raja Kubu yang tinggal di rimba dekat Muara Tembesi. Telah berkali-kali panglima-panglima dari Raja Jambi untuk merebut kembali permaisuri tersebut bahkan telah diminta bantuan dari pelosok-pelosok namun tak ada yang sanggup mengalahkan Raja Kubu tersebut.<br />Maka terbetiklah berita oleh Sulthan Anom ini bahwa di suatu Kerajaan di hulu sungai ada seorang pemuda yang gagah berani yang bernama Sigitan. Raja Jambi mengirimkanutusanke Ujung Tanjung Muara Danau (nama daerah asli dimana Sigitan tinggal) untuk meminta bantuan merebut kembali permaisuri dengan membawa beberapa peralatan:<br />1. Tudung nan belepat<br />2. Tongkat nan bebatang<br />3. Tali nan babuwul<br />Alat-alat ini adalah tanda panggilan (undangan) kehormatan dari Sulthan Jambi. Setelah menerima undangan tersebut Sigitan dan Sirimbang meminta izin untuk berangkat pada Depati Telago sebagai pimpinan Wilayah Tanah Rencong Telang di Pulau Sangkar. Oleh karena undangan Raja Jambi yang akan diikuti oleh Sigitan dan adiknya Sirimbang maka Depati Telago melakukan rapat singkat depati di Pulau Sangkar, alangkah bijaksananya utusan yang dimaksud berangkat atas nama kerajaan di ulu sungai, maka Sigitan diberi gelar Rajo Kecik.<br />Setelah dilepas secara adat, maka Sigitan dan Sirimbang berangkat menuju Jambi melalui daerah Serampas. Tiba di Pulau Raman Sigitan dan Sirimbang singgah di rumah Depati Agung, pimpinan adat di daerah itu. Ditengah perjalan di pinggir Lubuk Bungo Rayo mereka melihat sekilas seorang gadis cantik di seberang di pinggir Lubuk Bungo Rayo, mereka bertanya-tanay dalam hati siapa sebenarnya gadis yang mereka lihat sekilas tersebut apakah dia seorang manusia atau makluk halus lainnya. Mereka bermalam di rumah Depati Agung. Pada suatu kesempatan Sigitan bertanya kepada Depati Agung tentang seorang gadis di Lubuk Bungo Rayo yang sempat mereka lihat. Depati Agung mengatakan bahwa yang mereka lihat tersebut adalah anak beliau sendiri bernama Buko telah diculik oleh Jin yang tinggalnya di Lubuh Bungo Rayo.<br />Depati Agung pun minta bantuan pada Sigitan dan Sirimbang untuk mengambil kembali putrinya. Mereka berdua berjanji memenuhi permintaan dari Depati Agung tersebut setelah menyelesaikan tugasnya di Jambi. Depati Agung berkata “baiklah kalian berdua pergi dulu ke Jambi, karena saya juga telah kemali dari Jambi dan saya pun telah mencoba menghadapi Raja Kubu tersebut namun saya kalah kuat dari mereka, dan mungkin kalian berdua ini bida dan dapat menaklukkannya”. Kemudian mereka berdua berangkatlah menuju Jambi. Setelah sampai di Jambi mereka menghadapi Sultan Jambi dan mereka disambut dengan mengadakan sedikit keramaian dan jamuan.<br />Keesokan harinya Sigitan dan Sirimbang pun diantar menuju tempat Raja Kubu dan diantar oleh jenang-jenang raja Jambi. Setelah sampai di pinggir sungai Sigitan dan Sirimbang berperahu ke seberang. Kedatangan mereka diketahui oleh Raja Kubu dan anak buahnya, maka perahu yang membawa mereka dipukul oleh Raja Kubu sehingga memaksa Sigitan kembali ke tempat semula. Kemudian dengan kekuatan dan kepandaian yang dimilikinya dengan beberapa kali lompatan Sigitan telah sampai diseberang sungai. Terjadilah pertempuran yang sangat sengit antara Sigitan dan Raja Kubu. Saling tikam, saling pukul, rebah merebahkan namun kedua pihak belum menampakkan kelelahan.<br />Dengan kekuatan dan keahlian dalam bertempur yang dimiliki oleh Rio Kecik maka Raja Kubu rebah, dan dia dapat dibanting sekuat tenaga oleh Rio Kecik maka meninggallah Raja Kubu seketika itu. Setelah meninggalnya pimpinan mereka pengikut-pengikutnya berlarian-bertebaran meninggalkan daerah pertempuran karena ketakutan. Rio Kecik pun dapat membawa kembali permaisuri Raja Jambi dan semua barang-barang rampasan berupa emas danperak berserta Putra Mahkota dibawanya kembali ke Istana Raja Jambi.<br />Setelah sampai di istana Raja Jambi, Rio Kecik disambut dengan meriah dan sebagai ucapan terima kasih dari Raja Jambi, Raja Jambi pun mengadakan beberapa acara keramaian. Keramainan selesai, Raja Jambi sangat berterima kasih kepada Rio Kecik dan adiknya Sirimbang atas jasa yang tidak terbalaskan tersebut. Raja Jambi berpikir, hadiah apa yang dapat diberikan kepada mereka sebagai ungkapan terima kasih, maka Raja Jambi bertanya “Apakah upah yang engkau kehendaki sebagai ganti jerih payahmu untuk merebut kembali permaisuriku beserta harta rampasan lainnya?. Kalau engkau menghendaki emas, sebutlah oleh mu berapa engkau suka, kalau menghendaki perak berapa pikul engkau mau, kalau menghendaki kerbau atau sapi berapa kandang engkau mau”.<br />Rio Kecik pun mengucapkan terima kasih atas tawaran tersebut, namun beliau tidak meminta upah seperti yang ditawarkan oleh Raja Jambi. “Emas dan perak aku tak mintah, kerbau dan sapi pun aku tak mau. Kalau pun raja mau memberi saya hadiah, berilah “Yang tak lapuk dek hujan dan yang tak lekang dek panas”. Raja Jambi pun berpikir-pikir mendengar permintaan Rio Kecik ini dan berpikir-pikir pula apakah yang dimaksud oleh Rio Kecik ini.<br />Kemudian Raja Jambi tersebut berunding dengan petinggi-petinggi kerajaan akan maksud permintaan Rio Kecik ini, Lalu dipanggilah segala Menti dan Hulubalang Raja serta rakyatnya. Setelah semuanya berkumpul, lalu diumumkan oleh Raja Jambi kepada yang hadir pada waktu itu: “Bahwa mulai dari saat ini Rio Kecik diangkat menjadi anak Sulthan Jambi dengan gelar Rajo Kecik dan Sulthan Anum Srie Manggalo Malelo Pucuk Jambi Sembilan Lurah, mengerat putus memakan habis”. Dengan jabatan yang diberi oleh Raja Jambi ini, maka memerintahlah Sulthan Amun di daerah Jambi waktu itu mendampingi angkatnya Sulthan Abdul Jalil.<br />Setelah beberapa lamanya Sulthan Anum di daerah Jambi maka Sulthan Anum pun teringat lah dengan kampong halamanya, dan teringat pula dengan janjinya dengan Depati Agung di Pulau Raman. Rajo Kecik pun memohon diri dengan orang tuanya Raja Jambi, orang tuanya pun tidak berkeberatan dengan permintaan Rajo Kecik dan Sulthan Jambi pun mengizinkan anaknya (Rajo Kecik) untuk pulang ke Ujung Tanjung Muara Sekeau dengan membawa gelar adar “Sultan Anom Srie Manggalo Malelo Pucuk Jambi Sembilan Lurah, yang mengerat putus memakan habis” di wilayah barat Kerajaan Jambi. Gelar Sulthan ini dapat diturunkan kepada generasi berikutnya tanpa harus meminta izin dari Raja Jambi sebagai penguasa di wilayah Jambi Bagian Barat.<br />Unding selesai, Rajo Kecik dan adik Sirimbang mohon diri untuk pulang menuju daerah Kerinci melalui Pulau Raman. Sesampainya di Pulau Raman kembali mereka berdua disambut oleh Depati Agung dengan penyambutan secara raja-raja. Setelah beberapa lama Rajo Kecik di Pulau Raman, Depati Agung kembali minta bantuan Rajo Kecik untuk mengambil anaknya yang ditawan oleh Jin Air, Rajo Kecik memenuhi permintaan Depati Agung dan berangkalah Rajo Kecik menuju ke Lubuk Bungo Rayo. Terjadi pertempuran yang sangat sengit antara Rajo Kecik dan Jin Air, dan akhirnya Jin Air tersebut dapat dikalahkan oleh Rajo Kecik, dan Buko anak Depati Agung dapat dibawa kembali. Depati Agung sangat bergembira dan berterima kasih kepada Rajo Kecik.<br />Pada suatu kesempatan Depati Agung menawarkan apa upah yang patut diberi sebagai ganti jerih payah dari Rajo Kecik atas usahanya yang telah menyelamatkan puterinya itu. Rajo Kecik tidak meminta upah apa-apa, namun kalaupun Depati Agung ingin memberi upah maka Rajo Kecik berkata “berilah aku yang tak lapuk dek hujan dan yang tak lekang dek panas”. Setelah Depati Agung mendengar permintaan dari Rajo Kecik, Depati Agung berpikir-pikir pula apakah maksud permintaan Rajo Kecik tersebut. Depati Agung meminta pertimbangan dan pendapat dari pemuka adat dan rekan-rekannya maka diputuskan bahwa Rajo Kecik akan diterimanya sebagai menantunya. Rajo Kecikpun dikawinkan dengan anak Depati Agung yang diganti namo dengan Puti Lubuk Rayo. Kakak dari Rajo Kecik, Sirimbang dikawinkan pula dengan anak Depati Nali.<br />Dari perkawinan Rajo Kecik dengan Puti Lubuk Rayo mereka mendapat seorang anak perempuan yang mereka beri nama Meh Teluk. Rajo Kecik menetapk di Pulau Raman sampai istrinya Puti Lubuk Rayo meninggal dunia. Setelah isterinya menginggal dunia Rajo Kecik minta pada mertuanya agar ia diizinkan kembali ke Ujung Tanjung Muaro Danau dengan membawa anaknya Meh Teluk ikut serta.<br />Depati Agung tidak berkeberatan atas permintaan dari Rajo Kecik ini untuk kembaki ke Ujung Tanjung Muaro Danau beserta cucunya Meh Teluk. Sebelum Rajo Kecik berangkat dari Pulau Raman, Depati Agung menyuruh bawa gelar pusako dari Pulau Raman yaitu Depati Agung dan Depati Nali, disamping itu dibawa pula dua gelar pusako yaitu Malin Amat dan Malin Putih. Seterusnya Rajo Kecik bersama dengan anak perempuannya Meh Telok berangkat menuju Ujung Tanjung Muaro Danau. Sedangkan kakaknya Sirimbang beserta istrinya tinggal di Pulau Raman.<br />Berita kembalinya Rajo Kecik dengan membawa gelar Depati Agung dan Depati Nali dari Pulau Raman, dan tinggal di Ujung Tanjung Muaro Danau, Depati Rencong Telang Pulau Sangkar (Depati Telago) tidak bersenang hati karena daerah yang didiami oleh Rajo Kecik (Dapati Agung) adalah dibawah kekuasaannya dengan arti kata siapa yang berdiam di daerah tersebut tidak berhak bergelar depati, melainkan gelar Rio. Depati Rencong Telang beserta kembang-rekannya merangkat menuju Ujung Tanjung Muaro Danau, dengan maksud memecat gelar yang dipakai oleh Rajo Kecik itu. Pada kesempatan lain Rajo Kecik setelah sampai di Ujung Tanjung Muaro Danau pun berangkat ke Pulau Sangkar untuk melaporkan bahwa dia telah kembali dari menunaikan tugas yang diminta oleh Rajo Jambi, dengan membawa seguci tuak untuk dijadikan minuman di Pulau Sangkar, untuk menyatakan pada Depati Rencong Telang abhwa ia sudah mempunyai gelar yaitu Depati Agung dan Depati Nali<br />Rupanya Rajo Kecik ditengah jalan bertemu dengan Depati Rencong Telang dan rombongannya di Peraduan Kayu Kelu. Disini mereka berhenti bersama, dan Depati Rencong Telang lalu berkata “Sekaran engkau kami pecat dari gelar Depati Agung dan Depati Nali, dan kami beri engkau gelar Datuk Seri Rajo Lelo.<br />Setelah Pemecatan itu Depati Rencong Telang beserta rombongannya kembali ke Pulau Sangkar, sedangkan Depati Agung yang telah dipecat (Rajo Kecik) kembali pula ke Ujung Tanjung Muaro Danau. Tidak puas dengan pemecatan tersebut, tuak yang dibawanya lalu dilemparkannya ke sebuah anak sungai, sehingga sungai itu berbau tuak. Sampai sekarang sungai tersebut bernama Sungai Tuak.<br />Setelah Depati Rencong Telang sampai di Pulau Sangkar, beliau berpikir pula akan kejadian yang baru saja berlalu, yaitu atas tindakanya memecat Depati Agung dari jabatanya, kalau-kalau Rajo Kecik ini tidak bersenang hari dan berdendam dengan Depati Rencong Telang. Untuk menghilangkan was-was tersebut, Depati Rencong Telang di Pulau Sangkar memanggil Datuk Seri Rajo Lelo (Rajo Kecik) ke Pulau Sangkar. Setelah Rajo Kecik sampai di Pulau Sangkar, lalu diadakan perundingan dengan Rajo Kecik, yang akhirnya Rajo Kecik dikawinkan dengan anak beliau yang nama Meh Siam. Setelah perkawinan antara Rajo Kecik dengan Meh Siam mereka berdua pulang dan menetap kembali di Ujung Tanjung Muaro Danau.<br />Dari perkawinan Rajo Kecik dengan Meh Siam ini, mereka mendapatkan seorang anak laki-laki yang bernama MAMPADO. Setelah beberapa lamanya Rajo Kecik beserta anak-istrinya hidup dengan aman tenteram di Ujung Tanjung Muaro Danau. Sekali-sekali beliau berangkat ke Jambi untuk menemui orang tua angkatnya Rajo Jambi. Rajo Kecik meninggal dunia dan dikuburkan di Ujung Tanjung Muaro Danau. Di atas kuburan beliau ditaman sebatang cempaka yang sampai sekaran masih ada yang disbeut dengan “Kuburan di Bawah Cempaka” yaitu di Desa Lempur Mudik sekarang.<br /><br /><br />3. Penerus Kerajaan Manjuto<br />Kemudian setelah sebagian daerah pantai dikuasai oleh Inggris Pamuncak Tuo Rencong Telang menyerahkan kekuasaan kepada Depati Anum Mulai Jadi kira-kira pada abad ke 18 Masehi. Pertama kali, “Bunga pasir” diminta oleh Depati Anum Mulai Jadi adalah di Muko-Muko. Inggris memberinya berupa: uang, meriam, bedil, dan kain serta alat-alat makan. Sayang sekali dikala Belanda dapat menembus benteng Depati Parbo, meriam ini disembunyian dalam pari di Dusun Lempur Mudik dan hilang sampai sekarang.<br />Lama kelamaan alam berubah, zaman beredar, Kerajaan Manjuto yang mempunyai daerah taklukan mulai menyempit, dan redup (Prof. Mr. Mohd. Yamin tahun 1934 yang pernah menyebut–nyebut satu Kerajaan Ulu Sungai yang menghilang). Kerajaan Manjuto bertahan sampai berdirinya dan menyerahkan pemerintahannya kepada Depati Anum Mulai Jadi (Mampado).<br /><br /><br />4. Pemerintahan Mampado<br />Setelah Mampado Dewasa dan hidup dengan tenteram bersama saudaranya Meh Telok, pada suatu hari Meh Telok bercakap-cakap dengan adanya Mampado. Meh Telok berkata pada adiknya Mampado: “Hai Mampado! Saya raso sudah puas rasanya kita mendiami daerah ini dari nenek-nenek sampai pada kita, tetapi kita masih tetap seperti perantau mendiami daerah ini karena kita sampai saat ini terutama engkau Mampado sebagai sebagai anak laki-laki tidak diberi gelar depati melainkan bergelar Rio. Sedangkan ayak kita dahulu datan dari Pulau Raman ke sini beliau membawa dua gelar yaitu DEPATI AGUNG dan DEPATI NALI.<br />Jadi sekarang sudah waktunya engkau menuntut gelar tersebut pada nenekmu Depati Telago (Depati Rencong Telang) di Pulau Sangkar. Seandainya engkau tidak mau menuntut gelar pusako tersebut, biarlah saya akan meninggalkan daerah ini kembali ke Pulau Raman tempat kelahiranku. Mampado pun mengabulkan permintaan kakaknya, beliau Menjawab: “Kalau begitu kata kakak, baiklah sekarang juga aku berangkat ke Pulau Sangkar”. Mampado pun berangkalah ke Pulau Sangkar dengan keris di pinggang, menuntut gelar pusako sebagaimana yang dikatakan oleh kakaknya Meh Telok.<br />Setibanya di Pulau Sangkar di depan rumah neneknya Depati Telago dengan keris terhunus dia berseru: “Hai nenek! Hari ini kita membongkar pusao dan saya menuntut supaya saya diberi gerar Depati. Kalau tidak, akan aku hitamkan tiang panjang dan siapa yang menghalangi, itulah lawanku”. Mendengar permintaan cucunya, Depati Telago (nenek Mampado) melihat ke halaman dan nampaknya oleh Depati Talago cucunya yang bernama Mampado dengan keris tehunus sedang marah-marah. Depati Talago minta supaya cucunya Mampado naik ke rumah untuk berunding dengan neneknya Depati Telago mengenai permintaan dari Mampado untuk mendapatkan gear Depati. Mampado sebenarnya disamping menuntut gelar, beliau juga melepaskan kemarahan kepada paman beliau sendiri yang bernama Rajo Bujang dikarenakan menurut keterangan Meh Teluk bahwa pamannya itu sendiri yang memecat atau mendatukan orang tuanya ketika membawa gelar Sultan dan Depati Agung dulunya. Rajo Bujang mengetahui maksud dari Mampado, makanya dia hanya berdiam diri saja karena takut akan salah tingkah dan membuat Mampado semakin marah. Oleh sebab itu semua persoalan itu diserahkan kepada Depati Telago sebagai nakek dari Mampado dan diharapkan akan dapat meredam kemarahan cucunya.<br />Mampado tetap tidak mau naik ke rumah neneknya sebelum diberi gelar Depati. Karena melihat cucunya Mampado tidak mau naik ke rumah dan marahnya semakin menjadi-jadi, neneknya pun merasa cemas pula, maka dengan tergesa-gesa diambilnya canang lalu dibunyikannya dan beliaupun berkata: “Hai seluruh penduduk Pulau Sangkar, dengan ini saya beri tahukan bahwa mulai dari saat ini Mampado saya beri gelar depati, yaitu Depati Anum yang mana Depati Anum ini boleh mengerat putus dan memakan habis dalam daerah Ujung Tanjung Muaro Danau (Lempur sekarang).<br />Setelah menerima gelar itu Mampado gelar Depati Anum, lalu naik ke rumah neneknya Depati Telago dan selanjutnya diadakan pula kenduri untuk peresmiannya menjabat gelar Depati Anum itu, dengan memotong kambing se ekor dan beras dua puluh.<br />Keesokan harinya Mampdo gelar Depati Anum pun berangkat kembali ke Lempur. Setelah sampai di Lempur lalu Mampado gelar Depati Anum langsung menemui kakaknya Meh Telok dan menceritakan pada Meh Teluk bahwa perjuangannya telah selesai, yaitu dia telah mendapat gelar Depati Anum.<br />Mendengar itu jangankan bergembira, melainkan masih bersedih hati karena ia tahu gelar pusako yang dibawa oleh ayahnya dari Pulau Raman bukan Depati Anum melainkan Depati Agung dan Depati Nali, maka lalu Meh Telok berkata pada Depati Anom: “Gelar usako kita bukan Depati Anum melainkan Depati Agung”. Jika Depati Agung tidak kita miliki, saya tetap akan meninggalkan daerah ini”. Setelah berpikit sebentar maka Depati Anum pun menjawab: “Jangan cemas, gelar pusako Depati Agung akan tetap saya perjuangkan ke Pulau Sangkar”.<br />Tidak beberapa lamanya berangkalah Depati Anum ke Pulau Sangkar, dan menepat di rumah neneknya Depati Talago. Dpati Anum lalu mengulurkan cerano sirih pada Dpati Talago dan menyampaikan maksudnya ialah disamping gelar Depati Anum ia ingin pula agar gelar seko Depati Agung dapat pula disandangnya. Depati Telago tidak berkeberatan, asal saha sanggup memenuhi segala syarat-syatnya antara lain:<br />1. Memotong kerbau seekor dan beras seratus.<br />2. Upacara pemberian gelar itu diadakan di Lempur dengan mengundang Depati Telago dan kembarkannya untuk menghadiri peresmian itu.<br />Depati Anum sanggup memenuhi segala syarat-syarat tersebut di atas, Cuma hari peresmiannya akan ditentukan setelah Depati Anum sampai di Lempur.<br />Setelah perundingan selesai, Depati Anum minta diri untuk kembali ke Lempur. Sesampainya di Lempur Depati Anum menceritakan pada Meh Telok, bahwa apa yang dicita-citakan oleh Meh Telok sudah terpenuhi, Cuma menunggu hari peresmiannya saja lagi. Meh Telok sangat bergembira mendengar kabar tersebut, maka Meh Telok pun mengadakan persiapan untuk hari peresmian Depati Agung, dan hari peresmian pun sampai maka dilantiklah Depati Agung oleh Depati Talago bertempat di Lempur.<br /><br /><br /><br />5. Kelembagaan Pemerintahan<br />Alam Lekuk 50 Tumbi Lempur<br />Setelah gelar Seko Depati Anum dan Gelar Seko Depati Agung dibawa ke Lempur, dan setelah selesai peresmiannya, Depati Agung pun mengadakan musyawarah dan rapat adat untuk membentuk pemerintahan dalam wilayah Lekuk 50 Tumbi Lempur. Dinamakan Lekuk 50 Tumbi Lempur karena pada waktu Mampado Gelar Depati Agung dan Depati Anum memembentuk pemerintahan sendiri sebagai pemekaran dari wilayah Tanah Rencong Telang Pulau Sangkar, jumlah keluarga yang ada dalam wilayah Lempur adalah sebanyak 50 Tumbi.<br />Bersamaan dengan itu Depati Agung dengan kekuasaan yang telah didapatnya membentuk Depati-Depati pula di dalam wilayah Lekuk 50 Tumbi Lempur dengan perincian sebagai berikut. Depati dan sepuluh, ninik mamak nan berenam dan Lantak Depati Agung, cermin Depati Sukobrajo dan Karang Setio Dapati Anum. Gelar Depati Agung dan Depati Anum tetap disandang oleh Mampado sedangkan gelar Depati Suko Berajo diberikan kepada Siak Mengkal (Depati Mampado mulai jadi). Siak Mengkal juga sering disebut dengan Depati Suko Berajo Pandak.<br />Depati nan sepuluh ini dibagi pula menjadi dua bagian yaitu Depati nan berenam untuk Lempur bagian Mudik dan Depati nan berempat untuk Lempur bagian Hilir, ninik mamak yang berenam juga dibagi dua yaitu 3 untuk Lempur bagian hilir dan 3 untuk Lempur bagian mudik. Penyusunan pemerintahan dalam lembaga mangku bumi Daulat Lekuk 50 Tumbi Lempur berlanjut secara terus menerus. Anak negeri yang sudah dianggap pantas untuk diikutkan dalam pemerintahan diberi gelar depati. Gelar depati tersebut ada yang dituntut sendiri oleh pewaris gelar baik yang berasal dari Pulau Sangkar, maupun yang berasal dari Tamiai dan Serampas. Pengangkatan Depati juga diikuti dengan pengangkatan kemerkan (kembang rekan depati) dan ninik mamak sebagai pembantu depati.<br />Bersamaan dengan itu Depati Agung dengan kekuasaan yang telah didapatnya membentuk Depati-Depati pula di dalam wilayah Lekuk 50 Tumbi Lempur dengan perincian sebagai berikut. Depati dan sepuluh, ninik mamak nan berenam dan Lantak Depati Agung, cermin Depati Sukobrajo dan Karang Setio Dapati Anum.<br />Depati nan sepuluh ini dibagi pula menjadi dua bagian yaitu Depati nan berenam untuk Lempur bagian Mudik dan Depati nan berempat untuk Lempur bagian Hilir, ninik mamak yang berenam juga dibagi dua yaitu 3 untuk Lempur bagian hilir dan 3 untuk Lempur bagian mudik.<br /><br />Depati nan berenam untuk Lempur Mudik, ditarik ke Lempur ada yang dengan istilah ‘bungo sekaki kembang duo’ dan ada pula yang digilir menurut alur dan patut antara Lempur dan daerah Serampas, gelar depati tersebut adalah:<br />A. Depati berenam dari Serampas<br />1. Depati Serampas<br />2. Depati Ketau<br />3. Depati Naur<br />4. Depati Karamo<br />5. Depati Payung<br />6. Depati Pulang<br /><br />B. Depati berenam dari Pulau Sangkar, gelar depati yang dibawa dari Pulau Sangkar sama seperti yang dibawa dari Serampas, ada yang bungo sekaki kembang duo dan ada pula yang sandang bergilir antar dua negeri, gelar depati yang berenam dari Pulau Sangkar yaitu:<br />1. Depati Telago<br />2. Depati Anggo<br />3. Depati Kerinci<br />4. Depati Sangkar<br />5. Depati Belinggo<br />6. Depati Gung<br /><br />Ninik Mamak yang tiga untuk Lempur Mudik adalah :<br />Kedemang Sri Memanti<br />Manggung Sri Menanti<br />Seri Paduko Rajo<br /><br />Depati nan berempat untuk Lempur Tengah ialah:<br />Depati Suko Brajo (dari Pulau Sangkar)<br />Depati Mudo (dari Lolo)<br />Depati Nalo (dari Serampas)<br />Depati Muncak (dari Tamiai)<br /><br />Ninik Mamak yang tiga untuk Lempur Tengah adalah :<br />Rajo Depati<br />Rajo Bujang<br />Rajo Mangkuto Alam.<br />Disamping depati dan sepuluh, ninik mamak nan berenam ada lagi depati-depati dan ninik mamak yang lain sebagai kemerkan (kembang rekannya). Kemerkan ini mempunyai hak suara atas nama depati atau ninik mamak dengan kata adanya juga ada hak memakin habis dan mengerat putus. Daerah kekuasaan Depati dan Ninik Mamak yang tersebut di atas adalah di seluruh wilayah Lekuk 50 Tumbi Lempur.<br />Peresmian dari Depati nan sepuluh dan Ninik Mamak nan berenam ini, sebagai badan pemerintahan dengan Pucuk Pimpinannya Depati Agung sebagai lantaknyo (Lantak nan tak goyah), Depati Suko Berajo sebagai cerminnyo (cermin yang dak kabur), dan Depati Anum sebagai karang setio (mangkok karang setio),<br />Pelantikan dan peresmian pemerintahan Alam Lekuk 50 Tumbi Lempur juga dihadiri oleh Depati Empat Alam Kerinci. Diwaktu itu Kerinci adalah gabungan III Helai Kain yaitu:<br />Depati Muara Langkap<br />Depati Rencong Telang<br />Depati Biang Sari.<br />Gabungan lainnya adalah Delapan Helai Kain, dan gabungan ini adalah pecahan dari Depati Atur Bumi di Hiang,yang biasa disebut tiga di Hilir empat Tanah Rawang dan tiga di Mudi empat Tanah Rawang. Kedua gabungan ini juga dikenal Depati Empat Alam Kerinci.<br />Pada peresmiannya Depati Nan Sepuluh dan Ninik Mamak nan Berenam dalam Lekuk 50 Tumbi Lempur, depati-depati yang tersebut di atas tadi dapat pula mengesahkan bahwa: dalam Lekuk 50 Tumbi Lempur berdiri daulat pemerintahan dengan Pucuk Pimpinannya Depati Agung.<br />Disamping dibentuk pula ketua pemerintahan setempat (dusun-dusun), seperti: Untuk Lempur Mudik ialah Depati Anum dan untuk Lempur Hilir adalah Depati Suko Berajo.<br />Di samping itu Depati Anum dan depati-depati lainnya dapat menuangkan peraturan dan udang-undang dalam negeri, antara lain:<br /><br />A. PENGANGKATAN DEPATI<br />Depati diangkat dalam kerapatan adat yang dihadiri oleh Anak Jantan dan Anak Betino dengan Catatan yang ada warisnya (keturunannya) saja yang dapat diangkat.<br />Juga diterangkan bahwa jika seseorang telah pernah menjabat gelar depati maka ia tidak berhak lagi untuk menjabat gelar tersebut, terkecuali kalau sudah sampai gilirannya, itulah yang disebut dalam pepatah adat Seko nan bagile sandang nan baganti, suko ngapit suko ngadong. Peresmiannya untuk depati-depati tersebut dilakukan waktu Kenduri Seko atau Kenduri Adat, dengan memotong kerbau seekor, beras seratus.<br /><br /><br />B. SYARAT-SYARAT MENJADI DEPATI:<br />1. SIMBA IKOUNYO<br />Artinya: kembang ekornya. Ibarat ayam jantan yang akan berlaga di gelanggang, ia mengembangkan ekornya sewaktu akan menyerang. Tidak kuncup ketakutan. Jadi yang diangkat jadi Depati itu adalah orang yang gagah berani menegakkan kebenaran, dia berani berkorban, berani menyabung nyawa.<br />2. NYARING KUKOKNYO<br />Artinya: perintah dipatuhi, nasehat dituruti. Pandai berbicara, pintar berbahasa. Cerdik cendikia, berpikiran luas, Dulu tidak melintang tapak, kedian tidak memijak tumit. Tahu ireng dengan gendeng, tahu tahan yang menimpa, tahu ranting yang melecut, arif bijaksana.<br />3. RUNCING TAJINYO<br />Artinya: tegas dan tangkas, berilmu dan berpengetahuan, teratur dengan perbuatan, banyak bekerja dari berbicara. Berpandangan jauh, berwibawa dan berwatak dalam kepemimpinan.<br />4. KEMBANG KEPAKNYO<br />Artinya: berlaku adil dalam memutuskan perkara. Tidak memihat pada siapa pun, tidak berat sebelah dalam menghakimi. Tibo dimato tidak dipicingkan, tibo di perut tidak dikempiskan. Tidak menegak benang basah, tidak menohok kawan seiring, tidak bersembunyi dalam lipatan. Dengan sayapnyo yang kembang, dia harus melindungi segala kebenaran. Pandai membagi dan mengiro, tahu raso dan pareso.<br />5. LAPANG DADONYO<br />Artinya: buruk dan baik diterima dengan hati terbuka berlapang dada. Tidak pemarah, tidak pula menunduk. Semua harus bisa diselesaikan dengan baik, dengan bijaksana dan dengan kerarifan. Tidak ada kusut yang tak terselesaikan, tak ada keruh yang tak terjernihkan.<br />6. NYALANG MATONYO<br />Artinyo: setiap saat meneliti kondisi dan situasi dalam negeri. Datang siang datang malam, mengetahui larek yang berjejer, balai dan rami, mengetahui pematang nan belantak. Dia harus tahu segala sesuatunya di lorong kampong.<br />7. GEDANG PARUHNYO<br />Artinya: tempat berunding, tempat meminta nasehat dan tempat mengadu. Suka mengajak suka diajak untuk segala kebaikan. Selalu mempelajari alam dan sesuatu untuk menambah pengetahuan dan ilmu. Sanggup mengisi adat menuang lembago. Patuh pado peraturan, menurut kehendak orang banyak. Memerintah menurut jalan yang telah diatur.<br />8. KUAK KAKINYO<br />Aritnya: sehat badan sehat pikiran, kalau boleh kuat pula ekonominya. Sehat rohani sehat jasmani. Dengan arti lain cacatnyo kecik sekali, sehingga dio akan dapat memerintah anak negeri dengan baik dan sempurna, karena masalah pribadinya sedikit sekali.<br />9. BINTIK BULUNYO<br />Artinya: ayam berbulu bintik dimaksudkan berasal dari keturunan yang jelas, berasal dari keturunan dan keluarga yang baik. Jelas asal-usul, jelas alou dan patut yang nak diturut. Disamping itu, baik klakunyo, baik budinyo, dan juga gagah tampangnyo.<br /><br />Itulah syarat-syarat jadi depati. Syarat itu sering tidak tertulis, namun harus dipatuhi. Dari mana asal-usul orang yang diangkat jadi Depati itu, ada dalam naskah kuno, dan silsilah keturunan. Walaupun tidak tertulis secara langsung, namun, setiap orang tahu bahwa orang yang akan dinobatkan itu adalah keturunan yang berhak menerima gelar tersebut. Pepatah mengatakan: ilang tambo ilang pusako, ilang tutou ilang sko. Artinyo: dari tambo-tambo atau naskah kuno itulah diperoleh keterangan asal-usul orang yang diberi gelar itu.<br /><br /><br />B. PEMECATAN DEPATI<br />Pemecatan seorang depati karena melanggar Larangan Depati, dilakukan dengan mengadakan rapat depati. Depati nan berempat oleh rapat depati nan berempat., Kemudian baru naik ke rapat depati Nan Sepuluh. Depati nan berenam dipecat oleh depati nan berenam kemudian naik ke rapat Depati nan Sepuluh.<br /><br />C. LARANGAN DEPATI<br />1. Gedang berlaku kecik.<br />Artinya ialah seorang depati yang melakukan pekerjaan yang tidak baik seperti: berjudi, berzina dan lain-lain.<br />2. Gung gedang duo suaro.<br />Artinya seorang depati yang tak lurus juga sering disebut lain di mulut, lain di hati, menuhuk kawan seiring, menggunting dalam lipatan dan telunjuk lurus kelingking berkait.<br />3. Penjait duo lubang.<br />Artinya seorang depati yang tidak lurus<br />4. Memancong bayang-bayang, menikam kersau.<br />Artinya seorang depati yang suka mengadu doma dan membuat fitnah dalam negeri.<br />Dan ada lagi yang lain-lain, kalau larangan dilanggar, depati tersebut dipecat dari jabatannya, juga dapat diangkat kembali kalau dia telah memenuhi syarat kembali dengan memotong kerbau seekor dan beras seratus.<br /><br />D. KEWAJIBAN DEPATI DAN NINIK MAMAK<br />1. Memasuk petang mengelua pagi. Artinya depati/ninik mamak memelihara anak kemenakan jantan dan batino.<br />2. Mengadakan penyelesaian jika ada perselisihan antara anak kemenakan baik anak jantan maupun anak betino.<br />3. Meajum mearah anak kemenakan anak jantan dan anak batino.<br /><br />E. KEWAJIBAN ANAK KEMENAKAN<br />Kewajiban anak kemenakan dan anak jantan dan anak batino, sebagai tersebut dalam petanyanya seperti dibawah ini:<br />1. Penakan berajo ke mamak (tungganai)<br />2. Mamak barajo ka ninik mamak<br />3. Ninik mamak barajo ka depati<br />4. Depati barajo dengan bena<br />5. Bena berajo dengan alua (musyawarah)<br />Dalam pepatah yang tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa tiap-tiap anak kemenakan harus menghormati depati dan ninik mamak, dan kekuasaan tertinggi terletak pada Alua yang artinya Musyawarah.<br /><br />F. PERATURAN-PERATURAN<br />Yang berkenaan dengan Pengadilanini terdiri dari tiga tingkatan, juga disebut Seko Tigo Takah, yaitu;<br />1. Rapat Tengganai (suku)<br />Kalau terjadi suatu perkara harus diselesaikan lebih dahulu dengan kerapatan Suku atau Tengganai,<br />2. Jika tidak ada penyelesaian baru dibawa ke Rapat Ninik Mamak<br />3. Bila rapat Ninik Mamak juga tidak dapat menyesaikannya, maka perkara tadi dibawa ke Rapat Depati<br />Juga disebut sebagai “berjenjang naik bertakah turun”.<br />Disamping ini ada lagi peraturan-peraturan yang berkenaan dengan Meh (uang hangus). Meh itu terdiri dari enam tingkatan, juga disebut Meh nan enam tingkat, yaitu<br />1. Meh Sebusur, apabila air belum beriak, daun belum bergoyang, perkara masih di tengah rumah, perkara baru diketahui satu pihak. Perkara ini diselesaikan oleh tengganai (mamak rumah) pihak wanita saja. Perkara ini menghanguskan beas sepnggan ayam seekor. Artinya yang berperkara menyediakan makanan untuk tengganai tersebut.<br />2. Meh Sekundi, apabilaair sudah beriak, daun sudah bergoyang, persengketaan suah diketahui pula oleh pihak laki-laki. Perkara tersebut diselesaikan tengganai kedua belah pihak, juga menghanguskan beras sepinggan ayam seekor..<br />3. Mas sepeti, takkala kusut akan diselesaikan, keruh akandijernihkan oleh Ninik Mamak (kepala kaum). Perkara ini menghanguskan beras dua puluh kambing seekor. Artinya apabila perkara sudah sampai ke tangan kepala kaum, maka yang memperkarakan harus menyembelihkan seeor kambing, memberi makan beberapa orang adat.<br />4. Mas sekupan, disebut juga mas malin tobat, ialah perkara yang diselesaikan oleh alim ulama. Misalnya urusan perkawinan, rujuk, talak, danurusan keagamaan lainnya. Perkara ini disebut naik mesjid turun mesjid, berbuka berbentang kitab, memisahkan yang sah dengan bata., halal dengan haram, benar dengan salah. Penyelesiaannya dengan membayar uang lima kupang. Satu kupang sama dengan Rp.0.50.<br />5. Mas lapik sait, apabila keris dihunus, pedang akan dicabut, perang akan terjadi, pegang dubalang , menghanguskan beras seratus kerbau seekor.<br />6. Mas seemas, disebtu jug mas rajo mas jenang, apabila perkara diselesaikan oleh Depati sebagai pengadilan tertinggi. Penyelesaiannya dengan menghangurskan beras seratus kerbau seekor.<br />Jadi jenjang penyelesaian perkara menurut adat adalah tengganai satu pihak, tengganai kedua pihak, Ninik Mamak atau Alim Ulama dan Depati.<br />Penyelesaian perkara dengan cara:<br />Salah pauk luka dipampas, yaitu membayar ongkos pengobatan.<br />Salah bunuh mas dibangun, yaitu membangun keluarga yang dibunuh, dengan cara mengorbankanharga benda yang membunuh untuk pengobat hati orang yang ditimpa musibah.<br />Salah pakai dipelulus, yaitu mengembalikan barang yang dicuri.<br />Salah makan dimuntahkan, yaitu mengganti barang orang yang dicuri, dirusak atau yang dihilangkan.<br />Memberi maaf, itulah penyelesaian yang terbaik, dengan perjanjian yang besalah tidak berbuat kesalahan lagi.<br />Terlanjur surut, terlangkah mundur, duduk bermusyawarah atau berunding.<br />G. PINTU SALAH<br />Pintu salah itu terdiri dari 5 macam :<br />1. Salah perbuatan<br />2. Salah penglihatan<br />3. Salah penciuman/berita<br />4. Salah perkataan<br />5. Salah pendengaran.<br />Perlu diterangkan mengenai Pintu Salah ini yaitu yang dimakud dengan suatu larangan, jika seseorang melakukan seperti tersebut di atas mereka itu ditindak menurut sepanjang adat.<br /><br />H. HUKUM KATA<br />Bagi masyarakat adat, terutama bagi mereka yang memegang adat, undang-undang dan hukum agama terdapat beberapa jenis kata yang mempunyai pengertian yang berbeda-beda dan menjadi bagian dalam kehidupan sehari-hari, antara lain :<br />1) Kata raja, kata berlimpahan<br />Maksudnya : tidak raja atau pemimpin adat mengandung kelimpahan untuk rakyatnya, bahkan pada setengah raja-raja zaman dahulu apa yang diucapkan raja itu merupakan undang-undang negara yang harus dipatuhi oleh rakyat biar : tujuannya baik atau buruk. Bagi seorang raja atau pemimpin yang adil kata-katanya tentulah untuk keselamatan rakyatnya tetapi bagi raja atau pemimpin yang lalim maka kata-katanya mengandung bencana bagi rakyatnya.<br />2) Kata bapak, kata pengajara<br />Kata-kata yang keluar dari seorang bapak baik, -- tidak saja bapak dalam pengertian khusus juga dalam pengertian umum – ialah kata yang berisi pelajaran dan nasehat, demi keberuntungan, kesejahteraan dan keselamatan anaknya dibelakang hari. Sebab itu janganlah seorang bapak memberi contoh teladan yang buruk kepada anak-anaknya sebab anak-anak akan berbuat sepuluh kali lebih buruk dari apa yang diperbuat bapaknya itu.<br />3) Kata mamak, kata pusaka<br />Perkataan seorang mamak (paman) yang baik tentulah menurut baris dan belebas sepanjang adat. Ia tidak akan menambah dan tidak akan mengurangi apa-apa yang tercantum dalam kata-kata adat.<br />4) Kata guru, kata petuah<br />Seorang guru tidak saja harus pintar memberi pelajaran tetapi juga semua tingkah laku, sepak terjangnya haru menjadi contoh teladan bagi masyarakat. Sebab seorang guru yang baik tidak saja menjadi guru dimuka kelas dihadapan muridnya melainkan juga akan menjadi guru dalam masyarakat yang lebih luas. Pekertinya, sikapnya, kebiasaannya, akhlakna, rumah tangganya juga harus menjadi ”guur” bagi masyarakat sekitarnya.<br />5) Kata penghulu, kata penyelesai<br />Dalam satu perselisihan atau pembantahan penghulu harus lekas tampik ke depan untuk menjadi juru pendamai atau menjadi penengah sehingga perselisihan itu tidak berlarut-larut. Lebih mudah memadamkan api yang masih kecil daripada aipi yang sudah berkobar-kobar.<br />6) Kata alim, kata hakekat<br />Ucapan-ucapan orang alim akan keluar berdasarkan firman-firman Allah SWT da hadis Nabi Muhammad SAW yaitu ke arah hidup perdamaian dan kesejahteraan di dunia dan akherat.<br />7) Kata pegawai, kata berhubung<br />Kata-kata yang disampaikan pegawai adalah pesan-pesan dan kata-kata yang diterimanya dari pihak atasannya. Dia hanya bertindak sebagai pembuluh menyampaikan.<br />8) Kata orang banyak, kata berbaluk<br />Kata orang banyak belum dapat diambil kebenarannya. Sebab setiap kepala akan satu pula yang akan dikatakannya. Yang sejengkal menjadi sehasta, yang sehasta menjadi sedepa, ditambah-tambah, diputar-putar sehingga maksudnya yang semula sudah samar dan keliru. Sebab itu kata orang banyak belum dapat diterima kebenarnnya dengan begitu saja, harus lebih dahulu di cek kebenarannya.<br />9) Kata hulubalang, kata menderas<br />Kata hulu balang (dubaang) ialah kata menderas. Kata-katanya pendek, tepat dan tegas menuju sasaranya, tidak banyak variasinya. Tetapi sungguhpun demikian mereka tidak boleh lalu lalang saja apalagi yang akan merugikan rakyat dalam segala segi. Sebab hulubalang (angkatan bersenjata) ialah pari pagar dalam negeri yang akan menjaga keamanan ke luar dan ke dalam. Mereka harus memegang disiplin sesuai dengan baris-baris atau peraturan yang sudah ditetapkan.<br />10) Kata permpuan, kata merendah<br />Sebagai seorang wanita yang ibarat sayap kiri bagi seekor burung janganlah ia berbicara melebihi dari yang sewajarnya. Sebab seorang perempuan (wanita) yang baih haruslah lebih banyak berbicara dengan tingkah laku yang lemah lembut, pekerti yang baik, dan tetap dalam sidat wanita lahir batin. Lebih baik bagi seorang manita yang sudah bersuami ia harus mematuhi kewajibannya terhadap suaminya menurut hukum yang wajar sepanjang adat dan syara’.<br />11)<br /><br /><br />H. PEMBERIAN GELAR ADAT<br />Dalam kelembagaan adat di bekas kerajaan Pamuncak dan Tigo Kaum, terdapat dua jenis pengukuhan gelar adat:<br />1. Pengukuhan gelar adat seperti depati, biasanya dilakukan pada waktu kenduri adat (kenduri seko) masing-masing wilayah adat. Biasanya kenduri seko diadakan sesudah musim menuai padi, dan sebagai petanda awal untuk memasuki musim tanam padi berikutnya. Dalam acara adat tersebut terselip pula acara pemberian gelar adat seperti Depati dan Nenek Mamak kepada calon memangku adat khusus gelar-gelar adat yang masih tersangkut di tiang balai (gelar adat yang belum disandang oleh anak negeri). Gelar ini tidak dapat dibawa keluar, karena pemangku adat yang bersangkutan mempunyai wilayah tertentu, yang melapas pagi mengurung petang.<br />2. Pengukuhan gelar adat yang berasal dari silsilah adat Kerajaan Pamuncak nan Tigo Kaum, seperti gelar kesultanan, gelar mangku bumi dan gelar-gelar lain yang ada pada pemerintahan pada waktu itu.<br />3. Pemberian gelar adat terdiri dari dua macam, yaitu Pertama: pemberan gelar adat karena Pertalian Darah, artinya calon pemegang gelar adat berasal dari anak keturunan, atau pewaris sah suatu gelar adat (yang mempunyai alur dengan patut). Kedua: pemberian gelar adat karena Pertalian Budi, artinya gelar adat itu diberikan kepada orang yang berjasa dalam pembangunan masyarakat dan daerah, tetapi tidak berasal dari daerah yang berasangkutan.<br />Gelar adat yang dapat diberikan karena Pertalian Budi biasanya adalah gelar yang berasal dari adat lamo pusako usang, yaitu gelar-gelar yang ada pada Kerajaan Pamuncak Nan Tigo Kaum, yang dapat dibawa keluar wilayah adat.<br />Gelar adat yang disandang karena Pertalian Budi hanya diberikan sekali kepada pemangku adat yang memenuhi persyaratan, kemudian apabila pemangku adat tersebut meninggal dunia atau meletakkan gelar adat tersebut maka gelar yang bersangkutan akan kembali disangkutkan di tiang balai (artinya kembali ke rumah gedang, yang nantinya dapat disandang kembali oleh orang lain).<br />4. Disamping itu gelar adat, untuk kasus dan keadaan tertentu, yaitu: Ketiga, pemberian gelar karena pertalian akar, maksudnya yang terbang menumpu, hinggap mencengkam. Pewaris adat ini adalah dari baris yang sudah jauh atau dari belahan kaum yang bersangkutan dan menetap dikampung lain. Bila pemangku adat di daerah yang bersangkutan sudah benar-benar tidak atau sulit ditemui dikarenakan oleh sebab tertentu, maka gelar boleh diberikan kepada anak negeri pewaris adat yang tinggal ditempat lain, namun demikian harus juga melalui kesepakatan ninik mamak dan keluar dalam sepayung. Terakhir, keempat, pemberian gelar diberikan karena pertalian emas. Maksudnya bahwa pewaris adat ini tak berhak menerima gelar pusaka tetapi mungkin hanya dapat menerima warisan saja jika diwasiatkan kepadanya karena memandang jasanya.<br /><br />Lampiran 1.<br /><br />BALAI NAN TIGO<br /><br />I. BALAI PANJANG TANJUNG TILAN<br /><br />Depati yang Marsal:<br />1. Depati Pulang<br />2. Depati Naur<br /><br />Kemang rekannyo:<br />1. Depati Parbo<br />2. Depati Permai<br />3. Depati Mangku Guni<br />4. Depati Mudo Jumareh di Alang Balai<br />5. Depati Lubuk Meh<br /><br />Nenek Mamak nan Marsal<br />1. Seri Paduko Rajo anak Lang Sawai Depati<br /><br />Kemangrekannyo:<br />1. Pandika Rajo<br />2. Pandika Sutan<br />3. Panglimo Rajo<br />4. Pandika Alam<br />5. Rajo Alam<br />6. Mano Alam<br />7. Hulu Balang Pangulu Rajo<br />8. Nalo Depati<br /><br /><br />II. BALAI PENDAK TANJUNG MANUANG<br /><br />Depati yang Marsal:<br />1. Depati Ketau<br />2. Depati Karamo<br /><br />Kemangrekannyo:<br />1. Depati Suto<br />2. Depati Cayo Negeri<br />3. Depati Mudo Panjang Rambut<br /><br />Nenek Mamak yang Marsal:<br />1. Demang Nanggung Seri Menanti<br /><br />Kemangrekannyo:<br />1. Rajo Putih<br />2. Mangku Tiang Alam<br />3. Rajo Bendo<br />4. Rajo Tiang Alam<br />5. Rajo Dateh<br />6. Sanggo Depati<br /><br /><br />III. BALAI PELANGIN TANJUNG AGUNG<br /><br />Depati yang Marsal (depati berenam):<br />1. Depati Payung<br />2. Depati Serampas<br /><br />Kemangrekannyo:<br />1. Depati Unta<br />2. Depati Kecik<br />3. Depati Nanggong<br />4. Depati Nalo<br /><br />Nenek Mamak yang Marsal:<br />1. Demang Seri Menanti<br /><br />Kemangrekannyo:<br />1. Rajo Adat<br />2. Rajo Kecik<br />3. Sutan Kecik<br />4. Rajo Mudo<br />5. Rajo Bujang<br />6. Rajo Mangkuto<br />7. Ulu Balang Panglimo Rajo<br />8. Sutan Rajo Mangkuto<br />9. Tungkat Juang Depati<br /><br />Kemangrekannyo yang Duo Balai nan Tigo Jenjang Depati Singo Lago anak depati berenam diatas.<br />Balai nan Tigo Jenjang nan tersebut diatas, Depati Pulang Jawa induk depati nan berenam.<br /><br /><br />ASAL DEPATI<br />ALAM LEKUK 50 TUMBI LEMPUR<br />I. Enam Depati dari Pulau Sangkar<br />1. Depati Kerinci<br />2. Depati Anggo<br />3. Depati Sangkar<br />4. Depati Suko Berajo<br />5. Depati Gung<br />6. Depati Talago<br /><br />II. Enam Depati dari Serampas<br />1. Depati Pulang<br />2. Depati Naur<br />3. Depati Serampas<br />4. Depati Ketau<br />5. Depati Payung<br />6. Depati Karamo<br /><br /><br />DEPATI ALAM LEKOK 50 TUMBI LEMPUR<br /><br />I. DEPATI LEMPUR MUDIK<br />1. Depati Anum<br />2. Depati Pulang<br />3. Depati Naur<br />4. Depati Ketau<br />5. Depati Singo Lago<br />6. Depati Nanggung<br />7. Depati Lubuk Meh<br />8. Depati Anggo<br />9. Depati Parbo<br />10. Depati Cayo Negaro<br />11. Depati Cayo Negeri<br />12. Depati Serampeh<br />13. Depati Mudo Panjang Rambut<br />14. Depati Permai<br />15. Depati Galinggo<br />16. Depati Kerinci<br />17. Depati Talago<br />18. Depati Muara Langkap<br />19. Depati Setio Seti.<br /><br />II. DEPATI LEMPUR TENGAH<br />1. Depati Suko Berajo<br />2. Depati Mudo<br />3. Depati Muncak<br />4. Depati Nali<br />5. Depati Cayo Negaro<br />6. Depati Setio Nyato<br />7. Depati Setio Rajo<br />8. Depati Sangkar<br />9. Depati Birau<br />10. Depati Mangku Guni<br /><br />III. DEPATI DUSUN BARU<br />1. Depati Agung<br />2. Depati Karamo<br />3. Depati Payung<br />4. Depati Kecik<br />5. Depati Unta<br />6. Depati Lubuk Meh<br />7. Depati Sanudo<br />8. Depati Terang<br />9. Depati Mudo Jumareh<br />10. Depati Nalo Alam Dua<br />11. Depati Suto<br />12. Depati Gung<br />13. Depati Permai<br /><br />IV. DEPATI LEMPUR HILIR<br />1. Depati Sentel<br />2. Depati Lipan<br />3. Depati Nyato<br />4. Depati Suko Kerjo<br />5. Depati Kecik<br />6. Depati Karta Udo<br />7. Depati Ganding<br />8. Depati Singo<br />9. Depati Singo Lagaro<br />10. Depati Gung<br />11. Depati Nanggong<br />Lampiran 2.<br />Lampiran 3.<br />HUKUM ADAT<br />LEKUK 50 TUMBI LEMPUR<br /><br />Berdirinyo Sendi Hukum Adat atas 4 (empat):<br />Bainah<br />2. Karinah<br />3. Alam<br />4. Ijtihat<br />Arti hukum: Hukum itu ialah menentukan dan menetapkan sesuatu atas tempatnyo dan dak diraguhi terangnyo.<br />Mutalib itu biasanya tahan banding.<br />Mutalib undang-undang biaso dikerasi.<br />Mutalib adat biaso ditiru, ber teladan beresab berjerami, ber tunggul, ber penebangan, jauh bulih ditunjukkan, dekat bulih dikatokan, lambago bertuang mutalib hukum Kitab Allah biaso menjadi kekuatan dan daup.<br />Ba’dal hukum adat terbagi 3 (tigo):<br />1. Timbangan akal budi yakni jerih payah<br />2. Timbangan emas pirak<br />3. Timbangan nyawo badan.<br />Yang ditimbang dengan akal budi terbagi tigo:<br />Sesat surut langkah kembali, salah pada Tuhan taubat, salah pado manusio maaf.<br />Mengmebang lapek mengisikan air<br />Numpang menyesit lupo menurut kalau hilang mengganti luko mendamak sumbing menitip.<br />Adapun yang ditimbang dengan perak yakni dengan mengembang lapik mengisi air menating carano, sirih nan berpucuk, pinang berubah, carano berisi emas dan perak sikupang dua kupang se emas atau lebih sebanyak-banyak setihil sepaho, atau memotong kambing, seberatnyo kerbau seekor beras seratus.<br />Adopun yang ditimbang dengan nyawo terbagi 2 (duo):<br />1. Dengan nyawo (dibuang)<br />2. Dengan nyawo umpamonyo utang nyawo dibayar nyawo<br />Hukum buang terbagi 4 (empat), berlakunya bagi orang bersalah, bersalah tidak mau dihukum dalam negeri mako yang akan menjadi hukumnya mati, mati itu Artinya mati pada adat orang dalam negeri yakni hukum buang.<br />Hukum buang sirih. Yakni dibuang dari sebuah geding tak dibawah barito, tak dibawo hilir mudik, tak dijalang buruk baik oleh nan sebuah geding atau oleh nan sepunjung itu sajo.<br />Hukum buang biduk. Yakni oleh kerapatan negeri.<br />Hukum buang Tangkirang. Yakni dibuang oleh kerapatan negeri dan tidak boleh lagi diperbaiki dengan negeri kok tumbuh buruk baiknyo tak buleh dilihat oleh isi negeri. Tetapi ditimpo kecik akan besat tegak tidak makan tunduk malingkong tak makan pampa tak dimakan iris dengan didis ialah antara anak dengan ibu bapak, antara laki dengan bini antaro adik dengan kakak seibu atau sebapak guru mengajar agama tukang membuat rumah dukun pandai obat.<br />Hukum buang daki. Yakni dihukum buang kerapatan negeri tidak boleh tinggal dalam negeri kalau ada sawah ladang dibayat beli oleh negeri.<br />Orang yang bulieh bersuaro dalam pengadilan adat 4 (empat) pekaro:<br />Mudai atau orang mendakwa.<br />2. Mualiah atau yang terdakwa<br />3. Saksi<br />4. Hakim<br />Saksi menurut adat yang boleh ditulak 12 pakaro:<br />Bapak<br />2. Ibu<br />3. Anak<br />4. Dusanak<br />5. Kanak atau kurang akal<br />6. Anak semang<br />7. Panakan<br />8. Mamak<br />9. Penakan<br />10. Ipar<br />11. Laki<br />12. Bini<br />Kewajiban Hakim 7 perkaro:<br />Menerimo pengaduan mudai dan jawab mudaaliah<br />2. Minta tanda kepado mudai dan mudaaliah<br />3. Menerima barang yang diperkarakan itu<br />4. Meneliti saksi-saksi dan memperhatikan buni-buni keterangannyo.<br />5. Menjatuhkan hukum<br />6. Menyampaikan hukum<br />7. Menahan banding.<br />Apabila menghukum kamu diantara sama manusia hukum oleh kamu dengan adil.<br /><br />POHON ADAT<br />Adat. Adat lazim yakni biaso atau selipat memakainya ialah.<br />Artinyo: Bermula adat istiadat negeri memakainyo dan dio kecuali olehorang yang memperselisihkan. Umpamonyo menurut yang diaturkan pemangku adat yakni negeri berpengulu suku berbuah perut, kampun batino rumah batangganai.<br />Pepatahnya diasak layu diangkat mati.<br />Istiadat. Terpakai dahulu kala waktu jahiliah terlarang oleh nan sebenar adat antara sekarang masih ada juga lagi yang diperbuat seperti berebab, berkecapi, berpuput dan bersalung, menyabung dan berjudi.<br />Adat dan diadatkan. Yakni yang dipakai sesuatu negeri yang diperbuat oleh kerapatan negeri yang dipeturun dan diperanakkan yang ditantu ukur jangka oleh kerapatan negeri. Pepatahnyo lain lubuk lain ikannyo lain padang lain belalang lain negeri lain adatnyo.<br />Adat nan Sebenar Adat. Yang diturunkan oleh Nabi Allah Muhammad SAW yang tersebut Kitabnya sepanjang sarak menurut agama Islam. Pepatahnya. Tak lekang dipanas tak lapuk di hujan.<br /><br />UNDANG NAN 4 (EMPAT) :<br />Undang-undang Luhak. Yakni luhak nan belaras negeri nan bapengulu, suku nan berbuah perut, kapung batuo rumah batangganai.<br />Undang-undang Negeri. Yakni rumah tanggo, balai mesjid, kurung kampong, labuh tapian parit rentang. Balai untuk penghulu-penghulu gedang besar batuah rapat adat mencari kebaikan Mesjid ditengah negeri untuk alim ulama untuk mengembangkan agama dan tampat mengerjokan suruh sarak.<br />Undang-undang Dalam Negeri. Yakni salah cencang memberi pampas, salah bunuh memberi bangun, salah tarik mengembalikan, salah makan dimuntahkan.<br />Undang-undang Nan Duo Puluh.<br />Tikam, bunuh<br />Samun, sakal<br />Upeh, racun<br />Sumbang, salah<br />Siung, bakar<br />Maling, curi<br />Rebut, rampas<br />Dagu, dagi<br />Tertumbang, terciyak<br />Tertelah, terkanjat<br />Tertando, tabiti<br />Tercencang, teranggas<br />Terikat, terkebat<br />Terambak patah, terpukul mati<br />Ketika nunggang lalu ranting jatuh<br />Berjalan, bergegas<br />Tertijak berbagai barulih bak sepia<br />Berjual, muran<br />Cendorang mato urang banyak<br />Dibawa pekat dibawah lanjaro.<br />5. Adapun undang-undang nan duo puluh salapan menjunjukkan kelakukan kejahatan, enam membawa jalan induk enggang berketunggangan yakni menjunjuk tanda-tanda biti, enam pembawa jalan cumo jani karinah yang dijatikan cino ialah yang selapan yang menunjukkan kelakukan-kelakuan kejahantan.<br /><br /><br />UNDANG NAN SEMBILAN PUCUK:<br />1. Undang takluk kepado rajo<br />Yang takluk kepado rajo temba namonyo<br />2. Undang takluk kepado depati<br />Yang takluk kepado depati adat namonyo<br />3. Undang takluk kepado ulama<br />4. Undang takluk kepado pakaian<br />5. Undang takluk kepado permainan<br />6. Undang takluk kepado bunian<br />7. Undang takluk kepado keramaian<br />8. Undang takluk kepado hukum<br />9. Undang takluk kepado kebesaran alam.<br /><br /><br />PUKUL CANANG<br />Hep kayo nan diateh rumah gedang an sebuah diatas lantai nan sebintit bawah atap nan selepah nan salingkong mendol tepi nan selarih mendol tengah. Kalaut menesak dita, dita tarandam Muara Jambi, jangan kayo takejut jangan kayo tagampo mananga canang ku berbunyi. Aku sepantun brung mau diimbau aku datang diasung aku pergi datang menampakkan muko pergi nampak punggung aku sepantun biduk pelayangan kua perencang buki parang panjang perancah tampab seligi buang buangan.<br /><br />Bukan cempedak cempedak sajo<br />Cempedak dalam padi<br />Bukan aku tegak tegak sajo<br />Disuruh beliau dan depati<br />Kereno buruk li baganti li<br />Buruk pua calipang tumbuh<br />Patah ratak ilang baganti<br />Buruk batang cendawan tumbuh<br /><br />Karano ado pusako bilian depati yang tagulung ditiang tengah yang talipat dialang balai. Sekarang hendak dibentangkan yang talipat hendak diurak siapo kito yang tatukek tanduk tasurong baju pada hari ini Si Anu……………… Dia tidak dilangkah naikan surut pada hari ini dilangkah naikan jugo pada hari naik dengan adat dan pusao naik di atas kambing seekor beras dua puluh tidak bagela duo tigo gela Depati ………………. Atau ninek mamak……………… saiyo kan duo tidak karjo nan banyak.<br />Denga oleh kayo nan banyak parbaiyo nak labuh pasko nak rek lah bakalili hati lah balek pipi lah gedang daraso diinyo ditidakkan, diambung diantakkan diimbau digelakkan entak kecik karjo bertuang kecik entak gedang karjo berutan gedang, kok kecik barutang kecik segan membayar kok gedang utang segan betimbang diateh celah piagam bawah mangko karang setio karjo dimakan biso kami saiyo laduo mendak karjo nan banyak.<br />Denga-denga kayo nan bagela:<br />Hukum nak dauh pasko nak rek<br />taraso gedang karaso lah baleh pipi<br />ko gedang hendak melando<br />kok panjang hendak malilit<br />tanduk runcing hendak disimbahkan<br />baju belang hendak diirengkan<br />Menyurukkan budi menuangkan akal<br />nan iyo ditidakan<br />nan terang dipakelamkan<br />nan kelam dipaterangkan<br />Tibo dimato dipicingkan<br />tibo diperut dikempiskan<br />tibo dipapan berantak<br />tibo diduri maninjek,<br />Maampeh bumbun merujak labing<br />menohok kawan seiring<br />menggunting dalam lipatan<br />tibo menghukum dengan mengengkan<br />tidak bulih melapehkan dendam dengan kasumat.<br />Kayo seperti kayu diateh tepat kaateh tidak bapucuk kabawah tidak baurat ditengah-tengah digirik kumbang nan diateh ngutung nan dibawah ngadah nan diateh celak piagam nan dibawah manukok karang setio dikutuk Qur’an tigo puluh jus, kayo dimakan biso kawi seiyokan duo tidak kayo banyak.<br />Pepatah sudah mengatakan, kerbau gedang diateh kuto tali pijak bapijak. Urang gedang merubah kato alamat negeri akan susah.<br />Hari selasa mulai kasawah<br />Hendak pergi marumput padi<br />Padi mudik dirumput dulu<br />Padi dile dirumput kudian<br />Pepatah lah samo kito denga<br />Lain di mulut lain di hati<br />Menapik kato guru<br />Itu isi negaka jahannam.<br />Makan sireh serto karakap<br />Tiriang patak talatak<br />Talatak diateh kuto<br />Kuto tuo julung basusuk<br />Mana lebih minta maaf+<br />Canang babunyi tempat nan banyak<br />Canang balik ka si pungko<br />Mintak izin aku duduk.<br /><br />Hanya sekian, disudahi dengan Wassalamu’alaikum Wr.Wb.<br /><br /><br /><br />PARAGO-PARAGO<br />Singgo berganggang bumi dengan langit mako turun wajah nan duo. Satu waris dari pado nabi, ke dua halipah dari pado rajo. Waris dari pado nano beliau malin yang mengetahui bulan nan dua belas, tahun nan duo lapan, hari nan tuju mentiko nan satu.<br />Khalipah dari pado rajo kayo depati nenek mamak yang memegang adat lamo pusako usang. Mano ado kayo depati maajum maarah malarik mangaju mangilo mambentang mengukum mengekam dalam negeri. Mana ajum kayo depati baumu, balaman, berternak, bertani, beranak pinak barumah tanggo.<br />Tentang Si Anu …………… telah mengikuti ajum arah kayo depati, lah baumu lah balaman. Tentang Si Anu ………………. Menegak rumah entah ado tahambik kayu disarang panyengat, kayu bagesut kayu bagiso mintak kito pada Allah yang gagah mintak tunduk yang bena nitak talu, yang sesak mintak lapang, yang hangat mintak dingin. Kereno hamba bersipat kilaf Tuhan bersifat Kedim mintak tapasan aleh tukang kayu sunsang, kayu taralih, kayu batimbang ujung pangkal. Tenang palambo bagito pulo, entah payo lilit payo lingka, tanah lekung jerang kuali melibis dinang hari, gabok ulu tulok, dipintak jugo kepado Allah nan bela mintak ditulak, hangat mintak dingin. Pada hari ini jugo Si Anu…. Telah mengumpulkan suku hindu, darah daging di atas palambo alam adat dunia pakai nabi adat bumbun menyekaro, adat padang kepanasan, adat kito bategak rumah tulang batulung petulangan suku hindu darah daging, tentang kain nan sagabung duo tenan uang sepiah duo sirih baganggang, pinang nan batanduk, beras nan bagantang lah talatak itam ateh nan putih, tentang Si Anu, badan nak sikat iman nak tetap, baladang nak bulih meh, baumu nak bulih padi, tentang tukang bagitu pulo badan nak sihat dalam mengerjokan rumah ini, entah ado lebih dengan kurang kawat dengan talapan, lahir dengan batin salah pado hambo banyakan maaf. Salah pado Tuhan banyakan taubat.<br />Nasi nan sesuap, gulai nan satangkai, air dan seteguk, sipangkalan bersedekah kepado kito. Ateh dari pado itu kok ado mimpi nan tidak beh, kasih nan kurang, jiko mimpi nan dak beh basamo kito layikan dengan ayat patehah. Jika mimpi yang baik samo kot tampong dengan do’a selamat dan berkat saiyo itulah dapat tetap dengan belang.<br /><br /><br />CABANG-CABANG PARAGO<br />Dalam bulan nan duo bleh empat yang kito muliakan:<br />Bulan Haji<br />Bulan Maulud Nabi<br />Bulan Rajab<br />Bulan Ramadan<br /><br /><br />UNTUK MANARIK LEK<br />Lek mandi kayak<br />Sunat rasul<br />Tabung tindek<br />Tamat kaji<br />Menerimo menantu<br /><br />Kapan berniat ibu dengan bapok bersangi mamak dengan malangok, tibo dibanja ayam bakukok, tiko di dusun tabuh babunyi ado niat mako ado sangi. Mano adat tarik lah takapak, beras nan bagantang, sirih nan baganggang, pinang nan batampuk. Jiko tidak nan sado itu, kok putus nan batali kok sekah nan badahan. Kino ini sekar dikampoh woknyo libo, sekar di uleh woknyo panjang, jangan pulo dikampuh libo cabik, diuleh panjang putus, ateh pulo dari pado itu yang menarik dan yang keno tarik kalau ado lebih kurang.<br /><br /><br />UNTUK URANG KAWIN<br />Entak belalak entah kaladik.<br />Mati ditimpok sawo kaluli.<br />Batunok jugo pamutus kaji.<br />Tentang si Anu datang sasat dengan saso, tuek dengan nanyo, sirih dengan serampan, jadi nampaknyo pucuk dicinto ulam tibo, awak katuju urang suko. Jadi malam ini didudukkan suku dengan indu darah dengan daging. Karena kito bersuku hidup bersuku mati bersuku. Jika si Anu pergi menyabung lah badita tali ayam berkain tirai keliki, kito suku jugo yang bungkal nan bakatuk uncang nan piawai. Jiko mati kito jugo mengantarkan ka tanah layu. Ini dia kawin kito mengantakan kalapek lamin. Tentang perkawinan dio ini sekarang mintak salamat kepada Allah mintak kambang mintak biak. Tiap sudut kawin talunggak, tiap alang buai tagantung, giginyo belum nyiloh adiknyo lah ado pulo. Kalau ado lebih kurang.<br /><br /><br />MAMULANGKAN LEK<br /><br />Tentang si Anu dapat kato nan seluko unding dan sesuai hendak mendirikan rumah karena orang duo laki isteri nak barelek. Tameh tatuek tempat nan rami tatanyo tempat nan banyak. Mako dipanggil suku darah daging, lah kumpul seorang lah kumbul barduo, lah kumpul baduo lah kumpul sagalo. Karena sepangkalan hendak memulangkan lek dan hendak mamulangkan karjo, kepado kito suku indu darah daging.<br />Bak kato pepatah mengatokannya<br />kecil limbek gedang limbek<br />lapan jugo misainyo.<br />Kecik lek gedang<br />lek beralek jugo namonyo.<br />Jiko nan tidak samo kito cari,<br />nan jauh samo kito jemput.<br />Jiko ringan samo dijinjing,<br />jikok nan berat samo kito pikul.<br />Jiko nan ado samo kito makan<br />Ateh dari pada itu kareno Tuhan bersifat kadim, hambo bersifat kilaf ragu kareno dek banyak, lupo kareno dek lamo, entah ado suku nan tidak dipanggil. Tentang sepangkalan kok rapat mau menyembah kok kupur mau tubat kok salah mau jugo barutang. Jangan jugo sekah nan badahan putus nan batali kareno kayo entah ado nan tidak terpanggil. Kalau lebih dengan kurang.<br /><br /><br />LEPEH CEMEH<br /><br />Cemeh-cemeh bumu di tepi ayiek, arap-arap padi menjadi, cemeh-cemeh ayik pendalam. Cemeh itu ado tigo pakaro: Satu cemeh anak jantan pergi perang. Kaduo cemeh anak batino sakit pinggang. Katigo cemeh batagak rumah. Anak jantan lah pulang dari perang. Anak batino lah melahirkan anak, batagak rumah kayu tidak rusak tidak binaso mintak tarimo kasih kito kepado Allah sebanyak-banyaknyo. Kalau ado lebih kurang.<br /><br />Lampiran 4.<br />ASAL-USUL SILSILAH<br />Alam Lekuk 50 Tumbi Lempur<br /><br />Ini keterangan asal usul nenek moyang yang berasal dari Gunung Ledang Malaysia, yang bernamo SALUTAN SANG PATI LAUT TAWAR dengan isterinya PUTI SANG BARMO, mempunyai seorang anak laki-laki yang bergelar Si Raja Elok. Sang Pati Laut Tawar dan anaknya Si Rajo Elok berniat untuk mengunjungi daerah asal nenek mereka di tanah Melayu. Untuk mendapatkan izin perjalanan mereka berlayar ke tanah Jawa dengan tujuan untuk meminta izin pada Raja Mataram, yang kala itu diperintah oleh Sultan Indra Bangsawan.<br />Sesampainya disana, raja Mataram dalam keadaan berduka cita karena meninggalnya putra mahkota kerajaan. Sewaktu diizinkan untuk menemui Sultan Indra Bangsawan, Sultan sangat terkejut karena Si Rajo Elok yang menghadapi bersama kedua orang tuanya itu mirip sekali dengan purta mahkota yang sudah meninggal. Oleh Sultan Indra Bangsawan keluarga yang menghadapi dari Gunung Ledang tersebut diminta untuk menetap untuk beberapa lama dalam lingkungan kerajaan sebagai pelipur lara sang Sultan. Si Rajo Elok diangkat sebagai anak oleh Sultan Mataram, diberi gelar Sultan Indra Bangsawan Syah. Semasa di Mataram si Rajo Elok ikut membantu orang tua angkatnya mengatur pemerintahan di Kesultanan Mataram.<br />Setelah beberapa lama tinggal di dalam lingkungan kerajaan, mereka meminta izin untuk dapat berangkat ke tanah Malayu. Akhirnya Sultan Mataram memberikan mereka Surat Pas jalan untuk menemui raja Melayu yang waktu itu adalah Adityawarman. (Surat Pas Jalan si Raja Elok – Sultan Indra Bangsawan Syah – Sigindo Sakti atau Ninek Muning panggilan orang Lempur, oleh masyarakat tersebut masih disimpan oleh masyarakat adat Lekuk 50 Tumbi Lempur sampai sekarang).<br />Mereka berlayar melalui laut sebelah barat pulau Sumatera, terus menuju ke pusat kerajaan Malayu di Pagarruyung untuk menemui raja Adityawarman. Setelah memperlihatkan Surat Pas Jalan, dan diketahui maksud dan tujuan kedatangan mereka di tanah Melayu, maka Adityawarman pun mengizinkan mereka untuk menelusuri pulau Perca (Sumatera), mereka berjalan menuju bagian Kuala Muko-Muko. Sesampainya di Kuala Muko-Muko mereka meneruskan perjalanan menuju Kualo Manjuto, terus ke Teras Terunjam. Di Teras Terunjam Sang Pati Laut Tawar kawin dengan salah seorang gadis di desa tersebut dan tinggal disana (…..tidak ada keterangan lebih lanjut……?). Sultan Indera Bangsawan Syah meneruskan perjalanan menyusuri Sungai Manjuto sampai di daerah kaki Gunung Kunyit (pada masa sekarang daerah tersebut termasuk desa Lempur). Menurut legenda berada di desa Dewa Rajo dan kawin dengan Mandari Mansis.<br />Di desa tersebut bekuasa Nabi Yallah dan isterinya Ramiyallah, mempunyai anak 7 (tujuh) orang:<br />Ketit Hindar Jati turun ke Hiang.<br />2. Ketit Hindar Bayang turun ke laut Bayang Terus.<br />3. Ketit Hindar Bungo terus ke bukit Tungkat – Jangkat Sungai Tenang.<br />4. Ketit Malu tinggal di Gunung<br />5. Nek Rabiah Banuang turun ke Lunang.<br />6. Puti Salutan Tali mirat ke laut terus ke Jawa Mataram<br />7. Nek Mandari Mansis kawin dengan Sultan Indera Bangsawan Syah(Sagindo Sakti)<br />Sagindo Sakti dan Mandari Mansis mempunyai anak 2 (dua) orang: 1. Mambang Tunggal mirat ke Gunung Bungkuk – Bangka Hulu, dan 2. Mandari Kuning.<br />Sepenginggal istrinya Mandari Mansis, Sagindo Sakti meneruskan perjalanannya menyuri ulu Sungai Lolo dan sampai di renah padang Lolo Bancah. Disana beliau bertemu dengan Mangku Gunung Rayo. Pemangku Gunung Rayo bertanya kepada Sagindo Sakti mau kemano tujuan beliau, Sagindo Sakti menjawab bahwa beliau akan menuju Bukit Kerman. Terjadi perselisihan antara ke dua orang tersebut sehingga terjadi perkalahian dari Ulu Air Lolo sampai ke Teluk Dalam. Karena sengitnya pertempuran tersebut menyebabkan padang lolo bancah tersebut bertumbangan rata dengan tanah, ini adalah asal-usul daerah tersebut disebut Desa Lolo. Sesudah letih bertempur tidak ada yang kalah-menang, maka suatu ketika berkata Pemangku Gunung Rayo barang siapo diantaro kito yang sampai duluan ke Bukit Kerman kerumah Tuan Daro (itulah orang yang mempunyai tanah ulayat in dan berhak untuk kawin dengan anaknyo Puti Naimeh Bulan atau Puti Rabiah Bulan).<br />Sagindo Sakti menerima tantangan tersebut, Pemangku Gn. Rayo berlalu mengiliekan Air Lolo lebih dahulu, sedangkan Sagindo Sakti masih tinggal di Teluk Dalam sampai hilang dari penglihatan Pemangku Gn. Rayo. Sagindo Sakti pun berlalu dari Teluk Dalam menuju ke Bukit Kerman ke rumah Tuan Daro. Sesampainya di sana, telah makan sirih sekapur telah habis rokok sebatang barulah tibo Pemangku Gn. Rayo dan berkato Saindo Sakti apo lambat nian tibo, dan karena kalah menurut perjanjian diantara mereka berdua, maka Pemangku Gn. Rayo berkata tentang tanah ini duai dapat menjadi rajonyo sayo menjadi pemerekannyo.<br />Tuan Daro mempunyai suami bernamo Tuan Syeh Maradun Junjung mempunyai 3 (tigo) orang saudaro:<br />Tuan Majid menetap di Pulau Sangkar<br />2. Tuan Syukur menetap di Air Berduri<br />3. Tuan Daro menetap di Bukit Kerman.<br />Tuan Daro dan Tuan Syeh Maradun Junjung mempunyai anak bernamo Puti Naimeh Bulan (Puti Rabiah Bulan) kawin dengan Sagindo Sakti, mereka mempunyai seorang anak laki-laki bernamo Rio Tigo Bangso (inilah asal-usul orang Lolo). Puti Naimeh Bulan meninggal dunia dalam umur yang relatif muda.<br />Sagindo Sakti meneruskan perjalanannya ke daerah Tamiai, Tanjung Muaro Sakiau. Daerah Tanjung Muaro Sakiau adalah dibawah kekuasaan Sagindo Bauk bergelar jugo Depati Muaro Langkap yang mempunyai 3 (tigo) orang anak:<br />1. Nai Meh Alun kawin dengan Raden Serdang dengan panggilan Tiang Bungkuk Panduko Rajo (berasal dari Jawa Mataram).<br />2. Nai Meh Kupak kawin dengan Sagindo Sakti.<br />3. Puti Sanantan Bungo kawin dengan Syeh Marudun di Muaro Talang.<br />Pada suatu hari mako duduk basamo se isi rumah itu, mako Depati Muaro Langkap menerangkan mimpi beliau sebagai kias kepada menantu nan batigo orang itu. Apo mimpinyo, yaitu melihat matahari bajajar tigo. Pada saat itu tapikir oleh menantunya nan batigo itu, ini adalah kias bahwa ke tigo menantu beliau sama-sama gagah dan kuat. Maka mereka bersepakat untuk berpisah mencari daerah masing-masing. Sagindo Sakti dengan Naimeh Kupak terus menuju ulu sungai ke Dusun Ujung Tanjung Muara Sakiau, Syeh Marudun Muaro Talang dengan Puti Sanantan Bungo terus berjalan menuju Sungai Ipuh ke dusun Sungai Muaro Gading. Sedangkan Tiang Bungkuk Pandika Rajo dengan Puti Nai Meh Alun menetap di Tamiai (Dusun Tanjung Muaro Sakiau).<br />Sagindo Sakti dan Naimeh Kupak mempunyai anak 2 (duo) orang (asal-usul nenek orang Lempur):<br />Sitegis, gelar Rio Jibut Pendek kaki (laki-laki)<br />Sitatam (perempuan)<br />Dalam pada itu, Sagindo Batinting di Jerangkang Tinggi (Pulau Sangkar) mendengar bahwa Sagindo Sakti tinggal di daerah yang berada dalam kekuasaan beliau. Maka disampaikan pesan dari Pulau Sangkar bahwa Sagindo Sakti tidak boleh menunggu sebagian Ulu Lingkat sebab disitu adalah tanah Rio dan tanah Menti. Oleh sebab itu Sagindo Sakti diberi tigo pilihan, partamo balik ke Pulau Sangkar, kaduo balik ke Serampas dan katigo balik ka Tamiai. Tidak boleh tinggal disitu sebab tanah padat sendi kerajaan yaitu tanah depati orangnyo depati. Sedangkan Sagindo Sakti masih tetap tinggal di Dusun Tanjung Muara Sakiau jugo, mako datang perintah dari Sagindo Batinting kepado Sagindo Sakti mintak seundang puntung dan selepit daun untuk dibawah ke Pulau Sangkar karena di Pulau Sangkar akan ado perhelatan besar.<br />Sagindo Sakti terus ke Talang Sembilan mako dicabutnya pungo telat tigo batang dahannyo dan batangnya diikat terus dipikul. Setibo di Pulau Sangkar disandarnyo kayu tersebut di balai mako tagireng balai itu. Maka turun Sagindo Batinting dari rumahnyo dan dipatah-patahkannyo kayu tersebut degan tangan dan lututnyo dan berkato begini seharusnyo mengambil puntung duai.<br />Dapat pulo parintah kapado Sagindo Sakti untuk mengambil daun mako terus Sagindo Sakti ke Maruang Tigo Bane diambilnyo daun lirik segenggam kanan segenggam kiri di bawa ke Pulau Sangkar terus ke balai dan beliau minta kepado orang nan banyak untuk keluar dari balai agar tidak tatimpo daun yang hendak diletakan beliau, tetapi orang dalam balai tidak mengacuhkannyo dan seolah-olah mencemoohkan beliau apo pulo nyuroh kami keluar daun yang dibawah hanyo segenggam kanan dan segenggam kiri. Sagindo Sakti melepaskan darun-daun tersebut dari tangannyo ke dalam balai tersebut sehinggo penuh balai tersebut sampai ke atapnyo tabubung dindingnyo tabukak sehinggo banyak orang yang rusoh dan yang mati ditimpo dan diimpit perkakas balai.<br />Lek labuh karjo usai di Pulau Sangkar mako Sagindo Sakti minta diri dan balik ke Dusun Ujung Tanjung Muaro Sakiau. Sedangkan sepeninggal beliau, Sagindo Batinting yang tinggal di Pulau Sangkar tidak bersenang hati dan Sagindo Sakti yang meninggalkan Pulau Sangkat juga dengan hati yang tidak senang.<br />Se sampai di Dusun Ujung Tanjung Muaro Sakiau terus kerumah beliau. Suatu saat Sagindo Sakti mengajak sahabat beliau saudaranyo (dewa di gunung desa di Muara Air segelembai tunggal sigelambai rajo di ulu air, jin seribu jalan di atas, jin seribu jalan bawah, tagguli di pusat guni jin besar di pusat laut, jin kumbang berantai besi nan tegai dari guni segut ke langit) semua terus datang memenuhi seruan bakerjo menebat Batang Air Lingkat maka tetebatlah Air Lingkat hinggo tidak mengilir lagi lebih dan kurang satu tahun.<br />Suatu saat berpesan Sagindo Sakti ke Pulau Sangkar bahwa tebat akan tabukak dan air besar akan mengalir ke Pulau Sangkar sehinggo orang nan banyak terus melarikan diri tinggal Sagindo Batinting dalam dusun sahinggo dibunyikan orang gung dan redap, surak dan surai telah putus dusun Pulau Sangkar hampir cair, mako turun sahabat dari bukit Malagan Sawo Tuli malingkung Pulau Sangkar maka selamat dusun Pulau Sangkar. Sesudah itu Sagindo Batinting kile ke Jambi tibo di Jambi menjadi Rajo Jambi dengan gelar Pangeran Tamanggung kebun di bukit bertempat di Talang Jauh.<br />Sagindo Sakti balik bertempat tinggal di dusun Payo Padang Buku basamo dengan anaknyo nan baduo. Rio Jibut Pendek Kaki mempunyai anak Rio Depati Gedang Gigi, anaknyo Rio Panjang Rambut. Anak dari Rio Panjang Rambut adalah Rio Panjang Janggut, anak Rio Panjang Janggut adalah Rio Gedang Dita. Rio Gedang Dita mempunyai anak dua orang Sirimbang Glr. Rio Depati dan Sigitan Glr. Rio Kecik. ***Prof. Aulia Tasman, Ph.Dhttp://www.blogger.com/profile/03879010985712892173noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-2758280145952467066.post-3379904359826568952009-05-18T15:17:00.000-07:002009-05-18T15:20:55.648-07:00Sejarah Kerajaan KoyingBab 2<br />KERAJAAN KOYING<br />Periode Abad III - VI Masehi<br /><br />1. Keberadaan Kerajaan Koying<br />Ada catatan yang dibuat oleh K’ang-tai dan Wan-chen dari wangsa Wu (222-208) tentang adanya negeri Koying. Tentang negeri ini juga dimuat dalam ensiklopedi T’ung-tien yang ditulis oleh Tu-yu (375-812) dan disalin oleh Ma-tu-an-lin dalam ensiklopedi Wen-hsien-t’ung-k’ao (Wolters 1967: 51). Diterangkan bahwa di kerajaan Koying terdapat gunung api da kedudukannya 5.000 li di timur Chu-po. Di utara Koying ada gunung api dan di sebelah selatannya ada sebuah teluk bernama Wen. Dalam teluk itu ad apulau bernama P’u-lei (? Pulau). Penduduk yang mendiami pulau itu semuanya telanjang bulat, lelaki maupun perempuan, denga kulit berwarna hitam kelam, giginya putih-putih dan matanya merah. Mereka mealkukan dagan barter (tukar menukar) dengan para penumpang kapal yang mau berlabuh di Koying seperti ayam dan babi serta bebuahan yang mereka tukarkan dengan berbagai benda logam. Melihat warna kulitnya kemungkinan besar penduduk P’u-lei itu bukan termasuk rumpun Proto-Negrito yang sebelumnya menghuni daratan Sumatera.<br />Menurut catatan Cina yang lain lokasi Koying diperkirakan di Indonesia Barat ataupun di Semenanjung Malaka. Jika lokasinya memang di wilayah tersebut akhir itu pasti hal demikian tidak mungkin karena dilakporkan bahwa Koying merupakan sebuah neseri dengan banyak gunungapi sedan di Semananjung Malaka tidak ada gunung api. Jika kedudukannya di Indonesia Barat, yakni di Kalimantan, Jawa atau Sumatera, di pulau tersebut pertama juga tidak ada gunung api. Kalau negeri itu kedudukannya dianggap di Jawa juga sukar untuk diterima mengingat dengan demikian negeri itu harus berada di selatan gunung api bersangkutan yakni misalnya di Pegunungan Selatan Jawa. Kalau Koying dicoba ditempatkan si sebelah timur pulau Jawa, hal itu juga tidak mungkin karena wilayah itu tidak disebut-sebut dalam catatan Cina, dan besar kemungkinan memang belum dikenal oleh mereka.<br />Menurut data Cina Koying memuliki pelabuhan dan telah aktif mengadakan perdagangan, terutama dengan berbagai daerah di bagian barat Sumatera. Catatan Cina tentang hal itu didapatakan dari sumber India dan Funan (Vietnam) karena pengiriman perutusan ke dan perdagangan langsung dengan Cina belum dilakukan. Dilaporkan selanjutnya bahwa Koying berpenduduk sangat banyak dan menghasilkan mutiara, emas, perak, batu giok, batu kristal dan pinang. Dari aktifnya perdagangan rasanya sangat sukar untuk menerima pantai selatan Jawa sebagai kedudukan Koying. Namun dapat ditambahkan selain Koying telah melakukan perdagangan dalam abad ke 3 M juga di Pasemah (wilayah Sumatera Selatan) dan Ranau (wilayah Lampung) telah ditemukan petunjuk adanya aktivitas perdagangan yang dilakukan oleh Tonkin (Tongkin, Ton-king) dan Vietnam (Fu-nan) dalam abad itu juga. Malahan kermaik hasil zaman dinasti Han (abad ke 2 SM sampai abad ke 2 M) di temukan di wilayah Sumatera tertentu (Ridho, 1979).<br />Adanya kemungkinan penyebaran berbagai negeri di Sumatera Tengah hingga Palembang di Selatan dan Sungai Tungkal di utara digambarkan oleh Obdeyn (1942), namun dalam gambar itu kedudukan negeri Koying tidak ada. Jika benar Koying berada di sebelah timur Tupo (Thu-po), Tchu-po, Chu-po) dan kedudukannya di Muara pertemuan dua sungai, maka ada dua tempat yang demikian yakni Muara Sabak (Zabaq, Djaba, Djawa, Jawa) dan Muara Tembesi (Fo-ts’i, San-fo-tsi’, Fo-che, Che-li-fo-che) sebelum seroang sampai di Jambi (Tchan-pie, Sanfin, Malayur, Moloyu, Malalyu). Dengan demikian seolah-olah perpindahan Kerajaan Malayu Kuno pra-Sriwijaya bergeser dari arah barat ke timur mengikuti pendangkalan Teluk Wen yang disebabkan oleh sedimen terbawa oleh sungai terutama Batang Tembesi.<br />Interaksi dagang yang terjadi secara langsung dan ada pula melalui perantaraan pihak ketiga. Hubungan dagang secara langsung terjadi dalam perdagangan dengan negeri-negeri diluar di sekitar Teluk Wen dan Selat Malaka maka besar kemungkinan negeri Koying berada di sekitar Alam Kerinci.<br />Adanya kontak atau hubungan antar negeri dapat dilihat dari bukti-bukti peninggalan sejarah kuno di Kerinci berupa barang-barang keramik yang berasal dari zaman Dinasti Han di Cina (202 SM s.d 221 M), barang-barang tersebut berupa guci terbuka, guci tertutup, mangkuk bergagang dan wada berkaki tiga tempat penyimpanan abu jenazah. Benda-benda keramik yang telah ditemukan kelihatannya bukan barang kebutuhan sehari-hari, melainkan barang-barang yang sering digunakan untuk upacara sakral bagi keperluan wadah persembahan.<br />Penemuan benda-benda yang berasal dari negeri Cina sebagaimana diungkapkan di atas, menunjukkan adanya jalur perdagangan atau kontak dagang baik secara langsung maupun tidak langsung antara penduduk negeri Koying dengan penduduk dari daratan negeri Cina. Kontak dagang masa silam antara negeri Cina dengan kerajaan di Alam Malayu menurut catatan geografi kepustakaan Dinasti Han telah berlangsung sejak pemerintahan Kaisar Wu Di. Tentang catatan geografi ini dikemukakan oleh Wan Hashim Wan Teh (1997: 96) sebagai berikut:<br />“Dalam Geografi Kepustakaan Dinasti Han (Han Shu Di Li Zhi) terapa catatan yang mengatakan bahwa semenjak pemerintahan Kaisar Wu Di (140 SM – 87 SM) sudah terdapat hubungan resmi antara Dinasti Han dengansebuah kerajaan di Jawa atau Sumatera bernana Diao Bian (bahasa Cina) atau Dewavarman. Hubungan kerajaan Cina dengan kerajaan Alam Malayu pada awal kurun Masehi tersebut mempunyai kepentingan perdangan, membeli mutiara, batu-batu permata, barang-barang antik, emas dan bermacam kain sutra”<br />Melihat pada komoditas perdagangan sebagaimana yang disebutkan dalam catatan geografi kepustakaan di atas, ternyata sebagianbesar dari komoditas tersebut dihasilkan oleh negeri yang berada di Alam Kerinci atau salah satu negeri di pusat Alam Melayu. Di negeri ini sejak zaman prasejarah telah dikenal menghasilkan barang-barang dagang tersebut. Oleh sebab itu besar dugaan bahwa penduduk negeri ini telah menjual barang-barang tersebut ke negeri tetangganya yaitu Kerajaan Javadwipa. Selanjutnya Kerajaan Javadwipa yang merupakan salah satu kerajaan maritime di kawasan nusantara pada waktu itu, lalu mengekspor barang-barang tersebut ke negeri Cina.<br />Atas dasar bukti-bukti peninggalan sejarah yang ditemukan menunjukkan pula bahwa negeri Koying telah aktif melakukan kontak dagang dengan negeri luar. Barang-barang tersebut kemudian mereka tukar dengan barang yang dibutuhkan oleh pedagang dari luar yang diawa para pedagang negeri luar yang berlabuh di Teluk Wen, seperti benda-benda keramik, manik-manik, sutera dan benda-benda perhiasan lainnya.<br />Pedagang dari negeri luar yang singga di pelabuhan Teluk Wen adalah para pedagang dari India Funan dan dari Kerajaan Javadwipa. Melalui perantara para pedagang ini barang-barang yang dihasilkan penduduk negeri Koying berterbaran ke manca negara termasuk ke negeri Cina. Demikian pula sebaliknya barang-barang yang mereka bawa dari negeri luar seperti dari negeri Cina terutama barang-barang keramik masuk pula ke negeri Koying.<br />Setelah satu kerajaan maritime besar merupakan mitra dagang utama negeri Koying, armada dagang kerajaan ini secara berkala menyinggahi pelabuhan Teluk Wen untuk membeli dan kemudian menjualnya ke manca Negara. Melalui hubungan dagang dengan kerajaan Javadwipa telah menyebabkan komoditi negeri Koying menyebar kemana-mana termasuk ke negeri Cina. Demikian pula barang-barang dari negeri luar terutama yang mempunyai hubungan dagang dengan kerajaan Javadwipa masuk pula ke negeri Koying.<br />Hubungan perdagangan secara langsung antara negeri Koying dengan negeri Cina besar dugaan belum pernah terjadi. Kalaupun ada barang-barang perniagaan negeri Cina masuk ke negeri Koying masuk ke negeri Cina, semuanya mealaui perantara armada dagang kerajaan Javadwipa dan para pedagang India dan Funaan yang singgah di pelabuhan Teluk Wen. Belum adanya kontak hubungan langsung antara Koying dengan negeri Cina termuat dalam catatan Cina yang dikemukakan oleh Sartono (1992:6) dimana disebutkan bahwa:<br />Negeri Cina mengetahui bahwa Negeri Koying memiliki pelabuhan dan telah aktif mengadakan perdagangan terutama dengan berbagai daerah di bagian barat Sumatera. Informasi tersebut diperoleh Cina dari sumber India dan Funan (Vietnam) karena pengiriman perutusan dan perdaganganlangsung ke Negeri Koying belum dilakukan. Disebutkan juga bahwa penduduk negeri in berjumlah banyak dan menghasilkan mutiara, perak, batu giok,batu kristal dan pinang.<br />Merujuk pada informasi di atas, berarti negeri Cina hanya mengetahui keberadaan negeri Koying melalui pedagang kerajaan Javadwipa, India dan Funan. Selain itu, terdapat indikasi bahwa barang-barang perniagaan yang dibawa dari negeri Koying sebagian besar banyak yang dijual ke negeri Cina. Begitu pula sebaliknya barang-barang dari negeri Cina yang dibeli oleh armada dagang Javadwipa, dan para pedagang India dan Funan, dapat diduga pula kebanyakan dijual ke negeri Koying. Mungkin hal inilah yang menyebabkan keberadaan negeri Koying termuat jelas pada berbagai catatan sejarah negeri Cina.<br />Dalam sebuah tulisan S. Sartono (1992:5 & 7) dikemukakan pula bahwa:<br />Dalam wilayah Jambi ada 3 kerajaan Melayu Kuno pra-Sriwijaya yang seiring disebut dalam catatan Cina yaiut: Koying (abad ke 3), Tupo (abad ke 3) dan Kantoli (Kuntala abad ke 5). Catatan tentang adanya negeri (kerajaan) Koying dibuat oleh K’ang-tai dan Wan-chen dari wangsa Wu (222-280). Selain itu juga dimuat dalam ensklopedi T’ung-tien yang ditulis Tuyu (375-812 M) dan disalin oleh Ma-tu-an-lin kedalam Ensklopedi Wenhxien-t’ung-k’ao (Wolters 1967: 51).<br />Catatan negeri Cina yang dikemukakan di atas menerangkan tentang keberadaan negeri/kerajaan Koying dimana disebutkan ciri wilayahnya teradap banyak gunung api, kedudukannya 5.000 li di timur Chu-po (Tu-po), di daerah ini terdapat banyak sungai yang bermuara ke Teluk Wen, negeri ini berpenduduk banyak dan mendiami pergunungan Bukit Barisan serta penghasil mutiara, emas, perak, batu krisal dan pinang.<br />Dari catatan negeri Cina yang dikemukakan Wan-Hashim Wan Teh dan S. Sartono, mendukung kuat keberadaan negeri Koying terletak di pusat inti Alam Malayu. Sedangkan daerah Alam Kerinci ini, mulai dari Gunung Kerinci di sebelah utara sampai gunung Masumai di sebelah Selatan pada masa lampau diketahui banyak terdapat gunung api aktif. Sekarang gunung api tersebut sudah tidak dijumpai lagi, karena sebagian sudah padam dan sebagian lagi sudah meletus. Berbagai perubahan memang telah terjadi akibat dari peristiwa alam dan rotasi bumi. Sebagai contoh danau Kerinci, danau Gunung Tujuh, danau Pauh dan lain-lain terbentuk akibat dari letusan gunung api.<br />Dalam catatan Cina lainnya yang dikemukaan S. Sartono (1992:6) ada yang menyebut lokasi Koying diperkirakan berada di Indonesia Barat ataupun di Semenanjung Malaka. Namun pada daerah Semenanjung Malaka tidak ditemukan gunung api, demikian pula halnya dengan pulau Kalimantan. Kalau kedudukannya dianggap di Pulau Jawa misalnya dipergunungan Selatan Jawa yang terdapat gunungn api, berarti daerah ini berada pada bagian Selatan dari jajaran gunung api Bukit Barisan. Sedangkan kebanyakan sumber Cina menyebutkan negeri Koying berada pada daerah yang banyak gunung api di wilayah pergunungan Bukit Barisan. Selanjutnya, bila negeri Koying tersebut dicoba untuk ditempatkan di sebelah Timur pulau Jawa, kelemahannya tidak satupun wilayah tersebut dinyatakan dalam catatan Cina. Sungguhpun S. Sartono memperkirakan kerajaan Koying telah ada sekitar abad ke tiga masehi, namun catatan negeri Cina menyatakan hubungan perdagangan dengan daerah ini telah berlangsung semenjak sebelum masehi. Selain itu bukti peninggalan sejarah yang ditemukan di daerah ini menunjukkan benda-benda peninggalan sejarah semasa dinasti Han, yakni kekuasaan raja-raja didaratan Cina sebelum masehi.<br />Berdasarkan hal di atas maka dapat disumpulkan dan diyakini bahwa negeri Koying yang disebutkan dalam beberapa catatan sejarah negeri Cina, tidak lain merupakan sebuah negeri yang keberadaannya terletak di wilayah Alam Kerinci, yaitu daerah yang dihuni oleh suku bangsa Kerinci. Sungguhpun demikian masih terdapat pertanyaan yang perlu dijawab, yaitu: apakah nama Koying tersebut merupakan nama negeri/kerajaan yang diberikan suku bangsa Kerinci pada waktu itu, atau semuah nama yang diberikan oleh bangsa lain?<br />Berdasarkan berbagai catatan peninggalan sejarah yang pernah ditelusuri dan dipelajari terutama dari catatan Tulisan Rencong, sampai saat ini belum ditemukan kata Koying. Oleh sebab itu besar dugaan kata Koying hanya sebutan yang diberikan orang dari negeri Cina kepada sebuah negeri di Alam Kerinci yang merupakan tempat mereka menjual dan memperoleh barang-barang perniagaan. Dugaan ini cukup kuat mengingat secara langsung bangsa Cina disebutkan belum pernah mengunjungi daerah tersebut, baik mengirim perutusan secara resmi, apalagi melakukan perdagangan secara langsung. Mereka hanya mengethui daerah tersebut dari mitra dagangnya yaitu bangsa India dan Fungan yang telah sering berniaga ke sana. Namun yang jelas, di wilayah Alam Kerinci sebelum atau sekitar permulaan abad masehi telah terdapat sebuah pemerintahan berdaulat yang diakui keberadaanya oleh negeri Cina yang disebut dengan negeri Koying atau kerajaan Koying.<br /><br /><br />2. Ensiklopedi Negeri Cina<br />Salah satu catatan sejarah penting yang mengungkapkan tentang “Alam Kerinci” tertulis dalam ensiklopedi yang terdapat di negeri Cina. Ensklopedi ini secara tegas memang tidak menyebutkan Alam Kerinci, namun daerah yang dimaksud berdasarkan ciri-ciri yang dikemukakan mempunyai kemiripan yang sangat dekat. Pengungkapan ciri-ciri ini dapat dipahami mengingat daerah tersebut belum diketahui namanya.<br />Informasi negeri Cina yang menyebutkan ciri-ciri keberadaan suatu daerah di pusat inti Melayu pada pergunungan Bukit Barisan dikemukakan S. Sartono (1992), bahwa pada wilayah Provinsi Jambi pernah ada 3 (tiga) kerajaan Melayu Kuno pra-Sriwijaya yang sering disebut-sebut dalam catatan Cina. Ketiga kerajaan itu adalah Koying (abad ke 3 Masehi), Tupo (abad ke 3 Masehi) dan Kuntala(abad ke 5 Masehi).<br />Keberadaan sebuah negeri di pergunungan Bukit Barisan pada pusat Inti Melayu yang merka sebut dengan negeri Koying dikemukakan oleh K’ang-tai dan Wan-chen yang hidup pada masa pemerintahan wangsa Wu (222-280 Masehi). Selain itu juga ditemukan dalam Tung-tien yang ditulis Tu-yu (375-812 Masehi) dan tulisan disalin Ma-tu-an-lin dalam ensiklopedi Wen-hsien-rungk’ao (Wolters 1967:51). Mereka menerangkan bahwa Negeri Koying merupakan sebuah wilayah yang banyak terdapat gunung api yang besar dan dibagian selatan terdapat sebutah teluh yang diberi nama Teluk Wen. Dalam kawasan Teluh Wn terdapat sebutah pulay yang mereka sebut P’u-lei (?=pulau). Orang yang mendiami pulai ini, baik laki-laki maupun perempuan bertelanjang bulat, berkulit hitam kelam, giginya putih-putih dan bermata merah. Mereka melakukan dagang barter (tukar-menukar) barang-barang dengan penumpang kapal yang akan berlabuh di Pelabuhan Koying. Barang-barang tersebut mereka tukar dengan berbagai benda logam. Dilihat dari warna kulit kemungkian besar penduduk P;u-lei itu bukan termasuk dalam rumpun Melayu, tetapi banyak persamaannya dengan rumpun Proto-Negrito yang sebelumnya telah lama menghuni daratan Sumatera. Selain itu, Negeri Koying dinyatakan memiliki pelabuhan dagang dan aktif melakukan perdagangan dengan berbagai daerah dibagian barat Sumatera. Penduduk negeir ini diperkirakan sangat banyak dan menghasilkan mutiara, emas, perak , batu giok, batu kristal da pinang.<br />Versi lain catatan Cina memperkirakan lokasi Koying di wilayah Kalimantan atau pulau Jawa atau Semenanjung Malaka. Akan tetapi pada dearahKalimantan dan Semenanjung Malaka tidak ditemukan gunung api. Sedangkan bila kedudukannya dianggap di Jawa, maka negeri ini akan berada di Tenggara gunung apai dari pusat Inti Malayu. Jadi tidak mungkin daerh yang dimaksud berada pada baigan Selatan pulau Jawa. Selanjutnya, bila daerah negeri ini ditempatkan di sebelah Timur pulau Jawa, hal ini tidak pernah disebutkan dalam cataran Cina.<br />Semua catatan Cian yang menerangkan tentang negeri Koying tersebut dibuat berdasarkan sumber yang mereka peroleh dari orang-orang India dan Funan (Vietnam). Kedau suku bangsa tersebut telah lama mempunyai huungan atau kontak dagang dengan negeri Cina. Orang-orang dari Negeri Cina sendiri belum pernah mengadakan hubungan perdagangan langsung ataupun tidak langsung dengan nama Koying.<br />Secara implisit berdasarkan ciri-ciri georgrafis yang dikemukakan,maka Negeri Koying itu sangat melekat dengan kondisi georgrafis wilayah Alam Kerinci, yaitu sebutah wilayah ditengah Pulau Sumatera yang merupakan bagian dari Alam Melayu. Wilayah ini barada dalam kawasan pergunungan Bukit Barisan, di daerah ini terdapat banyak gunung api terbesar dan tertinggi di Alam Melayu yang sekarang dikenal denan nama Gunung Kerinci. Posisi daerah in berada di bagian Timur kerajaan Tupo yaitu sebuah erajaan pra-Sriwijaya yang pernah terdapat di sekitar daerah Muaro Tebo sekarang.<br />Memang timbul pertanyaan apakah pada waktu itu daerah yang dimaksudkan sudah mempunyai nama baik yang diberikan penduduknya ataupun orang lain, mengingat informasi tentang hal itu belum diketahui orang karena faktor komunikasi dalam masalah bahasa antara satu sama lain (antara suku bangsa Kerinci dengan suku bangsa lain) belum dapat saling mengerti. Pada sisi lain dapat saja daerah tersebut belum sama sekali diberi nama baik oleh penduduknya sendiri, maupun bangsa lain yang pernah tahu atau datang ke wilayah itu.<br />Tidak ditemukan secara jelas mengenai keberadaan lokasi Negeri Koying pada catatan Cina disebabkan karena negeri ini terpadat di pedalaman Alam Melayu, diperlukan waktu, dan kekuatan untuk sampai ke lokasi negeri Koying. Semua catatan yang terdapat pada waktu itu mengenai negeri Koying tidak lain di dapat berdasarkan informasi masyarakat atau pendatang yang berlabuh di Teluk Wen, sedangkan mereka sendiri belum pernah masuk atau tinggal di pedalaman pegunungan di Negeri Koying.<br /><br />3. Pusat Pemerintahan Koying<br />Kehidupan penduduk negeri ini tertentu telah berlangsung sejak lama, dimulai dari zaman prasejarah. Mereka mengawali kehidupan dalam suatu tatanan kemasyarakatan, berangkat dari kelompok-kelompok masyarakat dalam lingkup kecil yang dikenal dengan istilah talang/koto, hingga kemudian membentuk suatu masyarakat yang lebih besar dalam lingkup kesatuan negeri yang akhirnya membentuk sebuah pemerintahan. Bisa dikatakan bahwa revolusi peradaban suku bangsa Kerinci bergerah secara alamiah.<br />Sebenarnya sebutan kerajaan sebagaimana yang disenyalir dalam catatan negeri Cina tidaklah tepat untuk menyatakan kedaulatan sebuah negeri (Negara) di kawasan Alam Kerinci. Istilah kerajaan tidak dikenal dalam komunitas masyarakat Kerinci. Bentuk pemerintahan kerajaan dengan kekuasaan secara turun temurun dari seornag raja kepada putra mahkotanya belum pernah dijumpai di daerah ini. Kekuasaan negeri yang dijumpai di daerah ini menurut sepanjang adat hingga sekarang tetap dijabat secara bergilir dalam suatu komunitas masyarakat sesuai dengan tingkatan strata mereka. Setiap pemimpin masyarakat dalam komunitas akan dipilih secara demokratis dalan dianugrahkan gelar atas jabatan yang disandang oleh anggota kelompoknya (primus inter parest atau orang yang utama diantara yang sama). Untuk pemegang pemerintahan negeri ini digilir di antara pemimpin kelompok masyarakat tersebut melalui suatu system yang disebut dengan ‘sko bagilir sandang baganti’ atau kekuasaan digilir dan dipegang secara bergantian (a system of rotating right). Itulah sebabnya sampai sekaran di bumi Alam Kerinci tidak pernah ditemukan nama dari seorang raja yang pernah berkuasa. Atas dasar itu, maka sebutan kerajaan dalam tulisan ini kuang kena karena lebih tepat digunakan istilah negeri/Negara atau pemerintahan Koying.<br />Pengertian negara dalam hal ini adalah kumpulan dari persekutuan adat dalam kelompok-kelompok kecil, lalu bersatu membentuk strata komunitas persekutuan yang lebih besar yang tersebar dalam wilayah Alam Kerinci, dimana kemudian kelompok ini bergabung membentuk pemerintahan atau negara. Oleh sebab itu, maka wilayah dari Negara atau pemeritnahan Koying terdiri atas kumpulan dari talang, koto, kampong dan dusun yang sersebar dalam wilayah Alam Kerinci.<br />Kembali pada catatan negeri Cina yang menyatakan keberadaan Negeri Koying, dimana diantara cirri-ciri yang dikemukakan menyebutkan bahwa penduduk negeri ini berjumlah banyak dan mendiami daerah di sepanjang pergunungan Bukit Barisan, maka keberadaannya cukup kuat bila dilihat dari penyebaran talang dan koto di sepanjang lereng-lereng dan lembah-lembah pergunungan, mulai dari daerah Kerinci Tinggi sampai ke daerah Kerinci Rendah. Daerah-daerah yang mereka diami adalah sekitara pinggiran hutan yang subur untuk tanah pertanian dan daerah-daerah potensial penghasil bahan pertambangan. Pusat-pusat pemukiman ini umumnya berada tidak jauh dari sumber air, seperti di sekitar danau, di sepanjang tepi sungai dan di sekitar rawa-rawa.<br />Sekarang hal yang perlu untuk ditelusuri adalah dimana pusat dari Negara Koying dan apa nama tempat tersebut. Dalam catatan negeri Cina tida dijumpai hal yang dapat mengidentifikasi dimana letak pusat pemerintahan Koying. Berita negeri Cina hanya memberikan gambaran tentang keberadaan wilayah yang mereka sebut denan nama negeri Koying dengan cirri-ciri daerahnya. Berdasarkan cirri-ciri tersebut hanya diidentifikasi bahwa daerah tersebut adalah wilayah Alam Kerinci. Sedangkan dimana letak pusat pemerintahan negeri Koying tidak sedikitpun disinggung. Oleh sebab itu, bila hanya berdasarkan informasi negeri ina maka sulit untuk menelusuri letak pusat kekuasaan pemerintahan Koying. Hal ini juga berlaku untuk kerajaan masa lalu yang se zaman dengan Koying seperti kerajaan Javadwipa, kerajaan Tupo dan lainnya. Bahkan letak pusat–pemerintahan kerajaan jauh setelah Koying seperti kerajaan Melayu dan kerajaan Sriwijaya sampai kinipun tidak diketahui secara pasti. Selain itu sumber tertulis dari daerah ini, terutama dari catatan-catatan yang terdapat pada tulisan rencong belum didapatkan cerita yang memberikan gambaran tentang hal ini.<br />Sebenarnya berdasarkan atas bukti-bukti peninggalan praseharah dan sejarah yang ditemukan di daerah ini danya dapat diperkirakan letak pusat-pusat pemukiman penduduk (seperti talang, koto dan kampong). Bahkan dapat diprediksi bahwa tempat kediaman tersebut telah ada semenjak zaman apa. Umpamanya tempat kediaman orang pada zaman prasejarah batu tua (paleolitikum) dapat dilihat dari peninggalan batu serpih (flakes) dan batu yang belum diasah pada sekitar lokasi temuan itu. Kediaman orang pada zaman batu tengah (mesolitikum) tentunya akan ditemukan benda-benda flakes, batu yang mulai diasah, tulang, dan pebble. Tempat kediaman orang zaman batu baru (neolitikum) dapat dilihat dari keberadaan peninggalan batu besar (megalit), tembikar, kapak lonjong, dolmen, menhir dan lain-lain. Tempat pemukimaan penduduk pada saman logam akan ditemukan bekas peninggalan bejana perunggu, candrasa, manik-manik, dan lain-lain.<br />Sungguhpun informasi tertulis, baik yang bersumber dari daerah ini, maupun dari sumber luar belum ada yang menyebutkan letak pusat pemerinthaan Koying, namun dengan memperhatikan peninggalan sejarah pada banyak lokasi di daerah Kerinci yang berasal dari Dinasti Han, maka tabir kegelapan tentang hal ini dapat sedikit terungkap.<br />Peninggalan sejarah dari Dinasti Han berupa benda-benda keramik banyak sekali ditemukan pada desa-desa yang terdapat di sekitar danau Kerinci bagian selatan, seperti pada desa Muak kecamatan Batang Merangin dan lain-lain. Benda-benda keramik yang telah ditemukan itu merupakan barang-barang mewah pada saat itu dalam bentuk guci terbuka, guci tertutup, mangkok bergagang, wadah penyimpanan abu jenazah, pecahan piring, cawan dan mangkok. Mengingat benda-benda tersebut merupakan barang-barang mewah maka bias dipastikan bahwa pemiliknya adalah para pemuka masyarakat atau pembesar negeri. Merekalah kelompok dari orang-orang yang dianggap mampu untuk mendapatkan benda-benda tersebut apalagi benda-benda tersebut merupakan barang-barang yang harus didatangkan dari negeri seberang yang sangat jauh.<br />Secara logika sudah pasti barang keramik tersebut dibeli para petinggi/pemuka negeri dengan harga yang sangat mahal, dan tidak mungkin dapat dibeli oleh rakyat biasa. Lokasi penemuan benda-benda ini setidaknya telah menunjukkan bahwa para pemuka masyarakat dan petinggi negeri Koying menetap di sekitar lokasi tersebut. Tempat menetapnya para petinggi dan pemuka masyarakat suatu negeri tentulah merupakan ibunegeri atau ibukota pusat pemerintahan. Atas dasar hal di atas, maka dapat diperkirakan bahwa pusat pemerintahan Negara Koying berada di sekitar lokasi tersebut yaitu pada dataran sebelah Selatan Danau Kerinci atau pada lokasi dusun purba Jerangkang Tinggi. Namun apa nama tempat pusat pemerintahan negeri Koying pada waktu itu belum dapat diketahui, baik berdasarkan sumber informasi yang digali dari daerah ini sendiri maupun dari sumber luar.<br />Melihat jauhnya lokasi danau Kerinci dari daerah pantai maka dapat dipastikan kontak dagang yang terjadi antara penduduk negeri Koying dengan orang-orang luar, hanya berlangsung di pelabuhan dagang di Teluk Wen dekat Muara Tebo sekarang. Di pelabuhan dagang iniliah barter barang-barang perniagaan dilakukan. Para pedagang negeri Koying dari dareah menanti pedagang dari negeri luar seperti dari India, Funan dan negeri/kerajaan nusantara sekitarnya membeli barang-barang mereka. Sebaliknya para pedagang luar menjual barang-barang niaganya kepada para pedagang negeri Koying. Berarti dalam hal ini para pedagang negeri luar tidak pernah mengetahui negeri yang berada dalam wilayah Koying termasuk letak dan nama ibukota negeri Koying itu sendri.<br />Hal ini dapat dimengerti, karena untuk menjangkau daerah di sekitar danau Kerinci bukanlah hal yang mudah, disamping jaraknya cukup jauh dengan Teluk Wen, lagi pula medannya sangat sulit penuh dengan pergunungan danlembah-lembah terjal, sehingga sangat membahayakan bagi orang tidak terbiasa menempuhnya. Di samping membahayakan juga memerlukan waktu yang cukup lama untuk dapat mencapai lokasi sekitar danau Kerinci. Kondisi ini menyebabkan pedagang negeri luar enggan berkunjung secara langsung ke pusat negeri Koying. Mungkin inilah sebabnya tidak satupun sumber catatan sejarah negeri luar yang memberitakan tentang nama ibukota atau pusat pemerintahan negeri Koying. Sumber negeri Cina hanya sebatas memberitakan tentang keberadaan negeri Koying dan pelabuhan Teluk Wen, yaitu pelabuhan dagang yang digunakan penduduk negeri Koying, sebagai tempat dimana para pedagang dari berbagai negeri berniaga atau melakukan tukar menukar barang.<br />Pada mulanya pemerintahan Koying hanya menguasai negeri-negeri kecil yang terdapat pada dataran tinggi Bukit Barisan dalam wilayah Alam Kerinci. Sedangkan pada daerah dataran rendah bagian Selatan dari negeri Koying saat itu berada dibawah kekuasaan pemerintahan Tupo (Kerajaan Tupo) yang berpusat di sekitar dearah Muara Tebo sekarang. Di sini terdapat sebuah pelabuhan dagang yang ramai dikunungi berbagai negeri yang disebut dengan pelabuhan Teluk Wen. Awalnya negeri Koying ikut memanfaatkan pelabuhan dagang ini untuk menjual berbagai komoditi dagang yang dihasilkan penduduknya. Namun dalam perjalan sejarah yang panjang terjadi perselisihan antara negeri Koying dengan kerjaan Tupo. Perselisihan disebabkan karena kekuatiran kerajaan Tupo yang berlebihan terhadap negeri Koying dalam perdgangan di Teluk Wen. Tupo mempersulit lalulintas barang dari negeri Koying dengan menetapkan pajak yang tinggi dan memberlakukan berabgai peraturan yang memberatkan negeri Koying.<br />Sampai pada saat tertentu kedua pemeritnahan akhirnya tidak dapat lagi mencapai kesepakatan. Pada sisi lain para pedagang dari negeri Koying yang melintasi wilayah Tupo sudah sering mendapat gangguan. Pada sekitar pertengahan abad ke 3 M peperanan antara kedua kerajaan tidak dapat dihindari lagi. Akhirnya peperangan tersebut, negeri Koying dapat mengalahkan kerajaan Tupo dan menguasai sepenuhnya pelabuhan Teluk Wen termasuk negeri-negeri yang berada disekitarnya. Pelabuhan dagang Teluk Wen yang juga merupakan ibukota kerajaan Tupo lalu dijadikan kota niaga atau pusat perdagangan negeri Koying.<br />Setelah pertenahan abad ke 3 M Negara Koying diperkirakan mencapai puncak kejayaannya. Pelabuhan dagang Teluk Wen semakin berkembang dan ramai dikunjungi pedagang dari berbagai negeri. Koying juga menjalin kerjasama dalam mencari mutiara denan orang-orang keturunan Proto-Negrito yang menghuni sebuah pulau di dalam Teluk Wen. Produksi mutiara yang melimpah menyebabkan Negara Koying menjadi terkenal di luar negeri sebagi negeri penghasil mutiara.<br />Pada saat yang sama aktivitas perdagangan dari berbagia kapal manca Negara yang keluar masuk Selat Malaka menunjukkan peningkatan. Pada penghujung abab ke 3 M, selain Koying terdapat 2 buah kerajaan di pantai Timur Sumatera yang mempunyai jalur perdagangan dengan luar negeri, yaitu kerajaan Pasemah yang berada di wilayah Sumatera Selatan dan Kerajaan Ranau yan gberada di wilayah Lampung. Sama halnya dengan negara Koying, kedua kerajaan tersebut mempunyai pelabuhan dagang yang selalu ramai dikunjungi pedagang dari Tongkin dan Funan. Perkembangan ini telah membuat Negara Koying merasa perlu untuk mengamankan daerah pandati timur yang menghadap Selat Malaka yaitu daerah disekitar Kuala Tungkal sekarang. Pada daerah sepanjang pantai ini terdapat beberapa pelabuhan kecil tempat persinggahan kapal-kapal niaga yang ingin menuju Teluk Wen. Daerah Kuala Tungkal sampai ke daerah Jambi sekarang dulunya berada dalam gugusan Teluk Wen. Sungai Batanghari waktu itu belum ada, yang ada hanya sungai-sungai yang mengalir dari dataran tinggi Kerinci dan daerah sekitarnya yang bermuara ke Teluk Wen di sekitar Muara Tebo sekarang. Sudah barang tentu jarah antara pelabuhan Teluk Wen dengan pelabuhan-pelabuhan kecil yang terdapat di daerah pantai timur tidak sejauh jarak antara Muara Tebo dengan Kuala Tungkal sekarang.<br />Pengamanan dan penguasaan daerah pantai timur di sekitar Kuala Tungkal tidak lain demi menjaga keberlangsungan dan keamanan perdagangan di Selat Malaka dan keamanan negeri Koying sendiri. Dikawatirkan bila daerah tersebut tidak dalam kendali Negara Koying maka pihak luar dapat memanfaatkan pelabuhan-pelabuhan kecil di pantai timur untuk keperluan invasi ke Negara Koying. Negara Koying kemudian berhasil menguasai daerah pantai timur dan menjadikan pelabuhan-pelabuhan kecil yang terdapat di sana berada di bawah pengamanan dan kendali Negara Koying kurun waktu ini merupakan saat-saat pendint dalam kejayaan Negara Koying.<br />Namun demikian penguasaan atas wilayah pantai timur atau daerah di sekitar Kuala Tungkal, pada akhirnya menimbulkan kesulitan tersendiri bagi Negara Koying. Kendala yang mereka hadapi antara lain: daerah ini cukup jauh dari pusat kekuasaan yang berada di Alam Kerinci, topografi daerah berawa-rawa dan merupakan daerah pasang surut sehingga menyebabkan tidak dapat dikembangkan pola pertanian seperti di daerah pergunungan. Kondisi tersebuttelah menyebabkan orang-orang dari negeri Koying tidak mau menetap di sini. Akibatnya Negara Koying kesulitan menempatkan orang-orangnya disana untuk mengembang daerah ini bersama penduduk di sekitaranya. Kesulitan kemudian diatasi dengan mempercayakan sepenuhnya pengendalian darah sekitara pantai timur kepada pemuka masyarakat yang telah dibina. Melalui kerjasama dan saling menghormati roda pemerintahan dapat berjalan dengan baik. Kerjasama yang terjalin baik telah menyebabkan Negara Koying tidak mengalami hambatan dalam mengontrol dan mengembangkan wilayah sepanjang pantai timur. Itikad baik yang diperlihatkan para pemimpin masyarakat dalam menyelenggarakan pemerintahan menyebabkan Negara Koying tidak ragu memberi kesempatan secara lebih luas keapda penduduk negeri untuk menduduki psosisi jabatan penting.<br />Memasuki abad ke 4 M, Teluk Wen semakin dangkal. Pendangkalan disebabkan proses alamiah yaitu terjadinya penumpukan sedimen dari tanah pergunungan. Dalam proses yang berlangsung ratusan tahun, akhirnya Teluk Wen menjadi tertutup dan daerahnya berubah menjadi dataran rendah. Kapal-kapal dari negeri luar akhirnya hanya dapat melayari sungai besar yang terdapat ditenah dataran rendah ini, yaitu Sungai Batanghari sekarang.<br />Sehubungan dengan proses hilangnya Teluk Wen, S. Sartono (1992) mengatakan bahwa akibat dari pendangkalan Teluk Wen diduga telah menyebabkan Negara Koying terpaksa : (1) memindahkan pelabuhan dagang dari Teluk Wen ke darah pantai timur di sekitar daerah Kuala Tungkal sekarang, dan (2) memindahkan pusat pemerintahan dari pergunungan Bukit Barisan di Alam Kerinci ke daerah Muara Tungkal (Kuala Tungkal). Berarti dalam hal ini menunjukkan bahwa pelabuhan dagang Teluk Wen sudah tidak efektif lagi digunakan untuk pelayaran samudra bagi kapal-kapal manca negeara yang ingin berlabuh.<br />Dugaan pelabuhan samudra Negara Koying dipindahkan ke sekitar pantai Kuala Tungkal dengan mengembangkan pelabuhan yang ada di sana cukup kuat. Pelabuhan itu kemudian difungsikan sebagai pelabuhan samudra yang dapat dilabuhi kapal-kapal besar untuk menggantikan fungsi pelabuhan Teluk Wen. Sedangkan bekas pelabuhan Teluk Wen tetap difungsikan sebagai pelabuhan penghubung bagi kapal-kapal kecil yang melayani bongkar muat barang-barang dagang penduduk negeri di Alam Kerinci dan daerah sekitarnya. Dari sini kemudian baru dibawa ke pelabuhan samudra di pantai Kuala Tungkal.<br />Apakah dengan pemindahan fungsi pelabuhan Teluk Wen ke pelabuhan di pantai timur tersebut pusat pemrintahan Koying juga ikut pindah ? Sebagian dari ahli sejarah berpendapat bahwa pusat pemerintahan negara Koying tidak dipindahkan dan tetap berada di Alam Kerinci. Perkiraan ini sangat rasional mengingat sangat sulit bagi negara Koying untuk meninggalkan daerah asalnya, karena basis kekuatan pemerintahan berada pada penduduk negeri yang mendiami wilayah Alam Kerinci yaitu komunitas suku bangsa Kerinci. Selain itu wilayah terbesar kekuasaan negara Koying berada di kawasan pusat pergunungan Bukit Barisan yaitu wilayah Kerinci Tinggi, wilayah Kerinci Rendah dan daerah-daerah kecil lainnya di sekitar Kerinci Rendah bagian selatan. Maka dapat dikatakan bahwa pusat pemerintahan Koying tidak pernah dipindahkan dan tetap berada di Alam Kerinci.<br />Dalam perkembangan selanjutnya, kekuasaan Koying atas wilayah pantai timur di sekitar Kuala Tungkal akhirnya diduga sepenuhnya diserahkan kepada penduduk negeri setempat. Kebijakan ini kelihatannya dilakukan atas pertimbangan karena wilayah tersebut secara ekonomi sudah tidak menguntungkan dipertahankan. Mutiara sebagai komoditas andalan sudah tidak diproduksi lagi dari kawasan Teluk Wen. Pada sisi lain barang-barang komoditi perdagangan dari negeri Koying telah menunjukkan penurunan. Pada akhirnya negara Koying melepaskan daerah pantai timur dan mendorong terbentuknya pemerintahan baru. Pemerintahan baru ini disebut dengan kerajaan Kantorli (Kuntal) dan diperkirakan aban ke 5 M. Antara negara Koying dengan kerajaan Kuntala terjalin persahabatan yang baik, sehingga parapedagang dari pelabuhan dagang kerajaan Kuntala untuk mengekspor berbagai komoditi dagang ke manca negara. Pelabuhan dagang Kuntala semakin ramai karena banyak negeri kecil disekitarnya juga turut menggunakannya. Perkembangan ini telah memberikan keuntungan besar bagi kemakmuran kerajaan Kuntala.<br />Sesungguhnya Negara Koying telah memusatkan perhatiannya hanya dalam mengurus penduduk negerinya sendiri di wilayah Alam Kerinci, namun perdagangan dengan negeri luar tet dilalukan melalui pelabuhan Kuntala. Barang-barang dagang yang selama ini di ikul para pedangan dari daerah pergunungan Alam Kerinci dan kemudian dikapalkan di pelabuhan Teluk Wen, kini harus diangkut terlebih dahulu dengan menggunakan kapal-kapal kecil menelusuri sungai yang mengalir ke pelahuan Kuntala. Dari pelabuhan Kuntala baru barang-barang dagang tersebut dikapalkan ke mancanegara. Sungguhpun dalam kondisi yang telah berubahan, namun hubungan perdagangan negeri Koying dengan negeri luar tetap terjalin dengan baik, karena para pedagang negeri Koying sejak lama sudah sangat dikenal pedagang mencanegara terutama oleh para pedagang Tamil. Pedagang Tamil menyebut para pedagang dari negeri Koying dengan sebutan ‘orang gunung’ atau dalam bahasa Tamil disebut “Kurinci” yaitu orang-orang yang berasal dari pusat pergunungan Bukit Barisan atau Alam Kerinci.<br /><br /><br />3. Berakhirnya Kerajaan Koying<br />Keberadaan Koying yang pernah dikenal di manca negea sampai abad ke 5 M sudah tidak kedengaran lagi. Diperkirakan setelah Koying melepaskan kekuasaanya ata kerajaan Kuntala, kejayaan pemerintahan Koying secara perlahan-lahan menghilang. Koying yang selama ini tersohor sebagai salah satu negara nusantara pemasok komoditi perdagangan manca negara sudah tidak disebut-sebut lagi. Keadaan seperti ini sebenarnya tidak dialami Koying saja, karena kerajaan lain pun yang pernah jaya semasa itu banyak pula yang mengalami nasib yang sama. Kerajaan Javadwipa yang tersohor, akhirnya juga tenggelam secara tidak menentu. Dari berbagai literature dapat dipelajari, bahwa keberadaan suatu pemerintahan atau kerajaan yang telah ratusan tahun lamanya, suatu ketika akan mengalami masa kemunduran dan kemudianbahkan lenyap sama sekali. Penyebabnya bias karena factor dari dalam seperti: perubutan kuasaaan, hilangnya pengaruh terhadap wialyah kerajaan yang sudah sangat luas, terjadinya pemberontakan rakyat karena ingin memisahkan diri, atau sebalinyak disebabkan factor dari luar seperti: ditaklukan kerajaan lain dan lenyap karena terjadinya bencana alam yang dahsyat. Namun demikian, biasanya setelah lenyapnya suatu kerajaan, maka akan muncul pemerintahan baru atau kerajaan baru sebagai penggantinya.<br />Besar dugaan menghilangnya Koying secara perlahan-lahan dikarenakan sudah tidak mampu lagi mengayomi wilayahnya yang sudah semakin luas akibat berkembangnya pusat-pusat negeri baru yang semakin banyak. Menyebarnya pusat-pusat pemukiman telah melemahkan kendali pemerinthan Koying terutama dalam mengatur dan mengontrol keberadaan negeri-negeri baru yang tersebar dalam wilayah kekuasaanya. Ketidakmampuan ini bisa dikarenakan faktor jarak antara pusat-pusat pertumbuhan negeri baru dengan pusat pemerintahan Koying berada dalam radius yang jauh. Selain itu, antara pusat-pusat pertumbuhan pemukiman baru tersebut hanya bisa dijangkau dengan menempuh jalan pintas melalui hutan belantara. Kondisi alamiah itu telah menyebabkan hubungan pemerintahan menjadi sulit berjalan baik. Kemunikasi antara penyelenggara pemerintahan dan masyarakat pada pusat-pusat pemukiman baru dengan negeri asalnya sebagai pusat pengendalian pemeritnahan menjadi renggang.<br />Penduduk pada banyak negeri-negeri baru sebenarnya juga berasal dari komunitas yang sama yaitu dari orang-orang yang berasal dari negeri yang telah ada sebelumnya. Jadi penyebaran penduduk dalam wilayah Alam Kerinci antara satu tempat dengan tempat lainnya masih mempunyai hubungan pertalian daerah. Mereka membuat pusat-pusat permukiman baru tidak lain untuk kepentingan pemenuhan kebutuhan hidup yang lebih layak. Pada negeri baru yang dibuat, mereka lalu membuka sawah, ladang dan mencari kehidupan dari lingkungan alam yang ada. Mereka mengumlkan hasil-hasil hutan seperti damar, rotan, mendulang dan menambang emas serta mencari batu permata, untuk kemudian menjualnya ke para pedagang. Selanjutnya para pedagang kemudian membawa ke pelabuhan-pelabuhan dagang, sehingga menyebar ke berbagai pelosok negeri.<br />Negeri-negeri baru ini dalam perjalanannya tumbuh dan berkembang menjadi negeri yang makmur dengan penduduk yang kian bertambah. Malahan negeri-negeri yang pernah ada sebelumnya menjadi tertinggal sama sekali. Pertumbuhan banyak negeri baru ini diduga kuat telah menimbulkan pengaruh yang besar terhadap kelangsungan pemerintahan Koying. Keterbatasan sumberdaya untuk memenuhi kebutuhan penduduk dengan wilayah yang semakin tersebar, menjadikan penguasa Koying lemah dalam pengawasan. Kerapuhan dalam menjalankan roda pemerintahan, akhirnya menyebabkan pengaruh dan kekuasaan Koying secara perlahan-lahan pada negeri-negeri baru tersebut menjadi hilang.<br />Lahirnya negeri-negeri baru di Alam Kerinci pada saat itu, tidak lain merupakan proses gerakan migrasi penduduk yang terpencar dalam berbagai kelompok kecil (talang dan koto), lalu bersatu dalam kelompok yang lebih besar sehingga terbentuklah dusun. Dusun yang terbentuk pada masa itu dapat dikatakan sebagai dusun awal (dusun purba) yang kemudian dalam perjalan sejarah berkembang menjadi banyak dusun. Sudah barang tentu proses pertumbuhan negeri atau dusun-dusun baru ini berjalan secara bertahap dan diperkirakan berlangsung dalam kurun waktu cukup lama. Adapun dusun awal yang menjadi cikal bakal negeri-negeri yang akan berlangsung dalam pemerintahan Segindo sebagai pengganti dari pemerintahan Koying. ***Prof. Aulia Tasman, Ph.Dhttp://www.blogger.com/profile/03879010985712892173noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-2758280145952467066.post-34343935924114256112009-05-18T04:34:00.001-07:002009-05-18T04:34:57.210-07:00SELAMAT DATANGProf. Aulia Tasman, Ph.Dhttp://www.blogger.com/profile/03879010985712892173noreply@blogger.com0