One site of Kerinci

Kamis, 20 Agustus 2009

Ruwetnya Pengurusan SIUP + TDP:
Saran Untuk Pemerintah Kota/Kabupaten

Oleh. DR. Aulia Tasman, SE, M.Sc

Pemerintah Daerah berkewajiban sekali dalam menata adminstrasi pemerintahan agar pelayanan prima yang selalu didengungkan untuk mencapai pemerintah yang efektif dan efisien dalam menata pembangunan dan kehidupan bermasyarakat, namun sering sekali kebijakan yang diambil sangat bias dengan kenyataan. Kemudahan yang seharusnya diberikan aparat pemerintah sebagai abdi negara dan masyarakat kadang kala menjadi beban yang terlalu berat bagi masyarakat untuk mengikutinya. Kalau terjadi ketidakcocokan antara yang diharapkan dengan kenyataan sering pula pihak masyarakat yang dipersalahkan padahal ‘membangkangnya’ masyarakat terhadap aturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah disebabkan oleh kelemahan dari sistem pemerintahan itu sendiri. Rantai birokrasi yang panjang, biaya pengurusan yang tidak jelas dan tidak transparan, waktu pengurusan yang cukup lama, dan tumpang tindih kepengurusan izin (misalnya) menyebabkan sebagian besar masyarakat enggan berhubungan dengan pemerintah kecuali kalau sudah sangat terpaksa.
Permasalahan yang sedang hangat-hangatnya dibicarakan oleh kalangan pemerintahan kota sekarang ini antara lain bahwa sebagian SPBU dan Pangkalan Minyak Tanah dan banyak sekali unit usaha komersial di Kota Jambi yang tidak mempunyai SIUP dan Tanda Daftar Perusahaan (TDP) padahal sudah sering kali dianjurkan untuk dibuat, malah sampai dengan ancaman penutupan usaha kalau tidak diurus. Himbauan dan ancaman ini tampaknya tidak efektif dalam membujuk masyarakat mengurus izin yang telah disyaratkan oleh pemerintah daerah.
Kita perlu bertanya dan mencari sebab kenapa itu terjadi? Pemerintah Kabupaten/Kota harus mengkolidasi dan koreksi terhadap mekanisme perizinan yang ada pada dinas-dinas yang berkaitan dengan perizinan agar permasalahan yang terus menghambat efektivitas kerja dinas-dinas yang bersangkutan. Kalau tidak demikian pelayanan prima yang diharapkan terjadi dalam masa Otonomi Daerah tidak pernah tercapai.
Sebagai bahan kajian dan masukan bagi pemerintahan kabupaten/kota, khususnya untuk pemerintah Kota Jambi. Berikut ini akan diuraikan pengalaman nyata sebagai konsultan dalam mengurus SIUP dan TDP untuk beberapa perusahaan yang ada di Kota Jambi. Perlu saya garis bawahi bahwa uraian ini bukan untuk menjelekkan kinerja pemerintahan Kota Jambi dan pemerintahan Kabupaten lainnya, melainkan sebagai bahan masukan dalam mempermudah masyarakat mengurus perizinan yang disyaratkan oleh pemerintah. Mungkin saja suka duka pengurusan izin ini tidak disadari oleh pemerintah bagaimana sulit, dan panjang dan ruwetnya pengurusan SIUP dan TDP. Malah ada yang lebih ceroboh bahwa ada satu kabupaten di Provinsi Jambi mewajibkan seluruh perusahaan mengurus SIUP padahal tidak semua perusahaan harus mendapatkan SIUP dari pemerintah kabupaten/kota.
Tidak banyak orang mengetahui bahwa kegiatan investasi terdiri dari dua macam : (1) investasi berfasilitas – misal fasilitas bea masuk, tax holiday, impor bahan baku, penggunaan tenaga kerja asing dan sebagainya, maka izin yang disyaratkan adalah Izin Usaha Sementara (IUS) dan Tetap (IUT-untuk yang sudah komersial) melalui Kantor BKPM dan perpanjangan tangannya Kantor BAPEMPRODA untuk Provinsi Jambi. Perusahaan yang tergolong dalam kelompok seperti Petro Cina, Indosawit Subur, Asiatic Persada, WKS, Lontar Papirus, dan banyak yang lainnya. tidak wajib mendapatkan SIUP karena dalam IUT sudah termasuk izin usaha tetap (IUT), izin ekspor, izin pengolahan dan izin-izin lainnya. Pernah satu kabupaten di Provinsi Jambi mewajibkan perusahaan kelompok ini mengurus SIUP, ini kan teledor namanya ; (2) kegiatan investasi non-fasilitas – seperti pendirian CV, PT dan perusahaan perorangan lainnya ini yang harus memerlukan SIUP dan TDP, sedangkan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) izinnya dari Bank Indonesia Pusat, tidak perlu SIUP dan yang dibutuhkan adalah TDP dari Kantor Walikota dan Bupati setempat.
Berikut ini adalah uraian pengalaman nyata mengurus SIUP dan TDP (kasus untuk Kota Jambi mungkin juga sama dengan kasus di kabupaten), bahwa untuk mengurus SIUP dan TDP memerlukan syarat-syarat (masing-masing dinas/instansi ada yang sama dan ada yang berbeda) sebagai berikut : (1). Izin/advis kelurahan, (2). Akta Notaris Perusahaan, (3). Izin dari Kelurahaan, (4). IMB, (5). Rekening Listrik, Air dan Telepon, (6). Pas Photo pengurus, (7). KTP Pengurus (direksi), (8). Lunas PBB, (9). Izin/advis dari Kecamatan, (10). NPWP, (11) Gambar/denah Bangunan, (12). Rekomendasi Damkar, (13). Retribusi Kebersihan dan Pajak Reklame, (14). IPB, (15). SITU, (16). SIUP
Perusahan tidak untuk kepentingan umum, seperti izin ruko, swalayan, industri batu bata, toko dan lainnya harus melalui 8 (delapan) meja birokrasi, urutannya birokrasi yang harus dilewati sebagai berikut :

No.Dinas/Instansi Izin yang Dikeluarkan Syarat No.
1.Kantor Kelurahan Izin/advis Kelurahan 2, 3, 4, 5,
2.Kantor Pajak No. Pokok Wajib Pajak (NPWP) 1, 2, 4, 6, dan 7
3.Kantor Camat Izin/advis Kecamatan 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, dan 8
4.Bapedalda Izin HO/UU Gangguan 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, dan 8
5.Dispenda Pajak Reklame dan Retrb. Kebersihan 1, 2, 3, 4, 5, 7, dan 8
6.Dinas Tata Kota SITU 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, dan 13
7.Dinas Perindagkop SIUP 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 13 dan 14
8.Kantor Walikota Surat Tanda Daftar Perusahaan (TDP) 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 13, 14, 15, dan 16
Sedangkan untuk perusahaan yang berhubungan dengan kepentingan umum, seperti rumah sakit, bank, SPBU, Koperasi dan lainnya harus melalui 11 (sebelas) meja birokrasi, urutan pengurusan yang harus dilewati adalah :

No.Dinas/Instansi Izin yang Dikeluarkan Syarat No.
1.Kantor Kelurahan Izin/advis Kelurahan 2, 3, 4, 5,
2.Kantor Pajak No. Pokok Wajib Pajak (NPWP) 1, 2, 4, 6, dan 7
3.Kantor Camat Izin/advis Kecamatan 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, dan 8
4.Bapedalda Izin HO/UU Gangguan 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, dan 8
5.Dispenda Pajak Reklame dan Retrb. Kebersihan 1, 2, 3, 4, 5, 7, dan 8
6.Dinas Tata Kota Surat mendapatkan rekomendasi Damkar Tidak pakai syarat
7.Dinas Damkar Surat Rekomendasi Kebakaran 2, 3, 4, 8, 9, dan 11
8.Dinas Tata Kota Surat IPB 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 12, dan 13
9.Dinas Tata Kota SITU 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, dan 14
10.Dinas Perindagkop SIUP 1, 2, 3, 4, 5, 7, 8, 9, 10, dan 15
11. Kantor Walikota Surat TDP 1, 2, 3, 4, 5, 7, 8, 9, 10, 15 dan 16

Belum lagi kalau gedung yang dipakai belum mempunyai IMB, maka perusahaan yang bersangkutan harus mengurusnya terlebih dahulu, kalau tidak maka tahapan di atas tidak dapat dilalui. Syarat-syarat untuk pengurusan IMB juga cukup banyak dan harus mengalami liku-liku birokrasi yang berbelit pula. Ditambah wajib AMDAL bagi perusahaan besar seperti Mall, Bank dan lainnya atau paling kurang harus mempunyai RPL (rencana pengolahan limbah) yang akan berhadapan pula dengan instansi Bapedalda dan Tata Kota kembali.
Mekanisme pengurusan ini hampir berlaku pada semua daerah kabupaten/kota di Provinsi Jambi. Terlihat disini tidak ada koordinasi sama sekali antar dinas/instansi, masing-masing membuat persyaratan tersendiri, dan bagi perusahaan yang ingin mengurus izin-izin tersebut terpaksa dan harus melalui urutan meja birokrasi di atas. Banyak perusahaan yang harus memenuhi syarat-syarat tumpang tindih dan dicopy berkali-kali, tetapi diminta kembali dan kembali. Belum lagi masing-masing dinas/instansi mengklaim bahwa izin melalui kantornya berkisar antara seminggu sampai sebulan. Coba bayangkan berapa bulan yang harus dilewati oleh perusahaan yang ingin mengurus izin sampai TDP, belum lagi kepala dinas/instansi yang tidak berada di tempat yang tidak dapat diwakili oleh bawahannya, kadang kala membutuhkan waktu yang lebih lama lagi, paling cepat mencapai waktu yang harus dikorbankan sampai selesai TDP adalah 4 bulan. Yang lebih menyakitkan lagi ada dalam satu dinas bergeraknya bahan kepengurusan harus dibawa sendiri oleh pemohon yang bersangkutan kalau tidak maka bahan kita akan mentok hanya sampai di meja yang bersangkutan. Misal kalau bahan kita sudah sampai pada bidang kepengurusan IPB setelah kita mengurus rekomendasi Damkar kita harus minta surat untuk membayar pajak reklame dan retribusi kebersihan pada Dispenda, kemudian dibawa kembali ke Dinas Tata Kota, yang saya alami seharusnya selesai IPB, dapat langsung bergerak ke bidang pengurusan SITU dalam mekanisme kantor itu sendiri, namun sempat lama tertahan karena yang ‘mendap’ dibagian IPB. Kita harus ambil bahannya kembali lalu kita antar ke bagian SITU, disini terasa sekali betapa tidak efisiennya mekanisme kerja suatu instansi. Bagi kita yang sebagai pemohon merasa bosan dan lelah menghadapi hal yang demikian.
Pada sisi lain, birokrasi yang sangat ruwet dan bertele-tele, waktu yang digunakan cukup lama, malah biaya yang dibebankan sangat tidak transparan, mulai yang dibebankan antara Rp. 250.000 sampai jutaan rupiah untuk satu surat izin. Memang ada yang menetapkan secara resmi, namun pasti ada biaya tambahan yang harus dibayar perusahaan yang jumlahnya tidak menentu, dan kadang-kadang tergantung pula pada jenis usahanya apakah merupakan ‘lahan kering atau lahan basah’. Kalau ‘lahannya berair’ maka beban biaya tambahan pasti akan lebih banyak. Kadang kala sering pula ditemui bahwa besarnya biaya ditentukan pula oleh siapa pemilik perusahaan, maaf, untuk teman kita yang warga keturunan atau untuk kelompok etnis tertentu sering pula diminta dibayar lebih dengan berbagai dalih, walaupun tidak semua dinas/instansi bertindak sama.
Inilah sabagian liku-liku yang pernah saya alami sebagai konsultan dalam penyusunan studi kelayakan dan pendirian badan usaha yang notabene memang waktu sudah disediakannya untuk kepengurusan izin tersebut. Sangat tidak terbayangkan oleh kita kalau yang mengurus tersebut adalah pemilik perusahaan yang harus memikirkan kelancaran usahanya sekaligus ketakutan diperiksa oleh instansi pemerintah mengenai perizinan. Ketakutan sebagian ‘kelompok keturunan’ mengurus sendiri merupakan bagian yang paling sulit yang harus mereka lalui. Tetapi yang pasti, saya tidak yakin kalau perusahaan tidak ingin mengurus perizinan yang diperlukan kalau tidak karena keruwetan prosedur kepengurusan yang disyaratkan oleh instansi pemerintah itulah yang menjadi momok bagi mereka.
Berdasarkan informasi dan pengalaman aktual tersebut, saya rasa pemerintah daerah perlu melakukan reposisi terhadap prosedur pengurusan izin, konsolidasi antar instansi perlu dilakukan secara cepat agar prosedur dan proses pengurusan dapat dipermudah dan dipercepat. Kalau tidak jangan disalahkan pengusaha yang tidak ingin menguruskan SIUPnya, alangkah tidak adilnya kalau kita menyalahkan mereka pada hal pelayanan dari dinas/instansi pemerintah yang menyebabkan mereka enggan untuk mengurus izin yang diperlukan. Sangatlah ironis pada satu sisi kepala daerah ‘berkoak-koak’ kami siap menerima sebesar-besarnya bagi para investor untuk menanamkan modalnya di daerah masing-masing, namun disadari atau tanpa disadari ternyata perngkat yang dimiliki tidak mendukung, hanya untuk pengurusan izin mereka harus mengalahi hal-hal yang sangat menghambat masuknya kegiatan investasi. Kata ahli-ahli ekonomi ”pembanguan suatu daerah tidak akan pernah maju kalau peran swasta tidak diberdayakan , pemerintah pasti tidakkan mampu untuk menggerakkannya sendiri”. Oleh sebab itu ada beberapa langkah yang disarankan untuk mengatasi permasalahan di atas: (1). pemerintah daerah harus melakukan konsolidasi antar instansi agar dapat dibentuk pelayanan satu atap atau yang lebih sederhana, (2). bagian-bagian yang ada dalam satu dinas/instansi yang berhubungan dengan salah satu syarat di atas dapat saja menyerahkan sebagian wewenangnya pada dinas yang ditunjuk atau dibentuk sendiri, (3) biaya-biaya harus transparan sehingga PAD dapat ditingkatkan, (4). syarat-syarat yang perlu dipenuhi oleh pengusaha cukup untuk meja birokrasi yang lebih awal, sedangkan berikutnya jangan diminta lagi syarat-syarat yang sama, (5). melakukan pemutihan untuk hal-hal tertentu, (6). demi untuk meningkatkan PAD dapat saja tarif izin yang diperlukan disesuaikan dengan letak strategis perusahaan tapi harus jelas ada Perda yang mengaturnya, dan (7). membedakan jenis SIUP berdasarkan besar kecilnya perusahaan, kadang tidak logis SIUP untuk Mall sama dengan SIUP untuk toko manisan kecil, biaya, beban dan waktu yang disediakan juga sama.***

Rabu, 05 Agustus 2009

Dikutip dari Buku "Menelusuri Sejarah Kerajaan Melayu Jambi"
oleh; Dr. Aulia Tasman, SE, M.Sc

Bab 14
PEMERINTAHAN DEPATI IV ALAM KERINCI
Periode Abad ke 13 dan 14

1. Kerinci Pasca Sriwijaya
Menurut sejarah Kerajaan Sriwijaya mulai berdirinya dari abad ke 7 samapai ke abad 13 tidak sampai masuk (menduduki) wilayah Kerinci Tinggi. Walaupun setelah kerajaan ini dapat menaklukkan wilayah Kerinci Rendah sesuai dengan bunyi Prasasti Karang Berahi tahun 686 M, kerajaan Sriwijaya tercatat tiga kali menyerang wilayah Kerinci Tinggi, namun dapat dicegat oleh pasukan Sigindo Sigarinting (pemimpin Alam Kerinci waktu itu). Pertempuran terdahsyat terjadi di daerah Telaga Darah (Bukit Malagan)di Kecamatan Merangin sekarang, pasukan Sriwijaya terpaksa angkat kaki meninggalkan pertempuran, dan semenjak gagalnya serangan ketiga kalinya tersebut kerajaan Sriwijaya tidak pernah lagi masuk sampai kepedalam Bukit Barisan.
Penataan kelembagaan di Alam Kerinci dimulai lagi semenjak abad ke 9 Masehi membuat Wilayah Kerinci Tingi dan Kerinci Rendah semakin kondusif, karena pengawan kerajaan Sriwijaya tidak begitu ketat lagi dan negeri-negeri di Kerinci Tinggi menunjukkan perkembangan yang pesat membuat pemuka negeri Kerinci Rendah berusaha pula untuk membenah diri. Situasi negeri-negeri di Kerinci Rendah, kehidupan masyarakat mengalami kemajuan yang berari dan semakin tertata dengan baik. Kehidupan ekonomi rakyat yang lebih telah menciptakan suasana kehidupan bermasyarakat yang tentram dan damai. Dlam suasana yang kondusif ini, para pemimpin negeri dan tetua masyarakat dapat sedikit leluasa memikirkan perkembangan dan pertumbuhan negeri bagi kepentingan rakyatnya.
Proses penataan kelembagaan rakyat di Kerinci Rendah sesudah berakhirnya pendudukan Sriwijaya sudah mulai ditata kembali. Pimpinan negeri sudah dapat dipilih secara demokratis berdasarkan ketentuan adat yang disepakai dan pemerintahan negeri telah dapat berjalan dengan baik. Negeri-negeri di daerah Kerinci Rendah telah dapat dikelompokkan dalam payung kesatuan komunitas yang lebih besar. Proses penataan
kelembagaan rakyat Kerinci Rendah berlangsung secaa alamiah, dimana samapai pada kesepakatan untuk mengsngkronkannya dengan kondisi tata kelmebagaan mayarakat di Kerinci Tinggi. Kesepakatan itu ditempuh erdasarkan pada keinginan mayoritas
rakyat untuk kembali bersatu dalam satu wada sebagai mana pernah terjadi sebelumnya.
Pada masa ini diperkirakan sudah terdapat kurang lebih 100 dusun di bagian utara dan 100 dusun di bagian selatan dari Danau Kerinci. Masing-masing dusun telah tertata dengan mempertimbangkan aspek geografis dan genologis. Salah satu ciri khas dari dusun di sini adalah terdapatnya pembatas dengan menggali parit bersudut 4 disekelilingnya dan 2 buah pintu untuk masuk dan keluar yang pada umumnya searah. Parit digali dengan lebar kurang lebih 2 meper dengan keladalaman 2,5 meter,
sehingga binatang buas atau orang yang bukan penduduk dusun sulit untuk masuk kecuali melalui pintu yang ada. Bentuk penataan ini disebut dengan dusun berparit empat berlawang dua. Pada masa ini, antara sebuah dusun dengan banyak dusun lainnya telah dihubungan denganlintasan jalan kecil yan gpermanan dan lintasan jalan setapa yang setiap waktu dapa tdilalui. Bisa dikatakan tiak ada dusun yang terisolir yang tidak bida dihubungi.
Mengenai keberadaan jalan-jalan penghubung yang telah ada sebelum abad ke 14 sebagaimana diutarakan di atas dicata oleh E.A. Klerks (1987:7-8). Boleh dikatakan mulai abad ke 10 Masehi lintas jalan permanen yang menghubungkan Kerinci dengan daerah luar dan lintasan jalan permanent yang menghubungkan antar negeri dan antar
dusun di wilayah Alam Kerinci sugah sangat banyak. Banyaknya lintasan jalan ini jelas menunjukkan mobilitas penduduk cukup tinggi pada waktu itu. Hal ini berarti pula bahwa interaksi penduduk antar negeri, antar desa dan antar negara berlangsung
dengan baik. Adanya interaksi antar penduduk tentunya mendatangkan berbagai perubahan baik secara fisik (pembangunan) maupun nonfisik (sikap dan budaya) yang
mendatangkan berbagai perubahan.
Dalam pengaturan kehidupan baik secara publik maupun individu berkembang pula dengan baik. Perkembangan dapat dilihat mulai tertatanya berbagai ketentuan hukum adat tentang negeri, pengaturan perkawinan, pengaturan tentang waris dan harta pusaka, dan kententuan mengenai perjanjian. Peranan tetua adat, pemuka masyarakat dan cerdik pandai pada saat itu turut memberikan sumbangan yang besar terhadap anak negeri. Pada
saat itu berkembang pula seni budaya masyarakat seperti menari, menyanyi dan musik. Pada saat-saat tertentu dilakukan pertunjukan seni budaya seperti kenduri Sko, kenduri setelah panen, dan kenduri adat lainnya. Perayaan kenduri sekaligus
merupakan ajang silaturahmi di antara penduduk negeri di Alam Kerinci dan dengan negeri-negeri tetangga.

2. Kerinci dan Kedatangan Islam
Perkembangan lain yang mendatang perubahan besar dalam masyarakat di sekitar abak ke 12 M dan 13 M adalah masuknya agama Islam ke Alam Kerinci. Agama Islam masuk ke Kerinci dari Barus sebuah daerah Islam di Selatan serta dari Gujarat (India). Barus sudah dikenal semenjak abad 11 Masehi berdasarkan pemberitaan Ptolemaeus yang menyebutkan dengan nama Baroussai. Salah satu perkampungan Islam yang dikenal di
Barus terletak di atas sebuah bukit kecil di tepi pantai bernama Mahligai. Di sini ditemukan makam bernisan bertuliskan Siti Tuhar Amisuri (612 H atau 1206 Masehi). Selain itu terdapat prasasti berbahasa Tamil di Lobu Tuo (abad 11 Masehi) yang
menyebutkan terdapatnya pemukiman pedagang Tamil di daerah ini.
Penyebaran Islam ke Kerinci dilakukan pedagang Arab dan Tamil yang berniaga dengan orang Kerinci yang sering mengunjungi bandar Pelabuhan Muko-Muko, Air Dikit, Ipuh,
Seblatm, Bantan, Ketaun dll. Selain itu, pedagang Arab dan Tamiai banyak pula yang mengunjungi negeri-negeri orang Kerinci terutama yang berdekatan dengan negeri-negeri di sekitar pantai Barat. Siar agama Islam di Kerinci diyakini pada abad ke
13 M sebagain dari penduduk Kerinci sudah memeluk agama Islam. Oleh sebab itu, diyakini paa abad ke 13 Masehi sebagian besar dari penduduk Alam Kerinci sudah memeluk Islam.
Masuknya Islam telah memberikan warna tersendiri dalam perkembangan kehidupan masyarakat. Di mana-mana sudah berdiri surau-suratu dan mesjid, kegiatan keagamaan tampak dalam kehidupan sehari-hari seperti membaca Al Qur’an, sholat berjemaah, sholat-sholat lain. Adanya agama Islam lahu hadir ditengah masyarakat para pemuka agama, kadhi, imam, khatib, bilal dan garim. Keadatangan Islam telah mengukuhkan pegangan hidup masyarakat Kerinci. Masyarakat mempunyai dua pegangan dalam mengatur tata kehidupan mereka yaitu adat istiadat yang mereka warisi dari nenek moyang dan agama Islam sebagai tuntutan dari Allah. Panduan ini menjadi pegangan hidup
masyarakat di Alam Kerinci yang sering disebut dalam seluko (pepatah) adat berbunyi: Adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah (Al Qur’an), syarak mengato, adat memakai.

3. Asal Daerah Kedepatian
Sebelum penduduk Kerinci menganut agama Islam pengaturan masyarakat dengan hukum adat. Sebagai acuan berlaku tata krama adat bersendi patut, patut bersendi benar. Setelah masyarakat Kerinci menganut agama Islam (Syiah) yang dikembangkan pertama kali oleh Syekh Samilullah yang datang dari pantai barat Minangkabau pada abad ke-13 M. (Tambo Incung Kerinci). Mulailah berlaku pengaturan adat dan agama dengan dasar adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah. Aliran Syiah ini mengingat pada waktu itu masa jayanya pemerintahan Khalifatul Fatimiyah pada abad ke-12 di Mesir
sebagai pelindung Islam Syiah, kerajaan ini memiliki hubungan dagang dengan Pulau Sumatera. Tentu sudah ada penduduk Sumatera yang terpanggil dan menganut agama Islam terutama penduduk pantai.
Seiring dengan terjadinya berbagai perubahan dalam kedhiupan masyarakat, penataan kelembagaan masyarakat di Kerinci Rendah berlangsung terus. Sementara itu, di daerah Kerinci Tinggi pada sekitar akhir abad ke 15 telah terjadi perubahan besar dalam sistem kelembagaan masyarakatnya. Daerah Kerinci Tinggi sebelumnya terdiri atas beberapa tanah Pamuncak yang dulu sekarang berubah pemerintahan Depati. Pada abad ke-16 kemudian baru muncul depati-depati yang mendaulatkan diri sebagai akibat dari konstelasi politik antara kerajaan Jambi dan Minangkabau yang intinya ingin memasukan Kerinci kedalam salah satu kerajaan tersebut. Raja Minangkabau waktu itu ialah Yang Dipertuan Berdarah Putih yang bergelar Sultan Mardu Alam Kalifatullah Syah dan Raja Jambi ialah Pangeran Temenggung Kabul Dibukit. Dari keadaan inilah timbulnya kelompok-kelompok yang disebut Depati Empat Delapan Helai Kain dan Depati Empat Tiga Helai Kain yang berdaulat di atas kesatuan geneologis teritorialnya masing-masing.
Depati adalah gelaran kepala daerah yang menguasai beberapa dusun dan oleh rakyat dianggap sama dengan raja-raja juga. Putra Tuangku Magek Bagonjong yang tua adalah Sultan Maharajo Aro dengan gelar Depati Talago (mulai jadi). Wilayah kekuasaan
beliau meliputi daerah bagian utara termasuk disekitar Danau Kerinci (sekarang). Makanya danau Kerinci dulunya bernama Danau Depati Rencong Telang. Sedangkan anak kedua beliau bernama Sultan Maharajo Gerah memakai gelar Depati Sangkar (mulai jadi). Daerah kesuasaan beliau adalah dibagian hilir sampai ombak nan badebur di Muko-Muko.Dalam kelembagaan pemerintahan Depati sebagai pewaris kerajaan Pamuncak, setiap depati yang mengemban tugas-tugas pemerintahan keluar wilayah maka pemangku adat itu menyandang gelar Depati Rencong Telang.
Tanah Kerinci terbagai atas dua bagian. Yang pertama: “Negeri Delapan Helai Kain” namanya berwatas dengan Kerajaan Indrapura dan Muko-muko. Yang kedua: “Negeri Tiga Helai Kain” namanya. Rakyat Kerinci berpendapat bahwa negeri itu terbagi atas empat buah negeri saja. Negeri Tiga Helai Kain dianggap tiga negeri yang mempunayi status kenegerian masingmasing dan Negeri Delapan Helai Kain dianggap hanya satu
negeri saja.
Dari bagian negeri-negeri di atas ini dinamakan wilayah Depati Empat Helai Kain diatas dan yang lainnya Tiga Helai kain dibawah. Watasnya ke sebelah timur ialah dari Batang Merangin yang keluar dari Sungai Tembesi masuk ke sungai Batanghari
dalam bahagian tanah Jambi. Apa sebabnya daerah-daerah di Kerinci ini mempunyai nama
yang agak aneh itu? Berikut inilah kisahnya: Di zaman dahulu semasa Kerinci dibawah kekuasaan Jambi. Untuk wakil-wakil raja di daerah ini dikirm seorang wakil atau
penguasa yang digelari: Pangeran Tumanggung Kebaruh Di bukit, namanya. Konon kabarnya Pangeran in berasal dari seorang pembesar Majapahit di Jawa. Ia didudukkan di Muara Mesumai bagian Merangin. Sebenarnya pangeran itu didudukkan disini ialah dengan alasan politis supaya mudah memungut pajak. Pajak di daerah ini tidak disebut dengan ”emas mana” seperti di Minangkabau tetapi disni dinamakan ’Jajaj’, yang berasal dari kata daerah Jambi atau Kerinci.
Sebelum kedatangan pangeran ini pemungutan pajak atau jajah ini kurang lancar di darah Kerinci. Tetapi sesudah adanya Pangeran ini pemungutan pajak ini berjalan lancar. Dan raja-raja Jambi ini dahulunya berasal dari Minangkabau seorang puteri
bernama Puti Salaras Pinang Masak. Pemerintahan yang teratur dari kerajaan Jambi dimulai kira-kira pada permulaan tahun 1460 Masehi. Pangeran Tumanggung ini pandai dan bijaksana. Dengan manis dan ramah tamah dibujuknya kepala-kepala adat di Kerinci dan tak segan-sgan ia memberi hadiah-hadiah yang mahal kepada kepala-kepala adat itu. Kebijaksanaan perama dalam memberi hadiah ini dilakukan di : Tamiai, Pulau Sangkar dan Pangasih.
Kepala yang tiga buah negeri ini diberinya hadia sejenis kain sutera yang bernama ’Sabulluki-luki’. Semenjak itulah ketia negeri ini bernama Negeri Tiga Helai Kain, dan sebagai halusnya kain sutera dan licinnya kain sabulluki-luki itu Pangeran
semenjak itu daapat memungut jajah dengan lancar. Kepala dari Tamiah bernama Raden Serdang yang berasal dari Jawa. Gelaran ini kemudian diganti oleh Raja Jambi dengan namaDepati Muara Langkap Tanjung Sakiau. Kepala dari Pulau Sangkar bergelar Depati Rantau atau Rencong Telang. Kepala dari Pengasih bergelar Depati Biang Sari dan gelar turuntemurun bagi mereka. Depati Muara Langkap daerahnya sampai ke Pangkalan Jambu dan sebenarnya daerah ini termasuk wilayah Kerajaan Pagarruyung. Dibagian ini orang gedangnya tidak bergelar depati hanay dijalankan oleh ”Datuk yang Berempat” dibantuoleh ”Manti yang Bertiga”.
Bagian utara tanah Kerinci bernama ”Tahan Hiang” dan kepala tertingginya dahulu bergelar ”Indera Jati” karena menurut keterangannya ialah daerah berasal dari ”Dewa Atas Kayangan”/Sewaktu Pangeran Tumanggung datang ke dareah ini dengan membawa kain-kain hadianya barulah diketahuinya bahwa ada lagi tuju orang kepala suku yang patut diberi hadiah. Setelah timbang menimbang sejenak maka Pangeran memutuskan membagi dua kain itu. Yang separo dihadiakannya kepada Depati yang dari ’langit’ (Hiang) dan yang separo lagi dibagi tujuh dan dibagi-bagikannya kepada kepala suku yang tujuh itu.
Semenjak itu pulalah daerah itu dinamakan ”Delapan Helai Kain”. Raja Jambi memberi gelaran kepada Depati Indra Jati dengan Depati Batu Hampar dan digelari juga ” Depati Tiang Tungal”. Dari kepala-kepala yang bertujuh itu yaitu dua orang dari
Rawang bergelar ”Depati Muda Manggala Batarawang Lido’ dan Depati Cahaya Negeri. Dari Kerapatan dijadikan Raja Muda Pangeran. Dari Semurup dinamakan Depati Kepala Sembah. Panawar dan Seleman diangkat Depati Kuning, di daerah sekitar Sekungkung diangkat Depati Tujuh, Depati Penawar dan Depati Taroh Bumi.
Di negeri-negeri Tiga Helai Kain pelaksana pemerintahannya dibawah depati disebut Mangku atau Depati Empat. Pemangku Kelima yaitu menjadi kepala dusun-dusun di Kerinci. Penghulu-penghulu Datuk Keempat Suku dan Tungganai tidak dikenal di daerah Kerinci. Dalam dusun yang didiami oleh beberapa kaum dinamakan Kalebu yang dikepalai oleh Tua Kampung dan dipanggil mamak atau ninik mamak.
Kalau ada rapat dengan negeri Delapan Helai Kain di adakan di Tanah Hiang. Dan jika membicarakan hal-hal yang mengenai negeri Tiga Helai Kain diadakan di Sanggaran Agung yang dijuluki juga ”Tanah Pertemuan Raja”.
Darah disekitar Sungai Penuh dan Pondok Tinggi diperintah oleh pemuka adat yang bergelar: Datuk Cahaya Depati Singarapi yatiu menjabat mangku bumi sebagai cerminan raja. Dan dibawahnya itu ada lagi yang bernama Pegawai Raja atau Pegawai Jamah.
Meskipung Kerinci berada dibawah kekuasaan Raja Jambi tetapi Raja Jambi tidak langsung ikut campur dalam struktur pemerintahan dalam daerah Kerinci seperti yang dilakukan oleh Raja Pagarruyung. Segala urusan dalam negeri diselesaikan oleh
Rakyat Kerinci sendiri. Mereka kurang senang kalau hal-hal semacam itu ikut dicampuri oleh Raja Jambi. Sebab itu ada pepatah adat Kerinci yang mengatakan: ”Orang Kerinci Semboh be Rajo”. Mereka tidak suka Raja ikut campur dalam mengurus soal-soal dalam negeri mereka tetapi mereka mau membayar pajak yang seperti emas manah bagi rakyat Minangkabau itu dan pada mereka dinamakan: ”sembah raja” atau jajah.
Sebagai mana juga di Minangkabau jajah ini dibayar sekali tiga tahun dan dibayar kalau raja sendiri yang datang memungutnya. Kalau raja berhalangan datang maka dikirimkan raja wakilnya yang bernama ”Jenang”. Tetapi Jenang yang datang sebagai wakil raja dengan membawa tanda-tanda yang resmi dan kalau tidak jajah tidak akan keluar. Jenang itu harus membawa tanda kerajaan yang bernama ”Pandiko” atau kebesaran raja. Kebesaran atau pandiko inilah berupa sebilah keris ksati yang bernama ”Siginjai” dan ”Kalkati Bergombak Emas” yaitu kacip pinang yang berombak emas. Kebesaran raja inilah yang diperlihatkan kepada raja Kerinci yang hanya diperlihatkan kepada Depati saja. Jadi Jenang itu datang harus membawa keris Siginjai itu, menurut kepercayaan rakyat Kerinci karena keramat dan tuah keris itulah
rakyat mau saja membayar uang jajah itu.
Besarnya uang jajah itu ialah kira-kira setenah tahil emas dari tiap-tiap dusun yang kalau dibawa kepada uang Belanda kira-kira sama dengan f 30 (tiga puluh rupiah). Ini berarit sama dengan hagara seekor kerbau yang sudah besar atau sama dengan 10 @
12 pikul beras. Pembayaran yang lebih besar setahil separo yaitu kira-kira f 75. Pembayaran ini boleh juga berupa bahan natura seperti beras atau padi.
Di sebelah Timur Kerinci dibagian hilian Batang Merangin yang membujur dari barat ke timur disanalah dareah Tiga Helai Kain. Nageri ini dikepalai oleh tiga orang Depati yang pertama bergelar Depati Setio Beti yang kedua Depati Setiyo Rajo dan yang ketiga
Depati Setiyo Nyato. Daerah yang diperintahnya terletah masing-masing dari Tantan sampai ke bawah dari Mesumai. Seterusnya ada pula kampung Raja Muara Masumai dan Taluk Bandaro yang dinamakan Batin Sembilan yang terletak di Muara Sungai Tantan yang masuk ke Merangin dan akan bermuara di Sungai Tembesi. Di hiliran sebelah selatan dari sungai Tembesiyaitu dari barat ke timur adalah negeri Luak Batin Enam Belasdan Batin Selapan da kedua negeri Batin ini dikuasai Datuk nan Bertiga dan Batin Lima.
Sepanjang Batang Asai terletak negeri Batin Pangembang yang dikepalai oleh Datuk nan Berempat Suku menjadi cemin dan Gedang sampai ke limun di Bukit Bulan. Di daeah-daerah inirakyatnya berasal dari Minangkabau, Tanah Datar, Solok dan Limo Koto.
Sebelah timur negeri Jambi yang terletak di sebelah hilir sungaiTembesi sesudah Merangin yang sudah hampir ke muara Batanghari adalah negeri Batin Empat Likur Dihulu, terletak diantara Batin yang diperintah oleh tiga orang Depati. Negeri Pangkalan Jambu dikuasai oleh Datuk nan Berempat dan Manti nan Bertiga termasuk ke dalam wilayah Depati Muara Langkap.

4. Pemerintahan Depati IV Alam Kerinci
Perubahan yang terjadi di Kerinci Tinggi sangat mempengaruhi arah dari penataan sistem kelembagaan di Kerinci Rendah setelah pengaruh Kerajaan Sriwijaya berakhir di daerah ini dan sumpah setia Karang Brahi tidak perlu diikuti lagi. Perkembangan ini erat kaitannya dengan keinginan dari sebagian besar rakyat Kerinci Rendah untuk bersatu kembali dengan rakyat Kerinci Tinggi dalam satu payung pemerintahan sebagaimana sebelumnya, mengingat mereka adalah masyarakat serumun. Semangat untuk
menyatukan kembali Kerinci Rendah dan Kerinci Tinggi disepakati para tetua adat dan pemuka masyarakat di ke dua daerah. Untuk itu, melalui bebeapa kali perundingan dalam
mengkonsolidasikan sistem pemerintahan negeri agar tidak terdapat perbedaan yang dapat menyebabkan timbulnya kesulitan dalam penyelenggaraan pemerintahan, maka akhirnya diperoleh kata sepakat untuk menjadikan daeah Kerinci Rendah atas 3 (tiga)
tanah depati dan 2 (dua) daerah khusus. Nama tanah depati diambil dari nama tiga pemangku adat anak dari Kerenggo Bungkuk Timpang Dado yaitu: Setio Nyato, Setio
Rajo dan Setio Beti yang telah berjasa mengabdikan diri dalam melakukan pembenahan negeri-negeri di Kerinci Rendah semasa hidupnya. Adapun ke tiga tanah depati di Kerinci Rendah adalah: Tanah Depati Setio Nyato, Tanah Depati Setio Rajo, dan Tanah
Depati Setio Beti. Sedangkan dua daerah khusus adalah: Tanah Pamuncak Pulau Rengas dan Tanah Pamuncak Pemenang. Pada tahun 1525 Masehi dalam pertemuan di dusun Salambuku tak jadi dari Ujung Tanjung Muara Masumai, disepakati kelima tanah
pemerintahan di Kerinci Rendah bergabung dengan Negari Depati Empat Alam Kerinci.
Perkembangan dari proses restrukturisasi sistem kelembagaan pemerintahan rakyat di Kerinci Tinggi lalu menghasilkan sistem pemerintahan baru yang lebih realistis dan demokratis.
Pemerintahan Pamuncak lalu dihapus dan diganti dengan Sistem Pemerintahan Depati. Berdasarkan pertimbangan geografis dusun dan genealogis komunitas seketurunan maka
tanah Segindo ditata ulang dan kemudian dikelompokkan menjadi tanah depati. Maka terbentuklah Lembaga Pemerintahan Tertinggi di Alam Kerinci dengan nama Depati Empat Alam Kerinci, yaitu Tanah Depati Atur Bumi, Tanah Depati Biang Sari, Tanah Depati Rencong Telang dan Tanah Depati Muara Langkap Tanjung Sekiau. Ke empat tanah depati ini lalu membentuk suatu dewan pemerintahan sebagai mana yang pernah ada pada masa
pemerintahan Segindo Berdirinya Daulat Depati IV Alam Kerinci barulah disebut Depati
IV Alam Kerinci, yaitu lembaga pemerintahan tertinggi dengan mengambil tempat untuk Balai Permusyawaratan di Sanggaran Agung, yang dikatakan ”Hamparan Besar Alam Kerinci”. Di wilayah kekuasaannya diikuti oleh saluko adat yang berbunyi ”Ke Atas Sepucuk ke Bawah Seurat, Sedekum Bedilnya Sealun Suraknya, Ke Hilir Serangkuh Dayung ke Mudik Serentak Satang”. Ini merupakan suatu negara kesatuan yang berdaulat penuh, mempunyai Undang-undang sendiri dan hukum sendiri, tidak berunding ke Minangkabau dan tidak berteliti ke Tanah Jambi. Dalam tingkat lembaga hukum disebut Lembaga Alam.
Dalam permusyawaratan tiap depati membawa kembar-rekan masing-masing sebagai anggota Dewan Permusyawaratan Alam Kerinci di masa itu.
Depati IV Alam Kerinci dibagi dalam bentuk 4 (empat) besar pembagian tanah depati dan fungsi kelembagaan di Kerinci Tinggi yaitu:
1. Tanah Depati Atur Bumi (sama fungsinya sebagai Menteri Dalam Negeri).
2. Tanah Depati Biang Sari (sama fungsinya sebagai Menteri Kehakiman).
3. Tanah Depati Rencong Telang (sama fungsinya sebagai pemegang bedil, kepala pemerintahan).
4. Tanah Depati Muara Langkap Tanjung Sekiau (sama fungsinya sebagai Menteri Keuangan).
Ke empat tanah depati ini lalu membentuk satu dewan pemerintahan sebagai mana pernah ada pada masa pemerintahan Segindo. Pada akhir abad ke 13 sekitar tahun 1292 s/d 1296
Masehi pemerintahan Segindo di Kerinci Tinggi telah berubah menjadi Pemerintahan Depati Empat Alam Kerinci. Wilayah Alam Kerinci kembali menjadi satu kesatuan kekita
disepakatinya wilayah Kerinci Rendah menjadi bagian dari Negara Depati Empat Alam Kerinci melalui Persetujuan Salambuku pada tahun 1525 Masehi.

5. Wilayah Pemerintahan Depati IV
Penguasaan terhadap wilayah Alam Kerinci dinyatakan lebih tegas lagi sejarah pada masa pemerintahan Depati Empat. Disebutkan bahwa kekuasaan pemerintahan Depati Empat
wilayah Alam Kerinci dinyatakan meliputi daerah Kerinci Tinggi dan Kerinci Rendah. Bila dilihat sekarang daerah tersebut mencakup luas wilayah yang terdiri dari Kabupaten Kerinci, Kabupaten Merangin semuanya dalam Wilayah Provinsi Jambi. Pada daerah Kerinci Tinggi terdapat 4 buah tanah dengan ke empat tanah depati itu adalah:
1. tanah Depati Atur Bumi. Berwatas dengan Kerajaan Manjuto dan Dapati Biang Sari. Daerah Takluknya Kerinci Hulu VIII Helai Kain, sampai Siulak Tanah Sekudung.
2. tanah Depati Biang Sari. Wilayah takluknya Pematang Tumbuk Tigo Sungai Tabir, Rantau Panjang, Pelepat, sampai Pulau Musang, Tanung Simalidu (lihat Tambo “Raden Syari,Jambi).
3. tanah Depati Rencong Telang. Berwatas dengan Dapati Biang Sari di Pengasi. Sejak dari Sebih Kuning Muaro Saleman sampai Alam Pamuncak Nan Tigo Kaum (Kerajaan Manjuto).
4. tanah Depati Muara Langkap Tanjung Sekiau. Berwatas dengan dengan wilayah Depati Rencong Telang sampai Sungai Bujur – Perentak – Pangkalan Jambu.
Ketinggian letak geografis ke empat tanah depati tersebut,menyebabkan dataran itu disebut dengan Empat di Ateh (daerah empat di atas), yang sekarang telah menjadi Kabupaten Kerinci,Kecamatan Muara Siau dan Jangkat. Kedua kecamatan yang disebutkan, termasuk dalam wilayah Kabupaten Merangin.
Daerah Kerinci Rendah adalah wilayah yang berada di sebelah timur Kerinci Tinggi pada kaki pergunungan Bukit Barisan. Topografi daerahnya berbukit-bukit dan disini mengalir banyak sungai denan arus air yang tenang, tidak berbatu dan permukaannya lebar, shinga dapat dilayari kapal kecil. Kondisi sungai tersebut sangat berbeda dengan sungai-sungai yang terdapat di Kerinci Tinggi yang pada umumnya berarus deras,
beriam, berair terjun (telun), berbatu dan berpermukaan sempit.Sekarang wilayah ini berada dalam daerah Kabupaten Merangin yaitu kecamatan Sungai Manau, Bangko, Pemenang dan Tabir (Rantau Panjang).
Pada wilayah Kerinci Rendah terdapat tiga Tanah Dapati dan dua daerah khusus dari Pemerintahan Depati Empat Alam Kerinci.Tanah depati dimaksud adalah:
1. tanah Depati Setio Nyato, - Tanah Renah
2. tanah Depati Setio Rajo, - Lubuk Gaung
3. tanah Depati Setio Beti (Bhakti), - Nalo.
Ketiga Depati ini waris depatinya dari Pulau Sangkar, anak Puti Lelo Baruji, sehingga sampai sekarang disebut: Tigo Dibaruh Anak Batino Pulau Sangkar”.
Sedangkan daerah khususnya adalah:
1. tanah Pemuncak Pulau Rengas
2. tanah Pemuncak Pemerap Pemenang.
Ketiga tanah depati dan dua daerah khusus itu, karena letaknya berada pada ketinggian jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan daerah Kerinci Tinggi maka disebut dengan daerah Tigo di Baruh atau daerah tiga di bawah. Dalam pepatah adat yang menyebutkan tentang kekuasaan pemerintahan Depati Empat Alam Kerinci dikatakan lingkupnya mencakup daerah Empat di Ateh, Tigo di Baruh, duo Pemuncak Pulau
Rengas dan Pemerap Pemenang. Kesembilan daerah kekuasaan pemerintahan Depati Empat inilah yang disebut orang-orang pada zaman Kerajaan Jambi menurut sepanjang adat dengan nama: Pucuk Jambi Sembilan Lurah, yaitu wilayah yang berada di daerah atas atau daerah bagian hulu dari Kerajaan Jambi.
Setelah Undang dibalik ke Minangkabau, teliti balik ke Tanah Jambi, Dapati IV Alam Kerinci menyusun undang-undang sendiri. “Lembaga mupakat mulai siap mengatur Alam Kerinci”. Persatuan dibuat dengan mufakat, berdirilah Daulat Depati IV Alam Kerinci.
Penguasaan terhadap wilayah Alam Kerinci dinyatakan lebih tegas lagi sejarah pada masa pemerintahan Depati Empat. Disebutkan bahwa kekuasaan pemerintahan Depati Empat
wilayah Alam Kerinci dinyatakan meliputi daerah Kerinci Tinggi dan Kerinci Rendah. Bila dilihat sekarang daerah tersebut mencakup luas wilayah yang terdiri dari Kabupaten Kerinci, Kabupaten Merangin, Kabupaten Tebo, Kabupaten Bungo, Kabupaten Sarolangun, Daerah Rupit, Daerah Bengkulu Utara.***
Bab 14 (Buku "Menelusuri Sejarah Kerajaan Melayu Jambi"

PEMERINTAHAN DEPATI IV ALAM KERINCI
Periode Abad ke 13 dan 14

1. Kerinci Pasca Sriwijaya
Menurut sejarah Kerajaan Sriwijaya mulai berdirinya dari abad ke 7 samapai ke abad 13 tidak sampai masuk (menduduki) wilayah Kerinci Tinggi. Walaupun setelah kerajaan ini dapat menaklukkan wilayah Kerinci Rendah sesuai dengan bunyi Prasasti Karang Berahi tahun 686 M, kerajaan Sriwijaya tercatat tiga kali menyerang wilayah Kerinci Tinggi, namun dapat dicegat oleh pasukan Sigindo Sigarinting (pemimpin Alam Kerinci waktu itu). Pertempuran terdahsyat terjadi di daerah Telaga Darah (Bukit Malagan)di Kecamatan Merangin sekarang, pasukan Sriwijaya terpaksa angkat kaki meninggalkan pertempuran, dan semenjak gagalnya serangan ketiga kalinya tersebut kerajaan Sriwijaya tidak pernah lagi masuk sampai kepedalam Bukit Barisan.
Penataan kelembagaan di Alam Kerinci dimulai lagi semenjak abad ke 9 Masehi membuat Wilayah Kerinci Tingi dan Kerinci Rendah semakin kondusif, karena pengawan kerajaan Sriwijaya tidak begitu ketat lagi dan negeri-negeri di Kerinci Tinggi menunjukkan perkembangan yang pesat membuat pemuka negeri Kerinci Rendah berusaha pula untuk membenah diri. Situasi negeri-negeri di Kerinci Rendah, kehidupan masyarakat mengalami kemajuan yang berari dan semakin tertata dengan baik. Kehidupan ekonomi rakyat yang lebih telah menciptakan suasana kehidupan bermasyarakat yang tentram dan damai. Dlam suasana yang kondusif ini, para pemimpin negeri dan tetua masyarakat dapat sedikit leluasa memikirkan perkembangan dan pertumbuhan negeri bagi kepentingan rakyatnya.
Proses penataan kelembagaan rakyat di Kerinci Rendah sesudah berakhirnya pendudukan Sriwijaya sudah mulai ditata kembali. Pimpinan negeri sudah dapat dipilih secara demokratis berdasarkan ketentuan adat yang disepakai dan pemerintahan negeri telah dapat berjalan dengan baik. Negeri-negeri di daerah Kerinci Rendah telah dapat dikelompokkan dalam payung kesatuan komunitas yang lebih besar. Proses penataan
kelembagaan rakyat Kerinci Rendah berlangsung secaa alamiah, dimana samapai pada kesepakatan untuk mengsngkronkannya dengan kondisi tata kelmebagaan mayarakat di Kerinci Tinggi. Kesepakatan itu ditempuh erdasarkan pada keinginan mayoritas
rakyat untuk kembali bersatu dalam satu wada sebagai mana pernah terjadi sebelumnya.
Pada masa ini diperkirakan sudah terdapat kurang lebih 100 dusun di bagian utara dan 100 dusun di bagian selatan dari Danau Kerinci. Masing-masing dusun telah tertata dengan mempertimbangkan aspek geografis dan genologis. Salah satu ciri khas dari dusun di sini adalah terdapatnya pembatas dengan menggali parit bersudut 4 disekelilingnya dan 2 buah pintu untuk masuk dan keluar yang pada umumnya searah. Parit digali dengan lebar kurang lebih 2 meper dengan keladalaman 2,5 meter,
sehingga binatang buas atau orang yang bukan penduduk dusun sulit untuk masuk kecuali melalui pintu yang ada. Bentuk penataan ini disebut dengan dusun berparit empat berlawang dua. Pada masa ini, antara sebuah dusun dengan banyak dusun lainnya telah dihubungan denganlintasan jalan kecil yan gpermanan dan lintasan jalan setapa yang setiap waktu dapa tdilalui. Bisa dikatakan tiak ada dusun yang terisolir yang tidak bida dihubungi.
Mengenai keberadaan jalan-jalan penghubung yang telah ada sebelum abad ke 14 sebagaimana diutarakan di atas dicata oleh E.A. Klerks (1987:7-8). Boleh dikatakan mulai abad ke 10 Masehi lintas jalan permanen yang menghubungkan Kerinci dengan daerah luar dan lintasan jalan permanent yang menghubungkan antar negeri dan antar
dusun di wilayah Alam Kerinci sugah sangat banyak. Banyaknya lintasan jalan ini jelas menunjukkan mobilitas penduduk cukup tinggi pada waktu itu. Hal ini berarti pula bahwa interaksi penduduk antar negeri, antar desa dan antar negara berlangsung
dengan baik. Adanya interaksi antar penduduk tentunya mendatangkan berbagai perubahan baik secara fisik (pembangunan) maupun nonfisik (sikap dan budaya) yang
mendatangkan berbagai perubahan.
Dalam pengaturan kehidupan baik secara publik maupun individu berkembang pula dengan baik. Perkembangan dapat dilihat mulai tertatanya berbagai ketentuan hukum adat tentang negeri, pengaturan perkawinan, pengaturan tentang waris dan harta pusaka, dan kententuan mengenai perjanjian. Peranan tetua adat, pemuka masyarakat dan cerdik pandai pada saat itu turut memberikan sumbangan yang besar terhadap anak negeri. Pada
saat itu berkembang pula seni budaya masyarakat seperti menari, menyanyi dan musik. Pada saat-saat tertentu dilakukan pertunjukan seni budaya seperti kenduri Sko, kenduri setelah panen, dan kenduri adat lainnya. Perayaan kenduri sekaligus
merupakan ajang silaturahmi di antara penduduk negeri di Alam Kerinci dan dengan negeri-negeri tetangga.

2. Kerinci dan Kedatangan Islam
Perkembangan lain yang mendatang perubahan besar dalam masyarakat di sekitar abak ke 12 M dan 13 M adalah masuknya agama Islam ke Alam Kerinci. Agama Islam masuk ke Kerinci dari Barus sebuah daerah Islam di Selatan serta dari Gujarat (India). Barus sudah dikenal semenjak abad 11 Masehi berdasarkan pemberitaan Ptolemaeus yang menyebutkan dengan nama Baroussai. Salah satu perkampungan Islam yang dikenal di
Barus terletak di atas sebuah bukit kecil di tepi pantai bernama Mahligai. Di sini ditemukan makam bernisan bertuliskan Siti Tuhar Amisuri (612 H atau 1206 Masehi). Selain itu terdapat prasasti berbahasa Tamil di Lobu Tuo (abad 11 Masehi) yang
menyebutkan terdapatnya pemukiman pedagang Tamil di daerah ini.
Penyebaran Islam ke Kerinci dilakukan pedagang Arab dan Tamil yang berniaga dengan orang Kerinci yang sering mengunjungi bandar Pelabuhan Muko-Muko, Air Dikit, Ipuh,
Seblatm, Bantan, Ketaun dll. Selain itu, pedagang Arab dan Tamiai banyak pula yang mengunjungi negeri-negeri orang Kerinci terutama yang berdekatan dengan negeri-negeri di sekitar pantai Barat. Siar agama Islam di Kerinci diyakini pada abad ke
13 M sebagain dari penduduk Kerinci sudah memeluk agama Islam. Oleh sebab itu, diyakini paa abad ke 13 Masehi sebagian besar dari penduduk Alam Kerinci sudah memeluk Islam.
Masuknya Islam telah memberikan warna tersendiri dalam perkembangan kehidupan masyarakat. Di mana-mana sudah berdiri surau-suratu dan mesjid, kegiatan keagamaan tampak dalam kehidupan sehari-hari seperti membaca Al Qur’an, sholat berjemaah, sholat-sholat lain. Adanya agama Islam lahu hadir ditengah masyarakat para pemuka agama, kadhi, imam, khatib, bilal dan garim. Keadatangan Islam telah mengukuhkan pegangan hidup masyarakat Kerinci. Masyarakat mempunyai dua pegangan dalam mengatur tata kehidupan mereka yaitu adat istiadat yang mereka warisi dari nenek moyang dan agama Islam sebagai tuntutan dari Allah. Panduan ini menjadi pegangan hidup
masyarakat di Alam Kerinci yang sering disebut dalam seluko (pepatah) adat berbunyi: Adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah (Al Qur’an), syarak mengato, adat memakai.

3. Asal Daerah Kedepatian
Sebelum penduduk Kerinci menganut agama Islam pengaturan masyarakat dengan hukum adat. Sebagai acuan berlaku tata krama adat bersendi patut, patut bersendi benar. Setelah masyarakat Kerinci menganut agama Islam (Syiah) yang dikembangkan pertama kali oleh Syekh Samilullah yang datang dari pantai barat Minangkabau pada abad ke-13 M. (Tambo Incung Kerinci). Mulailah berlaku pengaturan adat dan agama dengan dasar adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah. Aliran Syiah ini mengingat pada waktu itu masa jayanya pemerintahan Khalifatul Fatimiyah pada abad ke-12 di Mesir
sebagai pelindung Islam Syiah, kerajaan ini memiliki hubungan dagang dengan Pulau Sumatera. Tentu sudah ada penduduk Sumatera yang terpanggil dan menganut agama Islam terutama penduduk pantai.
Seiring dengan terjadinya berbagai perubahan dalam kedhiupan masyarakat, penataan kelembagaan masyarakat di Kerinci Rendah berlangsung terus. Sementara itu, di daerah Kerinci Tinggi pada sekitar akhir abad ke 15 telah terjadi perubahan besar dalam sistem kelembagaan masyarakatnya. Daerah Kerinci Tinggi sebelumnya terdiri atas beberapa tanah Pamuncak yang dulu sekarang berubah pemerintahan Depati. Pada abad ke-16 kemudian baru muncul depati-depati yang mendaulatkan diri sebagai akibat dari konstelasi politik antara kerajaan Jambi dan Minangkabau yang intinya ingin memasukan Kerinci kedalam salah satu kerajaan tersebut. Raja Minangkabau waktu itu ialah Yang Dipertuan Berdarah Putih yang bergelar Sultan Mardu Alam Kalifatullah Syah dan Raja Jambi ialah Pangeran Temenggung Kabul Dibukit. Dari keadaan inilah timbulnya kelompok-kelompok yang disebut Depati Empat Delapan Helai Kain dan Depati Empat Tiga Helai Kain yang berdaulat di atas kesatuan geneologis teritorialnya masing-masing.
Depati adalah gelaran kepala daerah yang menguasai beberapa dusun dan oleh rakyat dianggap sama dengan raja-raja juga. Putra Tuangku Magek Bagonjong yang tua adalah Sultan Maharajo Aro dengan gelar Depati Talago (mulai jadi). Wilayah kekuasaan
beliau meliputi daerah bagian utara termasuk disekitar Danau Kerinci (sekarang). Makanya danau Kerinci dulunya bernama Danau Depati Rencong Telang. Sedangkan anak kedua beliau bernama Sultan Maharajo Gerah memakai gelar Depati Sangkar (mulai jadi). Daerah kesuasaan beliau adalah dibagian hilir sampai ombak nan badebur di Muko-Muko.Dalam kelembagaan pemerintahan Depati sebagai pewaris kerajaan Pamuncak, setiap depati yang mengemban tugas-tugas pemerintahan keluar wilayah maka pemangku adat itu menyandang gelar Depati Rencong Telang.
Tanah Kerinci terbagai atas dua bagian. Yang pertama: “Negeri Delapan Helai Kain” namanya berwatas dengan Kerajaan Indrapura dan Muko-muko. Yang kedua: “Negeri Tiga Helai Kain” namanya. Rakyat Kerinci berpendapat bahwa negeri itu terbagi atas empat buah negeri saja. Negeri Tiga Helai Kain dianggap tiga negeri yang mempunayi status kenegerian masingmasing dan Negeri Delapan Helai Kain dianggap hanya satu
negeri saja.
Dari bagian negeri-negeri di atas ini dinamakan wilayah Depati Empat Helai Kain diatas dan yang lainnya Tiga Helai kain dibawah. Watasnya ke sebelah timur ialah dari Batang Merangin yang keluar dari Sungai Tembesi masuk ke sungai Batanghari
dalam bahagian tanah Jambi. Apa sebabnya daerah-daerah di Kerinci ini mempunyai nama
yang agak aneh itu? Berikut inilah kisahnya: Di zaman dahulu semasa Kerinci dibawah kekuasaan Jambi. Untuk wakil-wakil raja di daerah ini dikirm seorang wakil atau
penguasa yang digelari: Pangeran Tumanggung Kebaruh Di bukit, namanya. Konon kabarnya Pangeran in berasal dari seorang pembesar Majapahit di Jawa. Ia didudukkan di Muara Mesumai bagian Merangin. Sebenarnya pangeran itSakiau. Kepala dari Pulau Sangkar bergelar Depati Rantau atau Rencong Telang. Kepala dari Pengasih bergelar Depati Biang Sari dan gelar turuntemurun bagi mereka. Depati Muara Langkap daerahnya sampai ke Pangkalan Jambu dan sebenarnya daerah ini termasuk wilayah Kerajaan Pagarruyung. Dibagian ini orang gedangnya tidak bergelar depati hanay dijalankan oleh ”Datuk yang Berempat” deran ini pemungutan pajak ini berjalan lancar. Dan raja-raja Jambi ini dahulunya berasal dari Minangkabau seorang puteri
bernama Puti Salaras Pinang Masak. Pemerintahan yang teratur dari kerajaan Jambi dimulai kira-kira pada permulaan tahun 1460 Masehi. Pangeran Tumanggung ini pandai dan bijaksana. Dengan manis dan ramah tamah dibujuknya kepala-kepala adat di Kerinci dan tak segan-sgan da lagi tuju orang kepala suku yang patut diberi hadiah. Setelah timbang menimbang sejenak maka Pangeran memutuskan membagi dua kain itu. Yang separo dihadiakannya kepada Depati yang dari ’langit’ (Hiang) dan yang separo lagi dibagi tujuh dan dibagi-bagikannya kepada kepala suku yang tujuh itu.
Semenjak itu pulalah daerah itu dinamakan ”Delapan Helai Kain”. Raja Jambi memberi gelaran kepada Depati Indra Jati dengan Depati Batu Hampar dan digelari juga ” Depati Tiang Tungal”. Dari kepala-kepala yang bertujuh itu yaitu dua orang dari
Rawang bergelar ”Depati Muda Manggala Batarawang Lido’ dan Depati Cahaya Negeri. Dari Kerapatan dijadikan Raja Muda Pangeran. Dari Semurup dinamakan Depkan: ”Orang Kerinci Semboh be Rajo”. Mereka tidak suka Raja ikut campur dalam mengurus soal-soal dalam negeri mereka tetapi mereka mau membayar pajak yang seperti emas manah bagi rakyat Minangkabau itu dan pada mereka dinamakan: ”sembah rajibantuoleh ”Manti yang Bertiga”.
Bagian utara tanah Kerinci bernama ”Tahan Hiang” dan kepala tertingginya dahulu bergelar ”Indera Jati” karena menurut keterangannya ialah daerah berasal dari ”Dewa Atas Kayangan”/Sewaktu Pangeran Tumanggung datang ke dareah ini dengan membawa kain-kain hadianya barulah diketahuinya bahwa ada lagi tuju orang kepala suku yang patut diberi hadiah. Setelah timbang menimbang sejenak maka Pangeran memutuskan membagi dua kain itu. Yang separo dihadiakannya kepada Depati yang dari ’langit’ (Hiang) dan yang separo lagi dibagi tujuh dan dibagi-bagikannya kepada kepala suku yang tujuh itu.
Semenjak itu pulalah daerah itu dinamakan ”Delapan Helai Kain”. Raja Jambi memberi gelaran kepada Depati Indra Jati dengan Depati Batu Hampar dan digelari juga ” Depati Tiang Tungal”. Dari kepala-kepala yang bertujuh itu yaitu dua orang dari
Rawang bergelar ”Depati Muda Manggala Batarawang Lido’ dan Depati Cahaya Negeri. Dari Kerapatan dijadikan Raja Muda Pangeran. Dari Semurup dinamakan Depati Kepala Sembah. Panawar dan Seleman diangkat Depati Kuning, di daerah sekitar Sekungkung diangkat Depati Tujuh, Depati Penawar dan Depati Taroh Bumi.
Di negeri-negeri Tiga Helai Kain pelaksana pemerintahannya dibawah depati disebut Mangku atau Depati Empat. Pemangku Kelima yaitu menjadi kepala dusun-dusun di Kerinci. Penghulu-penghulu Datuk Keempat Suku dan Tungganai tidak dikenal di daerah Kerinci. Dalam dusun yang didiami oleh beberapa kaum dinamakan Kalebu yang dikepalai oleh Tua Kampung dan dipanggil mamak atau ninik mamak.
Kalau ada rapat dengan negeri Delapan Helai Kain di adakan di Tanah Hiang. Dan jika membicarakan hal-hal yang mengenai negeri Tiga Helai Kain diadakan di Sanggaran Agung yang dijuluki juga ”Tanah Pertemuan Raja”.
Darah disekitar Sungai Penuh dan Pondok Tinggi diperintah oleh pemuka adat yang bergelar: Datuk Cahaya Depati Singarapi yatiu menjabat mangku bumi sebagai cerminan raja. Dan dibawahnya itu ada lagi yang bernama Pegawai Raja atau Pegawai Jamah.
Meskipung Kerinci berada dibawah kekuasaan Raja Jambi tetapi Raja Jambi tidak langsung ikut campur dalam struktur pemerintahan dalam daerah Kerinci seperti yang dilakukan oleh Raja Pagarruyung. Segala urusan dalam negeri diselesaikan oleh
Rakyat Kerinci sendiri. Mereka kurang senang kalau hal-hal semacam itu ikut dicampuri oleh Raja Jambi. Sebab itu ada pepatah adat Kerinci yang mengatang sudah besar atau sama dengan 10 @
12 pikul beras. Pembayaran yang lebih besar setahil separo yaitu kira-kira f 75. Pembayaran ini boleh juga berupa bahan natura seperti beras atau padi.
Di sebelah Timur Kerinci dibagian hilian Batang Merangin yang membujua” atau jajah.
Sebagai mana juga di Minangkabau jajah ini dibayar sekali tiga tahun dan dibayar kalau raja sendiri yang datang memungutnya. Kalau raja berhalangan datang maka dikirimkan raja wakilnya yang bernama ”Jenang”. Tetapi Jenang yang datang sebagai wakil raja dengan membawa tanda-tanda yang resmi dan kalau tidak jajah tidak akan keluar. Jenang itu harus membawa tanda kerajaan yang bernama ”Pandiko” atau kebesaran raja. Kebesaran atau pandiko inilah berupa sebilah keris ksati yang bernama ”Siginjai” dan ”Kalkati Bergombak Emas” yaitu kacip pinang yang berombak emas. Kebesaran raja inilah yang diperlihatkan kepada raja Kerinci yang hanya diperlihatkan kepada Depati saja. Jadi Jenang itu datang harus membawa keris Siginjai itu, menurut kepercayaan rakyat Kerinci karena keramat dan tuah keris itulah
rakyat mau saja membayar uang jajah itu.
Besarnya uang jajah itu ialah kira-kira setenah tahil emas dari tiap-tiap dusun yang kalau dibawa kepada uang Belanda kira-kira sama dengan f 30 (tiga puluh rupiah). Ini berarit sama dengan hagara seekor kerbau yang sudah besar atau sama dengan 10 @
12 pikul beras. Pembayaran yang lebih besar setahil separo yaitu kira-kira f 75. Pembayaran ini boleh juga berupa bahan natura seperti beras atau padi.
Di sebelah Timur Kerinci dibagian hilian Batang Merangin yang membujur dari barat ke timur disanalah dareah Tiga Helai Kain. Nageri ini dikepalai oleh tiga orang Depati yang pertama bergelar Depati Setio Beti yang kedua Depati Setiyo Rajo dan yang ketiga
Depati Setiyo Nyato. Daerah yang diperintahnya terletah masing-masing dari Tantan sampai ke bawah dari Mesumai. Seterusnya ada pula kampung Raja Muara Masumai dan Taluk Bandaro yang dinamakan Batin Sembilan yang terletak di Muara Sungai Tantan yang masuk ke Merangin dan akan bermuara di Sungai Tembesi. Di hiliran sebelah selatan dari sungai Tembesiyaitu dari barat ke timur adalah negeri Luak Batin Enam Belasdan Batin Selapan da kedua negeri Batin ini dikuasai Datuk nan Bertiga dan Batin Lima.
Sepanjang Batang Asai terletak negeri Batin Pangembang yang dikepalai oleh Datuk nan Berempat Suku menjadi cemin dan Gedang sampai ke limun di Bukit Bulan. Di daeah-daerah inirakyatnya berasal dari Minangkabau, Tanah Datar, Solok dan Limo Koto.
Sebelah timur negeri Jambi yang terletak di sebelah hilir sungaiTembesi sesudah Merangin yang sudah hampir ke muara Batanghari adalah negeri Batin Empat Likur Dihulu, terletak diantara Batin yang diperintah oleh tiga orang Depati. Negeri Pangkalan Jambu dikuasai oleh Datuk nan Berempat dan Manti nan Bertiga termasuk ke dalam wilayah Depati Muara Langkap.

4. Pemerintahan Depati IV Alam Kerinci
Perubahan yang terjadi di Kerinci Tinggi sangat mempengaruhi arah dari penataan sistem kelembagaan di Kerinci Rendah setelah pengaruh Kerajaan Sriwijaya berakhir di daerah ini dan sumpah setia Karang Brahi tidak perlu diikuti lagi. Perkembangan ini erat kaitannya dengan keinginan dari sebagian besar rakyat Kerinci Rendah untuk bersatu kembali dengan rakyat Kerinci Tinggi dalam satu payung pemerintahan sebagaimana sebelumnya, mengingat mereka adalah masyarakat serumun. Semangat untuk
menyatukan kembali Kerinci Rendah dan Kerinci Tinggi disepakati para tetua adat dan pemuka masyarakat di ke dua daerah. Untuk itu, melalui bebeapa kali perundingan dalam
mengkonsolidasikan sistem pemerintahan negeri agar tidak terdapat perbedaan yang dapat menyebabkan timbulnya kesulitan dalam penyelenggaraan pemerintahan, maka akhirnya diperoleh kata sepakat untuk menjadikan daeah Kerinci Rendah atas 3 (tiga)
tanah depati dan 2 (dua) daerah khusus. Nama tanah depati diambil dari nama tiga pemangku adat anak dari Kerenggo Bungkuk Timpang Dado yaitu: Setio Nyato, Setio
Rajo dan Setio Beti yang telah berjasa mengabdikan diri dalam melakukan pembenahan negeri-negeri di Kerinci Rendah semasa hidupnya. Adapun ke tiga tanah depati di Kerinci Rendah adalah: Tanah Depati Setio Nyato, Tanah Depati Setio Rajo, dan Tanah
Depati Setio Beti. Sedangkan dua daerah khusus adalah: Tanah Pamuncak Pulau Rengas dan Tanah Pamuncak Pemenang. Pada tahun 1525 Masehi dalam pertemuan di dusun Salambuku tak jadi dari Ujung Tanjung Muara Masumai, disepakati kelima tanah
pemerintahan di Kerinci Rendah bergabung dengan Negari Depati Empat Alam Kerinci.
Perkembangan dari proses restrukturisasi sistem kelembagaan pemerintahan rakyat di Kerinci Tinggi lalu menghasilkan sistem pemerintahan baru yang lebih realistis dan demokratis.
Pemerintahan Pamuncak lalu dihapus dan diganti dengan Sistem Pemerintahan Depati. Berdasarkan pertimbangan geografis dusun dan genealogis komunitas seketurunan maka
tanah Segindo ditata ulang dan kemudian dikelompokkan menjadi tanah depati. Maka terbentuklah Lembaga Pemerintahan Tertinggi di Alam Kerinci dengan nama Depati Empat Alam Kerinci, yaitu Tanah Depati Atur Bumi, Tanah Depati Biang Sari, Tanah Depati Rencong Telang dan Tanah Depati Muara Langkap Tanjung Sekiau. Ke empat tanah depati ini lalu membentuk suatu dewan pemerintahan sebagai mana yang pernah ada pada masa
pemerintahan Segindo Berdirinya Daulat Depati IV Alam Kerinci barulah disebut Depati
IV Alam Kerinci, yaitu lembaga pemerintahan tertinggi dengan mengambil tempat untuk Balai Permusyawaratan di Sanggaran Agung, yang dikatakan ”Hamparan Besar Alam Kerinci”. Di wilayah kekuasaannya diikuti oleh menjadi bagian dari Negara Depati Empat Alam Kerinci melalui Persetujuan Salambuku pada tahun 1525 Masehi.

5. Wilayah Pemerintaik Serentak Satang”. Ini merupakan suatu negara kesatuan yang berdaulat penuh, mempunyai Undang-undang sendiri dan hukum sendiri, tidak berunding ke Minangkabau dan tidak berteliti ke Tanah Jambi. Dalam tingkat lembaga hukum disebut Lembaga Alam.
Dalam permusyawaratan tiap depati membawa kembar-rekan masing-masing sebagai anggota Dewan Permusyawaratan Alam Kerinci di masa itu.
Depati IV Alam Kerinci dibagi dalam bentuk 4 (empat) besar pembagian tanah depati dan fungsi kelembagaan di Kerinci
1. tanah Depati Atur Bumi. Berwatas dengan Kerajaan Manjuto dan Dapati Biang Sari. Daerah Takluknya Kerinci Hulu VIII Helai Kain, sampai Siulak Tanah Sekudung.
2. tanah Depati Biang Sari. Wilayah takluknya Pematang Tumbuk Tigo Sungai Tabir, Rantau Panjang, Pelepat, sampai Pulau Musang, Tanung Simalidu (lihat Tambo “Raden Syari,Jambi).
3. tanah Depati Rencong Telang. Berwatas dengan Dapati Biang Sari di Pengasi. Sejak dari Sebih Kuning Muaro Saleman sampai Alam Pamuncak Nan Tigo Kaum (Kerajaan Manjuto).
4. tanah Depati Muara Langkap Tanjung Sekiau. Berwatas dengan dengan wilayah Depati Rencong Telang sampai Sungai Bujur – Perentak – Pangkalan Jambu.
Ketinggian letak geografis ke empat tanah depati tersebut,menyebabkan dataran itu disebut dengan Empat di Ateh (daerah empat di atas), yang sekarang telah menjad, karena lhan Depati IV
Penguasaan terhadap wilayah Alam Kerinci dinyatakan lebih tegas lagi sejarah pada masa pemerintahan Depati Empat. Disebutkan bahwa kekuasaan pemerintahan Depati Empat
wilayah Alam Kerinci dinyatakan meliputi daerah Kerinci Tinggi dan Kerinci Rendah. Bila dilihat sekarang daerah tersebut mencakup luas wilayah yang terdiri dari Kabupaten Kerinci, Kabupaten Merangin semuanya dalam Wilayah Provinsi Jambi. Pada daerah Kerinci Tinggi terdapat 4 buah tanah dengan ke empat tanah depati itu adalah:
1. tanah Depati Atur Bumi. Berwatas dengan Kerajaan Manjuto dan Dapati Biang Sari. Daerah Takluknya Kerinci Hulu VIII Helai Kain, sampai Siulak Tanah Sekudung.
2. tanah Depati Biang Sari. Wilayah takluknya Pematang Tumbuk Tigo Sungai Tabir, Rantau Panjang, Pelepat, sampai Pulau Musang, Tanung Simalidu (lihat Tambo “Raden Syari,Jambi).
3. tanah Depati Rencong Telang. Berwatas dengan Dapati Biang Sari di Pengasi. Sejak dari Sebih Kuning Muaro Saleman sampai Alam Pamuncak Nan Tigo Kaum (Kerajaan Manjuto).
4. tanah Depati Muara Langkap Tanjung Sekiau. Berwatas dengan dengan wilayah Depati Rencong Telang sampai Sungai Bujur – Perentak – Pangkalan Jambu.
Ketinggian letak geografis ke empat tanah depati tersebut,menyebabkan dataran itu disebut dengan Empat di Ateh (daerah empat di atas), yang sekarang telah menjadi Kabupaten Kerinci,Kecamatan Muara Siau dan Jangkat. Kedua kecamatan yang disebutkan, termasuk dalam wilayah Kabupaten Merangin.
Daerah Kerinci Rendah adalah wilayah yang berada di sebelah timur Kerinci Tinggi pada kaki pergunungan Bukit Barisan. Topografi daerahnya berbukit-bukit dan disini mengalir banyak sungai denan arus air yang tenang, tidak berbatu dan permukaannya lebar, shinga dapat dilayari kapal kecil. Kondisi sungai tersebut sangat berbeda dengan sungai-sungai yang terdapat di Kerinci Tinggi yang pada umumnya berarus deras,
beriam, berair terjun (telun), berbatu dan berpermukaan sempit.Sekarang wilayah ini berada 0ASetelah Undang dibalik ke Minangkabau, teliti balik ke Tanah Jambi, Dapati IV Alam Kerinci menyusun undang-undang sendiri. “Lembaga mupakat mulai siap mengatur Alam Kerinci”. Persatuan dibuat dengan mufakat, berdirilah Daulat Depati IV Alam Kerinci.
Penguasaan terhadap wilayah Alam Kerinci dinyatakan lebih tegas lagi sejarah pada masa pemerintahan Depati Empat. Disebutkan bahwa kekuasaan pemerintahan Depati Empat
wilayah Alam Kerinci dinyatakan meliputi daerah Kerinci Tinggi dan Kerinci Rendah. Bila dilihat sekarang daerah tersebut mencakup luas wilayah yang terdiri dari Kabupaten Kerinci, Kabupaten Merangin semuanya dalam Wilayah Provinsi Jambi***
Ruwetnya Pengurusan SIUP + TDP:
Saran Untuk Pemerintah Kota/Kabupaten
1
Oleh. DR. Aulia Tasman, SE, M.Sc
2
Pemerintah Daerah berkewajiban sekali dalam menata adminstrasi pemerintahan
agar pelayanan prima yang selalu didengungkan untuk mencapai pemerintah yang
efektif dan efisien dalam menata pembangunan dan kehidupan bermasyarakat,
namun sering sekali kebijakan yang diambil sangat bias dengan kenyataan.
Kemudahan yang seharusnya diberikan aparat pemerintah sebagai abdi negara dan
masyarakat kadang kala menjadi beban yang terlalu berat bagi masyarakat untuk
mengikutinya. Kalau terjadi ketidakcocokan antara yang diharapkan dengan
kenyataan sering pula pihak masyarakat yang dipersalahkan padahal
‘membangkangnya’ masyarakat terhadap aturan yang telah ditetapkan oleh
pemerintah disebabkan oleh kelemahan dari sistem pemerintahan itu sendiri. Rantai
birokrasi yang panjang, biaya pengurusan yang tidak jelas dan tidak transparan,
waktu pengurusan yang cukup lama, dan tumpang tindih kepengurusan izin
(misalnya) menyebabkan sebagian besar masyarakat enggan berhubungan dengan
pemerintah kecuali kalau sudah sangat terpaksa.
Permasalahan yang sedang hangat-hangatnya dibicarakan oleh kalangan
pemerintahan kota sekarang ini antara lain bahwa sebagian SPBU dan Pangkalan
Minyak Tanah dan banyak sekali unit usaha komersial di Kota Jambi yang tidak
mempunyai SIUP dan Tanda Daftar Perusahaan (TDP) padahal sudah sering kali
dianjurkan untuk dibuat, malah sampai dengan ancaman penutupan usaha kalau tidak
diurus. Himbauan dan ancaman ini tampaknya tidak efektif dalam membujuk
masyarakat mengurus izin yang telah disyaratkan oleh pemerintah daerah.
Kita perlu bertanya dan mencari sebab kenapa itu terjadi? Pemerintah
Kabupaten/Kota harus mengkolidasi dan koreksi terhadap mekanisme perizinan yang
ada pada dinas-dinas yang berkaitan dengan perizinan agar permasalahan yang terus
menghambat efektivitas kerja dinas-dinas yang bersangkutan. Kalau tidak demikian
pelayanan prima yang diharapkan terjadi dalam masa Otonomi Daerah tidak pernah
tercapai.
Sebagai bahan kajian dan masukan bagi pemerintahan kabupaten/kota,
khususnya untuk pemerintah Kota Jambi. Berikut ini akan diuraikan pengalaman
nyata sebagai konsultan dalam mengurus SIUP dan TDP untuk beberapa perusahaan
yang ada di Kota Jambi. Perlu saya garis bawahi bahwa uraian ini bukan untuk
menjelekkan kinerja pemerintahan Kota Jambi dan pemerintahan Kabupaten lainnya,
melainkan sebagai bahan masukan dalam mempermudah masyarakat mengurus
perizinan yang disyaratkan oleh pemerintah. Mungkin saja suka duka pengurusan izin
ini tidak disadari oleh pemerintah bagaimana sulit, dan panjang dan ruwetnya
pengurusan SIUP dan TDP. Malah ada yang lebih ceroboh bahwa ada satu
kabupaten di Provinsi Jambi mewajibkan seluruh perusahaan mengurus SIUP
padahal tidak semua perusahaan harus mendapatkan SIUP dari pemerintah
kabupaten/kota.
1
Bahan Diskusi dengan Pemda Kota Jambi tentang Mekanisme Perizinan Satu Atap, September 2007.
2
Dosen Fakultas Ekonomi Unversitas Jambi
1
Tidak banyak orang mengetahui bahwa kegiatan investasi terdiri dari dua macam :
(1) investasi berfasilitas – misal fasilitas bea masuk, tax holiday, impor bahan baku,
penggunaan tenaga kerja asing dan sebagainya, maka izin yang disyaratkan adalah
Izin Usaha Sementara (IUS) dan Tetap (IUT-untuk yang sudah komersial) melalui
Kantor BKPM dan perpanjangan tangannya Kantor BAPEMPRODA untuk Provinsi
Jambi. Perusahaan yang tergolong dalam kelompok seperti Petro Cina, Indosawit
Subur, Asiatic Persada, WKS, Lontar Papirus, dan banyak yang lainnya. tidak wajib
mendapatkan SIUP karena dalam IUT sudah termasuk izin usaha tetap (IUT), izin
ekspor, izin pengolahan dan izin-izin lainnya. Pernah satu kabupaten di Provinsi
Jambi mewajibkan perusahaan kelompok ini mengurus SIUP, ini kan teledor
namanya ; (2) kegiatan investasi non-fasilitas – seperti pendirian CV, PT dan
perusahaan perorangan lainnya ini yang harus memerlukan SIUP dan TDP,
sedangkan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) izinnya dari Bank Indonesia Pusat, tidak
perlu SIUP dan yang dibutuhkan adalah TDP dari Kantor Walikota dan Bupati
setempat.
Berikut ini adalah uraian pengalaman nyata mengurus SIUP dan TDP (kasus
untuk Kota Jambi mungkin juga sama dengan kasus di kabupaten), bahwa untuk
mengurus SIUP dan TDP memerlukan syarat-syarat (masing-masing dinas/instansi
ada yang sama dan ada yang berbeda) sebagai berikut : (1). Izin/advis kelurahan, (2).
Akta Notaris Perusahaan, (3). Izin dari Kelurahaan, (4). IMB, (5). Rekening Listrik, Air
dan Telepon, (6). Pas Photo pengurus, (7). KTP Pengurus (direksi), (8). Lunas PBB,
(9). Izin/advis dari Kecamatan, (10). NPWP, (11) Gambar/denah Bangunan, (12).
Rekomendasi Damkar, (13). Retribusi Kebersihan dan Pajak Reklame, (14). IPB, (15).
SITU, (16). SIUP
Perusahan tidak untuk kepentingan umum, seperti izin ruko, swalayan, industri
batu bata, toko dan lainnya harus melalui 8 (delapan) meja birokrasi, urutannya
birokrasi yang harus dilewati sebagai berikut :
No. Dinas/Instansi Izin yang Dikeluarkan Syarat No.
1. Kantor Kelurahan Izin/advis Kelurahan 2, 3, 4, 5,
2. Kantor Pajak No. Pokok Wajib Pajak (NPWP) 1, 2, 4, 6, dan 7
3. Kantor Camat Izin/advis Kecamatan 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, dan 8
4. Bapedalda Izin HO/UU Gangguan 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, dan 8
5. Dispenda Pajak Reklame dan Retrb. Kebersihan 1, 2, 3, 4, 5, 7, dan 8
6. Dinas Tata Kota Surat Izin Tempat Usaha – SITU 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, dan 13
7. Dinas Perindagkop SIUP 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 13 dan 14
8. Kantor Walikota Surat Tanda Daftar Perusahaan (TDP) 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 13, 14, 15,
dan 16
Sedangkan untuk perusahaan yang berhubungan dengan kepentingan umum,
seperti rumah sakit, bank, SPBU, Koperasi dan lainnya harus melalui 11 (sebelas)
meja birokrasi, urutan pengurusan yang harus dilewati adalah :
No. Dinas/Instansi Izin yang Dikeluarkan Syarat No.
1. Kantor Kelurahan Izin/advis Kelurahan 2, 3, 4, 5,
2. Kantor Pajak No. Pokok Wajib Pajak (NPWP) 1, 2, 4, 6, dan 7
3. Kantor Camat Izin/advis Kecamatan 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, dan 8
4. Bapedalda Izin HO/UU Gangguan 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, dan 8
5. Dispenda Pajak Reklame dan Retrb. Kebersihan 1, 2, 3, 4, 5, 7, dan 8
6. Dinas Tata Kota Surat mendapatkan rekomendasi Damkar Tidak pakai syarat
7. Dinas Damkar Surat Rekomendasi Kebakaran 2, 3, 4, 8, 9, dan 11
2
8. Dinas Tata Kota Surat Izin Penggunaan Bangunan (IPB) 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 12, dan 13
9. Dinas Tata Kota Surat Izin Tempat Usaha (SITU) 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, dan 14
10. Dinas Perindagkop Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) 1, 2, 3, 4, 5, 7, 8, 9, 10, dan 15
11. Kantor Walikota Surat Tanda Daftar Perusahaan (TDP) 1, 2, 3, 4, 5, 7, 8, 9, 10, 15 dan 16
Belum lagi kalau gedung yang dipakai belum mempunyai IMB, maka perusahaan
yang bersangkutan harus mengurusnya terlebih dahulu, kalau tidak maka tahapan di
atas tidak dapat dilalui. Syarat-syarat untuk pengurusan IMB juga cukup banyak dan
harus mengalami liku-liku birokrasi yang berbelit pula. Ditambah wajib AMDAL bagi
perusahaan besar seperti Mall, Bank dan lainnya atau paling kurang harus
mempunyai RPL (rencana pengolahan limbah) yang akan berhadapan pula dengan
instansi Bapedalda dan Tata Kota kembali.
Mekanisme pengurusan ini hampir berlaku pada semua daerah kabupaten/kota di
Provinsi Jambi. Terlihat disini tidak ada koordinasi sama sekali antar dinas/instansi,
masing-masing membuat persyaratan tersendiri, dan bagi perusahaan yang ingin
mengurus izin-izin tersebut terpaksa dan harus melalui urutan meja birokrasi di atas.
Banyak perusahaan yang harus memenuhi syarat-syarat tumpang tindih dan dicopy
berkali-kali, tetapi diminta kembali dan kembali. Belum lagi masing-masing
dinas/instansi mengklaim bahwa izin melalui kantornya berkisar antara seminggu
sampai sebulan. Coba bayangkan berapa bulan yang harus dilewati oleh perusahaan
yang ingin mengurus izin sampai TDP, belum lagi kepala dinas/instansi yang tidak
berada di tempat yang tidak dapat diwakili oleh bawahannya, kadang kala
membutuhkan waktu yang lebih lama lagi, paling cepat mencapai waktu yang harus
dikorbankan sampai selesai TDP adalah 4 bulan. Yang lebih menyakitkan lagi ada
dalam satu dinas bergeraknya bahan kepengurusan harus dibawa sendiri oleh
pemohon yang bersangkutan kalau tidak maka bahan kita akan mentok hanya sampai
di meja yang bersangkutan. Misal kalau bahan kita sudah sampai pada bidang
kepengurusan IPB setelah kita mengurus rekomendasi Damkar kita harus minta surat
untuk membayar pajak reklame dan retribusi kebersihan pada Dispenda, kemudian
dibawa kembali ke Dinas Tata Kota, yang saya alami seharusnya selesai IPB, dapat
langsung bergerak ke bidang pengurusan SITU dalam mekanisme kantor itu sendiri,
namun sempat lama tertahan karena yang ‘mendap’ dibagian IPB. Kita harus ambil
bahannya kembali lalu kita antar ke bagian SITU, disini terasa sekali betapa tidak
efisiennya mekanisme kerja suatu instansi. Bagi kita yang sebagai pemohon merasa
bosan dan lelah menghadapi hal yang demikian.
Pada sisi lain, birokrasi yang sangat ruwet dan bertele-tele, waktu yang digunakan
cukup lama, malah biaya yang dibebankan sangat tidak transparan, mulai yang
dibebankan antara Rp. 250.000 sampai jutaan rupiah untuk satu surat izin. Memang
ada yang menetapkan secara resmi, namun pasti ada biaya tambahan yang harus
dibayar perusahaan yang jumlahnya tidak menentu, dan kadang-kadang tergantung
pula pada jenis usahanya apakah merupakan ‘lahan kering atau lahan basah’. Kalau
‘lahannya berair’ maka beban biaya tambahan pasti akan lebih banyak. Kadang kala
sering pula ditemui bahwa besarnya biaya ditentukan pula oleh siapa pemilik
perusahaan, maaf, untuk teman kita yang warga keturunan atau untuk kelompok etnis
tertentu sering pula diminta dibayar lebih dengan berbagai dalih, walaupun tidak
semua dinas/instansi bertindak sama.
Inilah sabagian liku-liku yang pernah saya alami sebagai konsultan dalam
penyusunan studi kelayakan dan pendirian badan usaha yang notabene memang
3
waktu sudah disediakannya untuk kepengurusan izin tersebut. Sangat tidak
terbayangkan oleh kita kalau yang mengurus tersebut adalah pemilik perusahaan
yang harus memikirkan kelancaran usahanya sekaligus ketakutan diperiksa oleh
instansi pemerintah mengenai perizinan. Ketakutan sebagian ‘kelompok keturunan’
mengurus sendiri merupakan bagian yang paling sulit yang harus mereka lalui. Tetapi
yang pasti, saya tidak yakin kalau perusahaan tidak ingin mengurus perizinan yang
diperlukan kalau tidak karena keruwetan prosedur kepengurusan yang disyaratkan
oleh instansi pemerintah itulah yang menjadi momok bagi mereka.
Berdasarkan informasi dan pengalaman aktual tersebut, saya rasa pemerintah
daerah perlu melakukan reposisi terhadap prosedur pengurusan izin, konsolidasi
antar instansi perlu dilakukan secara cepat agar prosedur dan proses pengurusan
dapat dipermudah dan dipercepat. Kalau tidak jangan disalahkan pengusaha yang
tidak ingin menguruskan SIUPnya, alangkah tidak adilnya kalau kita menyalahkan
mereka pada hal pelayanan dari dinas/instansi pemerintah yang menyebabkan
mereka enggan untuk mengurus izin yang diperlukan. Sangatlah ironis pada satu sisi
kepala daerah ‘berkoak-koak’ kami siap menerima sebesar-besarnya bagi para
investor untuk menanamkan modalnya di daerah masing-masing, namun disadari
atau tanpa disadari ternyata perngkat yang dimiliki tidak mendukung, hanya untuk
pengurusan izin mereka harus mengalahi hal-hal yang sangat menghambat
masuknya kegiatan investasi. Kata ahli-ahli ekonomi ”pembanguan suatu daerah tidak
akan pernah maju kalau peran swasta tidak diberdayakan , pemerintah pasti tidakkan
mampu untuk menggerakkannya sendiri”. Oleh sebab itu ada beberapa langkah yang
disarankan untuk mengatasi permasalahan di atas: (1). pemerintah daerah harus
melakukan konsolidasi antar instansi agar dapat dibentuk pelayanan satu atap atau
yang lebih sederhana, (2). bagian-bagian yang ada dalam satu dinas/instansi yang
berhubungan dengan salah satu syarat di atas dapat saja menyerahkan sebagian
wewenangnya pada dinas yang ditunjuk atau dibentuk sendiri, (3) biaya-biaya harus
transparan sehingga PAD dapat ditingkatkan, (4). syarat-syarat yang perlu dipenuhi
oleh pengusaha cukup untuk meja birokrasi yang lebih awal, sedangkan berikutnya
jangan diminta lagi syarat-syarat yang sama, (5). melakukan pemutihan untuk hal-hal
tertentu, (6). demi untuk meningkatkan PAD dapat saja tarif izin yang diperlukan
disesuaikan dengan letak strategis perusahaan tapi harus jelas ada Perda yang
mengaturnya, dan (7). membedakan jenis SIUP berdasarkan besar kecilnya
perusahaan, kadang tidak logis SIUP untuk Mall sama dengan SIUP untuk toko
manisan kecil, biaya, beban dan waktu yang disediakan juga sama.***
4

Senin, 18 Mei 2009

Lampiran: Kain Kebesaran Depati

Lampiran 1:
Kain Kebesaran Depati (Adipati)
Kerajaan Melayu Jambi berusaha untuk mengukuhkan persatuan wilayah-wilayah dengan cara membagikan kain kebesaran kerajaan. Pangeran Temenggung atas nama kerajaan membawa dan membagi Kain Kebesaran Depati (Adipati) ke daerah Kerinci yaitu untuk masing-masing Depati 4 Alam Kerinci. Setelah sampai di daerah Kerinci, pertama kali di Tamia diberilah sehelai ”Kain Kebesaran Depati” kepada Depati Muaro Langkap, keturunan Sigindo Bauk.
Kemudian terus menyusuri ke mudik Batang Merangin di Pulau Sangkar, diserahkan pula sehelai Kain Kebesaran Depati kepada Depati Rencong Telang, keturunan Sigindo Batinting. Sampai di Pengasi, Kain Kebesaran Depati diserahkan kepada Depati Biang Sari, keturunan Sigindo Teras. Untuk seterusnya rombongan sampailah di Hiang, kain kebesaran diserahkan keapda Depati Atur Bumi, keturunan Sigindo Kuning.
Kain kebesaran yang dibawa sebanyak 4 helai, sudah dibagi-bagikan kepada yang berhak menerimanya. Sampai di Hiang, sedangkan masyarakat di hulu Sungai Batang Merangin belum mendapat bagian. Untuk itu atas perundingan dan mufakat, kain yang terakhir dibagi menjadi ”Delapan” Helai Kain. Dengan arti kata: 1 Helai kain dijadikan Delapan Helai Kain.
Hiang mendapat 1/8 (se per delapan) helai, selebihnya dibagikan kepada:
Untuk di Hilir:
a. Tanah Kampung = Depati Batu Hampar
b. Seleman = Depati Sirah Mato
c. Penawar = Depati Mudo
Untuk di Mudik:
a. Sekungkung = Depati Tujuh
b. Semurup = Depati Kepala Sembah
c. Kemantan = Depati Situo
Yang ke-7 helai terakhir diberikan untuk Rawang, sehingga menjadi sebutan sejak dulu sampai sekarang:
” Tiga di Hilir - Empat Tanah Rawang”
” Tiga di Hulu - Empat Tanah Rawang”
Sehingga jumlahnya menjadi = 3 (di Hulu) + 3 (di Hilir) + Rawang = 7 + Hiang = 8. ” Kerinci disebut dengan Depati IV Delapan Helai Kain.
Kain yang disampaikan kepada para depati oleh Pangeran Temenggung, dikatkan sebagai Tanda Persahabatan Kerajaan, yang hakekatnya adalah hendak memasukkan Kerinci ke dalam Wilayah Kerajaan Jambi. Hal ini tidak mungkin terjadi karena wilayah hukum Pamuncak Rencong Telang amat luas, tidak dapat dipengaruhi oleh Kerajaan Jambi. Wilayah hukum Pamuncak Rencong Telang di kala itu mencakup wilayah Kerajaan Manjuto, dalam Lingkungan Pamuncak Nan Tigo Kaum sampai ”Pantai yang 14 Muko-Muko dan yang Tigo di Baruh (disebut Kerinci Rendah).
Setelah para depati menerima Kain Kebesarannya masing-masing dan menentukan wilayah tanahnya, yaitu disebut: Tanah Mendapo, mempunyai batas dengan siring ”Ke air berpasang batu, ke darat berpasang lantak (kayu)” dengan Tanah Mendapo lainnya. Masing-masing telah membentuk Staf Pemerintahannya, yang terdiri dari depati-ninik mamak. Yang mada di kala Alam Kerinci terbagi atas 11 (sebelas) Tanah Mendapo, ”Undang Turun Dari Minangkabau – Teliti Mudik dari Tanah Jambi”.
Kerajaan Melayu Pagarruyung yang berpusat di Suruaso ingin memperluas daerah takluknya, sedangkan di kala itu para depati di Alam Kerinci belum mempunyai persatuan dan kesatuan, hanya depati-depati mementingkan daerah sendiri-sendiri, maka oleh Kerajaan Pagarruyung mencoba menurunkan undang-undang ke Alam Kerinci, yaitu Undang Sarak, ”Kalau salah tangan, tangan di kerat; salah kaki, kaki di potong”. Jika ”membunuh”, humum-bunuh. Undang yang demikian amat berat, sehingga ditolak balik ke Alam Minangkabau. Yang disebut menurut istilah Kerinci: ”tolak Rebou Tolak Rangkah”, dengan arti kata ”sama sekali tidak diterima”.
Untuk mengatasi undang yang berat ini, oleh Kerajaan Jambi mencoba pula memudikan ”Teliti” dari tanah Jambi, yaitu satu peraturan yang amat ringan pula. ”Kalau salah tangan, untuk imbalannya kerat kepak ayam, kalau salah kaki kerat kaki ayam, kalau mata bersalah, imbalannya cungkil mata kelapa”. Teliti yang demikian juga tidak ditolak, maka rentetan dari itu berdirilah Daulat Depati IV di Alam Kerinci yang mempunyai undang-undang adat sendiri.
Berdirinya Daulat Depati IV, barulah disebut Depati IV Alam Kerinci, yaitu Lembaga Pemerintahan Tertinggi di Alam Kerinci dengan mengambil tempat untuk Balai Permusyawaratan di Sanggaran Agung, yang dikatakan ”Hamparan Besar Alam Kerinci”, ”ke atas sepucuk ke bawah seurat, sedekum bedilnya sealun soraknya, ke hilir serangkuh dayung kemudi serentak satang”. Ini merupakan suatu negara kesatuan yang berdaulat penuh, mempunyai Undang-undang sendiri dan hukum sendiri, tidak berundig ke Minangkabau dan tidak berteliti ke Tanah Jambi.
Dalam tingkat lembaga hukum disebut Lembaga Alam. Dalam permusyawaratan tiap depati membawa kembar-rekan masing-masing sebagi anggota Dewan Permusyawaratan Alam Kerinci di masa itu, Depati Atur Bumi membawa rekannya yang disebut “Tiga di Hilir Empat Tanah Rawang, Tiga di Hulu Empat Tanah Rawang”, yang berarti 7 orang depati:
Untuk di Hilir:
a. Depati Batu Hampar di Tanah Kampung
b. Depati Sirah Mato di Seleman
c. Depati Mudo di Penawar
Untuk di Mudik:
a. Depati Tujuh di Sekungkung
b. Depati Kepala Sembah di Semurup
c. Depati Situo di Kemantan
Depati Rencong Telang membawa kembar-rekannya Depati Nan Berenam dari Pulau Sangkar.
Depati Biang Sari membawa kembar-rekannya Nan Berenam dari Pengasi.
Depati Muara Langkap mebawa kembar-rekannya Nan berenam dari Tamiai.
Untuk Hamparan Besar Depati VIII Helai Kain bertempat di Rawang, yang beranggotakan Tigo di Hilir Empat Tanah Rawang – Tigo di Hulu Empat Tanah Rawang, ditambah Sungai Penuh Pegawai Jenang Pegawai Rajo, Suluh Bindang Alam Kerinci, dibawah Pengawasan Depati Nan Batujuh, Pemangku nan Baduo, Pementi Nan Sepuluh.
Sebagai pucuk pimpinan di kala itu Depati Atur Bumi (dalam Hamparan Besar Nan VIII Helai Kain). Jadi di Kerinci di kala itu terdapat dua hamparan (Balai Permusyawaratan:
1. Hamparan Besar di Rawang, untuk Depati VIII Helai Kain.
2. Hamparan Besar di Sanggaran Agung, untuk Depati IV Alam Kerinci atau suatu Lembaga Tertinggi Pemerintahan di Alam Kerinci.
Sedangkan tingkat Lembaga Hukum di Alam Kerinci diatur sebaik-baiknya melalui ”Seko Nan Tigo Takah – Lembago Nan Tigo Jinjing”, keempat Lembago Alam (Lembago Hukum Depati IV Alam Kerinci).

Sejarah Kerajaan Melayu Kuno

Bab 4
KERAJAAN MELAYU
Periode Abad VI-XI

1. Letak Kerajaan Melayu
Keberadaan dan letak kerajaan Melayu dan Sriwijaya masih dalam perdebatan, dan ada sebagian ahli berkeberatan terhadap penggunaan berita-berita Cina sebagai sumber sejarah kerajaan Malayu, tidak jgua dapat pungkiri bahwa berita pertama yang dengan jelas menyebutkan nama “Malayu” adalah berita Cina juga. Dari kitab sejarah dinasti T’ang didapat keterangan bahwa datangnya utusan dari Mo-lo-you di Cina pada tahun 644 dan 645 M. Sudah barang tentu sulit dicarikan keberatan untuk mengidentifikasikan kata Cina ini dengan Malayu.
Kontak antara pedagang pendatang dengan penguasa setempat, seringkali sudah turun temurun, adakalanya arat sekali. Tanpa disadari kontak pribadi lama dan erat itu, membawa akibat kepada kedua belah pihak saling mengambil unsur-unsur kerajaan masing-masing. Kalau kontak dagang berasal dari Cina yang beragama Budha (Hinayana) maka agama itulah yang berkembang di bandar dagang tersebut, demikian pula kalau kontak dagang dari Persia (agama Islam) maka agama Islam-lah yang berkembang, dan lain-lainnya.
Kerajaan Budha (Hinayana) yang kemudian timbul dan berkembang di Minangkabau Timur, ialah pusat-pusat perniagaan lada. Melayu (Tua) dengan Muara Tembesi sebagai bandar utamanya dan Sriwijaya (Tua) dengan Muara Sabak (Jambi) sebagai bandar utamanya. Kerajaan –kerajaan Budha (Hinayana) inilah yang dikunjungi oleh I-tsing, pendeta Budha dari Cina, dalam perjalanannya ke India (671 Masehi) dan pulang kembali kenegerinya (685 Masehi).
Berita yang lebih menarik karena lebih jelas mengarah kepada apa yang dicari adalah kisah perjalanan I-tsing, seorang pedeta Budha dari Cina yang pernah tinggal di Sriwijaya cukup lama, dalam perjalanannya dari Kanto di Cina ke Negapattam di India dalam tahun 671/672 ia singgah dulu di She-li-fo-she untuk belajar bahasa Sanskerta selama enam bulan. Dari sini ia menuju Mo-lo-yeu, di mana ia tinggal selama dua bulan, untuk kemudian meneruskan perjalanannya ke Chieh-cha (Kedah) dan selanjutnya ke India. Dalam perjalanan pulangnya pada tahun 685 ia singgah lagi di Mo-lo-yeu, “yang telah menjadi She-li-fo-she”, selama 6 bulan.
Kisah perjalanaan I-tsing itu memberikan gambaran bahwa Melayu adalah tempat persinggahan yang cukup penting, karena tidak dilewati begitu saja, baik dalam pelayaran dari Cina ke India maupun sebaliknya. Adapun letak dari Bandar Malayu itu, kiranya dapat disimpulkan dari keterangan mengenai arah pelayaran yang diceritakan I-tsing. Pelayaran dari Sriwijaya ke Malayu memakan waktu 15 hari, dan demikianlah juga dari Malayu ke Kedah. Hanya saja, dari Malayu ke Kedah orang harus berganti arah.
Dengan berpedoman kepada lokasi Sriwijaya di Palembang dan Melayu di Jambi maka keterangan I-tsing itu tidak sesuai dengan kenyataan. Jarak Palembang – Jambi tidak sama dengan jarak Jambi – Kedah, padahal sama-sama memakan waktu 15 hari pelayaran. Demikian juga, arah pelayarannya, kiranya kedua jalur itu pada pokoknya sama-sama membujur dari tenggara ke barat laut, sehingga adanya perobahan arah dalam melayari jalur Jambi – Kedah menggoyahkan semua teori yang sudah tersusun rapi. Tidak mengherankan kalau Moens melontarkan pendapat lain lagi guna menopang teorinya tentang lokasi Sriwijaya. Dikatakannya bahwa pada waktu I-tsing belayar dari Cina ke India, Sriwijaya berpusat di Kelantan, pantai Timur Jazirah Malaka, sedangkan Malayu berada di Palembang. Oleh karena itu jarak pelayaran Sriwijaya – Malayu dan Malayu – Kedah adalah sama haluan sehingga arah Sriwijaya – Malayu dan arah Malayu – Kedah menjadi berlawanan dari timur laut – barat daya menjadai tenggara – barat laut. Selanjutnya dikatakan bahwa ketika I-tsing singgah lagi di Malayu dalam perjalannan pulangnya, Melayu telah dikuasai oleh Sriwijaya yang setelah itu memindahkan pusat pemerintahannya ke daerah Muara Takus.
Kisah pelayaran pulang pendeta Budha Cina bernama I-tsing dari India mencatat bahwa kerajaan Mo-lo-yue telah menjadi bagian dari Sriwijaya. Timbulnya perobahan politik di dalam kerajaan Melayu terjadi sekitar tahun 671-679 Masehi. Interpretasi atas peobahan di dalam kerajaan Melayu ini ada beda pendapat antara para ahli.
Sarjana Perancis berama Georges Coedes adalah ilmuan pertama yang menempatkan pusat kerajaan Sriwijaya di Palembang, melalui karangannya Le Royume d Crivijaya, BEFEQ No. XVIII tahun 1918. Garis besar pendapat Coedes adalah sebagai berikut;
a. Kerajaan Melayu berlokasi di Jambi
b. Mengidentifikasi kata Sriwijaya dengan kerajaan.
c. Kerajaan Melayu dicaplok oleh kerajaan Sriwijaya.
d. Menempatkan pusat kerajaan Sriwijaya di Palembang
Untuk mendukung hipotesisnya Coedes meneliti dengan seksama isi prasasti Kedukan Bukit, Talang Tuwo, Karang Berahi,dan Kota Kaput. Menurut Coedes prasasti ini adalah sebagai bukti otentik pencaplokan Melayu oleh Sriwijaya. Coedes dalam karyanya ini tidak atau belum menempatkan fakto arkeologis berupa situs purbakala, dengan geomorfologi pantai timur Sumatera. Tapi Coedes sangat berjasa dalam menempatkan istilah Sriwijaya sebagai suatu kerajaan.
Sarjana pertama yang menentang Palembang sebagai lokasi pusat kerajaan Sriwijaya adalah J.L. Moens. Inti hipotesis Moens adalah sebagai berikut:
a. Puat kerajaan Melayu adalah di Palembang.
b. Prasasti Kedukan Bukit adalah prasasti penundukan Melayu oleh Sriwijaya.
c. Antara tahun 683 dan 695 pusat pemerintah Sriwijaya pindah dari Semenanjung Muara Takus, Riau.
d. Pusat kerajaan Sriwijaya di Muara Takus, Riau.
Landasan teori Moens berdasarkan atas interpretasinya terhadap route perjalanan I-tsing. Moesn berpendapat bahwa perjalan I-tsing dari Sriwijaya ke Melayu sebagai pelayaran dari pantai timur Semenanjung Palembang. Dari Melayu I-tsing meneurskan pelayaran ke Kedah (chieh cha). Arah pelayaran dari Melayu ke Kedah ialah tari Tenggara ke barat-laut, maka arah pelayaran Melayu ke Kedah berbeda arah dari Sriwijaya ke Melayu. Kemudian akhirnya Moens mengambil kesimpulan arah pelayaran Sriwijaya ke Melayu dari arah barat ke Tenggara.
Pada bulan Juli dan Agustus 1974 sebuah team dari Amerika Serikat mengadakan ekskavasi di 4 (empat) situs di Palembang. Tim dibawah pimpinan Dr. Bernet Bronson danJan Wisseman kerjasama denan Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional Jakarta, mengeluarkan pendapat bahwa Sriwijaya tidak mungkin di Palembang, karena situs-situs di sekitar Palembang menunjukkan pemikiman abad ke 14 sampai 17 Masehi (Sholihat, 1982). H.G. Quaritch Wales, tahun 1935 menempatkan Chaiya (Thailand Selatan) sebagai lokasi pusat kerajaan Sriwijaya. Rolang Bradell menempatkan semenanjung Malaya sebagai lokasi pusat kerajaan Sriwijaya. Sedangkan M.C. Chand Chirayu Rajani tahun 1974 mendukung Thailand Selatan sebgai pusat kerajaan Sriwijaya.
Sarjana Belanda bernama F.M. Schnitger tahun 1926 menolak lokasi Palembang sebagai pusat kerajaan Sriwijaya, ia menempatkan Muara Jambi pusat kerajaan Sriwijaya. Seorang ahli arkeologi Indonesia, Soekmono tahun 1955, melalui pendekatan geomorfologi pantai timur Jambi, menolak penempatan pusat kerajaan Sriwijaya di Palembang, ia melokalisasi Jambi sebagai pusat kerajaan Sriwijaya. Begitupula Slamet Muljana, tahun 1981 menolak Palembang sebagai pusat kerajaan Sriwijaya, ia menempatkan Jambi sebagai lokalisasi yang tepat.
Kerajaan Malayu tercatat dalam sejarah sejak abad ketujuh. Mungkin kerajaan ini lebih dahulu berdiri dari Sriwijaya, karena namanya lebih dahulu tercatat dalam kronik Cina. Hsin-Tang-shu mencatat bhwa utusan Mo-lo-yu (Malayu) datan ke istana Cina pada tahun 644-645, sedangkan utusan Shih-li-fo-shih (Sriwijaya) baru datang untuk pertama kalinya pada tahun 670. DR. Wolters menduka bahwa pada mulanya negeri Sriwijaya merupakan negeri bawahan Malayu, kemudian Sriwijaya memerdekakan dirinya untuk bangkit sebagai kekuatan baru.
Pelabuhan Malayu merupakan tempat persinggahan yang utama dalam jalur pelayaran dan perdagangan antara India dan Cina. Pendta I-tsing sendiri pernah tinggal selama 2 bulan di Malayu, dalam perjalanannya dari Sriwijaya ke India.
Tidak dapat disangkal bahwa Negeri Malayu berlokasi di Jambi. Pelokasian ini ditunjang oleh prasasti dan mendapat dukungan dari hasil penelitian geomorfologi, yang membuktikan bahwa letak Jambi pada abad ketuju sangat strategis dalam penguasaan lalu linta di Selat Malaka. Itulah sebabnya Kerajaan Sriwijaya berusaha menaklukan Malayu-Jambi, agar Sriwijaya dapat menguasai Selat Malaka. Menurut Bambang Soemandio, ketika I-tsing pulang dari India pada tahun 685, ia mengatakan bahwa ”Malayu sekarang sudah menjadi bagian Sriwijaya” (Utomo, 2002:2). Namun kemudian nama Jambi identik dengan nama Melayu (Sartono, 1992:3). Pada berita Cina yang ditulis oleh Lingpiao Lui disebutkan bahwa Chan-pi atau jambi pada tahun 853 dan tahun 971 Masehi mengirim misi dagang ke Cina (Utomo. 1992: 182). Kemudian dalam Dinasti Song (960-1270) disebutkan sebuah kerajaan Sumatera bernama San-fo-tsi terletak di Laut Selatan dengan ibukotanya Chan-pi. Namun mengenai Melayu dapat ditelusuri pula tinggalan budaya yang banyak terdapat di sepanjang sungai Batanghari yang berhulu di Sumatera Barat dan bermuara ke Jambi.
Peninggalan tersebut berupa candi ditemukan di daerah Muara Jambi, Solok Sipin, Pematang Jering, Pematang Saung, Lubuk Ruso, Teluk Kuali. Cand yang berada di hilir Sungai Batanghari diperkirakan antara abat IX-XIII. Peninggalan ini berdasarkan penemuan batu bertulis yang ditemukan di situs Muara Jambi, diperkirakan abad ek 9-10 Masehi. Sedangkan Candi Kemiking diperkirakan dibangun pada abat ke 10-13 Masehi (Data Suaka PSP Jambi). Peninggalan budaya berbentuk arca ditemukan di Muara Jambi, Rantau Kapas Tuo, Betung Bedarah, Tanah Periuk, Kuala Tungkao, Rantau Limau Manis, Solok Sipin, dan Teluk Kuali. Arca tersebut adalah arca Awalokiteswara perunggu, acara Budha batu, potongan arca Budha, arca Budha perunggu, arca Padmapani, arca Ganesha batu, arca Dipalaksmi, arca Aksobya perunggu, arca Nadi, arca Makara batu, dan arca Prajnaparamita. Peninggalan arca yang ada di DAS Batanghari bagian hilir diperkirakan berasal dari abad ke-6 Masehi yang ditemukan di Solok Sipin dan arca paling muda ditemukan di Koto Kandis dan Muaro Jambi, yaitu arca Dipalaksmi dan Prajnaparamita. Menurut Setyawati Sulaiman, arca Prajnaparamita (tanpa lengan dan kepala) memiliki persamaan dengan arca yang ada di Singasari, sehingga diduga arca ini berasal dari abat ke 13-14 Masehi (Utomo, 1992:81).
Kemudian peninggalan kebudayaan berbentuk prasasti ditemukan di Karang Berahi, oleh L.M. Berkhout tahun 1904, berisikan kutukan-kutukan dan ancaman. Peninggalan berupa keramik pada umumnya berasal dari abad ke 10-13 Masehi. Peninggalan berbentuk lempengan emas bertulis diperkirakan dari abad ke 9-10 Masehi dan peninggalan budaya berupa perhiasan seperti alung emas seberat 98 gram dan ikat pinggang (sabuk) emas seberat 300 gram lebih ditemukan tahun 1995. Perhiasan ini juga berasal dari abad ke-7 Masehi (Suapa PSP Jambi, 1995). Hal ini dapat dihubungkan dengan berita Arab dan Cina yang menyatakan bahwa Melayu merupakan penghasil emas yang erbesar di kawasan Nusantara.
Berabad-abad lamanya negeri Malayu-Jambi menjadi bawahan Kerajaan Sriwijaya. Pada tahun 853 dan 871 Masehi negeri Malayu – Jambi sempat mengirimkan utusan ke negeri Cina. Rupanya pada saat itu Kerajaan Sriwijaya agak lalai menawasi Malayu, sehingga negeri bawahannya itu sempat mencuri kesempatan dua kali untuk mengirimkan utusan ke Cina. Tindakan Malayu itu sudah tentu dianggap tidak pantas oleh Raja Sriwijaya, karena yang berhak mengirimkan utusan hanyalah negeri yang merdeka, sedangkan Malayu adalah bawahan Sriwijaya. Itulah sebabnya raja Sriwijaya menegaskan kepaa istana Cina, melalui utusan yang datang tahun 905 Masehi, bahwa dia adalah ”raja Jambi”, artinya raya yang menguasai Jambi.
Selama kira-kira empat abad kawasan ini dikuasai oleh Kedatuan Sriwijaya, akan tetapi sejak abad XI dominasi Sriwijaya atat pelayaran di Selat Malaka mulai mendapat tantangan dari beberapa kekuasaan tandingan. Si sebelah timur telah muncul kekuata nbaru di bawah Airlangga, sedangkan di sebelah barat ada tantangan dari kerajaan Colamandala di India Selatan. Sekitar 1024 – 1025 Maseh armada Cola menyerang Sriwijaya, Masa kekacauan yang terjadi sesudahnya, memunculkan berbagai kekuatan baru di kawasan ini. (Lapian, 1992).
Rupanya kekuatan Sriwijaya yang tadinya berpusat di Palembang, kini beralih ke Jambi, namun kedudukannya sebagai kekuatan tunggal tidak lagi dapat dipulihkan seperti sedia kala, malahan beberapa tempat mulai munul kekuatan baru yang makin mandiri sehingga makin melemahkan kekuatan pusatnya (Lapian, 1992).
Ketika pertangahan abad kesebelas Kerajaan Sriwijaya mulai lemah akibat serbutan dahsyat Colamandala, negeri Malayu memanfaatkan kesempatan untuk bangkit kembali. Sebuah prasasti yang ditemukan di Srilanka menyebukan, bahwa pada zamanpemerintahan Vijayabahu di Srilangka (1055 – 1100), Pangeran Suryanarayana di Malayaprua (Sumatera). Hal ini menunjukkan bahwa pada pertengahan abad kesebelas, negeri Malayu – Jambi telah berhasil memerdekakan dirinya dari kekuasaan Sriwijaya. Pada patung makara bertarik 1064 Masehi dari daerah Solok Sipin, Jambi terpahan nama seorang pembesar, Dharmavira. Kronik Cina, Ling-wai-tai-ta, menyebutkan bahwa pada tahun 1079, 1082, dan 1088, negeri ­Chan-pi (Jambi) di San-fo-tsi (Sumatera) mengirimkan utusan ke negeri Cina. Perlu dicatat, bahwa negeri yang diakui utusannya oleh Kaisar Cina hanyalah negeri yang merdeka.
Lain lagi adalah pendapat Buchari, yang menyatakan bahwa sebelum tahun 683 Sriwijaya harus dicari di sekitar batang Kuantan di daerah ulu sungai Indragiri, dan Malayu di daerah Muara Sungai Asahan di Sumatera Utara. Dengan penentuan lokasi ini maka jarak Sriwijaya - Melayu dan Melayu – Kedah menjadi kira-kira sama, yaitu 15 hari perjalanan.
Demikianlah maka tidak dapat dipungkiri bahwa berita-berita Melayu itu hanya dapat menambah teori baru kepada sejumlah teori yang sudah ada sedangkan teori-teori yang lama masih juga bertahan. Namun demikian, dari semua keterangan, penafsiran dan kesimpulan yang serba kabur itu dapat sedikit titik terang, yaitu bahwa nampaknya para pakar dan peneliti sepakat untuk menempatkan Melayu di sekitar Jambi sekarang. Hanya saja, kalau dikaji lebih lanjut maka perlu juga kiranya dipertimbangkanapakah benar bahwa penentuan lokasi itu dikaitkan dengan adanya sungai di Muara Jambi yang dikenal dengan nama Sungai Melayu. Soalnya adalah, bahwa sampai sekarang tidak ada petunjuk lain yang memaksa kita mengarahkan pandangan ke Jambi.
Di dalam kitab Sejarah Dinasti T’ang (abad ke 7 -10 Masehi) untuk pertama kalinya disebutkan datangnya utusan dari Mo-lo-yeu pada tahun 644-645 Masehi. Toponim mo-lo-yeu dapat diidentifikasikan dengan Melayu yang letaknya di pantai timur Sumatera, dan pusatnya di sekitar Jambi. (Utomo, 1992). Sementara itu, di dalam berita Arab dari jaman Kekhalifahan Muawiyah (661-681 Masehi) disebut nama negeri Zabag sebagai bandar lada terbesar Sumatera Bagian Selatan.
Pada tahun 692 Masehi, ketika untuk kedua kalinya I’tsing dalam perjalanannya ke India singgah di Mo-lo-yeu negeri tersebut sudah menjadi Shih-li-fo-shih atau Sriwijaya (Bambang Sumadio 1974:53). Dengan arti kata kerajaan Mo-lo-yeu sudah ditaklukkan oleh Sriwijaya.
Dalam Catatan Ling Piau Lui yang ditulis tahun 889-904 Masehi, disebutkan Chan-pi (Jambi) menghasilkan sejenis kacang-kacangan yang bentuknya seperti bulan sabit. Orang-orang Hu mengumpulkannya dan diberikan kepada pegawai CIna sebagai curiosities (Wolters 1947: 144). Menurut Wolters, toponim Chan-pi dapat diidentifikasikan dengan Jambi sekarang. (besambung)

Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

NIKMATNYA ILMU PENGETAHUAN

{Dan, Dia telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. Dan adalah karunia Allah itu sangat besar.}

(QS. An-Nisa’: 113)

Kebodohan merupakan tanda kematian jia, terbunuhnya kehidupan dan membusuknya umur.

{Sesunguhnya Aku mengingatkan kepadamu suapay kamu tidak termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan.}

(QS. Hud: 46)

Sebaliknya, ilmu adalah cahaya bagi hati nurani, kehidupan bagi ruh dan bahan bakar bagi tabiat.

{Dan, apakah oran gyang mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaanya berada alam gelap gulita yang berkali-kali tidak dapat keluar daripadanya.}

(QS. Al-An’am: 122)

Kebahagian, kedamaian, dan ketentraman hati senantias berawal dari ilmu pengetahuan. Itu, karena ilmu mampu menembus yang samar, menemukan sesuatu yang hilang, dan menyingkap yang tersembunyi. Selain itu, naluri dari jiwa manusia itu adalah selalu ingin mengetahui hal-hal yang baru dan ingin mengungkap sesuatu yang menarik.

Kebodohan itu sangat membosankan dan menyedihkan. Pasalnya, ia tidak pernah memunculkan yang baru yang lebih menarik dan segar; yang kemarin seperti hari ini, dan yang hari ini pun akan sama dengan yang akan terjadi esok hari.

Bila anda ingin senantiasa bahagia, tuntutlah ilmu, galilah pengetahuan, dan raihlah perlbagai manfaat, niscaya semua kesedian, kepedihan dan kecemasan itu akan sirna.

{Dan, Katakanlah: “Ya Rabbku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan.}

(QS. Thaha: 114)

{Bacalah dengan nama Rabbmu Yang menciptakan.}

(QS. Al-Alaq: 1)

“Barang siapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya, maka Allah akan pandaikan ia dalam agama” (Al-Hadits)

(QS. An-Nisa’: 113)

Janganlah seseorang sombong dengan harta atau kedudukannya, kalau memang ia tak memiliki ilmu pengetahuan sedikit pun. Sebab, kehidupannya tiak akan sempurna.

{Adakah orang yang mengatahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu itu benarsama dengan orang yang buta.}

(QS. Al-Ra’d: 19)


Az-Zamakhsyari, dalam sebuah syairnya berkata:
Malam-malamku untuk merajut ilmu yang bisa dipetik,
Menjauhi wanit elok dan harumnya leher
Akum mondar-mandir untuk menyelesaikan masalah sulit,
Lebih menggoda dan manis dari berkepit betis nan panjang
Bunyi penaku yang menari di atas kertas-kertas
Lebih manis daripada berada di belaian wanita dan kekasih
Bagiku lebih inidah melemparkan pasir ke atas kertas
Daripada gadis-gadis yang menabuh dentum rabana
Hai orang yang berussaha mencapai kedudukanku lewat angannya,
Sungguh jauh jarak antara orang yang diam dan yang lain, naik
Apakah aku yang tidak tidur selama dua purnama dan engkau
Tidur nyenyak, setelah itu engkau ingin menyamai derajatku

Alangkah muliahnya ilmu pengetahuan, alangkah gembiranya jiwa seseorang yang menguasainya, dan alangkah leganya perasaan orang yang menguasainya.

{Maka apakah orang yang berpegang teguh pada keterangan yang datang dari Rabbnya sama dengan orang (syaitan) menjadikan dia memandang baik perbuatannya yang buruk dan mengikuti hawa nafsunya.}

(QS. Muhammad: 14)