Bab 4
KERAJAAN MELAYU
Periode Abad VI-XI
1. Letak Kerajaan Melayu
Keberadaan dan letak kerajaan Melayu dan Sriwijaya masih dalam perdebatan, dan ada sebagian ahli berkeberatan terhadap penggunaan berita-berita Cina sebagai sumber sejarah kerajaan Malayu, tidak jgua dapat pungkiri bahwa berita pertama yang dengan jelas menyebutkan nama “Malayu” adalah berita Cina juga. Dari kitab sejarah dinasti T’ang didapat keterangan bahwa datangnya utusan dari Mo-lo-you di Cina pada tahun 644 dan 645 M. Sudah barang tentu sulit dicarikan keberatan untuk mengidentifikasikan kata Cina ini dengan Malayu.
Kontak antara pedagang pendatang dengan penguasa setempat, seringkali sudah turun temurun, adakalanya arat sekali. Tanpa disadari kontak pribadi lama dan erat itu, membawa akibat kepada kedua belah pihak saling mengambil unsur-unsur kerajaan masing-masing. Kalau kontak dagang berasal dari Cina yang beragama Budha (Hinayana) maka agama itulah yang berkembang di bandar dagang tersebut, demikian pula kalau kontak dagang dari Persia (agama Islam) maka agama Islam-lah yang berkembang, dan lain-lainnya.
Kerajaan Budha (Hinayana) yang kemudian timbul dan berkembang di Minangkabau Timur, ialah pusat-pusat perniagaan lada. Melayu (Tua) dengan Muara Tembesi sebagai bandar utamanya dan Sriwijaya (Tua) dengan Muara Sabak (Jambi) sebagai bandar utamanya. Kerajaan –kerajaan Budha (Hinayana) inilah yang dikunjungi oleh I-tsing, pendeta Budha dari Cina, dalam perjalanannya ke India (671 Masehi) dan pulang kembali kenegerinya (685 Masehi).
Berita yang lebih menarik karena lebih jelas mengarah kepada apa yang dicari adalah kisah perjalanan I-tsing, seorang pedeta Budha dari Cina yang pernah tinggal di Sriwijaya cukup lama, dalam perjalanannya dari Kanto di Cina ke Negapattam di India dalam tahun 671/672 ia singgah dulu di She-li-fo-she untuk belajar bahasa Sanskerta selama enam bulan. Dari sini ia menuju Mo-lo-yeu, di mana ia tinggal selama dua bulan, untuk kemudian meneruskan perjalanannya ke Chieh-cha (Kedah) dan selanjutnya ke India. Dalam perjalanan pulangnya pada tahun 685 ia singgah lagi di Mo-lo-yeu, “yang telah menjadi She-li-fo-she”, selama 6 bulan.
Kisah perjalanaan I-tsing itu memberikan gambaran bahwa Melayu adalah tempat persinggahan yang cukup penting, karena tidak dilewati begitu saja, baik dalam pelayaran dari Cina ke India maupun sebaliknya. Adapun letak dari Bandar Malayu itu, kiranya dapat disimpulkan dari keterangan mengenai arah pelayaran yang diceritakan I-tsing. Pelayaran dari Sriwijaya ke Malayu memakan waktu 15 hari, dan demikianlah juga dari Malayu ke Kedah. Hanya saja, dari Malayu ke Kedah orang harus berganti arah.
Dengan berpedoman kepada lokasi Sriwijaya di Palembang dan Melayu di Jambi maka keterangan I-tsing itu tidak sesuai dengan kenyataan. Jarak Palembang – Jambi tidak sama dengan jarak Jambi – Kedah, padahal sama-sama memakan waktu 15 hari pelayaran. Demikian juga, arah pelayarannya, kiranya kedua jalur itu pada pokoknya sama-sama membujur dari tenggara ke barat laut, sehingga adanya perobahan arah dalam melayari jalur Jambi – Kedah menggoyahkan semua teori yang sudah tersusun rapi. Tidak mengherankan kalau Moens melontarkan pendapat lain lagi guna menopang teorinya tentang lokasi Sriwijaya. Dikatakannya bahwa pada waktu I-tsing belayar dari Cina ke India, Sriwijaya berpusat di Kelantan, pantai Timur Jazirah Malaka, sedangkan Malayu berada di Palembang. Oleh karena itu jarak pelayaran Sriwijaya – Malayu dan Malayu – Kedah adalah sama haluan sehingga arah Sriwijaya – Malayu dan arah Malayu – Kedah menjadi berlawanan dari timur laut – barat daya menjadai tenggara – barat laut. Selanjutnya dikatakan bahwa ketika I-tsing singgah lagi di Malayu dalam perjalannan pulangnya, Melayu telah dikuasai oleh Sriwijaya yang setelah itu memindahkan pusat pemerintahannya ke daerah Muara Takus.
Kisah pelayaran pulang pendeta Budha Cina bernama I-tsing dari India mencatat bahwa kerajaan Mo-lo-yue telah menjadi bagian dari Sriwijaya. Timbulnya perobahan politik di dalam kerajaan Melayu terjadi sekitar tahun 671-679 Masehi. Interpretasi atas peobahan di dalam kerajaan Melayu ini ada beda pendapat antara para ahli.
Sarjana Perancis berama Georges Coedes adalah ilmuan pertama yang menempatkan pusat kerajaan Sriwijaya di Palembang, melalui karangannya Le Royume d Crivijaya, BEFEQ No. XVIII tahun 1918. Garis besar pendapat Coedes adalah sebagai berikut;
a. Kerajaan Melayu berlokasi di Jambi
b. Mengidentifikasi kata Sriwijaya dengan kerajaan.
c. Kerajaan Melayu dicaplok oleh kerajaan Sriwijaya.
d. Menempatkan pusat kerajaan Sriwijaya di Palembang
Untuk mendukung hipotesisnya Coedes meneliti dengan seksama isi prasasti Kedukan Bukit, Talang Tuwo, Karang Berahi,dan Kota Kaput. Menurut Coedes prasasti ini adalah sebagai bukti otentik pencaplokan Melayu oleh Sriwijaya. Coedes dalam karyanya ini tidak atau belum menempatkan fakto arkeologis berupa situs purbakala, dengan geomorfologi pantai timur Sumatera. Tapi Coedes sangat berjasa dalam menempatkan istilah Sriwijaya sebagai suatu kerajaan.
Sarjana pertama yang menentang Palembang sebagai lokasi pusat kerajaan Sriwijaya adalah J.L. Moens. Inti hipotesis Moens adalah sebagai berikut:
a. Puat kerajaan Melayu adalah di Palembang.
b. Prasasti Kedukan Bukit adalah prasasti penundukan Melayu oleh Sriwijaya.
c. Antara tahun 683 dan 695 pusat pemerintah Sriwijaya pindah dari Semenanjung Muara Takus, Riau.
d. Pusat kerajaan Sriwijaya di Muara Takus, Riau.
Landasan teori Moens berdasarkan atas interpretasinya terhadap route perjalanan I-tsing. Moesn berpendapat bahwa perjalan I-tsing dari Sriwijaya ke Melayu sebagai pelayaran dari pantai timur Semenanjung Palembang. Dari Melayu I-tsing meneurskan pelayaran ke Kedah (chieh cha). Arah pelayaran dari Melayu ke Kedah ialah tari Tenggara ke barat-laut, maka arah pelayaran Melayu ke Kedah berbeda arah dari Sriwijaya ke Melayu. Kemudian akhirnya Moens mengambil kesimpulan arah pelayaran Sriwijaya ke Melayu dari arah barat ke Tenggara.
Pada bulan Juli dan Agustus 1974 sebuah team dari Amerika Serikat mengadakan ekskavasi di 4 (empat) situs di Palembang. Tim dibawah pimpinan Dr. Bernet Bronson danJan Wisseman kerjasama denan Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional Jakarta, mengeluarkan pendapat bahwa Sriwijaya tidak mungkin di Palembang, karena situs-situs di sekitar Palembang menunjukkan pemikiman abad ke 14 sampai 17 Masehi (Sholihat, 1982). H.G. Quaritch Wales, tahun 1935 menempatkan Chaiya (Thailand Selatan) sebagai lokasi pusat kerajaan Sriwijaya. Rolang Bradell menempatkan semenanjung Malaya sebagai lokasi pusat kerajaan Sriwijaya. Sedangkan M.C. Chand Chirayu Rajani tahun 1974 mendukung Thailand Selatan sebgai pusat kerajaan Sriwijaya.
Sarjana Belanda bernama F.M. Schnitger tahun 1926 menolak lokasi Palembang sebagai pusat kerajaan Sriwijaya, ia menempatkan Muara Jambi pusat kerajaan Sriwijaya. Seorang ahli arkeologi Indonesia, Soekmono tahun 1955, melalui pendekatan geomorfologi pantai timur Jambi, menolak penempatan pusat kerajaan Sriwijaya di Palembang, ia melokalisasi Jambi sebagai pusat kerajaan Sriwijaya. Begitupula Slamet Muljana, tahun 1981 menolak Palembang sebagai pusat kerajaan Sriwijaya, ia menempatkan Jambi sebagai lokalisasi yang tepat.
Kerajaan Malayu tercatat dalam sejarah sejak abad ketujuh. Mungkin kerajaan ini lebih dahulu berdiri dari Sriwijaya, karena namanya lebih dahulu tercatat dalam kronik Cina. Hsin-Tang-shu mencatat bhwa utusan Mo-lo-yu (Malayu) datan ke istana Cina pada tahun 644-645, sedangkan utusan Shih-li-fo-shih (Sriwijaya) baru datang untuk pertama kalinya pada tahun 670. DR. Wolters menduka bahwa pada mulanya negeri Sriwijaya merupakan negeri bawahan Malayu, kemudian Sriwijaya memerdekakan dirinya untuk bangkit sebagai kekuatan baru.
Pelabuhan Malayu merupakan tempat persinggahan yang utama dalam jalur pelayaran dan perdagangan antara India dan Cina. Pendta I-tsing sendiri pernah tinggal selama 2 bulan di Malayu, dalam perjalanannya dari Sriwijaya ke India.
Tidak dapat disangkal bahwa Negeri Malayu berlokasi di Jambi. Pelokasian ini ditunjang oleh prasasti dan mendapat dukungan dari hasil penelitian geomorfologi, yang membuktikan bahwa letak Jambi pada abad ketuju sangat strategis dalam penguasaan lalu linta di Selat Malaka. Itulah sebabnya Kerajaan Sriwijaya berusaha menaklukan Malayu-Jambi, agar Sriwijaya dapat menguasai Selat Malaka. Menurut Bambang Soemandio, ketika I-tsing pulang dari India pada tahun 685, ia mengatakan bahwa ”Malayu sekarang sudah menjadi bagian Sriwijaya” (Utomo, 2002:2). Namun kemudian nama Jambi identik dengan nama Melayu (Sartono, 1992:3). Pada berita Cina yang ditulis oleh Lingpiao Lui disebutkan bahwa Chan-pi atau jambi pada tahun 853 dan tahun 971 Masehi mengirim misi dagang ke Cina (Utomo. 1992: 182). Kemudian dalam Dinasti Song (960-1270) disebutkan sebuah kerajaan Sumatera bernama San-fo-tsi terletak di Laut Selatan dengan ibukotanya Chan-pi. Namun mengenai Melayu dapat ditelusuri pula tinggalan budaya yang banyak terdapat di sepanjang sungai Batanghari yang berhulu di Sumatera Barat dan bermuara ke Jambi.
Peninggalan tersebut berupa candi ditemukan di daerah Muara Jambi, Solok Sipin, Pematang Jering, Pematang Saung, Lubuk Ruso, Teluk Kuali. Cand yang berada di hilir Sungai Batanghari diperkirakan antara abat IX-XIII. Peninggalan ini berdasarkan penemuan batu bertulis yang ditemukan di situs Muara Jambi, diperkirakan abad ek 9-10 Masehi. Sedangkan Candi Kemiking diperkirakan dibangun pada abat ke 10-13 Masehi (Data Suaka PSP Jambi). Peninggalan budaya berbentuk arca ditemukan di Muara Jambi, Rantau Kapas Tuo, Betung Bedarah, Tanah Periuk, Kuala Tungkao, Rantau Limau Manis, Solok Sipin, dan Teluk Kuali. Arca tersebut adalah arca Awalokiteswara perunggu, acara Budha batu, potongan arca Budha, arca Budha perunggu, arca Padmapani, arca Ganesha batu, arca Dipalaksmi, arca Aksobya perunggu, arca Nadi, arca Makara batu, dan arca Prajnaparamita. Peninggalan arca yang ada di DAS Batanghari bagian hilir diperkirakan berasal dari abad ke-6 Masehi yang ditemukan di Solok Sipin dan arca paling muda ditemukan di Koto Kandis dan Muaro Jambi, yaitu arca Dipalaksmi dan Prajnaparamita. Menurut Setyawati Sulaiman, arca Prajnaparamita (tanpa lengan dan kepala) memiliki persamaan dengan arca yang ada di Singasari, sehingga diduga arca ini berasal dari abat ke 13-14 Masehi (Utomo, 1992:81).
Kemudian peninggalan kebudayaan berbentuk prasasti ditemukan di Karang Berahi, oleh L.M. Berkhout tahun 1904, berisikan kutukan-kutukan dan ancaman. Peninggalan berupa keramik pada umumnya berasal dari abad ke 10-13 Masehi. Peninggalan berbentuk lempengan emas bertulis diperkirakan dari abad ke 9-10 Masehi dan peninggalan budaya berupa perhiasan seperti alung emas seberat 98 gram dan ikat pinggang (sabuk) emas seberat 300 gram lebih ditemukan tahun 1995. Perhiasan ini juga berasal dari abad ke-7 Masehi (Suapa PSP Jambi, 1995). Hal ini dapat dihubungkan dengan berita Arab dan Cina yang menyatakan bahwa Melayu merupakan penghasil emas yang erbesar di kawasan Nusantara.
Berabad-abad lamanya negeri Malayu-Jambi menjadi bawahan Kerajaan Sriwijaya. Pada tahun 853 dan 871 Masehi negeri Malayu – Jambi sempat mengirimkan utusan ke negeri Cina. Rupanya pada saat itu Kerajaan Sriwijaya agak lalai menawasi Malayu, sehingga negeri bawahannya itu sempat mencuri kesempatan dua kali untuk mengirimkan utusan ke Cina. Tindakan Malayu itu sudah tentu dianggap tidak pantas oleh Raja Sriwijaya, karena yang berhak mengirimkan utusan hanyalah negeri yang merdeka, sedangkan Malayu adalah bawahan Sriwijaya. Itulah sebabnya raja Sriwijaya menegaskan kepaa istana Cina, melalui utusan yang datang tahun 905 Masehi, bahwa dia adalah ”raja Jambi”, artinya raya yang menguasai Jambi.
Selama kira-kira empat abad kawasan ini dikuasai oleh Kedatuan Sriwijaya, akan tetapi sejak abad XI dominasi Sriwijaya atat pelayaran di Selat Malaka mulai mendapat tantangan dari beberapa kekuasaan tandingan. Si sebelah timur telah muncul kekuata nbaru di bawah Airlangga, sedangkan di sebelah barat ada tantangan dari kerajaan Colamandala di India Selatan. Sekitar 1024 – 1025 Maseh armada Cola menyerang Sriwijaya, Masa kekacauan yang terjadi sesudahnya, memunculkan berbagai kekuatan baru di kawasan ini. (Lapian, 1992).
Rupanya kekuatan Sriwijaya yang tadinya berpusat di Palembang, kini beralih ke Jambi, namun kedudukannya sebagai kekuatan tunggal tidak lagi dapat dipulihkan seperti sedia kala, malahan beberapa tempat mulai munul kekuatan baru yang makin mandiri sehingga makin melemahkan kekuatan pusatnya (Lapian, 1992).
Ketika pertangahan abad kesebelas Kerajaan Sriwijaya mulai lemah akibat serbutan dahsyat Colamandala, negeri Malayu memanfaatkan kesempatan untuk bangkit kembali. Sebuah prasasti yang ditemukan di Srilanka menyebukan, bahwa pada zamanpemerintahan Vijayabahu di Srilangka (1055 – 1100), Pangeran Suryanarayana di Malayaprua (Sumatera). Hal ini menunjukkan bahwa pada pertengahan abad kesebelas, negeri Malayu – Jambi telah berhasil memerdekakan dirinya dari kekuasaan Sriwijaya. Pada patung makara bertarik 1064 Masehi dari daerah Solok Sipin, Jambi terpahan nama seorang pembesar, Dharmavira. Kronik Cina, Ling-wai-tai-ta, menyebutkan bahwa pada tahun 1079, 1082, dan 1088, negeri Chan-pi (Jambi) di San-fo-tsi (Sumatera) mengirimkan utusan ke negeri Cina. Perlu dicatat, bahwa negeri yang diakui utusannya oleh Kaisar Cina hanyalah negeri yang merdeka.
Lain lagi adalah pendapat Buchari, yang menyatakan bahwa sebelum tahun 683 Sriwijaya harus dicari di sekitar batang Kuantan di daerah ulu sungai Indragiri, dan Malayu di daerah Muara Sungai Asahan di Sumatera Utara. Dengan penentuan lokasi ini maka jarak Sriwijaya - Melayu dan Melayu – Kedah menjadi kira-kira sama, yaitu 15 hari perjalanan.
Demikianlah maka tidak dapat dipungkiri bahwa berita-berita Melayu itu hanya dapat menambah teori baru kepada sejumlah teori yang sudah ada sedangkan teori-teori yang lama masih juga bertahan. Namun demikian, dari semua keterangan, penafsiran dan kesimpulan yang serba kabur itu dapat sedikit titik terang, yaitu bahwa nampaknya para pakar dan peneliti sepakat untuk menempatkan Melayu di sekitar Jambi sekarang. Hanya saja, kalau dikaji lebih lanjut maka perlu juga kiranya dipertimbangkanapakah benar bahwa penentuan lokasi itu dikaitkan dengan adanya sungai di Muara Jambi yang dikenal dengan nama Sungai Melayu. Soalnya adalah, bahwa sampai sekarang tidak ada petunjuk lain yang memaksa kita mengarahkan pandangan ke Jambi.
Di dalam kitab Sejarah Dinasti T’ang (abad ke 7 -10 Masehi) untuk pertama kalinya disebutkan datangnya utusan dari Mo-lo-yeu pada tahun 644-645 Masehi. Toponim mo-lo-yeu dapat diidentifikasikan dengan Melayu yang letaknya di pantai timur Sumatera, dan pusatnya di sekitar Jambi. (Utomo, 1992). Sementara itu, di dalam berita Arab dari jaman Kekhalifahan Muawiyah (661-681 Masehi) disebut nama negeri Zabag sebagai bandar lada terbesar Sumatera Bagian Selatan.
Pada tahun 692 Masehi, ketika untuk kedua kalinya I’tsing dalam perjalanannya ke India singgah di Mo-lo-yeu negeri tersebut sudah menjadi Shih-li-fo-shih atau Sriwijaya (Bambang Sumadio 1974:53). Dengan arti kata kerajaan Mo-lo-yeu sudah ditaklukkan oleh Sriwijaya.
Dalam Catatan Ling Piau Lui yang ditulis tahun 889-904 Masehi, disebutkan Chan-pi (Jambi) menghasilkan sejenis kacang-kacangan yang bentuknya seperti bulan sabit. Orang-orang Hu mengumpulkannya dan diberikan kepada pegawai CIna sebagai curiosities (Wolters 1947: 144). Menurut Wolters, toponim Chan-pi dapat diidentifikasikan dengan Jambi sekarang. (besambung)