One site of Kerinci

Senin, 18 Mei 2009

Lampiran: Kain Kebesaran Depati

Lampiran 1:
Kain Kebesaran Depati (Adipati)
Kerajaan Melayu Jambi berusaha untuk mengukuhkan persatuan wilayah-wilayah dengan cara membagikan kain kebesaran kerajaan. Pangeran Temenggung atas nama kerajaan membawa dan membagi Kain Kebesaran Depati (Adipati) ke daerah Kerinci yaitu untuk masing-masing Depati 4 Alam Kerinci. Setelah sampai di daerah Kerinci, pertama kali di Tamia diberilah sehelai ”Kain Kebesaran Depati” kepada Depati Muaro Langkap, keturunan Sigindo Bauk.
Kemudian terus menyusuri ke mudik Batang Merangin di Pulau Sangkar, diserahkan pula sehelai Kain Kebesaran Depati kepada Depati Rencong Telang, keturunan Sigindo Batinting. Sampai di Pengasi, Kain Kebesaran Depati diserahkan kepada Depati Biang Sari, keturunan Sigindo Teras. Untuk seterusnya rombongan sampailah di Hiang, kain kebesaran diserahkan keapda Depati Atur Bumi, keturunan Sigindo Kuning.
Kain kebesaran yang dibawa sebanyak 4 helai, sudah dibagi-bagikan kepada yang berhak menerimanya. Sampai di Hiang, sedangkan masyarakat di hulu Sungai Batang Merangin belum mendapat bagian. Untuk itu atas perundingan dan mufakat, kain yang terakhir dibagi menjadi ”Delapan” Helai Kain. Dengan arti kata: 1 Helai kain dijadikan Delapan Helai Kain.
Hiang mendapat 1/8 (se per delapan) helai, selebihnya dibagikan kepada:
Untuk di Hilir:
a. Tanah Kampung = Depati Batu Hampar
b. Seleman = Depati Sirah Mato
c. Penawar = Depati Mudo
Untuk di Mudik:
a. Sekungkung = Depati Tujuh
b. Semurup = Depati Kepala Sembah
c. Kemantan = Depati Situo
Yang ke-7 helai terakhir diberikan untuk Rawang, sehingga menjadi sebutan sejak dulu sampai sekarang:
” Tiga di Hilir - Empat Tanah Rawang”
” Tiga di Hulu - Empat Tanah Rawang”
Sehingga jumlahnya menjadi = 3 (di Hulu) + 3 (di Hilir) + Rawang = 7 + Hiang = 8. ” Kerinci disebut dengan Depati IV Delapan Helai Kain.
Kain yang disampaikan kepada para depati oleh Pangeran Temenggung, dikatkan sebagai Tanda Persahabatan Kerajaan, yang hakekatnya adalah hendak memasukkan Kerinci ke dalam Wilayah Kerajaan Jambi. Hal ini tidak mungkin terjadi karena wilayah hukum Pamuncak Rencong Telang amat luas, tidak dapat dipengaruhi oleh Kerajaan Jambi. Wilayah hukum Pamuncak Rencong Telang di kala itu mencakup wilayah Kerajaan Manjuto, dalam Lingkungan Pamuncak Nan Tigo Kaum sampai ”Pantai yang 14 Muko-Muko dan yang Tigo di Baruh (disebut Kerinci Rendah).
Setelah para depati menerima Kain Kebesarannya masing-masing dan menentukan wilayah tanahnya, yaitu disebut: Tanah Mendapo, mempunyai batas dengan siring ”Ke air berpasang batu, ke darat berpasang lantak (kayu)” dengan Tanah Mendapo lainnya. Masing-masing telah membentuk Staf Pemerintahannya, yang terdiri dari depati-ninik mamak. Yang mada di kala Alam Kerinci terbagi atas 11 (sebelas) Tanah Mendapo, ”Undang Turun Dari Minangkabau – Teliti Mudik dari Tanah Jambi”.
Kerajaan Melayu Pagarruyung yang berpusat di Suruaso ingin memperluas daerah takluknya, sedangkan di kala itu para depati di Alam Kerinci belum mempunyai persatuan dan kesatuan, hanya depati-depati mementingkan daerah sendiri-sendiri, maka oleh Kerajaan Pagarruyung mencoba menurunkan undang-undang ke Alam Kerinci, yaitu Undang Sarak, ”Kalau salah tangan, tangan di kerat; salah kaki, kaki di potong”. Jika ”membunuh”, humum-bunuh. Undang yang demikian amat berat, sehingga ditolak balik ke Alam Minangkabau. Yang disebut menurut istilah Kerinci: ”tolak Rebou Tolak Rangkah”, dengan arti kata ”sama sekali tidak diterima”.
Untuk mengatasi undang yang berat ini, oleh Kerajaan Jambi mencoba pula memudikan ”Teliti” dari tanah Jambi, yaitu satu peraturan yang amat ringan pula. ”Kalau salah tangan, untuk imbalannya kerat kepak ayam, kalau salah kaki kerat kaki ayam, kalau mata bersalah, imbalannya cungkil mata kelapa”. Teliti yang demikian juga tidak ditolak, maka rentetan dari itu berdirilah Daulat Depati IV di Alam Kerinci yang mempunyai undang-undang adat sendiri.
Berdirinya Daulat Depati IV, barulah disebut Depati IV Alam Kerinci, yaitu Lembaga Pemerintahan Tertinggi di Alam Kerinci dengan mengambil tempat untuk Balai Permusyawaratan di Sanggaran Agung, yang dikatakan ”Hamparan Besar Alam Kerinci”, ”ke atas sepucuk ke bawah seurat, sedekum bedilnya sealun soraknya, ke hilir serangkuh dayung kemudi serentak satang”. Ini merupakan suatu negara kesatuan yang berdaulat penuh, mempunyai Undang-undang sendiri dan hukum sendiri, tidak berundig ke Minangkabau dan tidak berteliti ke Tanah Jambi.
Dalam tingkat lembaga hukum disebut Lembaga Alam. Dalam permusyawaratan tiap depati membawa kembar-rekan masing-masing sebagi anggota Dewan Permusyawaratan Alam Kerinci di masa itu, Depati Atur Bumi membawa rekannya yang disebut “Tiga di Hilir Empat Tanah Rawang, Tiga di Hulu Empat Tanah Rawang”, yang berarti 7 orang depati:
Untuk di Hilir:
a. Depati Batu Hampar di Tanah Kampung
b. Depati Sirah Mato di Seleman
c. Depati Mudo di Penawar
Untuk di Mudik:
a. Depati Tujuh di Sekungkung
b. Depati Kepala Sembah di Semurup
c. Depati Situo di Kemantan
Depati Rencong Telang membawa kembar-rekannya Depati Nan Berenam dari Pulau Sangkar.
Depati Biang Sari membawa kembar-rekannya Nan Berenam dari Pengasi.
Depati Muara Langkap mebawa kembar-rekannya Nan berenam dari Tamiai.
Untuk Hamparan Besar Depati VIII Helai Kain bertempat di Rawang, yang beranggotakan Tigo di Hilir Empat Tanah Rawang – Tigo di Hulu Empat Tanah Rawang, ditambah Sungai Penuh Pegawai Jenang Pegawai Rajo, Suluh Bindang Alam Kerinci, dibawah Pengawasan Depati Nan Batujuh, Pemangku nan Baduo, Pementi Nan Sepuluh.
Sebagai pucuk pimpinan di kala itu Depati Atur Bumi (dalam Hamparan Besar Nan VIII Helai Kain). Jadi di Kerinci di kala itu terdapat dua hamparan (Balai Permusyawaratan:
1. Hamparan Besar di Rawang, untuk Depati VIII Helai Kain.
2. Hamparan Besar di Sanggaran Agung, untuk Depati IV Alam Kerinci atau suatu Lembaga Tertinggi Pemerintahan di Alam Kerinci.
Sedangkan tingkat Lembaga Hukum di Alam Kerinci diatur sebaik-baiknya melalui ”Seko Nan Tigo Takah – Lembago Nan Tigo Jinjing”, keempat Lembago Alam (Lembago Hukum Depati IV Alam Kerinci).

Sejarah Kerajaan Melayu Kuno

Bab 4
KERAJAAN MELAYU
Periode Abad VI-XI

1. Letak Kerajaan Melayu
Keberadaan dan letak kerajaan Melayu dan Sriwijaya masih dalam perdebatan, dan ada sebagian ahli berkeberatan terhadap penggunaan berita-berita Cina sebagai sumber sejarah kerajaan Malayu, tidak jgua dapat pungkiri bahwa berita pertama yang dengan jelas menyebutkan nama “Malayu” adalah berita Cina juga. Dari kitab sejarah dinasti T’ang didapat keterangan bahwa datangnya utusan dari Mo-lo-you di Cina pada tahun 644 dan 645 M. Sudah barang tentu sulit dicarikan keberatan untuk mengidentifikasikan kata Cina ini dengan Malayu.
Kontak antara pedagang pendatang dengan penguasa setempat, seringkali sudah turun temurun, adakalanya arat sekali. Tanpa disadari kontak pribadi lama dan erat itu, membawa akibat kepada kedua belah pihak saling mengambil unsur-unsur kerajaan masing-masing. Kalau kontak dagang berasal dari Cina yang beragama Budha (Hinayana) maka agama itulah yang berkembang di bandar dagang tersebut, demikian pula kalau kontak dagang dari Persia (agama Islam) maka agama Islam-lah yang berkembang, dan lain-lainnya.
Kerajaan Budha (Hinayana) yang kemudian timbul dan berkembang di Minangkabau Timur, ialah pusat-pusat perniagaan lada. Melayu (Tua) dengan Muara Tembesi sebagai bandar utamanya dan Sriwijaya (Tua) dengan Muara Sabak (Jambi) sebagai bandar utamanya. Kerajaan –kerajaan Budha (Hinayana) inilah yang dikunjungi oleh I-tsing, pendeta Budha dari Cina, dalam perjalanannya ke India (671 Masehi) dan pulang kembali kenegerinya (685 Masehi).
Berita yang lebih menarik karena lebih jelas mengarah kepada apa yang dicari adalah kisah perjalanan I-tsing, seorang pedeta Budha dari Cina yang pernah tinggal di Sriwijaya cukup lama, dalam perjalanannya dari Kanto di Cina ke Negapattam di India dalam tahun 671/672 ia singgah dulu di She-li-fo-she untuk belajar bahasa Sanskerta selama enam bulan. Dari sini ia menuju Mo-lo-yeu, di mana ia tinggal selama dua bulan, untuk kemudian meneruskan perjalanannya ke Chieh-cha (Kedah) dan selanjutnya ke India. Dalam perjalanan pulangnya pada tahun 685 ia singgah lagi di Mo-lo-yeu, “yang telah menjadi She-li-fo-she”, selama 6 bulan.
Kisah perjalanaan I-tsing itu memberikan gambaran bahwa Melayu adalah tempat persinggahan yang cukup penting, karena tidak dilewati begitu saja, baik dalam pelayaran dari Cina ke India maupun sebaliknya. Adapun letak dari Bandar Malayu itu, kiranya dapat disimpulkan dari keterangan mengenai arah pelayaran yang diceritakan I-tsing. Pelayaran dari Sriwijaya ke Malayu memakan waktu 15 hari, dan demikianlah juga dari Malayu ke Kedah. Hanya saja, dari Malayu ke Kedah orang harus berganti arah.
Dengan berpedoman kepada lokasi Sriwijaya di Palembang dan Melayu di Jambi maka keterangan I-tsing itu tidak sesuai dengan kenyataan. Jarak Palembang – Jambi tidak sama dengan jarak Jambi – Kedah, padahal sama-sama memakan waktu 15 hari pelayaran. Demikian juga, arah pelayarannya, kiranya kedua jalur itu pada pokoknya sama-sama membujur dari tenggara ke barat laut, sehingga adanya perobahan arah dalam melayari jalur Jambi – Kedah menggoyahkan semua teori yang sudah tersusun rapi. Tidak mengherankan kalau Moens melontarkan pendapat lain lagi guna menopang teorinya tentang lokasi Sriwijaya. Dikatakannya bahwa pada waktu I-tsing belayar dari Cina ke India, Sriwijaya berpusat di Kelantan, pantai Timur Jazirah Malaka, sedangkan Malayu berada di Palembang. Oleh karena itu jarak pelayaran Sriwijaya – Malayu dan Malayu – Kedah adalah sama haluan sehingga arah Sriwijaya – Malayu dan arah Malayu – Kedah menjadi berlawanan dari timur laut – barat daya menjadai tenggara – barat laut. Selanjutnya dikatakan bahwa ketika I-tsing singgah lagi di Malayu dalam perjalannan pulangnya, Melayu telah dikuasai oleh Sriwijaya yang setelah itu memindahkan pusat pemerintahannya ke daerah Muara Takus.
Kisah pelayaran pulang pendeta Budha Cina bernama I-tsing dari India mencatat bahwa kerajaan Mo-lo-yue telah menjadi bagian dari Sriwijaya. Timbulnya perobahan politik di dalam kerajaan Melayu terjadi sekitar tahun 671-679 Masehi. Interpretasi atas peobahan di dalam kerajaan Melayu ini ada beda pendapat antara para ahli.
Sarjana Perancis berama Georges Coedes adalah ilmuan pertama yang menempatkan pusat kerajaan Sriwijaya di Palembang, melalui karangannya Le Royume d Crivijaya, BEFEQ No. XVIII tahun 1918. Garis besar pendapat Coedes adalah sebagai berikut;
a. Kerajaan Melayu berlokasi di Jambi
b. Mengidentifikasi kata Sriwijaya dengan kerajaan.
c. Kerajaan Melayu dicaplok oleh kerajaan Sriwijaya.
d. Menempatkan pusat kerajaan Sriwijaya di Palembang
Untuk mendukung hipotesisnya Coedes meneliti dengan seksama isi prasasti Kedukan Bukit, Talang Tuwo, Karang Berahi,dan Kota Kaput. Menurut Coedes prasasti ini adalah sebagai bukti otentik pencaplokan Melayu oleh Sriwijaya. Coedes dalam karyanya ini tidak atau belum menempatkan fakto arkeologis berupa situs purbakala, dengan geomorfologi pantai timur Sumatera. Tapi Coedes sangat berjasa dalam menempatkan istilah Sriwijaya sebagai suatu kerajaan.
Sarjana pertama yang menentang Palembang sebagai lokasi pusat kerajaan Sriwijaya adalah J.L. Moens. Inti hipotesis Moens adalah sebagai berikut:
a. Puat kerajaan Melayu adalah di Palembang.
b. Prasasti Kedukan Bukit adalah prasasti penundukan Melayu oleh Sriwijaya.
c. Antara tahun 683 dan 695 pusat pemerintah Sriwijaya pindah dari Semenanjung Muara Takus, Riau.
d. Pusat kerajaan Sriwijaya di Muara Takus, Riau.
Landasan teori Moens berdasarkan atas interpretasinya terhadap route perjalanan I-tsing. Moesn berpendapat bahwa perjalan I-tsing dari Sriwijaya ke Melayu sebagai pelayaran dari pantai timur Semenanjung Palembang. Dari Melayu I-tsing meneurskan pelayaran ke Kedah (chieh cha). Arah pelayaran dari Melayu ke Kedah ialah tari Tenggara ke barat-laut, maka arah pelayaran Melayu ke Kedah berbeda arah dari Sriwijaya ke Melayu. Kemudian akhirnya Moens mengambil kesimpulan arah pelayaran Sriwijaya ke Melayu dari arah barat ke Tenggara.
Pada bulan Juli dan Agustus 1974 sebuah team dari Amerika Serikat mengadakan ekskavasi di 4 (empat) situs di Palembang. Tim dibawah pimpinan Dr. Bernet Bronson danJan Wisseman kerjasama denan Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional Jakarta, mengeluarkan pendapat bahwa Sriwijaya tidak mungkin di Palembang, karena situs-situs di sekitar Palembang menunjukkan pemikiman abad ke 14 sampai 17 Masehi (Sholihat, 1982). H.G. Quaritch Wales, tahun 1935 menempatkan Chaiya (Thailand Selatan) sebagai lokasi pusat kerajaan Sriwijaya. Rolang Bradell menempatkan semenanjung Malaya sebagai lokasi pusat kerajaan Sriwijaya. Sedangkan M.C. Chand Chirayu Rajani tahun 1974 mendukung Thailand Selatan sebgai pusat kerajaan Sriwijaya.
Sarjana Belanda bernama F.M. Schnitger tahun 1926 menolak lokasi Palembang sebagai pusat kerajaan Sriwijaya, ia menempatkan Muara Jambi pusat kerajaan Sriwijaya. Seorang ahli arkeologi Indonesia, Soekmono tahun 1955, melalui pendekatan geomorfologi pantai timur Jambi, menolak penempatan pusat kerajaan Sriwijaya di Palembang, ia melokalisasi Jambi sebagai pusat kerajaan Sriwijaya. Begitupula Slamet Muljana, tahun 1981 menolak Palembang sebagai pusat kerajaan Sriwijaya, ia menempatkan Jambi sebagai lokalisasi yang tepat.
Kerajaan Malayu tercatat dalam sejarah sejak abad ketujuh. Mungkin kerajaan ini lebih dahulu berdiri dari Sriwijaya, karena namanya lebih dahulu tercatat dalam kronik Cina. Hsin-Tang-shu mencatat bhwa utusan Mo-lo-yu (Malayu) datan ke istana Cina pada tahun 644-645, sedangkan utusan Shih-li-fo-shih (Sriwijaya) baru datang untuk pertama kalinya pada tahun 670. DR. Wolters menduka bahwa pada mulanya negeri Sriwijaya merupakan negeri bawahan Malayu, kemudian Sriwijaya memerdekakan dirinya untuk bangkit sebagai kekuatan baru.
Pelabuhan Malayu merupakan tempat persinggahan yang utama dalam jalur pelayaran dan perdagangan antara India dan Cina. Pendta I-tsing sendiri pernah tinggal selama 2 bulan di Malayu, dalam perjalanannya dari Sriwijaya ke India.
Tidak dapat disangkal bahwa Negeri Malayu berlokasi di Jambi. Pelokasian ini ditunjang oleh prasasti dan mendapat dukungan dari hasil penelitian geomorfologi, yang membuktikan bahwa letak Jambi pada abad ketuju sangat strategis dalam penguasaan lalu linta di Selat Malaka. Itulah sebabnya Kerajaan Sriwijaya berusaha menaklukan Malayu-Jambi, agar Sriwijaya dapat menguasai Selat Malaka. Menurut Bambang Soemandio, ketika I-tsing pulang dari India pada tahun 685, ia mengatakan bahwa ”Malayu sekarang sudah menjadi bagian Sriwijaya” (Utomo, 2002:2). Namun kemudian nama Jambi identik dengan nama Melayu (Sartono, 1992:3). Pada berita Cina yang ditulis oleh Lingpiao Lui disebutkan bahwa Chan-pi atau jambi pada tahun 853 dan tahun 971 Masehi mengirim misi dagang ke Cina (Utomo. 1992: 182). Kemudian dalam Dinasti Song (960-1270) disebutkan sebuah kerajaan Sumatera bernama San-fo-tsi terletak di Laut Selatan dengan ibukotanya Chan-pi. Namun mengenai Melayu dapat ditelusuri pula tinggalan budaya yang banyak terdapat di sepanjang sungai Batanghari yang berhulu di Sumatera Barat dan bermuara ke Jambi.
Peninggalan tersebut berupa candi ditemukan di daerah Muara Jambi, Solok Sipin, Pematang Jering, Pematang Saung, Lubuk Ruso, Teluk Kuali. Cand yang berada di hilir Sungai Batanghari diperkirakan antara abat IX-XIII. Peninggalan ini berdasarkan penemuan batu bertulis yang ditemukan di situs Muara Jambi, diperkirakan abad ek 9-10 Masehi. Sedangkan Candi Kemiking diperkirakan dibangun pada abat ke 10-13 Masehi (Data Suaka PSP Jambi). Peninggalan budaya berbentuk arca ditemukan di Muara Jambi, Rantau Kapas Tuo, Betung Bedarah, Tanah Periuk, Kuala Tungkao, Rantau Limau Manis, Solok Sipin, dan Teluk Kuali. Arca tersebut adalah arca Awalokiteswara perunggu, acara Budha batu, potongan arca Budha, arca Budha perunggu, arca Padmapani, arca Ganesha batu, arca Dipalaksmi, arca Aksobya perunggu, arca Nadi, arca Makara batu, dan arca Prajnaparamita. Peninggalan arca yang ada di DAS Batanghari bagian hilir diperkirakan berasal dari abad ke-6 Masehi yang ditemukan di Solok Sipin dan arca paling muda ditemukan di Koto Kandis dan Muaro Jambi, yaitu arca Dipalaksmi dan Prajnaparamita. Menurut Setyawati Sulaiman, arca Prajnaparamita (tanpa lengan dan kepala) memiliki persamaan dengan arca yang ada di Singasari, sehingga diduga arca ini berasal dari abat ke 13-14 Masehi (Utomo, 1992:81).
Kemudian peninggalan kebudayaan berbentuk prasasti ditemukan di Karang Berahi, oleh L.M. Berkhout tahun 1904, berisikan kutukan-kutukan dan ancaman. Peninggalan berupa keramik pada umumnya berasal dari abad ke 10-13 Masehi. Peninggalan berbentuk lempengan emas bertulis diperkirakan dari abad ke 9-10 Masehi dan peninggalan budaya berupa perhiasan seperti alung emas seberat 98 gram dan ikat pinggang (sabuk) emas seberat 300 gram lebih ditemukan tahun 1995. Perhiasan ini juga berasal dari abad ke-7 Masehi (Suapa PSP Jambi, 1995). Hal ini dapat dihubungkan dengan berita Arab dan Cina yang menyatakan bahwa Melayu merupakan penghasil emas yang erbesar di kawasan Nusantara.
Berabad-abad lamanya negeri Malayu-Jambi menjadi bawahan Kerajaan Sriwijaya. Pada tahun 853 dan 871 Masehi negeri Malayu – Jambi sempat mengirimkan utusan ke negeri Cina. Rupanya pada saat itu Kerajaan Sriwijaya agak lalai menawasi Malayu, sehingga negeri bawahannya itu sempat mencuri kesempatan dua kali untuk mengirimkan utusan ke Cina. Tindakan Malayu itu sudah tentu dianggap tidak pantas oleh Raja Sriwijaya, karena yang berhak mengirimkan utusan hanyalah negeri yang merdeka, sedangkan Malayu adalah bawahan Sriwijaya. Itulah sebabnya raja Sriwijaya menegaskan kepaa istana Cina, melalui utusan yang datang tahun 905 Masehi, bahwa dia adalah ”raja Jambi”, artinya raya yang menguasai Jambi.
Selama kira-kira empat abad kawasan ini dikuasai oleh Kedatuan Sriwijaya, akan tetapi sejak abad XI dominasi Sriwijaya atat pelayaran di Selat Malaka mulai mendapat tantangan dari beberapa kekuasaan tandingan. Si sebelah timur telah muncul kekuata nbaru di bawah Airlangga, sedangkan di sebelah barat ada tantangan dari kerajaan Colamandala di India Selatan. Sekitar 1024 – 1025 Maseh armada Cola menyerang Sriwijaya, Masa kekacauan yang terjadi sesudahnya, memunculkan berbagai kekuatan baru di kawasan ini. (Lapian, 1992).
Rupanya kekuatan Sriwijaya yang tadinya berpusat di Palembang, kini beralih ke Jambi, namun kedudukannya sebagai kekuatan tunggal tidak lagi dapat dipulihkan seperti sedia kala, malahan beberapa tempat mulai munul kekuatan baru yang makin mandiri sehingga makin melemahkan kekuatan pusatnya (Lapian, 1992).
Ketika pertangahan abad kesebelas Kerajaan Sriwijaya mulai lemah akibat serbutan dahsyat Colamandala, negeri Malayu memanfaatkan kesempatan untuk bangkit kembali. Sebuah prasasti yang ditemukan di Srilanka menyebukan, bahwa pada zamanpemerintahan Vijayabahu di Srilangka (1055 – 1100), Pangeran Suryanarayana di Malayaprua (Sumatera). Hal ini menunjukkan bahwa pada pertengahan abad kesebelas, negeri Malayu – Jambi telah berhasil memerdekakan dirinya dari kekuasaan Sriwijaya. Pada patung makara bertarik 1064 Masehi dari daerah Solok Sipin, Jambi terpahan nama seorang pembesar, Dharmavira. Kronik Cina, Ling-wai-tai-ta, menyebutkan bahwa pada tahun 1079, 1082, dan 1088, negeri ­Chan-pi (Jambi) di San-fo-tsi (Sumatera) mengirimkan utusan ke negeri Cina. Perlu dicatat, bahwa negeri yang diakui utusannya oleh Kaisar Cina hanyalah negeri yang merdeka.
Lain lagi adalah pendapat Buchari, yang menyatakan bahwa sebelum tahun 683 Sriwijaya harus dicari di sekitar batang Kuantan di daerah ulu sungai Indragiri, dan Malayu di daerah Muara Sungai Asahan di Sumatera Utara. Dengan penentuan lokasi ini maka jarak Sriwijaya - Melayu dan Melayu – Kedah menjadi kira-kira sama, yaitu 15 hari perjalanan.
Demikianlah maka tidak dapat dipungkiri bahwa berita-berita Melayu itu hanya dapat menambah teori baru kepada sejumlah teori yang sudah ada sedangkan teori-teori yang lama masih juga bertahan. Namun demikian, dari semua keterangan, penafsiran dan kesimpulan yang serba kabur itu dapat sedikit titik terang, yaitu bahwa nampaknya para pakar dan peneliti sepakat untuk menempatkan Melayu di sekitar Jambi sekarang. Hanya saja, kalau dikaji lebih lanjut maka perlu juga kiranya dipertimbangkanapakah benar bahwa penentuan lokasi itu dikaitkan dengan adanya sungai di Muara Jambi yang dikenal dengan nama Sungai Melayu. Soalnya adalah, bahwa sampai sekarang tidak ada petunjuk lain yang memaksa kita mengarahkan pandangan ke Jambi.
Di dalam kitab Sejarah Dinasti T’ang (abad ke 7 -10 Masehi) untuk pertama kalinya disebutkan datangnya utusan dari Mo-lo-yeu pada tahun 644-645 Masehi. Toponim mo-lo-yeu dapat diidentifikasikan dengan Melayu yang letaknya di pantai timur Sumatera, dan pusatnya di sekitar Jambi. (Utomo, 1992). Sementara itu, di dalam berita Arab dari jaman Kekhalifahan Muawiyah (661-681 Masehi) disebut nama negeri Zabag sebagai bandar lada terbesar Sumatera Bagian Selatan.
Pada tahun 692 Masehi, ketika untuk kedua kalinya I’tsing dalam perjalanannya ke India singgah di Mo-lo-yeu negeri tersebut sudah menjadi Shih-li-fo-shih atau Sriwijaya (Bambang Sumadio 1974:53). Dengan arti kata kerajaan Mo-lo-yeu sudah ditaklukkan oleh Sriwijaya.
Dalam Catatan Ling Piau Lui yang ditulis tahun 889-904 Masehi, disebutkan Chan-pi (Jambi) menghasilkan sejenis kacang-kacangan yang bentuknya seperti bulan sabit. Orang-orang Hu mengumpulkannya dan diberikan kepada pegawai CIna sebagai curiosities (Wolters 1947: 144). Menurut Wolters, toponim Chan-pi dapat diidentifikasikan dengan Jambi sekarang. (besambung)

Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

NIKMATNYA ILMU PENGETAHUAN

{Dan, Dia telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. Dan adalah karunia Allah itu sangat besar.}

(QS. An-Nisa’: 113)

Kebodohan merupakan tanda kematian jia, terbunuhnya kehidupan dan membusuknya umur.

{Sesunguhnya Aku mengingatkan kepadamu suapay kamu tidak termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan.}

(QS. Hud: 46)

Sebaliknya, ilmu adalah cahaya bagi hati nurani, kehidupan bagi ruh dan bahan bakar bagi tabiat.

{Dan, apakah oran gyang mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaanya berada alam gelap gulita yang berkali-kali tidak dapat keluar daripadanya.}

(QS. Al-An’am: 122)

Kebahagian, kedamaian, dan ketentraman hati senantias berawal dari ilmu pengetahuan. Itu, karena ilmu mampu menembus yang samar, menemukan sesuatu yang hilang, dan menyingkap yang tersembunyi. Selain itu, naluri dari jiwa manusia itu adalah selalu ingin mengetahui hal-hal yang baru dan ingin mengungkap sesuatu yang menarik.

Kebodohan itu sangat membosankan dan menyedihkan. Pasalnya, ia tidak pernah memunculkan yang baru yang lebih menarik dan segar; yang kemarin seperti hari ini, dan yang hari ini pun akan sama dengan yang akan terjadi esok hari.

Bila anda ingin senantiasa bahagia, tuntutlah ilmu, galilah pengetahuan, dan raihlah perlbagai manfaat, niscaya semua kesedian, kepedihan dan kecemasan itu akan sirna.

{Dan, Katakanlah: “Ya Rabbku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan.}

(QS. Thaha: 114)

{Bacalah dengan nama Rabbmu Yang menciptakan.}

(QS. Al-Alaq: 1)

“Barang siapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya, maka Allah akan pandaikan ia dalam agama” (Al-Hadits)

(QS. An-Nisa’: 113)

Janganlah seseorang sombong dengan harta atau kedudukannya, kalau memang ia tak memiliki ilmu pengetahuan sedikit pun. Sebab, kehidupannya tiak akan sempurna.

{Adakah orang yang mengatahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu itu benarsama dengan orang yang buta.}

(QS. Al-Ra’d: 19)


Az-Zamakhsyari, dalam sebuah syairnya berkata:
Malam-malamku untuk merajut ilmu yang bisa dipetik,
Menjauhi wanit elok dan harumnya leher
Akum mondar-mandir untuk menyelesaikan masalah sulit,
Lebih menggoda dan manis dari berkepit betis nan panjang
Bunyi penaku yang menari di atas kertas-kertas
Lebih manis daripada berada di belaian wanita dan kekasih
Bagiku lebih inidah melemparkan pasir ke atas kertas
Daripada gadis-gadis yang menabuh dentum rabana
Hai orang yang berussaha mencapai kedudukanku lewat angannya,
Sungguh jauh jarak antara orang yang diam dan yang lain, naik
Apakah aku yang tidak tidur selama dua purnama dan engkau
Tidur nyenyak, setelah itu engkau ingin menyamai derajatku

Alangkah muliahnya ilmu pengetahuan, alangkah gembiranya jiwa seseorang yang menguasainya, dan alangkah leganya perasaan orang yang menguasainya.

{Maka apakah orang yang berpegang teguh pada keterangan yang datang dari Rabbnya sama dengan orang (syaitan) menjadikan dia memandang baik perbuatannya yang buruk dan mengikuti hawa nafsunya.}

(QS. Muhammad: 14)

Analisis Efisiensi dan Produktivitas

MEASUREMENT OF TECHNOLOGICAL CHANGE IN PERENNIAL CROPS: Case in Rubber Farming in Batang Hari Regency - Jambi

Aulia Tasman

Keywords: technological change, total factor productivity, perennial crops, rubber farming.

Abstract:
This study aimed to measure the technical efficiency and technological change in rubber farming. Data collection was done in Batang Hari regency, Jambi from farmers belonging to the traditional group and to government estates. This cross section data were used to simulate the behavior of the time series data, based on potential yield and age of tree.
The farmers are experiencing positive technological change in group age 1with values ranging from 13.9% to 15.1%, and 2.3% to 4.6% in group age 3. Any attempt to increase productivity should be geared more tothe introduction of new technology, i.e., HYVs more widely for all groups of farmers, and the training of farmers on the package of knowledge.

INTRODUCTION

In terms of production of Indonesian rubber, the smallholders registered an overall growth of 3.0% per year, from 714,500 tons in 1980 to about 1.0 million tons in 1993. On the overall, production of government estates slightly increased by an average of 1.1% per year during the same period, from 186,000 tons in 1980 to 211,600 tons in 1993. Production from the private estates had increased at higher rate during the last five years, averaging 7.0% per year, although on the overall, production increased by an average of 3.7% per year, increasing from 120,000 tons in 1980 to 183,000 tons in 1993.
By type of producers, the government estates still had the highest average yield per hectare of 1,132 kilograms in 1993, reflecting a decline from 1989 to 1993 by around 2.0% per year. Yield of the private estates had stabilized at around 1,100 kilograms per hectare during the last five years. Yield of smallholder was the lowest at 639 kilograms, with slight improvement from its former level of 542 kilograms in 1980.
Comparing the yields among three type of rubber farming practices, the smallholder estates have the lowest yield. Several questions can therefore be raised such as:
(1) Why is there a big difference between the yields of the smallholder compared to the yields of government and private estates?
(2) What are the dominant factor sources of lower yield of the smallholders?
(3) Could lower yields be caused by slow technological change?
To answer these problem, the study will be focused in one particular regencies in Jambi province. The study will conduct a comparative analysis to the type of rubber farming between the smallholder and the government estates in Batang Hari regency, while the private estates is not included because the private estates for rubber plantation does not yet established in this regency.
This study aims to provide information to policy makers to be used in formulating an appropriate policy.
The general objective of this research is to assess the production models in rubber farming and based on the findings, develop the appropriate policy in improving farmer welfare, and to meet other government objectives such as to increase employment and farmer income. Specific objectives of this study are:
1. to analyze the nature of technological change.
2. to offer some appropriate policy implications relevance to the research findings.

REVIEW OF LITERATURE AND METHODOLOGY
1. Construction of Life Time Matrix of Perennial Crops

Precise estimation of economic parameters necessitates availability of data on prices and quantities of inputs and outputs for the entire life span of perennial crops, which in some cases exceeds many decades. Moreover, Chand (1994) said that many inputs applied to perennial crops in one period affect the output in following periods also. Any data collected by conducting survey can cover only some years of the total lifetime of such crops and it is nearly impossible to get data on lifetime input use, output and corresponding prices from the farmers growing these crops, especially the farmers who do not keep farm records to supply such fast information. There are at least two main problems related to perennial crops. First, the consequences of inputs applied in the initial period cannot be seen directly for the next periods. Second, it is difficult to determine precisely the future inputs and outputs.
Chand (1994) proposed other procedures/methodologies to study the economics of perennial crops by constructing a lifetime matrix for a given data. The data on quantity and value of inputs and output are obtained for each age year/group by dividing the total life of perennial crop in homogeneous periods. Based on these quantities, a single value of each parameter under study such as yield, return, profitability, etc. is obtained. The advantages of this approach are:
(1) It gives complete information of output and inputs, and the distribution for total life span of perennial crop for each producing unit rather than getting a single value for each variable.
(2) The implicit restrictive assumption of previous approach is that in the past and in future; the individual has the same value of variable and the restrictive assumptions can relaxed.
(3) The statistical tools which require data on individual observation can be applied. Similarly, the tools of production economics such as resource use efficiency, production function analysis, factor share can also be applied to analyze the production behavior.
(4) Estimates of expected cost of production, return and profit can be obtained for individual units based on total life span. Intuitively the estimates are expected to be more reliable sense compared to those obtained by using the previous approaches.
The tools of economics as applicable in the case of annual crops cannot be applied directly as such in the case of perennial crops until these have been postulated into economic problems. Precise estimation of economic parameters necessitates availability of data on prices and quantities of inputs and output for the entire life span of the perennial crops of more than three years. Chand (1994) proposed an alternative methodology to estimate production parameters by including some additional variables in the production function. Let:
· N the total life of perennial crops
· n the units for each age year or age group
· Sj the average of sub-sample at the jth year
· Yji the value of variable at the ith sample unit which belongs to jth year
· Ki the index for the value of variable for individual i which is the unit of sub-sample in j the age year,
then the computation of the ratio (index) between the value of variable for the individual and sub-sample average is
(1)
where Ki indicates that the value of variable Y for ith unit is Ki times the sample average. Thus it can be deduced that ith unit used Ki times more input or produced Ki times more output compared to the average of the sample. Based on this, the missing values of variable for ith unit in the past and the future life of the perennial crop can be obtained by multiplying the average value of each sub-sample by Ki.

2. Technological Change

Technological change refers to the changes in a production process that comes about from the application of scientific knowledge. These changes in the production process can be realized in various ways at the firms levels; through improved methods of utilizing existing resources such that a higher output rate per unit of input is obtained, often referred to as disembodied technological changes; through changes in input quality, referred to as embodied technological change; or through the introduction of new processes and new inputs (Antle and Capalbo, 1988).
Technology is a stock concept indicating the body of knowledge that can be applied in the production process. Brown (1968) defined technological change in terms of changes in the four characteristics of the abstract technology which a given production function embodies:
(1) Changes in the efficiency of a technology where the output is augmented for given set of inputs, but where the relationship between the inputs and the degree of returns to scale are altered;
(2) Changes in the returns to scale as the result of modifications in the technology; and
(3) Changes in the ratio of the elasticity of production with respect to different factors which alter the marginal rate of substitution between different factors.
Conventionally, the change or improvement of a technology can be observed as a change in factor productivity index in terms of a certain input (Y/Xi), or a change in total productivity index in terms of output per unit of combined input (Y/X), regardless of the nature of technological change, neutral or non-neutral. Basically, both are average products. The earlier term can be expressed as APL = Y/L and APC = Y/C, indicating average product of labor and capital respectively, while the latter can be expressed as AP = (Y)/(hL + kC), where Y is output, L is labor, C is capital, and h and k are weights for labor and capital, respectively. For changes in these ratios, the comparison between any two periods is taken (Swastika, 1995).
If disembodied technological change occurs in an existing production process, then it can be modeled in terms of a shift in the production surface. Embodied technological change introduces other measurement problems such as the measurement of input and output quality changes. If technological change occurs through the introduction of new processes and inputs, then the production possibilities set are both multi-product and multi-factor. In some respects it is simpler to use the dual cost or profit function (given outputs and factor prices) or an increase in profits (given output an input prices). When the technological change involves the adoption of new inputs or production of new output, for example, firms may be observed at corner solutions, where some inputs are not used or some outputs are not produced. Since the dual cost and profit functions are based on the assumption for maximizing behavior, they provide measures of technological change at the firm's optimal input and output level (Antle et al., 1988).
Many of the theoretical literature on technological change as well as most empirical research, are focused on the aggregate level of the industry or sector. In the aggregate approach, an aggregate production function is often postulated to be in the form Y = F(X, t), where Y is aggregate output and X = (X1, X2,., Xn) is the total amount of each type of input used, and t is the state of technology. Assume that F satisfies the neoclassical regularity conditions: F is a positive, increasing, concave function of X and is increasing and differentiable in t (Antle and Capalbo, 1988).


RESULTS AND DISCUSSION

The number of respondents is 310 farmers which are classified into the following: 50 are pure traditional farmers, 47 are partial traditional farmers, 53 are PRPTE farmers, 51 are NES -Durian Luncuk farmers, and 109 are NES - Bajubang farmers.
The estimated parameters of the modified translog production frontier function are highly significant different from zero. The coefficient of determination (R2) is 0.8631. It means that that 86.3% of the variations of output were determined by the behavior of changes in factor inputs and technology, while around 13.6% were determined by other factors outside the model. The F-ratio of the model is also highly significant from zero at 1% level, with an F-ratio value of 27.8644.
The presence of technical change can be identified from the estimation of stochastic frontier production function model using equation (6) by evaluation of the coefficients of group age 1, 2 and 3, and the interaction with variable inputs. These parameters can be positive, zero and negative in sign. If parameter bt is positive, then the production frontier will shift upward, indicating the improvement of technology. If bt is negative, then the production frontier will shift downward, indicating a decline of technology. Then if bt is zero, the production frontier will neither shift upward nor downward.
The magnitude of parameter btt (the square term of proxy time) indicates the rate of change of the production frontier, and the sign can be positive, zero or negative. If the sign of btt is positive, zero, or negative , then the rate of change of production frontier is increasing, constant, or decreasing, respectively.
The significance of the coefficients of Group age 1, 2 and 3, indicates that technological change has significantly changed the intercept of the frontier; otherwise, if it not significant, it means that they do not significantly alter the frontier intercept and only change the slope of the frontier.
The coefficient of T1 is not significant, which means that the presence of technological change in group age 1 only changes the slope of the frontier, not the intercept—the technology is the non-neutral type. In group age 2, the technological change exists and is significantly different from zero at 5% level, with value of 0.0052. It shows that the production frontier shifts upward with the improvement of technology and at the same time TFP also increases in group age 2. Coefficient of T3 is not significant, indicating that the technological change in group age 3 only changes the slope of the frontier, and not the intercept of the function – the technology again is the non-neutral type.
The coefficient of the square terms indicates the rate of change of the production frontier. The positive, negative or zero value of the coefficient means that the rate of shifting the production frontier is increasing, decreasing or constant, respectively. All the coefficients of squared terms, in periods Group age 1, 2 and 3, are not significant, that there will be no statistical significance in the rate of change of production frontier whether it is increasing, constant, or decreasing.
The change in elasticity of production over time can be derived by taking a second derivative of output with respect to time,-- parameter bit . If their values are positive, then there is an increase in the use of ith input, and thus the technological change is input-using. Otherwise, if the values are negative, then the technological change is input-saving.
The coefficients of LSIZT1, LHERT1, LTWKT1, and LNWDT1 are not significantly different from zero, however, its positive sign indicates that technological change is biased toward farm size, herbicide use, tapping week, and number of times of weeding in group age 1. The same pattern of biased technological change for these input is shown in group ages 2 and 3, with the coefficients of LSIZT2 & LSIZT3, LHERT2 & LHERT3, LTWKT2 & LTWKT3, and LNWDT2 & LNWDT3 showing a positive sign, which indicates that the technology is biased toward farm size, herbicide, tapping week, and number of times of weeding.
Using the same method of analysis, that the coefficient of LFERT1 has a positive sign indicates that technological change is input-using toward fertilizer in group age 1. The fertilizer-saving technological change is likely present in group ages 2 and 3, as indicated by the negative coefficients of LFERT2 and LFERT3, although they are not significantly different from zero.
The biased technological change toward stimulant is input-saving in group age 1, indicated by negative coefficient of LSTMT1. The behavior is toward biased technological change for stimulant in group ages 2 and 3 as shown by the negative sign of coefficient LSTMT2 and LSTMT3, respectively.
The coefficients of ltplt1 and LTPLT2 are negative in group age 1, and 2, respectively, which shows the biased technological change toward tapping labor is input-saving for both periods. However, in group age 3, the biased technological change toward tapping labor is input-using as indicated by positive coefficient of LTPLT3.
Equipment and number of trees show opposite directions of biased technological change for all periods. While the equipment in group age 1 is biased technological change of input-using, as indicated by positive coefficient of LEQUT1, there is input-saving of biased technological change toward number of trees with negative coefficient of LNTRT1. The same opposite directions for both inputs in group ages 2 and 3 are shown, with the coefficient of LEQUT2 negative and the coefficient of LNTRT2 positive in group age 2. The coefficient of LEQUT3 is positive in group age 3, but the coefficient of LNTRT3 is negative in the same period.
Table 2 shows the comparison of primal rate of technological change across types of farmers and across time. The primal rate of technological change is the rate of change in technology that determines both components bt and btt as the technological change, bit as the biased-technological change.
In general, the traditional farmers have high rates of technological change in group age 1, and 2 with range from an average of 13.9% to 15.1% in group age 1 and on average of 0.4% to 2.4% in group age 2. On the other hand, the farmers in the government estates have high average rates of technological change in group age 3 with a range of values from 4.4% to 4.7%. The lowest rate of technological change in group age 3 is the rate for farmers of traditional farming systems, indicating that the local variety used by traditional farmers are not good in the longer period because of the rapid decrease in potential yield compared to other varieties.
The technological change in group age 1 for all type of farmers ranges from 13.78% to 15.07%, -0.05% to 2.49 for group age 2, and 2.28% to 4.63% in group age 3. Because the technological change in group ages 2 and 3 is less than in group age 1, the technological changes in group age 1-2 and 1-3 are negative. While the technological changes in group age 2-3 are all positive except for pure traditional farmers.
Farmers of NES - Bajubang has the most set back of technological change with value of -14.28%, followed by partial traditional farmers by -14.04%, NES -Durian Luncuk farmers by -13.83%, PRPTE farmers by -13.48%, and pure traditional farmers by -11.64%. It indicates that there is a decreasing progress of technology in group age 1-2 and 1-3 because of low rate of progress in group age 2-3, respectively. In group age 1, farmers are continuously maintaining their fields and practicing the technology they got from the early stage of development under the coordination of government estates. Nevertheless, farmers cannot maintain their field properly during group age 2, causing a decreasing rate of technological change. At this period, the traditional and PRPTE farmers also have spill-over gain from the government estates farmer by learning and imitating what the farmers there are practicing.
Realizing that the productivity of their rubber trees are continuously declining in group age 2, all types of farmers are increasing input use and practicing new technology in group age 3. There is little improvement in technology at this period. The highest value of technological change in group age 2-3 is 4.62% by farmers of NES - Bajubang, and the lowest is -0.21% by pure traditional farmers. There is increasing productivity of partial and PRPTE farmers in the late period due to several special programs for productivity improvement of traditional and PRPTE farmers such as STCPP - ADB and other programs. The pure traditional farmers, however, cannot have much benefit from the technological progress.
The overall technological changes are negative in all periods except the group age 2-3. The magnitude of change is -13.60% in group age 1-2, increases to 3.80% in group age 2-3, and decreases to -10.40% in group age 1-3.
There is no significantly different in mean technological change between the farmers of NES - Bajubang and NES - Durian Luncuk in all age groups. However, there are all significantly different in the level of mean technological change among the others at 10% to 1% level in group age 1-2, 1, 5% to 1% in group age 2-3, and all at 1% in group age 1-3. It means that the mean technological progress between both government estates is indifferent, but they differ to that of other type of farmers. Besides that there are highly significantly different of mean technological change among traditional and PRPTE farmers in all age groups.


CONCLUSION

The study consists of two steps. Step one is the construction of the lifetime matrix of the perennial crop and Step two to derive technological change. All data on output and inputs are classified into three groups based on the potential yield of rubber for each variety, as follows: (1) group age 1 is the tree age range of 7 to 13 years with potential yield ranging from 0.5 to 1.9 ton per hectare, (2) group age 2, 14 to 17 years with peak potential yield of 2 ton per hectare, and (3) group age 3, 18 to 30 years with the decreasing potential yield 1.8 to 0.3kg/tree. The lifetime matrix presents all the three lifetime data of output and inputs of rubber farming so that it will provide the missing data in the early period of plantation and the future data till the end age of the tree.
The farmers are experiencing positive technological change in group age 1with values ranging from 13.78% to 15.07%1, and 2.28% to 4.63% in group age 3. However, the level of technological change in group age 2 is much lower compared to that in group ages 1 and 3. Farmers of NES-Durian Luncuk are experiencing negative technological change, which is -0.05%. The highest technological change is that of partial traditional in group age 1, that of the pure traditional in group age 2, and the NES-Bajubang farmers in group age 3.
The lower yield of the traditional farmers is mainly caused by improper maintenance of their field, especially underutilizing the necessary inputs such as fertilizers, herbicides, tapping labor, and equipment. There is an over-use of inputs such as tapping week and stimulant. Besides that, the level of technology is much lower in time of the peak season which results in lower yields.


LITERATURE CITED


AIGNER, C.D, and S.F. CHU. 1968. On Estimation the Industry Production Function. American Economic Review, 58(4): pp. 826-839.
ANTLE, J.M. and T. McGUCKIN. 1993. Technology Innovation, Agricultural Productivity and Environment Quality. In G.A. Carlson, D. Zilberman, and J.A. Miranowsky. Pp. 175-219.
CAPALBO, S.M. 1988. A Comparison of Econometric Models of U.S. Agricultural Productivity and Aggregate Technology", in J.M. Antle and S.M. Capalbo: Agricultural Productivity: Measurement and Explanation, Resource for The Future. Washington D.C.: pp, 159-188.
CHAND, R. 1994. Economics of Perennial Crops: Some Methodological Issues. Indian Journal of Agricultural Economics, 49(2): pp. 246-249.
FØRSUND, F.R. and L. HJALMARSSON. 1979. Frontier Production Functions and Technical Progress: A Study of General Milk Processing in Swedish Dairy Plants. Econometrica, 74(4): pp. 883-900.

Daulat Alam Lekuk 50 Tumbi Lempur

Bab 13
PEMERINTAHAN DAULAT
LEKUK 50 TUMBI LEMPUR
PERIODE ABAD XVI – XVII


1. Asal-usul Lempur
Di waktu jayanya pemerintahan Pamuncak Nan Tigo Kaum (Kerajaan Manjuto) pada abad ke 15 terjadi peristiwa yang berkaitan erat dengan asal-usul Lempur sekarang. Pada waktu wilayah Lempur sekarang termasuk dalam wilayah Depati Rencong Telang sebagai Pamuncak Tuo masih bernama Genah Padang Buku dan Ujung Tanjung Muaro Danau, terjadi kisah sebagai berikut:
Pada suatu waktu dalam daerah Pamuncak Tuo (Pulau Sangkar) mengadakan Kenduri Seko (Kenduri Adat, yaitu suatu keramaian secara adat yang dilakukan turun temurun sebagai petanda sudah menuai padi dan sebagai petanda pula akan turun ke sawah).
Menurut adat lamo pusako udang, setiap satu Pamuncak akan mengadakan kenduri seko, Pamuncak yang dua lainnya harus diundang pula untuk turut menghadirinya, karena maksud kenduri seko tersebut termasuk juga kegiatan lain diantaranya ialah mengangkat seorang depati baru untuk menggantikan depati yang telah meninggal dunia atau meletakkan gelar.
Begitulah Pamuncak Tuo yang di Pulau Sangkat mengundang Pamuncak Tengah dan Pamuncak Bungsu untuk menghadiri kenduri sekot yang akan diadakan oleh Pamuncak Tuo. Maka Pamuncak Tuo mengundang Pamuncak Tengah dan Pamuncak Bungsu untuk dapat menghadirinya.
Setelah Pamuncak Tengah yang berkuasa di Daerah Tanjung Kasrie menerima undangan dari Pamuncak Tuo, beliau memanggil istrinya dan memberikan informasi bahwa beliau tidak dapat menghadiri kenduri seko yang akan diadakan oleh Pamuncak Tuo berhubung dengan kesehatannya tidak mengizinkan. Jadi sebagai gantinya beliau menyuruh dan mengutus istrinya dan anaknya yang bernama Puti Ayu Maryam untuk pergi ke Pulau Sangkat berserta dua orang ninik mamak untuk jadi pengawalnya di jalan. Utusan ini adalah sebagai tanda Pamuncak Tengah ikut bergembira atas kenduri seko di Pulau Sangkar beliau pun mengirim sebuah keris pusaka yang akan diserahkan oleh ninik mamaknya nanti apabila sampai di Pulau Sangkar.
Pada hari yang telah ditentukan berangkatlah istri Pamuncak Tengah beserta anaknya Puti Ayu Maryam dan dikawal oleh dua orang ninik mamak menuju ke Pulau Sangkar. Jalan yang mereka lalui adalah dari Tanjung Kaseri terus melalui Renak Kemumu kemudian terus menuju Ujung Tanjung Muaro Danau, Genah Padang Buku dan Dusun Lolo terus ke Pulau Sangkar.
Setibanya di Pulau Sangkar rombongan Isteri Pemuncak Tengah disambut di halaman panjang, dengan upacara adat yaitu dengan mengadakan pertunjukan pencak dan silat oleh pemuda-pemuda Pulau Sangkar. Setelah upacara di halaman panjang selesai, rombongan dipersilakan untuk naik ke rumah gedang dan beristirahat, agar kemudian dapat pula mengikuti acara-acara dalam kenduri seko selanjutnya.
Di rumah gedang ibu dari Puti Ayu Maryam dan dua orang ninik mamak dari Tanjung Kaseri menghadap Depati Rencong Telang dan ninik mamak menyerahkan sebilah keris pusaka dari Tanjung Kaseri sebagap tanda turut bergembira dan sebagai gandi badan diri Pamuncak Tengah di Tanjung Kaseri, yang beliau tidak dapat hadir di Pulau Sangkar berhubung dengan kesehatan beliau yang tidak memungkinkan untuk hadir di Pulau Sangkar.
Pada keesokan harinya diadakan keramaian sebagai puncak dari kenduri seko tersebut yaitu dengan mengadakan beberapa acara kesenian adat yang berupa tari-tarian dan nyanyian. Acara kesenian ini berlangsung dari jam 7 malam sampai pagi, dengan mempertunjukkan tarian seperti tari tauh, yang diiringi oleh dap dan gung.
Biasanya acara ini terbagai dua yaitu menjelang tengah malam banyak dihadiri oleh yang tua-tua, tetapi setelah itu hanya yang hadir pemuda-pemuda dan gadis-gadis saja. Dalam kesempatan inilah dipakai oleh muda-mudi untuk mencari pasangan mereka masing-masing.
Pda malam tersebut kebanyakan perhatian pemuda-pemuda yang hadir tertuju pada Puti Ayu Maryam dari Tanjung Kaseri yang berparas cantik. Kira-kira jam 3 malam ibu Ayu Maryam datang ke tempat keramaian dan anaknya sedang asik berbicara dengan pemuda-pemuda yang hadir pawa malam itu. Ibunya mengajak Puti Ayu Maryam untuk tidur karena hari telah larut malam. Puti Ayu Maryam tidak mengindahkan panggilan ibunya bahkan dianggap sepi saja. Waktu itu salah seorang bujang yang hadir bertanya kepada Puti Ayu Maryam: ”Siapakah orang tua yang memanggilnya tersebut”. Puti Ayu Maryam menjawab: ”Bahwa yang memanggil saya itu adalah inang pengasuhnya atau pesuruh ayahnya”. Mendengar jawaban dari anaknya Puti Ayu Maryam itu, bukan main terkejut ibunya dan sangat menyakiti hati ibunya. Namun karena ingin menjaga dan menghormati acara yang dilakukan oleh Pamuncak Tuo, maka perasaan marah dan sakit hati dengan terpaksa ditahannya saja. Begitulah acara muda-mudi itu berlangsung sampai pagi harinya.
Setelah beberapa hari selesainya upacara kenduri seko di Pulau Sangkar, rombongan istri Pamuncak Tengah mohon diri pada Depati Rencong Telang sebagai Pamuncak Tuo untuk segera kembali ke Tanjung Kaseri.
Keesokan harinya rombongan Puti Ayu Maryam berangkat menuju Tanjung Kaseri dengan mengambil jalan seperti yang mereka lalui sewaktu ke Pulau Sangkar, yaitu melalui dusun Lolo, Genah Padang Buku dan Ujung Tanjung Muaro Danau.
Dari Pulau Sangkat sampai ke Lolo, rombongan dari Puti Ayu Maryam diantar oleh bujang-bujang Lolo, Genah Padang Buku dan Pulau Sangkar. Di tengah jalan bila ada orang yang menanyakan siapa wanita yang bersama dengannya selalu saja Puti Ayu Maryam mengatakan baha orang tua tersebut adalah pesuruh dari ayahnya. Hati ibu Ayu Maryam makin lama makin bertambah sedih dan bercampur dengan marah karena mendengar jawaban dari Puti Ayu Maryam.
Dari Lolo ke Tanjung Kaseri tidak ada lagi bujang yang mengantarkan mereka berjalan, mereka hanya berjalan berempat saja. Begitulah kira-kira mereka hampir meninggalkan Genah Padang Buku (diantara Dusun Lempur Hilir dan Lempur Tengah sekarang), dengan takdir Yang Maha Kuasa dan tak disangka-sangka Puti Ayu Maryam terjerumus ke dalam paya (rawa) yang dalam, sehingga badan sampai kelehernya terbenam di dalam lumpur itu. Puti Ayu Maryam minta tolong pada ibunya dan berkata: ”Oh, ibu tolonglah aku”.
Ibu Puti Ayu Maryam menjawab” ”Aku ini bukan ibumu”. Ibu Puti Ayu Maryam tidak dapat menahan sedih dan marah sehingga tidak mau dia menolong anaknya, hanya dilihatnya saja. Kira-kira kepalanya hampir terbenam ke dalam lumpur, maka diambilnya gelang dan selendang saja, dan seterusnya Puti Ayu Maryam tenggelam disiut (yaitu kira-kira sebelah Barat Daya dari Lempur Hilir sekarang). Dari kejadian itulah mula daerah tersebut dalam bahasa Genah Padang Buku yaitu Terlumpur, kemudian Talempo dan seterunya menjadi Lempur.
Setelah badan Puti Ayu Maryam hilang ditelan lumpur, lalu diajaknyalah pengawalnya untuk segera meninggalkan tempat itu menuju ke Tanjung Kaseri. Di tengah jalan barulah ibu Puti Ayu Maryam sadar akan dirinya dan teringat kembali pada Puti Ayu Maryam, tetapi apa hendak dikata Puti Ayu Maryam sudah tidak ada lagi. Dengan rasa yang sangat sedih yang sangat dalam Ibu Puti Ayu Maryam meneruskan perjalanannya dan berhendi pada suatu Tebat (sungai kecil yang sudah di-dam sederhana sehingga air menjadi besar, biasanya digunakan untuk tempat permandian) untuk mencuci muka. Disitu ia teringat lagi pada Puti Ayu Maryam karena melihat barang-barang Ayu Maryam yang dibawanya. Untuk menghilangkan perasaan sedihnya itu maka dilemparkannyalah gelang Ayu Maryam ke dalam tebat itu, dan sekarang tebat tersebut dikenal dengan nama Tebat Gelang.
Setelah beristirahat sejenak Ibu Ayu Maryam yang berada dalam keadaan galau bercampur marah, sakit hati dan menyesal dan rombongan pun meneruskan perjalanannya. Tidak beberapa lama perjalanan rombongan tersebut berhenti pula pada satu tebat lagi. Dalam berhenti ini ibu Ayu Maryam teringat lagi kepada anaknya karena ia melihat selendang yang diambil dari anaknya yaitu selendang dari Jambi. Untuk menghilangkan perasaan sedih itu maka dilemparkannya selendang itu ke dalam tersebut. Sampai sekarang tebat itu dikenal dengan nama Tebat Jambi.
Demikianlah atas kejadian-kejadian tersebut, daerah ini diberi nama Lempur yang asal katanya dari Talempow atau Ter-lumpur dan terakhir menjadi Lempur. Sejak itu daerah Ujung Tanjung Muaro Danau dan Dusun Genah Padang Buku bernama Dusun LEMPUR.


2. Panggilan Raja Jambi
Sejarah dimulai dari Rio Kecik dengan nama kecilnya Sigitan dan Sirimbang adalah anak dari Rio Gedang Dita, yang se zaman dengan Pengeran Depati Anom Sultan Agung (Sultan Abdul Jalil), Raja Kerajaan Melayu Jambi sekitar 1643. Sebelum Sigitan dan Sirimbang tersebut di atas lahir, daerah ini selalui didatangi oleh gerombolan perampaok dan setelah mereka berdua dewasa, Sigitan dan Sirimbang dapat mempertahankan negeri ini dari serangan perampok-perampok. Karena gagahnya mereka melawan perampok-perampok tersebut, termasyhurlah nama mereka kemana-mana terutama di daerah Jambi dan sekitarnya.
Kira-kira pertengahan abat ke XVI, terjadilah perselisihan keluarga di kerajaan Jambi antara Sultan Abdul Jalil (Adipati Anom) yang memerintah antara tahun 1643 – 1665 Masehi. Sulthan ke II dengan adiknya sehubungan dengan perebutan kekuasaan di dalam kerajaan. Adik sultan tersebut merasa berhak untuk menjadi raja, namun kenyataannya dia hanya sebagai putra mahkota yang belum berhak menyandang gelar sultan. Perselisihan ini memuncak dengan ditawanya Permaisuri Sultan Abdul Jalil yang bernama Putri Marmat Sari beserta dengan harta-kekayaan kerajaan dengan dibantu oleh Raja Kubu yang tinggal di rimba dekat Muara Tembesi. Telah berkali-kali panglima-panglima dari Raja Jambi untuk merebut kembali permaisuri tersebut bahkan telah diminta bantuan dari pelosok-pelosok namun tak ada yang sanggup mengalahkan Raja Kubu tersebut.
Maka terbetiklah berita oleh Sulthan Anom ini bahwa di suatu Kerajaan di hulu sungai ada seorang pemuda yang gagah berani yang bernama Sigitan. Raja Jambi mengirimkanutusanke Ujung Tanjung Muara Danau (nama daerah asli dimana Sigitan tinggal) untuk meminta bantuan merebut kembali permaisuri dengan membawa beberapa peralatan:
1. Tudung nan belepat
2. Tongkat nan bebatang
3. Tali nan babuwul
Alat-alat ini adalah tanda panggilan (undangan) kehormatan dari Sulthan Jambi. Setelah menerima undangan tersebut Sigitan dan Sirimbang meminta izin untuk berangkat pada Depati Telago sebagai pimpinan Wilayah Tanah Rencong Telang di Pulau Sangkar. Oleh karena undangan Raja Jambi yang akan diikuti oleh Sigitan dan adiknya Sirimbang maka Depati Telago melakukan rapat singkat depati di Pulau Sangkar, alangkah bijaksananya utusan yang dimaksud berangkat atas nama kerajaan di ulu sungai, maka Sigitan diberi gelar Rajo Kecik.
Setelah dilepas secara adat, maka Sigitan dan Sirimbang berangkat menuju Jambi melalui daerah Serampas. Tiba di Pulau Raman Sigitan dan Sirimbang singgah di rumah Depati Agung, pimpinan adat di daerah itu. Ditengah perjalan di pinggir Lubuk Bungo Rayo mereka melihat sekilas seorang gadis cantik di seberang di pinggir Lubuk Bungo Rayo, mereka bertanya-tanay dalam hati siapa sebenarnya gadis yang mereka lihat sekilas tersebut apakah dia seorang manusia atau makluk halus lainnya. Mereka bermalam di rumah Depati Agung. Pada suatu kesempatan Sigitan bertanya kepada Depati Agung tentang seorang gadis di Lubuk Bungo Rayo yang sempat mereka lihat. Depati Agung mengatakan bahwa yang mereka lihat tersebut adalah anak beliau sendiri bernama Buko telah diculik oleh Jin yang tinggalnya di Lubuh Bungo Rayo.
Depati Agung pun minta bantuan pada Sigitan dan Sirimbang untuk mengambil kembali putrinya. Mereka berdua berjanji memenuhi permintaan dari Depati Agung tersebut setelah menyelesaikan tugasnya di Jambi. Depati Agung berkata “baiklah kalian berdua pergi dulu ke Jambi, karena saya juga telah kemali dari Jambi dan saya pun telah mencoba menghadapi Raja Kubu tersebut namun saya kalah kuat dari mereka, dan mungkin kalian berdua ini bida dan dapat menaklukkannya”. Kemudian mereka berdua berangkatlah menuju Jambi. Setelah sampai di Jambi mereka menghadapi Sultan Jambi dan mereka disambut dengan mengadakan sedikit keramaian dan jamuan.
Keesokan harinya Sigitan dan Sirimbang pun diantar menuju tempat Raja Kubu dan diantar oleh jenang-jenang raja Jambi. Setelah sampai di pinggir sungai Sigitan dan Sirimbang berperahu ke seberang. Kedatangan mereka diketahui oleh Raja Kubu dan anak buahnya, maka perahu yang membawa mereka dipukul oleh Raja Kubu sehingga memaksa Sigitan kembali ke tempat semula. Kemudian dengan kekuatan dan kepandaian yang dimilikinya dengan beberapa kali lompatan Sigitan telah sampai diseberang sungai. Terjadilah pertempuran yang sangat sengit antara Sigitan dan Raja Kubu. Saling tikam, saling pukul, rebah merebahkan namun kedua pihak belum menampakkan kelelahan.
Dengan kekuatan dan keahlian dalam bertempur yang dimiliki oleh Rio Kecik maka Raja Kubu rebah, dan dia dapat dibanting sekuat tenaga oleh Rio Kecik maka meninggallah Raja Kubu seketika itu. Setelah meninggalnya pimpinan mereka pengikut-pengikutnya berlarian-bertebaran meninggalkan daerah pertempuran karena ketakutan. Rio Kecik pun dapat membawa kembali permaisuri Raja Jambi dan semua barang-barang rampasan berupa emas danperak berserta Putra Mahkota dibawanya kembali ke Istana Raja Jambi.
Setelah sampai di istana Raja Jambi, Rio Kecik disambut dengan meriah dan sebagai ucapan terima kasih dari Raja Jambi, Raja Jambi pun mengadakan beberapa acara keramaian. Keramainan selesai, Raja Jambi sangat berterima kasih kepada Rio Kecik dan adiknya Sirimbang atas jasa yang tidak terbalaskan tersebut. Raja Jambi berpikir, hadiah apa yang dapat diberikan kepada mereka sebagai ungkapan terima kasih, maka Raja Jambi bertanya “Apakah upah yang engkau kehendaki sebagai ganti jerih payahmu untuk merebut kembali permaisuriku beserta harta rampasan lainnya?. Kalau engkau menghendaki emas, sebutlah oleh mu berapa engkau suka, kalau menghendaki perak berapa pikul engkau mau, kalau menghendaki kerbau atau sapi berapa kandang engkau mau”.
Rio Kecik pun mengucapkan terima kasih atas tawaran tersebut, namun beliau tidak meminta upah seperti yang ditawarkan oleh Raja Jambi. “Emas dan perak aku tak mintah, kerbau dan sapi pun aku tak mau. Kalau pun raja mau memberi saya hadiah, berilah “Yang tak lapuk dek hujan dan yang tak lekang dek panas”. Raja Jambi pun berpikir-pikir mendengar permintaan Rio Kecik ini dan berpikir-pikir pula apakah yang dimaksud oleh Rio Kecik ini.
Kemudian Raja Jambi tersebut berunding dengan petinggi-petinggi kerajaan akan maksud permintaan Rio Kecik ini, Lalu dipanggilah segala Menti dan Hulubalang Raja serta rakyatnya. Setelah semuanya berkumpul, lalu diumumkan oleh Raja Jambi kepada yang hadir pada waktu itu: “Bahwa mulai dari saat ini Rio Kecik diangkat menjadi anak Sulthan Jambi dengan gelar Rajo Kecik dan Sulthan Anum Srie Manggalo Malelo Pucuk Jambi Sembilan Lurah, mengerat putus memakan habis”. Dengan jabatan yang diberi oleh Raja Jambi ini, maka memerintahlah Sulthan Amun di daerah Jambi waktu itu mendampingi angkatnya Sulthan Abdul Jalil.
Setelah beberapa lamanya Sulthan Anum di daerah Jambi maka Sulthan Anum pun teringat lah dengan kampong halamanya, dan teringat pula dengan janjinya dengan Depati Agung di Pulau Raman. Rajo Kecik pun memohon diri dengan orang tuanya Raja Jambi, orang tuanya pun tidak berkeberatan dengan permintaan Rajo Kecik dan Sulthan Jambi pun mengizinkan anaknya (Rajo Kecik) untuk pulang ke Ujung Tanjung Muara Sekeau dengan membawa gelar adar “Sultan Anom Srie Manggalo Malelo Pucuk Jambi Sembilan Lurah, yang mengerat putus memakan habis” di wilayah barat Kerajaan Jambi. Gelar Sulthan ini dapat diturunkan kepada generasi berikutnya tanpa harus meminta izin dari Raja Jambi sebagai penguasa di wilayah Jambi Bagian Barat.
Unding selesai, Rajo Kecik dan adik Sirimbang mohon diri untuk pulang menuju daerah Kerinci melalui Pulau Raman. Sesampainya di Pulau Raman kembali mereka berdua disambut oleh Depati Agung dengan penyambutan secara raja-raja. Setelah beberapa lama Rajo Kecik di Pulau Raman, Depati Agung kembali minta bantuan Rajo Kecik untuk mengambil anaknya yang ditawan oleh Jin Air, Rajo Kecik memenuhi permintaan Depati Agung dan berangkalah Rajo Kecik menuju ke Lubuk Bungo Rayo. Terjadi pertempuran yang sangat sengit antara Rajo Kecik dan Jin Air, dan akhirnya Jin Air tersebut dapat dikalahkan oleh Rajo Kecik, dan Buko anak Depati Agung dapat dibawa kembali. Depati Agung sangat bergembira dan berterima kasih kepada Rajo Kecik.
Pada suatu kesempatan Depati Agung menawarkan apa upah yang patut diberi sebagai ganti jerih payah dari Rajo Kecik atas usahanya yang telah menyelamatkan puterinya itu. Rajo Kecik tidak meminta upah apa-apa, namun kalaupun Depati Agung ingin memberi upah maka Rajo Kecik berkata “berilah aku yang tak lapuk dek hujan dan yang tak lekang dek panas”. Setelah Depati Agung mendengar permintaan dari Rajo Kecik, Depati Agung berpikir-pikir pula apakah maksud permintaan Rajo Kecik tersebut. Depati Agung meminta pertimbangan dan pendapat dari pemuka adat dan rekan-rekannya maka diputuskan bahwa Rajo Kecik akan diterimanya sebagai menantunya. Rajo Kecikpun dikawinkan dengan anak Depati Agung yang diganti namo dengan Puti Lubuk Rayo. Kakak dari Rajo Kecik, Sirimbang dikawinkan pula dengan anak Depati Nali.
Dari perkawinan Rajo Kecik dengan Puti Lubuk Rayo mereka mendapat seorang anak perempuan yang mereka beri nama Meh Teluk. Rajo Kecik menetapk di Pulau Raman sampai istrinya Puti Lubuk Rayo meninggal dunia. Setelah isterinya menginggal dunia Rajo Kecik minta pada mertuanya agar ia diizinkan kembali ke Ujung Tanjung Muaro Danau dengan membawa anaknya Meh Teluk ikut serta.
Depati Agung tidak berkeberatan atas permintaan dari Rajo Kecik ini untuk kembaki ke Ujung Tanjung Muaro Danau beserta cucunya Meh Teluk. Sebelum Rajo Kecik berangkat dari Pulau Raman, Depati Agung menyuruh bawa gelar pusako dari Pulau Raman yaitu Depati Agung dan Depati Nali, disamping itu dibawa pula dua gelar pusako yaitu Malin Amat dan Malin Putih. Seterusnya Rajo Kecik bersama dengan anak perempuannya Meh Telok berangkat menuju Ujung Tanjung Muaro Danau. Sedangkan kakaknya Sirimbang beserta istrinya tinggal di Pulau Raman.
Berita kembalinya Rajo Kecik dengan membawa gelar Depati Agung dan Depati Nali dari Pulau Raman, dan tinggal di Ujung Tanjung Muaro Danau, Depati Rencong Telang Pulau Sangkar (Depati Telago) tidak bersenang hati karena daerah yang didiami oleh Rajo Kecik (Dapati Agung) adalah dibawah kekuasaannya dengan arti kata siapa yang berdiam di daerah tersebut tidak berhak bergelar depati, melainkan gelar Rio. Depati Rencong Telang beserta kembang-rekannya merangkat menuju Ujung Tanjung Muaro Danau, dengan maksud memecat gelar yang dipakai oleh Rajo Kecik itu. Pada kesempatan lain Rajo Kecik setelah sampai di Ujung Tanjung Muaro Danau pun berangkat ke Pulau Sangkar untuk melaporkan bahwa dia telah kembali dari menunaikan tugas yang diminta oleh Rajo Jambi, dengan membawa seguci tuak untuk dijadikan minuman di Pulau Sangkar, untuk menyatakan pada Depati Rencong Telang abhwa ia sudah mempunyai gelar yaitu Depati Agung dan Depati Nali
Rupanya Rajo Kecik ditengah jalan bertemu dengan Depati Rencong Telang dan rombongannya di Peraduan Kayu Kelu. Disini mereka berhenti bersama, dan Depati Rencong Telang lalu berkata “Sekaran engkau kami pecat dari gelar Depati Agung dan Depati Nali, dan kami beri engkau gelar Datuk Seri Rajo Lelo.
Setelah Pemecatan itu Depati Rencong Telang beserta rombongannya kembali ke Pulau Sangkar, sedangkan Depati Agung yang telah dipecat (Rajo Kecik) kembali pula ke Ujung Tanjung Muaro Danau. Tidak puas dengan pemecatan tersebut, tuak yang dibawanya lalu dilemparkannya ke sebuah anak sungai, sehingga sungai itu berbau tuak. Sampai sekarang sungai tersebut bernama Sungai Tuak.
Setelah Depati Rencong Telang sampai di Pulau Sangkar, beliau berpikir pula akan kejadian yang baru saja berlalu, yaitu atas tindakanya memecat Depati Agung dari jabatanya, kalau-kalau Rajo Kecik ini tidak bersenang hari dan berdendam dengan Depati Rencong Telang. Untuk menghilangkan was-was tersebut, Depati Rencong Telang di Pulau Sangkar memanggil Datuk Seri Rajo Lelo (Rajo Kecik) ke Pulau Sangkar. Setelah Rajo Kecik sampai di Pulau Sangkar, lalu diadakan perundingan dengan Rajo Kecik, yang akhirnya Rajo Kecik dikawinkan dengan anak beliau yang nama Meh Siam. Setelah perkawinan antara Rajo Kecik dengan Meh Siam mereka berdua pulang dan menetap kembali di Ujung Tanjung Muaro Danau.
Dari perkawinan Rajo Kecik dengan Meh Siam ini, mereka mendapatkan seorang anak laki-laki yang bernama MAMPADO. Setelah beberapa lamanya Rajo Kecik beserta anak-istrinya hidup dengan aman tenteram di Ujung Tanjung Muaro Danau. Sekali-sekali beliau berangkat ke Jambi untuk menemui orang tua angkatnya Rajo Jambi. Rajo Kecik meninggal dunia dan dikuburkan di Ujung Tanjung Muaro Danau. Di atas kuburan beliau ditaman sebatang cempaka yang sampai sekaran masih ada yang disbeut dengan “Kuburan di Bawah Cempaka” yaitu di Desa Lempur Mudik sekarang.


3. Penerus Kerajaan Manjuto
Kemudian setelah sebagian daerah pantai dikuasai oleh Inggris Pamuncak Tuo Rencong Telang menyerahkan kekuasaan kepada Depati Anum Mulai Jadi kira-kira pada abad ke 18 Masehi. Pertama kali, “Bunga pasir” diminta oleh Depati Anum Mulai Jadi adalah di Muko-Muko. Inggris memberinya berupa: uang, meriam, bedil, dan kain serta alat-alat makan. Sayang sekali dikala Belanda dapat menembus benteng Depati Parbo, meriam ini disembunyian dalam pari di Dusun Lempur Mudik dan hilang sampai sekarang.
Lama kelamaan alam berubah, zaman beredar, Kerajaan Manjuto yang mempunyai daerah taklukan mulai menyempit, dan redup (Prof. Mr. Mohd. Yamin tahun 1934 yang pernah menyebut–nyebut satu Kerajaan Ulu Sungai yang menghilang). Kerajaan Manjuto bertahan sampai berdirinya dan menyerahkan pemerintahannya kepada Depati Anum Mulai Jadi (Mampado).


4. Pemerintahan Mampado
Setelah Mampado Dewasa dan hidup dengan tenteram bersama saudaranya Meh Telok, pada suatu hari Meh Telok bercakap-cakap dengan adanya Mampado. Meh Telok berkata pada adiknya Mampado: “Hai Mampado! Saya raso sudah puas rasanya kita mendiami daerah ini dari nenek-nenek sampai pada kita, tetapi kita masih tetap seperti perantau mendiami daerah ini karena kita sampai saat ini terutama engkau Mampado sebagai sebagai anak laki-laki tidak diberi gelar depati melainkan bergelar Rio. Sedangkan ayak kita dahulu datan dari Pulau Raman ke sini beliau membawa dua gelar yaitu DEPATI AGUNG dan DEPATI NALI.
Jadi sekarang sudah waktunya engkau menuntut gelar tersebut pada nenekmu Depati Telago (Depati Rencong Telang) di Pulau Sangkar. Seandainya engkau tidak mau menuntut gelar pusako tersebut, biarlah saya akan meninggalkan daerah ini kembali ke Pulau Raman tempat kelahiranku. Mampado pun mengabulkan permintaan kakaknya, beliau Menjawab: “Kalau begitu kata kakak, baiklah sekarang juga aku berangkat ke Pulau Sangkar”. Mampado pun berangkalah ke Pulau Sangkar dengan keris di pinggang, menuntut gelar pusako sebagaimana yang dikatakan oleh kakaknya Meh Telok.
Setibanya di Pulau Sangkar di depan rumah neneknya Depati Telago dengan keris terhunus dia berseru: “Hai nenek! Hari ini kita membongkar pusao dan saya menuntut supaya saya diberi gerar Depati. Kalau tidak, akan aku hitamkan tiang panjang dan siapa yang menghalangi, itulah lawanku”. Mendengar permintaan cucunya, Depati Telago (nenek Mampado) melihat ke halaman dan nampaknya oleh Depati Talago cucunya yang bernama Mampado dengan keris tehunus sedang marah-marah. Depati Talago minta supaya cucunya Mampado naik ke rumah untuk berunding dengan neneknya Depati Telago mengenai permintaan dari Mampado untuk mendapatkan gear Depati. Mampado sebenarnya disamping menuntut gelar, beliau juga melepaskan kemarahan kepada paman beliau sendiri yang bernama Rajo Bujang dikarenakan menurut keterangan Meh Teluk bahwa pamannya itu sendiri yang memecat atau mendatukan orang tuanya ketika membawa gelar Sultan dan Depati Agung dulunya. Rajo Bujang mengetahui maksud dari Mampado, makanya dia hanya berdiam diri saja karena takut akan salah tingkah dan membuat Mampado semakin marah. Oleh sebab itu semua persoalan itu diserahkan kepada Depati Telago sebagai nakek dari Mampado dan diharapkan akan dapat meredam kemarahan cucunya.
Mampado tetap tidak mau naik ke rumah neneknya sebelum diberi gelar Depati. Karena melihat cucunya Mampado tidak mau naik ke rumah dan marahnya semakin menjadi-jadi, neneknya pun merasa cemas pula, maka dengan tergesa-gesa diambilnya canang lalu dibunyikannya dan beliaupun berkata: “Hai seluruh penduduk Pulau Sangkar, dengan ini saya beri tahukan bahwa mulai dari saat ini Mampado saya beri gelar depati, yaitu Depati Anum yang mana Depati Anum ini boleh mengerat putus dan memakan habis dalam daerah Ujung Tanjung Muaro Danau (Lempur sekarang).
Setelah menerima gelar itu Mampado gelar Depati Anum, lalu naik ke rumah neneknya Depati Telago dan selanjutnya diadakan pula kenduri untuk peresmiannya menjabat gelar Depati Anum itu, dengan memotong kambing se ekor dan beras dua puluh.
Keesokan harinya Mampdo gelar Depati Anum pun berangkat kembali ke Lempur. Setelah sampai di Lempur lalu Mampado gelar Depati Anum langsung menemui kakaknya Meh Telok dan menceritakan pada Meh Teluk bahwa perjuangannya telah selesai, yaitu dia telah mendapat gelar Depati Anum.
Mendengar itu jangankan bergembira, melainkan masih bersedih hati karena ia tahu gelar pusako yang dibawa oleh ayahnya dari Pulau Raman bukan Depati Anum melainkan Depati Agung dan Depati Nali, maka lalu Meh Telok berkata pada Depati Anom: “Gelar usako kita bukan Depati Anum melainkan Depati Agung”. Jika Depati Agung tidak kita miliki, saya tetap akan meninggalkan daerah ini”. Setelah berpikit sebentar maka Depati Anum pun menjawab: “Jangan cemas, gelar pusako Depati Agung akan tetap saya perjuangkan ke Pulau Sangkar”.
Tidak beberapa lamanya berangkalah Depati Anum ke Pulau Sangkar, dan menepat di rumah neneknya Depati Talago. Dpati Anum lalu mengulurkan cerano sirih pada Dpati Talago dan menyampaikan maksudnya ialah disamping gelar Depati Anum ia ingin pula agar gelar seko Depati Agung dapat pula disandangnya. Depati Telago tidak berkeberatan, asal saha sanggup memenuhi segala syarat-syatnya antara lain:
1. Memotong kerbau seekor dan beras seratus.
2. Upacara pemberian gelar itu diadakan di Lempur dengan mengundang Depati Telago dan kembarkannya untuk menghadiri peresmian itu.
Depati Anum sanggup memenuhi segala syarat-syarat tersebut di atas, Cuma hari peresmiannya akan ditentukan setelah Depati Anum sampai di Lempur.
Setelah perundingan selesai, Depati Anum minta diri untuk kembali ke Lempur. Sesampainya di Lempur Depati Anum menceritakan pada Meh Telok, bahwa apa yang dicita-citakan oleh Meh Telok sudah terpenuhi, Cuma menunggu hari peresmiannya saja lagi. Meh Telok sangat bergembira mendengar kabar tersebut, maka Meh Telok pun mengadakan persiapan untuk hari peresmian Depati Agung, dan hari peresmian pun sampai maka dilantiklah Depati Agung oleh Depati Talago bertempat di Lempur.



5. Kelembagaan Pemerintahan
Alam Lekuk 50 Tumbi Lempur
Setelah gelar Seko Depati Anum dan Gelar Seko Depati Agung dibawa ke Lempur, dan setelah selesai peresmiannya, Depati Agung pun mengadakan musyawarah dan rapat adat untuk membentuk pemerintahan dalam wilayah Lekuk 50 Tumbi Lempur. Dinamakan Lekuk 50 Tumbi Lempur karena pada waktu Mampado Gelar Depati Agung dan Depati Anum memembentuk pemerintahan sendiri sebagai pemekaran dari wilayah Tanah Rencong Telang Pulau Sangkar, jumlah keluarga yang ada dalam wilayah Lempur adalah sebanyak 50 Tumbi.
Bersamaan dengan itu Depati Agung dengan kekuasaan yang telah didapatnya membentuk Depati-Depati pula di dalam wilayah Lekuk 50 Tumbi Lempur dengan perincian sebagai berikut. Depati dan sepuluh, ninik mamak nan berenam dan Lantak Depati Agung, cermin Depati Sukobrajo dan Karang Setio Dapati Anum. Gelar Depati Agung dan Depati Anum tetap disandang oleh Mampado sedangkan gelar Depati Suko Berajo diberikan kepada Siak Mengkal (Depati Mampado mulai jadi). Siak Mengkal juga sering disebut dengan Depati Suko Berajo Pandak.
Depati nan sepuluh ini dibagi pula menjadi dua bagian yaitu Depati nan berenam untuk Lempur bagian Mudik dan Depati nan berempat untuk Lempur bagian Hilir, ninik mamak yang berenam juga dibagi dua yaitu 3 untuk Lempur bagian hilir dan 3 untuk Lempur bagian mudik. Penyusunan pemerintahan dalam lembaga mangku bumi Daulat Lekuk 50 Tumbi Lempur berlanjut secara terus menerus. Anak negeri yang sudah dianggap pantas untuk diikutkan dalam pemerintahan diberi gelar depati. Gelar depati tersebut ada yang dituntut sendiri oleh pewaris gelar baik yang berasal dari Pulau Sangkar, maupun yang berasal dari Tamiai dan Serampas. Pengangkatan Depati juga diikuti dengan pengangkatan kemerkan (kembang rekan depati) dan ninik mamak sebagai pembantu depati.
Bersamaan dengan itu Depati Agung dengan kekuasaan yang telah didapatnya membentuk Depati-Depati pula di dalam wilayah Lekuk 50 Tumbi Lempur dengan perincian sebagai berikut. Depati dan sepuluh, ninik mamak nan berenam dan Lantak Depati Agung, cermin Depati Sukobrajo dan Karang Setio Dapati Anum.
Depati nan sepuluh ini dibagi pula menjadi dua bagian yaitu Depati nan berenam untuk Lempur bagian Mudik dan Depati nan berempat untuk Lempur bagian Hilir, ninik mamak yang berenam juga dibagi dua yaitu 3 untuk Lempur bagian hilir dan 3 untuk Lempur bagian mudik.

Depati nan berenam untuk Lempur Mudik, ditarik ke Lempur ada yang dengan istilah ‘bungo sekaki kembang duo’ dan ada pula yang digilir menurut alur dan patut antara Lempur dan daerah Serampas, gelar depati tersebut adalah:
A. Depati berenam dari Serampas
1. Depati Serampas
2. Depati Ketau
3. Depati Naur
4. Depati Karamo
5. Depati Payung
6. Depati Pulang

B. Depati berenam dari Pulau Sangkar, gelar depati yang dibawa dari Pulau Sangkar sama seperti yang dibawa dari Serampas, ada yang bungo sekaki kembang duo dan ada pula yang sandang bergilir antar dua negeri, gelar depati yang berenam dari Pulau Sangkar yaitu:
1. Depati Telago
2. Depati Anggo
3. Depati Kerinci
4. Depati Sangkar
5. Depati Belinggo
6. Depati Gung

Ninik Mamak yang tiga untuk Lempur Mudik adalah :
Kedemang Sri Memanti
Manggung Sri Menanti
Seri Paduko Rajo

Depati nan berempat untuk Lempur Tengah ialah:
Depati Suko Brajo (dari Pulau Sangkar)
Depati Mudo (dari Lolo)
Depati Nalo (dari Serampas)
Depati Muncak (dari Tamiai)

Ninik Mamak yang tiga untuk Lempur Tengah adalah :
Rajo Depati
Rajo Bujang
Rajo Mangkuto Alam.
Disamping depati dan sepuluh, ninik mamak nan berenam ada lagi depati-depati dan ninik mamak yang lain sebagai kemerkan (kembang rekannya). Kemerkan ini mempunyai hak suara atas nama depati atau ninik mamak dengan kata adanya juga ada hak memakin habis dan mengerat putus. Daerah kekuasaan Depati dan Ninik Mamak yang tersebut di atas adalah di seluruh wilayah Lekuk 50 Tumbi Lempur.
Peresmian dari Depati nan sepuluh dan Ninik Mamak nan berenam ini, sebagai badan pemerintahan dengan Pucuk Pimpinannya Depati Agung sebagai lantaknyo (Lantak nan tak goyah), Depati Suko Berajo sebagai cerminnyo (cermin yang dak kabur), dan Depati Anum sebagai karang setio (mangkok karang setio),
Pelantikan dan peresmian pemerintahan Alam Lekuk 50 Tumbi Lempur juga dihadiri oleh Depati Empat Alam Kerinci. Diwaktu itu Kerinci adalah gabungan III Helai Kain yaitu:
Depati Muara Langkap
Depati Rencong Telang
Depati Biang Sari.
Gabungan lainnya adalah Delapan Helai Kain, dan gabungan ini adalah pecahan dari Depati Atur Bumi di Hiang,yang biasa disebut tiga di Hilir empat Tanah Rawang dan tiga di Mudi empat Tanah Rawang. Kedua gabungan ini juga dikenal Depati Empat Alam Kerinci.
Pada peresmiannya Depati Nan Sepuluh dan Ninik Mamak nan Berenam dalam Lekuk 50 Tumbi Lempur, depati-depati yang tersebut di atas tadi dapat pula mengesahkan bahwa: dalam Lekuk 50 Tumbi Lempur berdiri daulat pemerintahan dengan Pucuk Pimpinannya Depati Agung.
Disamping dibentuk pula ketua pemerintahan setempat (dusun-dusun), seperti: Untuk Lempur Mudik ialah Depati Anum dan untuk Lempur Hilir adalah Depati Suko Berajo.
Di samping itu Depati Anum dan depati-depati lainnya dapat menuangkan peraturan dan udang-undang dalam negeri, antara lain:

A. PENGANGKATAN DEPATI
Depati diangkat dalam kerapatan adat yang dihadiri oleh Anak Jantan dan Anak Betino dengan Catatan yang ada warisnya (keturunannya) saja yang dapat diangkat.
Juga diterangkan bahwa jika seseorang telah pernah menjabat gelar depati maka ia tidak berhak lagi untuk menjabat gelar tersebut, terkecuali kalau sudah sampai gilirannya, itulah yang disebut dalam pepatah adat Seko nan bagile sandang nan baganti, suko ngapit suko ngadong. Peresmiannya untuk depati-depati tersebut dilakukan waktu Kenduri Seko atau Kenduri Adat, dengan memotong kerbau seekor, beras seratus.


B. SYARAT-SYARAT MENJADI DEPATI:
1. SIMBA IKOUNYO
Artinya: kembang ekornya. Ibarat ayam jantan yang akan berlaga di gelanggang, ia mengembangkan ekornya sewaktu akan menyerang. Tidak kuncup ketakutan. Jadi yang diangkat jadi Depati itu adalah orang yang gagah berani menegakkan kebenaran, dia berani berkorban, berani menyabung nyawa.
2. NYARING KUKOKNYO
Artinya: perintah dipatuhi, nasehat dituruti. Pandai berbicara, pintar berbahasa. Cerdik cendikia, berpikiran luas, Dulu tidak melintang tapak, kedian tidak memijak tumit. Tahu ireng dengan gendeng, tahu tahan yang menimpa, tahu ranting yang melecut, arif bijaksana.
3. RUNCING TAJINYO
Artinya: tegas dan tangkas, berilmu dan berpengetahuan, teratur dengan perbuatan, banyak bekerja dari berbicara. Berpandangan jauh, berwibawa dan berwatak dalam kepemimpinan.
4. KEMBANG KEPAKNYO
Artinya: berlaku adil dalam memutuskan perkara. Tidak memihat pada siapa pun, tidak berat sebelah dalam menghakimi. Tibo dimato tidak dipicingkan, tibo di perut tidak dikempiskan. Tidak menegak benang basah, tidak menohok kawan seiring, tidak bersembunyi dalam lipatan. Dengan sayapnyo yang kembang, dia harus melindungi segala kebenaran. Pandai membagi dan mengiro, tahu raso dan pareso.
5. LAPANG DADONYO
Artinya: buruk dan baik diterima dengan hati terbuka berlapang dada. Tidak pemarah, tidak pula menunduk. Semua harus bisa diselesaikan dengan baik, dengan bijaksana dan dengan kerarifan. Tidak ada kusut yang tak terselesaikan, tak ada keruh yang tak terjernihkan.
6. NYALANG MATONYO
Artinyo: setiap saat meneliti kondisi dan situasi dalam negeri. Datang siang datang malam, mengetahui larek yang berjejer, balai dan rami, mengetahui pematang nan belantak. Dia harus tahu segala sesuatunya di lorong kampong.
7. GEDANG PARUHNYO
Artinya: tempat berunding, tempat meminta nasehat dan tempat mengadu. Suka mengajak suka diajak untuk segala kebaikan. Selalu mempelajari alam dan sesuatu untuk menambah pengetahuan dan ilmu. Sanggup mengisi adat menuang lembago. Patuh pado peraturan, menurut kehendak orang banyak. Memerintah menurut jalan yang telah diatur.
8. KUAK KAKINYO
Aritnya: sehat badan sehat pikiran, kalau boleh kuat pula ekonominya. Sehat rohani sehat jasmani. Dengan arti lain cacatnyo kecik sekali, sehingga dio akan dapat memerintah anak negeri dengan baik dan sempurna, karena masalah pribadinya sedikit sekali.
9. BINTIK BULUNYO
Artinya: ayam berbulu bintik dimaksudkan berasal dari keturunan yang jelas, berasal dari keturunan dan keluarga yang baik. Jelas asal-usul, jelas alou dan patut yang nak diturut. Disamping itu, baik klakunyo, baik budinyo, dan juga gagah tampangnyo.

Itulah syarat-syarat jadi depati. Syarat itu sering tidak tertulis, namun harus dipatuhi. Dari mana asal-usul orang yang diangkat jadi Depati itu, ada dalam naskah kuno, dan silsilah keturunan. Walaupun tidak tertulis secara langsung, namun, setiap orang tahu bahwa orang yang akan dinobatkan itu adalah keturunan yang berhak menerima gelar tersebut. Pepatah mengatakan: ilang tambo ilang pusako, ilang tutou ilang sko. Artinyo: dari tambo-tambo atau naskah kuno itulah diperoleh keterangan asal-usul orang yang diberi gelar itu.


B. PEMECATAN DEPATI
Pemecatan seorang depati karena melanggar Larangan Depati, dilakukan dengan mengadakan rapat depati. Depati nan berempat oleh rapat depati nan berempat., Kemudian baru naik ke rapat depati Nan Sepuluh. Depati nan berenam dipecat oleh depati nan berenam kemudian naik ke rapat Depati nan Sepuluh.

C. LARANGAN DEPATI
1. Gedang berlaku kecik.
Artinya ialah seorang depati yang melakukan pekerjaan yang tidak baik seperti: berjudi, berzina dan lain-lain.
2. Gung gedang duo suaro.
Artinya seorang depati yang tak lurus juga sering disebut lain di mulut, lain di hati, menuhuk kawan seiring, menggunting dalam lipatan dan telunjuk lurus kelingking berkait.
3. Penjait duo lubang.
Artinya seorang depati yang tidak lurus
4. Memancong bayang-bayang, menikam kersau.
Artinya seorang depati yang suka mengadu doma dan membuat fitnah dalam negeri.
Dan ada lagi yang lain-lain, kalau larangan dilanggar, depati tersebut dipecat dari jabatannya, juga dapat diangkat kembali kalau dia telah memenuhi syarat kembali dengan memotong kerbau seekor dan beras seratus.

D. KEWAJIBAN DEPATI DAN NINIK MAMAK
1. Memasuk petang mengelua pagi. Artinya depati/ninik mamak memelihara anak kemenakan jantan dan batino.
2. Mengadakan penyelesaian jika ada perselisihan antara anak kemenakan baik anak jantan maupun anak betino.
3. Meajum mearah anak kemenakan anak jantan dan anak batino.

E. KEWAJIBAN ANAK KEMENAKAN
Kewajiban anak kemenakan dan anak jantan dan anak batino, sebagai tersebut dalam petanyanya seperti dibawah ini:
1. Penakan berajo ke mamak (tungganai)
2. Mamak barajo ka ninik mamak
3. Ninik mamak barajo ka depati
4. Depati barajo dengan bena
5. Bena berajo dengan alua (musyawarah)
Dalam pepatah yang tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa tiap-tiap anak kemenakan harus menghormati depati dan ninik mamak, dan kekuasaan tertinggi terletak pada Alua yang artinya Musyawarah.

F. PERATURAN-PERATURAN
Yang berkenaan dengan Pengadilanini terdiri dari tiga tingkatan, juga disebut Seko Tigo Takah, yaitu;
1. Rapat Tengganai (suku)
Kalau terjadi suatu perkara harus diselesaikan lebih dahulu dengan kerapatan Suku atau Tengganai,
2. Jika tidak ada penyelesaian baru dibawa ke Rapat Ninik Mamak
3. Bila rapat Ninik Mamak juga tidak dapat menyesaikannya, maka perkara tadi dibawa ke Rapat Depati
Juga disebut sebagai “berjenjang naik bertakah turun”.
Disamping ini ada lagi peraturan-peraturan yang berkenaan dengan Meh (uang hangus). Meh itu terdiri dari enam tingkatan, juga disebut Meh nan enam tingkat, yaitu
1. Meh Sebusur, apabila air belum beriak, daun belum bergoyang, perkara masih di tengah rumah, perkara baru diketahui satu pihak. Perkara ini diselesaikan oleh tengganai (mamak rumah) pihak wanita saja. Perkara ini menghanguskan beas sepnggan ayam seekor. Artinya yang berperkara menyediakan makanan untuk tengganai tersebut.
2. Meh Sekundi, apabilaair sudah beriak, daun sudah bergoyang, persengketaan suah diketahui pula oleh pihak laki-laki. Perkara tersebut diselesaikan tengganai kedua belah pihak, juga menghanguskan beras sepinggan ayam seekor..
3. Mas sepeti, takkala kusut akan diselesaikan, keruh akandijernihkan oleh Ninik Mamak (kepala kaum). Perkara ini menghanguskan beras dua puluh kambing seekor. Artinya apabila perkara sudah sampai ke tangan kepala kaum, maka yang memperkarakan harus menyembelihkan seeor kambing, memberi makan beberapa orang adat.
4. Mas sekupan, disebut juga mas malin tobat, ialah perkara yang diselesaikan oleh alim ulama. Misalnya urusan perkawinan, rujuk, talak, danurusan keagamaan lainnya. Perkara ini disebut naik mesjid turun mesjid, berbuka berbentang kitab, memisahkan yang sah dengan bata., halal dengan haram, benar dengan salah. Penyelesiaannya dengan membayar uang lima kupang. Satu kupang sama dengan Rp.0.50.
5. Mas lapik sait, apabila keris dihunus, pedang akan dicabut, perang akan terjadi, pegang dubalang , menghanguskan beras seratus kerbau seekor.
6. Mas seemas, disebtu jug mas rajo mas jenang, apabila perkara diselesaikan oleh Depati sebagai pengadilan tertinggi. Penyelesaiannya dengan menghangurskan beras seratus kerbau seekor.
Jadi jenjang penyelesaian perkara menurut adat adalah tengganai satu pihak, tengganai kedua pihak, Ninik Mamak atau Alim Ulama dan Depati.
Penyelesaian perkara dengan cara:
Salah pauk luka dipampas, yaitu membayar ongkos pengobatan.
Salah bunuh mas dibangun, yaitu membangun keluarga yang dibunuh, dengan cara mengorbankanharga benda yang membunuh untuk pengobat hati orang yang ditimpa musibah.
Salah pakai dipelulus, yaitu mengembalikan barang yang dicuri.
Salah makan dimuntahkan, yaitu mengganti barang orang yang dicuri, dirusak atau yang dihilangkan.
Memberi maaf, itulah penyelesaian yang terbaik, dengan perjanjian yang besalah tidak berbuat kesalahan lagi.
Terlanjur surut, terlangkah mundur, duduk bermusyawarah atau berunding.
G. PINTU SALAH
Pintu salah itu terdiri dari 5 macam :
1. Salah perbuatan
2. Salah penglihatan
3. Salah penciuman/berita
4. Salah perkataan
5. Salah pendengaran.
Perlu diterangkan mengenai Pintu Salah ini yaitu yang dimakud dengan suatu larangan, jika seseorang melakukan seperti tersebut di atas mereka itu ditindak menurut sepanjang adat.

H. HUKUM KATA
Bagi masyarakat adat, terutama bagi mereka yang memegang adat, undang-undang dan hukum agama terdapat beberapa jenis kata yang mempunyai pengertian yang berbeda-beda dan menjadi bagian dalam kehidupan sehari-hari, antara lain :
1) Kata raja, kata berlimpahan
Maksudnya : tidak raja atau pemimpin adat mengandung kelimpahan untuk rakyatnya, bahkan pada setengah raja-raja zaman dahulu apa yang diucapkan raja itu merupakan undang-undang negara yang harus dipatuhi oleh rakyat biar : tujuannya baik atau buruk. Bagi seorang raja atau pemimpin yang adil kata-katanya tentulah untuk keselamatan rakyatnya tetapi bagi raja atau pemimpin yang lalim maka kata-katanya mengandung bencana bagi rakyatnya.
2) Kata bapak, kata pengajara
Kata-kata yang keluar dari seorang bapak baik, -- tidak saja bapak dalam pengertian khusus juga dalam pengertian umum – ialah kata yang berisi pelajaran dan nasehat, demi keberuntungan, kesejahteraan dan keselamatan anaknya dibelakang hari. Sebab itu janganlah seorang bapak memberi contoh teladan yang buruk kepada anak-anaknya sebab anak-anak akan berbuat sepuluh kali lebih buruk dari apa yang diperbuat bapaknya itu.
3) Kata mamak, kata pusaka
Perkataan seorang mamak (paman) yang baik tentulah menurut baris dan belebas sepanjang adat. Ia tidak akan menambah dan tidak akan mengurangi apa-apa yang tercantum dalam kata-kata adat.
4) Kata guru, kata petuah
Seorang guru tidak saja harus pintar memberi pelajaran tetapi juga semua tingkah laku, sepak terjangnya haru menjadi contoh teladan bagi masyarakat. Sebab seorang guru yang baik tidak saja menjadi guru dimuka kelas dihadapan muridnya melainkan juga akan menjadi guru dalam masyarakat yang lebih luas. Pekertinya, sikapnya, kebiasaannya, akhlakna, rumah tangganya juga harus menjadi ”guur” bagi masyarakat sekitarnya.
5) Kata penghulu, kata penyelesai
Dalam satu perselisihan atau pembantahan penghulu harus lekas tampik ke depan untuk menjadi juru pendamai atau menjadi penengah sehingga perselisihan itu tidak berlarut-larut. Lebih mudah memadamkan api yang masih kecil daripada aipi yang sudah berkobar-kobar.
6) Kata alim, kata hakekat
Ucapan-ucapan orang alim akan keluar berdasarkan firman-firman Allah SWT da hadis Nabi Muhammad SAW yaitu ke arah hidup perdamaian dan kesejahteraan di dunia dan akherat.
7) Kata pegawai, kata berhubung
Kata-kata yang disampaikan pegawai adalah pesan-pesan dan kata-kata yang diterimanya dari pihak atasannya. Dia hanya bertindak sebagai pembuluh menyampaikan.
8) Kata orang banyak, kata berbaluk
Kata orang banyak belum dapat diambil kebenarannya. Sebab setiap kepala akan satu pula yang akan dikatakannya. Yang sejengkal menjadi sehasta, yang sehasta menjadi sedepa, ditambah-tambah, diputar-putar sehingga maksudnya yang semula sudah samar dan keliru. Sebab itu kata orang banyak belum dapat diterima kebenarnnya dengan begitu saja, harus lebih dahulu di cek kebenarannya.
9) Kata hulubalang, kata menderas
Kata hulu balang (dubaang) ialah kata menderas. Kata-katanya pendek, tepat dan tegas menuju sasaranya, tidak banyak variasinya. Tetapi sungguhpun demikian mereka tidak boleh lalu lalang saja apalagi yang akan merugikan rakyat dalam segala segi. Sebab hulubalang (angkatan bersenjata) ialah pari pagar dalam negeri yang akan menjaga keamanan ke luar dan ke dalam. Mereka harus memegang disiplin sesuai dengan baris-baris atau peraturan yang sudah ditetapkan.
10) Kata permpuan, kata merendah
Sebagai seorang wanita yang ibarat sayap kiri bagi seekor burung janganlah ia berbicara melebihi dari yang sewajarnya. Sebab seorang perempuan (wanita) yang baih haruslah lebih banyak berbicara dengan tingkah laku yang lemah lembut, pekerti yang baik, dan tetap dalam sidat wanita lahir batin. Lebih baik bagi seorang manita yang sudah bersuami ia harus mematuhi kewajibannya terhadap suaminya menurut hukum yang wajar sepanjang adat dan syara’.
11)


H. PEMBERIAN GELAR ADAT
Dalam kelembagaan adat di bekas kerajaan Pamuncak dan Tigo Kaum, terdapat dua jenis pengukuhan gelar adat:
1. Pengukuhan gelar adat seperti depati, biasanya dilakukan pada waktu kenduri adat (kenduri seko) masing-masing wilayah adat. Biasanya kenduri seko diadakan sesudah musim menuai padi, dan sebagai petanda awal untuk memasuki musim tanam padi berikutnya. Dalam acara adat tersebut terselip pula acara pemberian gelar adat seperti Depati dan Nenek Mamak kepada calon memangku adat khusus gelar-gelar adat yang masih tersangkut di tiang balai (gelar adat yang belum disandang oleh anak negeri). Gelar ini tidak dapat dibawa keluar, karena pemangku adat yang bersangkutan mempunyai wilayah tertentu, yang melapas pagi mengurung petang.
2. Pengukuhan gelar adat yang berasal dari silsilah adat Kerajaan Pamuncak nan Tigo Kaum, seperti gelar kesultanan, gelar mangku bumi dan gelar-gelar lain yang ada pada pemerintahan pada waktu itu.
3. Pemberian gelar adat terdiri dari dua macam, yaitu Pertama: pemberan gelar adat karena Pertalian Darah, artinya calon pemegang gelar adat berasal dari anak keturunan, atau pewaris sah suatu gelar adat (yang mempunyai alur dengan patut). Kedua: pemberian gelar adat karena Pertalian Budi, artinya gelar adat itu diberikan kepada orang yang berjasa dalam pembangunan masyarakat dan daerah, tetapi tidak berasal dari daerah yang berasangkutan.
Gelar adat yang dapat diberikan karena Pertalian Budi biasanya adalah gelar yang berasal dari adat lamo pusako usang, yaitu gelar-gelar yang ada pada Kerajaan Pamuncak Nan Tigo Kaum, yang dapat dibawa keluar wilayah adat.
Gelar adat yang disandang karena Pertalian Budi hanya diberikan sekali kepada pemangku adat yang memenuhi persyaratan, kemudian apabila pemangku adat tersebut meninggal dunia atau meletakkan gelar adat tersebut maka gelar yang bersangkutan akan kembali disangkutkan di tiang balai (artinya kembali ke rumah gedang, yang nantinya dapat disandang kembali oleh orang lain).
4. Disamping itu gelar adat, untuk kasus dan keadaan tertentu, yaitu: Ketiga, pemberian gelar karena pertalian akar, maksudnya yang terbang menumpu, hinggap mencengkam. Pewaris adat ini adalah dari baris yang sudah jauh atau dari belahan kaum yang bersangkutan dan menetap dikampung lain. Bila pemangku adat di daerah yang bersangkutan sudah benar-benar tidak atau sulit ditemui dikarenakan oleh sebab tertentu, maka gelar boleh diberikan kepada anak negeri pewaris adat yang tinggal ditempat lain, namun demikian harus juga melalui kesepakatan ninik mamak dan keluar dalam sepayung. Terakhir, keempat, pemberian gelar diberikan karena pertalian emas. Maksudnya bahwa pewaris adat ini tak berhak menerima gelar pusaka tetapi mungkin hanya dapat menerima warisan saja jika diwasiatkan kepadanya karena memandang jasanya.

Lampiran 1.

BALAI NAN TIGO

I. BALAI PANJANG TANJUNG TILAN

Depati yang Marsal:
1. Depati Pulang
2. Depati Naur

Kemang rekannyo:
1. Depati Parbo
2. Depati Permai
3. Depati Mangku Guni
4. Depati Mudo Jumareh di Alang Balai
5. Depati Lubuk Meh

Nenek Mamak nan Marsal
1. Seri Paduko Rajo anak Lang Sawai Depati

Kemangrekannyo:
1. Pandika Rajo
2. Pandika Sutan
3. Panglimo Rajo
4. Pandika Alam
5. Rajo Alam
6. Mano Alam
7. Hulu Balang Pangulu Rajo
8. Nalo Depati


II. BALAI PENDAK TANJUNG MANUANG

Depati yang Marsal:
1. Depati Ketau
2. Depati Karamo

Kemangrekannyo:
1. Depati Suto
2. Depati Cayo Negeri
3. Depati Mudo Panjang Rambut

Nenek Mamak yang Marsal:
1. Demang Nanggung Seri Menanti

Kemangrekannyo:
1. Rajo Putih
2. Mangku Tiang Alam
3. Rajo Bendo
4. Rajo Tiang Alam
5. Rajo Dateh
6. Sanggo Depati


III. BALAI PELANGIN TANJUNG AGUNG

Depati yang Marsal (depati berenam):
1. Depati Payung
2. Depati Serampas

Kemangrekannyo:
1. Depati Unta
2. Depati Kecik
3. Depati Nanggong
4. Depati Nalo

Nenek Mamak yang Marsal:
1. Demang Seri Menanti

Kemangrekannyo:
1. Rajo Adat
2. Rajo Kecik
3. Sutan Kecik
4. Rajo Mudo
5. Rajo Bujang
6. Rajo Mangkuto
7. Ulu Balang Panglimo Rajo
8. Sutan Rajo Mangkuto
9. Tungkat Juang Depati

Kemangrekannyo yang Duo Balai nan Tigo Jenjang Depati Singo Lago anak depati berenam diatas.
Balai nan Tigo Jenjang nan tersebut diatas, Depati Pulang Jawa induk depati nan berenam.


ASAL DEPATI
ALAM LEKUK 50 TUMBI LEMPUR
I. Enam Depati dari Pulau Sangkar
1. Depati Kerinci
2. Depati Anggo
3. Depati Sangkar
4. Depati Suko Berajo
5. Depati Gung
6. Depati Talago

II. Enam Depati dari Serampas
1. Depati Pulang
2. Depati Naur
3. Depati Serampas
4. Depati Ketau
5. Depati Payung
6. Depati Karamo


DEPATI ALAM LEKOK 50 TUMBI LEMPUR

I. DEPATI LEMPUR MUDIK
1. Depati Anum
2. Depati Pulang
3. Depati Naur
4. Depati Ketau
5. Depati Singo Lago
6. Depati Nanggung
7. Depati Lubuk Meh
8. Depati Anggo
9. Depati Parbo
10. Depati Cayo Negaro
11. Depati Cayo Negeri
12. Depati Serampeh
13. Depati Mudo Panjang Rambut
14. Depati Permai
15. Depati Galinggo
16. Depati Kerinci
17. Depati Talago
18. Depati Muara Langkap
19. Depati Setio Seti.

II. DEPATI LEMPUR TENGAH
1. Depati Suko Berajo
2. Depati Mudo
3. Depati Muncak
4. Depati Nali
5. Depati Cayo Negaro
6. Depati Setio Nyato
7. Depati Setio Rajo
8. Depati Sangkar
9. Depati Birau
10. Depati Mangku Guni

III. DEPATI DUSUN BARU
1. Depati Agung
2. Depati Karamo
3. Depati Payung
4. Depati Kecik
5. Depati Unta
6. Depati Lubuk Meh
7. Depati Sanudo
8. Depati Terang
9. Depati Mudo Jumareh
10. Depati Nalo Alam Dua
11. Depati Suto
12. Depati Gung
13. Depati Permai

IV. DEPATI LEMPUR HILIR
1. Depati Sentel
2. Depati Lipan
3. Depati Nyato
4. Depati Suko Kerjo
5. Depati Kecik
6. Depati Karta Udo
7. Depati Ganding
8. Depati Singo
9. Depati Singo Lagaro
10. Depati Gung
11. Depati Nanggong
Lampiran 2.
Lampiran 3.
HUKUM ADAT
LEKUK 50 TUMBI LEMPUR

Berdirinyo Sendi Hukum Adat atas 4 (empat):
Bainah
2. Karinah
3. Alam
4. Ijtihat
Arti hukum: Hukum itu ialah menentukan dan menetapkan sesuatu atas tempatnyo dan dak diraguhi terangnyo.
Mutalib itu biasanya tahan banding.
Mutalib undang-undang biaso dikerasi.
Mutalib adat biaso ditiru, ber teladan beresab berjerami, ber tunggul, ber penebangan, jauh bulih ditunjukkan, dekat bulih dikatokan, lambago bertuang mutalib hukum Kitab Allah biaso menjadi kekuatan dan daup.
Ba’dal hukum adat terbagi 3 (tigo):
1. Timbangan akal budi yakni jerih payah
2. Timbangan emas pirak
3. Timbangan nyawo badan.
Yang ditimbang dengan akal budi terbagi tigo:
Sesat surut langkah kembali, salah pada Tuhan taubat, salah pado manusio maaf.
Mengmebang lapek mengisikan air
Numpang menyesit lupo menurut kalau hilang mengganti luko mendamak sumbing menitip.
Adapun yang ditimbang dengan perak yakni dengan mengembang lapik mengisi air menating carano, sirih nan berpucuk, pinang berubah, carano berisi emas dan perak sikupang dua kupang se emas atau lebih sebanyak-banyak setihil sepaho, atau memotong kambing, seberatnyo kerbau seekor beras seratus.
Adopun yang ditimbang dengan nyawo terbagi 2 (duo):
1. Dengan nyawo (dibuang)
2. Dengan nyawo umpamonyo utang nyawo dibayar nyawo
Hukum buang terbagi 4 (empat), berlakunya bagi orang bersalah, bersalah tidak mau dihukum dalam negeri mako yang akan menjadi hukumnya mati, mati itu Artinya mati pada adat orang dalam negeri yakni hukum buang.
Hukum buang sirih. Yakni dibuang dari sebuah geding tak dibawah barito, tak dibawo hilir mudik, tak dijalang buruk baik oleh nan sebuah geding atau oleh nan sepunjung itu sajo.
Hukum buang biduk. Yakni oleh kerapatan negeri.
Hukum buang Tangkirang. Yakni dibuang oleh kerapatan negeri dan tidak boleh lagi diperbaiki dengan negeri kok tumbuh buruk baiknyo tak buleh dilihat oleh isi negeri. Tetapi ditimpo kecik akan besat tegak tidak makan tunduk malingkong tak makan pampa tak dimakan iris dengan didis ialah antara anak dengan ibu bapak, antara laki dengan bini antaro adik dengan kakak seibu atau sebapak guru mengajar agama tukang membuat rumah dukun pandai obat.
Hukum buang daki. Yakni dihukum buang kerapatan negeri tidak boleh tinggal dalam negeri kalau ada sawah ladang dibayat beli oleh negeri.
Orang yang bulieh bersuaro dalam pengadilan adat 4 (empat) pekaro:
Mudai atau orang mendakwa.
2. Mualiah atau yang terdakwa
3. Saksi
4. Hakim
Saksi menurut adat yang boleh ditulak 12 pakaro:
Bapak
2. Ibu
3. Anak
4. Dusanak
5. Kanak atau kurang akal
6. Anak semang
7. Panakan
8. Mamak
9. Penakan
10. Ipar
11. Laki
12. Bini
Kewajiban Hakim 7 perkaro:
Menerimo pengaduan mudai dan jawab mudaaliah
2. Minta tanda kepado mudai dan mudaaliah
3. Menerima barang yang diperkarakan itu
4. Meneliti saksi-saksi dan memperhatikan buni-buni keterangannyo.
5. Menjatuhkan hukum
6. Menyampaikan hukum
7. Menahan banding.
Apabila menghukum kamu diantara sama manusia hukum oleh kamu dengan adil.

POHON ADAT
Adat. Adat lazim yakni biaso atau selipat memakainya ialah.
Artinyo: Bermula adat istiadat negeri memakainyo dan dio kecuali olehorang yang memperselisihkan. Umpamonyo menurut yang diaturkan pemangku adat yakni negeri berpengulu suku berbuah perut, kampun batino rumah batangganai.
Pepatahnya diasak layu diangkat mati.
Istiadat. Terpakai dahulu kala waktu jahiliah terlarang oleh nan sebenar adat antara sekarang masih ada juga lagi yang diperbuat seperti berebab, berkecapi, berpuput dan bersalung, menyabung dan berjudi.
Adat dan diadatkan. Yakni yang dipakai sesuatu negeri yang diperbuat oleh kerapatan negeri yang dipeturun dan diperanakkan yang ditantu ukur jangka oleh kerapatan negeri. Pepatahnyo lain lubuk lain ikannyo lain padang lain belalang lain negeri lain adatnyo.
Adat nan Sebenar Adat. Yang diturunkan oleh Nabi Allah Muhammad SAW yang tersebut Kitabnya sepanjang sarak menurut agama Islam. Pepatahnya. Tak lekang dipanas tak lapuk di hujan.

UNDANG NAN 4 (EMPAT) :
Undang-undang Luhak. Yakni luhak nan belaras negeri nan bapengulu, suku nan berbuah perut, kapung batuo rumah batangganai.
Undang-undang Negeri. Yakni rumah tanggo, balai mesjid, kurung kampong, labuh tapian parit rentang. Balai untuk penghulu-penghulu gedang besar batuah rapat adat mencari kebaikan Mesjid ditengah negeri untuk alim ulama untuk mengembangkan agama dan tampat mengerjokan suruh sarak.
Undang-undang Dalam Negeri. Yakni salah cencang memberi pampas, salah bunuh memberi bangun, salah tarik mengembalikan, salah makan dimuntahkan.
Undang-undang Nan Duo Puluh.
Tikam, bunuh
Samun, sakal
Upeh, racun
Sumbang, salah
Siung, bakar
Maling, curi
Rebut, rampas
Dagu, dagi
Tertumbang, terciyak
Tertelah, terkanjat
Tertando, tabiti
Tercencang, teranggas
Terikat, terkebat
Terambak patah, terpukul mati
Ketika nunggang lalu ranting jatuh
Berjalan, bergegas
Tertijak berbagai barulih bak sepia
Berjual, muran
Cendorang mato urang banyak
Dibawa pekat dibawah lanjaro.
5. Adapun undang-undang nan duo puluh salapan menjunjukkan kelakukan kejahatan, enam membawa jalan induk enggang berketunggangan yakni menjunjuk tanda-tanda biti, enam pembawa jalan cumo jani karinah yang dijatikan cino ialah yang selapan yang menunjukkan kelakukan-kelakuan kejahantan.


UNDANG NAN SEMBILAN PUCUK:
1. Undang takluk kepado rajo
Yang takluk kepado rajo temba namonyo
2. Undang takluk kepado depati
Yang takluk kepado depati adat namonyo
3. Undang takluk kepado ulama
4. Undang takluk kepado pakaian
5. Undang takluk kepado permainan
6. Undang takluk kepado bunian
7. Undang takluk kepado keramaian
8. Undang takluk kepado hukum
9. Undang takluk kepado kebesaran alam.


PUKUL CANANG
Hep kayo nan diateh rumah gedang an sebuah diatas lantai nan sebintit bawah atap nan selepah nan salingkong mendol tepi nan selarih mendol tengah. Kalaut menesak dita, dita tarandam Muara Jambi, jangan kayo takejut jangan kayo tagampo mananga canang ku berbunyi. Aku sepantun brung mau diimbau aku datang diasung aku pergi datang menampakkan muko pergi nampak punggung aku sepantun biduk pelayangan kua perencang buki parang panjang perancah tampab seligi buang buangan.

Bukan cempedak cempedak sajo
Cempedak dalam padi
Bukan aku tegak tegak sajo
Disuruh beliau dan depati
Kereno buruk li baganti li
Buruk pua calipang tumbuh
Patah ratak ilang baganti
Buruk batang cendawan tumbuh

Karano ado pusako bilian depati yang tagulung ditiang tengah yang talipat dialang balai. Sekarang hendak dibentangkan yang talipat hendak diurak siapo kito yang tatukek tanduk tasurong baju pada hari ini Si Anu……………… Dia tidak dilangkah naikan surut pada hari ini dilangkah naikan jugo pada hari naik dengan adat dan pusao naik di atas kambing seekor beras dua puluh tidak bagela duo tigo gela Depati ………………. Atau ninek mamak……………… saiyo kan duo tidak karjo nan banyak.
Denga oleh kayo nan banyak parbaiyo nak labuh pasko nak rek lah bakalili hati lah balek pipi lah gedang daraso diinyo ditidakkan, diambung diantakkan diimbau digelakkan entak kecik karjo bertuang kecik entak gedang karjo berutan gedang, kok kecik barutang kecik segan membayar kok gedang utang segan betimbang diateh celah piagam bawah mangko karang setio karjo dimakan biso kami saiyo laduo mendak karjo nan banyak.
Denga-denga kayo nan bagela:
Hukum nak dauh pasko nak rek
taraso gedang karaso lah baleh pipi
ko gedang hendak melando
kok panjang hendak malilit
tanduk runcing hendak disimbahkan
baju belang hendak diirengkan
Menyurukkan budi menuangkan akal
nan iyo ditidakan
nan terang dipakelamkan
nan kelam dipaterangkan
Tibo dimato dipicingkan
tibo diperut dikempiskan
tibo dipapan berantak
tibo diduri maninjek,
Maampeh bumbun merujak labing
menohok kawan seiring
menggunting dalam lipatan
tibo menghukum dengan mengengkan
tidak bulih melapehkan dendam dengan kasumat.
Kayo seperti kayu diateh tepat kaateh tidak bapucuk kabawah tidak baurat ditengah-tengah digirik kumbang nan diateh ngutung nan dibawah ngadah nan diateh celak piagam nan dibawah manukok karang setio dikutuk Qur’an tigo puluh jus, kayo dimakan biso kawi seiyokan duo tidak kayo banyak.
Pepatah sudah mengatakan, kerbau gedang diateh kuto tali pijak bapijak. Urang gedang merubah kato alamat negeri akan susah.
Hari selasa mulai kasawah
Hendak pergi marumput padi
Padi mudik dirumput dulu
Padi dile dirumput kudian
Pepatah lah samo kito denga
Lain di mulut lain di hati
Menapik kato guru
Itu isi negaka jahannam.
Makan sireh serto karakap
Tiriang patak talatak
Talatak diateh kuto
Kuto tuo julung basusuk
Mana lebih minta maaf+
Canang babunyi tempat nan banyak
Canang balik ka si pungko
Mintak izin aku duduk.

Hanya sekian, disudahi dengan Wassalamu’alaikum Wr.Wb.



PARAGO-PARAGO
Singgo berganggang bumi dengan langit mako turun wajah nan duo. Satu waris dari pado nabi, ke dua halipah dari pado rajo. Waris dari pado nano beliau malin yang mengetahui bulan nan dua belas, tahun nan duo lapan, hari nan tuju mentiko nan satu.
Khalipah dari pado rajo kayo depati nenek mamak yang memegang adat lamo pusako usang. Mano ado kayo depati maajum maarah malarik mangaju mangilo mambentang mengukum mengekam dalam negeri. Mana ajum kayo depati baumu, balaman, berternak, bertani, beranak pinak barumah tanggo.
Tentang Si Anu …………… telah mengikuti ajum arah kayo depati, lah baumu lah balaman. Tentang Si Anu ………………. Menegak rumah entah ado tahambik kayu disarang panyengat, kayu bagesut kayu bagiso mintak kito pada Allah yang gagah mintak tunduk yang bena nitak talu, yang sesak mintak lapang, yang hangat mintak dingin. Kereno hamba bersipat kilaf Tuhan bersifat Kedim mintak tapasan aleh tukang kayu sunsang, kayu taralih, kayu batimbang ujung pangkal. Tenang palambo bagito pulo, entah payo lilit payo lingka, tanah lekung jerang kuali melibis dinang hari, gabok ulu tulok, dipintak jugo kepado Allah nan bela mintak ditulak, hangat mintak dingin. Pada hari ini jugo Si Anu…. Telah mengumpulkan suku hindu, darah daging di atas palambo alam adat dunia pakai nabi adat bumbun menyekaro, adat padang kepanasan, adat kito bategak rumah tulang batulung petulangan suku hindu darah daging, tentang kain nan sagabung duo tenan uang sepiah duo sirih baganggang, pinang nan batanduk, beras nan bagantang lah talatak itam ateh nan putih, tentang Si Anu, badan nak sikat iman nak tetap, baladang nak bulih meh, baumu nak bulih padi, tentang tukang bagitu pulo badan nak sihat dalam mengerjokan rumah ini, entah ado lebih dengan kurang kawat dengan talapan, lahir dengan batin salah pado hambo banyakan maaf. Salah pado Tuhan banyakan taubat.
Nasi nan sesuap, gulai nan satangkai, air dan seteguk, sipangkalan bersedekah kepado kito. Ateh dari pado itu kok ado mimpi nan tidak beh, kasih nan kurang, jiko mimpi nan dak beh basamo kito layikan dengan ayat patehah. Jika mimpi yang baik samo kot tampong dengan do’a selamat dan berkat saiyo itulah dapat tetap dengan belang.


CABANG-CABANG PARAGO
Dalam bulan nan duo bleh empat yang kito muliakan:
Bulan Haji
Bulan Maulud Nabi
Bulan Rajab
Bulan Ramadan


UNTUK MANARIK LEK
Lek mandi kayak
Sunat rasul
Tabung tindek
Tamat kaji
Menerimo menantu

Kapan berniat ibu dengan bapok bersangi mamak dengan malangok, tibo dibanja ayam bakukok, tiko di dusun tabuh babunyi ado niat mako ado sangi. Mano adat tarik lah takapak, beras nan bagantang, sirih nan baganggang, pinang nan batampuk. Jiko tidak nan sado itu, kok putus nan batali kok sekah nan badahan. Kino ini sekar dikampoh woknyo libo, sekar di uleh woknyo panjang, jangan pulo dikampuh libo cabik, diuleh panjang putus, ateh pulo dari pado itu yang menarik dan yang keno tarik kalau ado lebih kurang.


UNTUK URANG KAWIN
Entak belalak entah kaladik.
Mati ditimpok sawo kaluli.
Batunok jugo pamutus kaji.
Tentang si Anu datang sasat dengan saso, tuek dengan nanyo, sirih dengan serampan, jadi nampaknyo pucuk dicinto ulam tibo, awak katuju urang suko. Jadi malam ini didudukkan suku dengan indu darah dengan daging. Karena kito bersuku hidup bersuku mati bersuku. Jika si Anu pergi menyabung lah badita tali ayam berkain tirai keliki, kito suku jugo yang bungkal nan bakatuk uncang nan piawai. Jiko mati kito jugo mengantarkan ka tanah layu. Ini dia kawin kito mengantakan kalapek lamin. Tentang perkawinan dio ini sekarang mintak salamat kepada Allah mintak kambang mintak biak. Tiap sudut kawin talunggak, tiap alang buai tagantung, giginyo belum nyiloh adiknyo lah ado pulo. Kalau ado lebih kurang.


MAMULANGKAN LEK

Tentang si Anu dapat kato nan seluko unding dan sesuai hendak mendirikan rumah karena orang duo laki isteri nak barelek. Tameh tatuek tempat nan rami tatanyo tempat nan banyak. Mako dipanggil suku darah daging, lah kumpul seorang lah kumbul barduo, lah kumpul baduo lah kumpul sagalo. Karena sepangkalan hendak memulangkan lek dan hendak mamulangkan karjo, kepado kito suku indu darah daging.
Bak kato pepatah mengatokannya
kecil limbek gedang limbek
lapan jugo misainyo.
Kecik lek gedang
lek beralek jugo namonyo.
Jiko nan tidak samo kito cari,
nan jauh samo kito jemput.
Jiko ringan samo dijinjing,
jikok nan berat samo kito pikul.
Jiko nan ado samo kito makan
Ateh dari pada itu kareno Tuhan bersifat kadim, hambo bersifat kilaf ragu kareno dek banyak, lupo kareno dek lamo, entah ado suku nan tidak dipanggil. Tentang sepangkalan kok rapat mau menyembah kok kupur mau tubat kok salah mau jugo barutang. Jangan jugo sekah nan badahan putus nan batali kareno kayo entah ado nan tidak terpanggil. Kalau lebih dengan kurang.


LEPEH CEMEH

Cemeh-cemeh bumu di tepi ayiek, arap-arap padi menjadi, cemeh-cemeh ayik pendalam. Cemeh itu ado tigo pakaro: Satu cemeh anak jantan pergi perang. Kaduo cemeh anak batino sakit pinggang. Katigo cemeh batagak rumah. Anak jantan lah pulang dari perang. Anak batino lah melahirkan anak, batagak rumah kayu tidak rusak tidak binaso mintak tarimo kasih kito kepado Allah sebanyak-banyaknyo. Kalau ado lebih kurang.

Lampiran 4.
ASAL-USUL SILSILAH
Alam Lekuk 50 Tumbi Lempur

Ini keterangan asal usul nenek moyang yang berasal dari Gunung Ledang Malaysia, yang bernamo SALUTAN SANG PATI LAUT TAWAR dengan isterinya PUTI SANG BARMO, mempunyai seorang anak laki-laki yang bergelar Si Raja Elok. Sang Pati Laut Tawar dan anaknya Si Rajo Elok berniat untuk mengunjungi daerah asal nenek mereka di tanah Melayu. Untuk mendapatkan izin perjalanan mereka berlayar ke tanah Jawa dengan tujuan untuk meminta izin pada Raja Mataram, yang kala itu diperintah oleh Sultan Indra Bangsawan.
Sesampainya disana, raja Mataram dalam keadaan berduka cita karena meninggalnya putra mahkota kerajaan. Sewaktu diizinkan untuk menemui Sultan Indra Bangsawan, Sultan sangat terkejut karena Si Rajo Elok yang menghadapi bersama kedua orang tuanya itu mirip sekali dengan purta mahkota yang sudah meninggal. Oleh Sultan Indra Bangsawan keluarga yang menghadapi dari Gunung Ledang tersebut diminta untuk menetap untuk beberapa lama dalam lingkungan kerajaan sebagai pelipur lara sang Sultan. Si Rajo Elok diangkat sebagai anak oleh Sultan Mataram, diberi gelar Sultan Indra Bangsawan Syah. Semasa di Mataram si Rajo Elok ikut membantu orang tua angkatnya mengatur pemerintahan di Kesultanan Mataram.
Setelah beberapa lama tinggal di dalam lingkungan kerajaan, mereka meminta izin untuk dapat berangkat ke tanah Malayu. Akhirnya Sultan Mataram memberikan mereka Surat Pas jalan untuk menemui raja Melayu yang waktu itu adalah Adityawarman. (Surat Pas Jalan si Raja Elok – Sultan Indra Bangsawan Syah – Sigindo Sakti atau Ninek Muning panggilan orang Lempur, oleh masyarakat tersebut masih disimpan oleh masyarakat adat Lekuk 50 Tumbi Lempur sampai sekarang).
Mereka berlayar melalui laut sebelah barat pulau Sumatera, terus menuju ke pusat kerajaan Malayu di Pagarruyung untuk menemui raja Adityawarman. Setelah memperlihatkan Surat Pas Jalan, dan diketahui maksud dan tujuan kedatangan mereka di tanah Melayu, maka Adityawarman pun mengizinkan mereka untuk menelusuri pulau Perca (Sumatera), mereka berjalan menuju bagian Kuala Muko-Muko. Sesampainya di Kuala Muko-Muko mereka meneruskan perjalanan menuju Kualo Manjuto, terus ke Teras Terunjam. Di Teras Terunjam Sang Pati Laut Tawar kawin dengan salah seorang gadis di desa tersebut dan tinggal disana (…..tidak ada keterangan lebih lanjut……?). Sultan Indera Bangsawan Syah meneruskan perjalanan menyusuri Sungai Manjuto sampai di daerah kaki Gunung Kunyit (pada masa sekarang daerah tersebut termasuk desa Lempur). Menurut legenda berada di desa Dewa Rajo dan kawin dengan Mandari Mansis.
Di desa tersebut bekuasa Nabi Yallah dan isterinya Ramiyallah, mempunyai anak 7 (tujuh) orang:
Ketit Hindar Jati turun ke Hiang.
2. Ketit Hindar Bayang turun ke laut Bayang Terus.
3. Ketit Hindar Bungo terus ke bukit Tungkat – Jangkat Sungai Tenang.
4. Ketit Malu tinggal di Gunung
5. Nek Rabiah Banuang turun ke Lunang.
6. Puti Salutan Tali mirat ke laut terus ke Jawa Mataram
7. Nek Mandari Mansis kawin dengan Sultan Indera Bangsawan Syah(Sagindo Sakti)
Sagindo Sakti dan Mandari Mansis mempunyai anak 2 (dua) orang: 1. Mambang Tunggal mirat ke Gunung Bungkuk – Bangka Hulu, dan 2. Mandari Kuning.
Sepenginggal istrinya Mandari Mansis, Sagindo Sakti meneruskan perjalanannya menyuri ulu Sungai Lolo dan sampai di renah padang Lolo Bancah. Disana beliau bertemu dengan Mangku Gunung Rayo. Pemangku Gunung Rayo bertanya kepada Sagindo Sakti mau kemano tujuan beliau, Sagindo Sakti menjawab bahwa beliau akan menuju Bukit Kerman. Terjadi perselisihan antara ke dua orang tersebut sehingga terjadi perkalahian dari Ulu Air Lolo sampai ke Teluk Dalam. Karena sengitnya pertempuran tersebut menyebabkan padang lolo bancah tersebut bertumbangan rata dengan tanah, ini adalah asal-usul daerah tersebut disebut Desa Lolo. Sesudah letih bertempur tidak ada yang kalah-menang, maka suatu ketika berkata Pemangku Gunung Rayo barang siapo diantaro kito yang sampai duluan ke Bukit Kerman kerumah Tuan Daro (itulah orang yang mempunyai tanah ulayat in dan berhak untuk kawin dengan anaknyo Puti Naimeh Bulan atau Puti Rabiah Bulan).
Sagindo Sakti menerima tantangan tersebut, Pemangku Gn. Rayo berlalu mengiliekan Air Lolo lebih dahulu, sedangkan Sagindo Sakti masih tinggal di Teluk Dalam sampai hilang dari penglihatan Pemangku Gn. Rayo. Sagindo Sakti pun berlalu dari Teluk Dalam menuju ke Bukit Kerman ke rumah Tuan Daro. Sesampainya di sana, telah makan sirih sekapur telah habis rokok sebatang barulah tibo Pemangku Gn. Rayo dan berkato Saindo Sakti apo lambat nian tibo, dan karena kalah menurut perjanjian diantara mereka berdua, maka Pemangku Gn. Rayo berkata tentang tanah ini duai dapat menjadi rajonyo sayo menjadi pemerekannyo.
Tuan Daro mempunyai suami bernamo Tuan Syeh Maradun Junjung mempunyai 3 (tigo) orang saudaro:
Tuan Majid menetap di Pulau Sangkar
2. Tuan Syukur menetap di Air Berduri
3. Tuan Daro menetap di Bukit Kerman.
Tuan Daro dan Tuan Syeh Maradun Junjung mempunyai anak bernamo Puti Naimeh Bulan (Puti Rabiah Bulan) kawin dengan Sagindo Sakti, mereka mempunyai seorang anak laki-laki bernamo Rio Tigo Bangso (inilah asal-usul orang Lolo). Puti Naimeh Bulan meninggal dunia dalam umur yang relatif muda.
Sagindo Sakti meneruskan perjalanannya ke daerah Tamiai, Tanjung Muaro Sakiau. Daerah Tanjung Muaro Sakiau adalah dibawah kekuasaan Sagindo Bauk bergelar jugo Depati Muaro Langkap yang mempunyai 3 (tigo) orang anak:
1. Nai Meh Alun kawin dengan Raden Serdang dengan panggilan Tiang Bungkuk Panduko Rajo (berasal dari Jawa Mataram).
2. Nai Meh Kupak kawin dengan Sagindo Sakti.
3. Puti Sanantan Bungo kawin dengan Syeh Marudun di Muaro Talang.
Pada suatu hari mako duduk basamo se isi rumah itu, mako Depati Muaro Langkap menerangkan mimpi beliau sebagai kias kepada menantu nan batigo orang itu. Apo mimpinyo, yaitu melihat matahari bajajar tigo. Pada saat itu tapikir oleh menantunya nan batigo itu, ini adalah kias bahwa ke tigo menantu beliau sama-sama gagah dan kuat. Maka mereka bersepakat untuk berpisah mencari daerah masing-masing. Sagindo Sakti dengan Naimeh Kupak terus menuju ulu sungai ke Dusun Ujung Tanjung Muara Sakiau, Syeh Marudun Muaro Talang dengan Puti Sanantan Bungo terus berjalan menuju Sungai Ipuh ke dusun Sungai Muaro Gading. Sedangkan Tiang Bungkuk Pandika Rajo dengan Puti Nai Meh Alun menetap di Tamiai (Dusun Tanjung Muaro Sakiau).
Sagindo Sakti dan Naimeh Kupak mempunyai anak 2 (duo) orang (asal-usul nenek orang Lempur):
Sitegis, gelar Rio Jibut Pendek kaki (laki-laki)
Sitatam (perempuan)
Dalam pada itu, Sagindo Batinting di Jerangkang Tinggi (Pulau Sangkar) mendengar bahwa Sagindo Sakti tinggal di daerah yang berada dalam kekuasaan beliau. Maka disampaikan pesan dari Pulau Sangkar bahwa Sagindo Sakti tidak boleh menunggu sebagian Ulu Lingkat sebab disitu adalah tanah Rio dan tanah Menti. Oleh sebab itu Sagindo Sakti diberi tigo pilihan, partamo balik ke Pulau Sangkar, kaduo balik ke Serampas dan katigo balik ka Tamiai. Tidak boleh tinggal disitu sebab tanah padat sendi kerajaan yaitu tanah depati orangnyo depati. Sedangkan Sagindo Sakti masih tetap tinggal di Dusun Tanjung Muara Sakiau jugo, mako datang perintah dari Sagindo Batinting kepado Sagindo Sakti mintak seundang puntung dan selepit daun untuk dibawah ke Pulau Sangkar karena di Pulau Sangkar akan ado perhelatan besar.
Sagindo Sakti terus ke Talang Sembilan mako dicabutnya pungo telat tigo batang dahannyo dan batangnya diikat terus dipikul. Setibo di Pulau Sangkar disandarnyo kayu tersebut di balai mako tagireng balai itu. Maka turun Sagindo Batinting dari rumahnyo dan dipatah-patahkannyo kayu tersebut degan tangan dan lututnyo dan berkato begini seharusnyo mengambil puntung duai.
Dapat pulo parintah kapado Sagindo Sakti untuk mengambil daun mako terus Sagindo Sakti ke Maruang Tigo Bane diambilnyo daun lirik segenggam kanan segenggam kiri di bawa ke Pulau Sangkar terus ke balai dan beliau minta kepado orang nan banyak untuk keluar dari balai agar tidak tatimpo daun yang hendak diletakan beliau, tetapi orang dalam balai tidak mengacuhkannyo dan seolah-olah mencemoohkan beliau apo pulo nyuroh kami keluar daun yang dibawah hanyo segenggam kanan dan segenggam kiri. Sagindo Sakti melepaskan darun-daun tersebut dari tangannyo ke dalam balai tersebut sehinggo penuh balai tersebut sampai ke atapnyo tabubung dindingnyo tabukak sehinggo banyak orang yang rusoh dan yang mati ditimpo dan diimpit perkakas balai.
Lek labuh karjo usai di Pulau Sangkar mako Sagindo Sakti minta diri dan balik ke Dusun Ujung Tanjung Muaro Sakiau. Sedangkan sepeninggal beliau, Sagindo Batinting yang tinggal di Pulau Sangkar tidak bersenang hati dan Sagindo Sakti yang meninggalkan Pulau Sangkat juga dengan hati yang tidak senang.
Se sampai di Dusun Ujung Tanjung Muaro Sakiau terus kerumah beliau. Suatu saat Sagindo Sakti mengajak sahabat beliau saudaranyo (dewa di gunung desa di Muara Air segelembai tunggal sigelambai rajo di ulu air, jin seribu jalan di atas, jin seribu jalan bawah, tagguli di pusat guni jin besar di pusat laut, jin kumbang berantai besi nan tegai dari guni segut ke langit) semua terus datang memenuhi seruan bakerjo menebat Batang Air Lingkat maka tetebatlah Air Lingkat hinggo tidak mengilir lagi lebih dan kurang satu tahun.
Suatu saat berpesan Sagindo Sakti ke Pulau Sangkar bahwa tebat akan tabukak dan air besar akan mengalir ke Pulau Sangkar sehinggo orang nan banyak terus melarikan diri tinggal Sagindo Batinting dalam dusun sahinggo dibunyikan orang gung dan redap, surak dan surai telah putus dusun Pulau Sangkar hampir cair, mako turun sahabat dari bukit Malagan Sawo Tuli malingkung Pulau Sangkar maka selamat dusun Pulau Sangkar. Sesudah itu Sagindo Batinting kile ke Jambi tibo di Jambi menjadi Rajo Jambi dengan gelar Pangeran Tamanggung kebun di bukit bertempat di Talang Jauh.
Sagindo Sakti balik bertempat tinggal di dusun Payo Padang Buku basamo dengan anaknyo nan baduo. Rio Jibut Pendek Kaki mempunyai anak Rio Depati Gedang Gigi, anaknyo Rio Panjang Rambut. Anak dari Rio Panjang Rambut adalah Rio Panjang Janggut, anak Rio Panjang Janggut adalah Rio Gedang Dita. Rio Gedang Dita mempunyai anak dua orang Sirimbang Glr. Rio Depati dan Sigitan Glr. Rio Kecik. ***